Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENDAKI DIANTARA DUA DUNIA (Part 3) - Tersesat

"Tinggallah bersamaku. Disini, semua yang menjadi keinginanmu, akan dengan mudah terkabul"


“Yakin?”

“Iya... Saya yakin....”

“Jika kamu bersedia tinggal bersama denganku, apapun yang kamu mau akan dengan mudah terturuti. Semua, semuanya yang kamu mau. Jauh lebih baik jika dibandingkan dengan alam dan kehidupanmu sekarang” Ucapnya kepadaku.

Perkataannya menggodaku agar aku bersedia tinggal bersamanya.

Aku menelan ludah mendengar perkataannya. Bukan karena tergiur perkataannya, tapi, aku keyakinanku semakin kuat, soal dugaan yang sempat ada dipikiranku tatkala pertama kali melihatnya. Tentang laki-laki itu yang sebenarnya bukan manusia sepertiku.

Lantas, siapa dia? Dimana ia tinggal? Dan kenapa dia bisa berada disini dan menemuiku sekarang?

Berbagai pertanyaan muncul dipikiranku. Tapi, untuk sekarang, segera pergi darinya adalah pilihan yang tepat.

“Tidak, saya sudah cukup dengan semua yang saya punya”

“Dasar sombong!” umpat laki-laki itu.

Tak ada lagi kata-kata yang bisa keluar dari mulutku ini. Rasa takut sudah merasuk ke setiap ruang di dalam tubuhku.

“Tolong, biarkan saya pergi” ucapku sambil memohon. Dia hanya tertawa mendengar perkataanku yang seperti rengekan anak kecil sedang memohon agar diperbolehkan main oleh orang tuanya.

“Baiklah, aku akan membiarkanmu pergi”

“Tapi, ada syaratnya”

“Apa syaratnya?” tanyaku.

“Kamu lihat batu besar itu? Berjalanlah kesana. Dan jangan sekali-sekali kamu melihat ke belakang sebelum melewati batu besar di atas itu” ucapnya sambil menunjuk batu besar yang berjarak cukup jauh tapi masih tertangkap dengan mata dari tempatku sekarang.

Sontak, aku melihat ke atas, mencari batu yang dimaksud laki-laki paruh baya itu.

“Apa disana?”

“Baik, saya siap” ucapku pelan tapi dengan penuh rasa keyakinan. Agar aku cepat pergi dari hadapannya.

“Saya pamit. Assalamualaikum.....” ucapku seraya mengucapkan salam, lalu mulaiberjalan mendaki.

Tapi, baru beberapa langkah, sesuatu hal terjadi pada badanku. Badanku terasa berat. Sepertinya, laki-laki itu tidak membiarkanku pergi dengan mudah. Badanku yang semula biasa, mulai terasa berat, seperti ada seseorang yang sengaja menahanku dari belakang.

Semakin melangkah ke atas, badanku juga semakin berat. Setiap aku hendak menghadap belakang mencari penyebab kejanggalan ini, aku selalu mengingat petuah dari laki-laki tadi, “Jangan melihat belakang, jika belum melewati batu besar itu”

Beberapa kali aku berhenti, sambil memegang bahu dan melemaskan kaki. Meskipun itu tidak begitu berarti, minimal bisa meredakan nafasku dan detak jantungku yang tak beraturan.

“Edi..... Edi.....” Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku dari kejauhan. Suaranya sayup, tidak begitu keras. Tapi, suara itu terus ada. Aku berusaha mendengarkannya sambil mengingat, siapa pemilik suara itu. Semakin lama, aku merasa suara itu tidaklah asing bagi telingaku.

“Siapa?” tanyaku dalam hati. Aku masih mengingat- ingatnya lagi.

“Edi.....” suara itu muncul lagi.

“Oh, Kosim!” otakku mengingatnya. Itu adalah suara Kosim, temanku.

Tapi, tapi kenapa dia memanggilku? Apa sudah dekat? Ku rasa tidak, aku belum lama melewati pos 1, tidak mungkin sudah dekat dengan Pasar Bubrah.

Sambil melangkah mendaki, suara Kosim masih ku dengar beberapa kali. Hasratku ingin sekali melihat ke belakang. Tapi, keberanianku tak cukup kuat untuk melanggar petuah laki-laki tadi. Entah mengapa, aku meyakini, akan ada hal buruk menimpaku, jika aku melanggar perkataannya.

Walau demikian, dengan mata yang terus menatap ke depan, telingaku terus fokus mencari dari mana suara Kosim berasal.

Hingga, di satu waktu, suara Kosim terdengar keras dan lantang. Dan itu berasal dari bawah.

“Ya, tidak salah lagi. Dari bawah”

“Tapi, Kosim kan di atas? Kenapa suaranya di bawah?” aku semakin bingung.

Aku bimbang, hatiku diselimuti keraguan. Aku ingin melihat dan menoleh ke belakang, melihat apa yang sebenarnya terjadi. Langkah yang sebenarnya belum begitu jauh dengan laki-laki tadi, tapi sudah banyak kejanggalan terjadi.

“Jika itu benar Kosim, apa yang terjadi dengannya? Jika tidak? Apakah ini ulah mereka-mereka yang tak kasat mata penghuni hutan ini?”

“Ah, sudah. Aku jalan saja. Nanti, jika sampai batu besar itu, jika suara Kosim masih memanggil, aku akan melihatnya dari sana”

“Edi, tolong aku....” Suara Kosim semakin keras, seiring langkahku yang semakin dekat dengan batu besar itu.Tapi, kali ini disertai dengan tariakan minta tolong. Pikiranku semakin kalut.

Aku mempercepat langkah, walau dengan susah payah karena badan yang terus terasa berat. Hingga akhirnya, bagaikan pelari yang baru saja sampai garis finish, akhirnya aku sampai di batu yang dimaksudkan oleh laki-laki tadi.

Sontak, saat sampai disana, aku langsung memutar badan. Melihat apa yang sebenarnya terjadi di belakangku sedari tadi.

“Astaga... Ya Allah....”

“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?”

Jantungku seakan berhenti berdetak, mataku melotot melihat pemandangan yang ada di belakangku.

“Tidak, ini pasti keliru. Mataku pasti salah” aku tidak percaya dengan apa yang ku lihat. Berkali-kali aku menggosok-gosok mataku, berharap apa yang ku lihat berubah sesuai apa yang seharusnya.

Tapi, ternyata tidak. Pandanganku tetap. Hanya ada jurang yang sangat dalam, yang siap menangkapku, jika aku maju 3 langkah saja. Mungkin, jika aku melihat ke belakang tadi, aku sudah jatuh ke dasar jurang sana.

Mengetahui itu, aku agak mendaki, menjauh dari tepi jurang yang sangat dalam itu. Batu besar yang disebut laki- laki tadi adalah perbatasan antara jurang dan punggungan tempatku berdiri.

Aku kembali dihantui dengan pertanyaan-pertanyaan baru.

“Jika itu jurang, lantas, memijak apa kakiku dari tadi?” Pasalnya, arah kedatanganku adalah dari jurang yang sangat dalam tadi. Memang tidak masuk diakal logikaku.

Anehnya lagi, selepas aku melewati batu besar tadi, tubuhku terasa ringan dan normal lagi. Aku duduk, diam, sambil menenangkan diri melihat langit dan memikirkan yang baru saja terjadi.

“Ya Allah.....” berkali-kali aku menyebut Sang Pencipta alam semesta ini. Berharap agar apa yang baru saja menimpaku bukanlah pertanda buruk untukku, atau teman-temanku yang sedang menungguku di atas sana.

Tubuhku mulai dingin, berada di punggungan seperti ini sangat rentan terkena angin yang akan dengan bebas menyapu tubuhku dari segala penjuru.

Saat aku berdiri dan akan melanjutkan perjalanan, akubaru sadar, kalau sekarang, posisiku tidak lagi di jalur pendakian yang benar. Mataku memperhatikan sekitar, mencari jalur pendakian yang benar.

“Ya Allah, kemana aku harus melangkah?” tanyaku dalam hati. Jalur pendakian benar-benar tak terlihat oleh mataku.

Aku merogoh hp lamaku yang dari tadi ku buat memutar lagu. Di layar, menunjukkan jika sudah pukul 21.00 malam.

Aku harus cepat jalan, agar tidak kemalaman. Terlebih lagi, kabut tipis disertai angin mulai datang menyelimuti, mendorongku agar cepat bergerak dari tempat ini agar tidak terserang hipotermia.

Andai, andai di gunung seperti di perkotaan, jika tersesat, dapat langsung membuka google maps dan dengan mudah akan kembali ke jalan yang benar. Ah, sial. Pikiranku mulai berandai-andai.

Perlahan, aku kembali berjalan lagi. Kali ini, langkah yang ku keluarkan adalah langkah dengan keraguan. Karena, aku tidak tau kemana sebenarnya arah langkahku sekarang ini. Hanya 1 doa dan harapanku : semoga aku bisa menyusul Kosim dan Ali dengan keadaan selamat.

Yang aku ingat, aku telah melewati pos 1, dan yang ku ketahui, di Gunung Merapi, semakin ke atas, maka vegetasi akan semakin minim. Jadi, jika aku ke atas, aku bisa sedikit bernavigasi.

Untuk sekarang, tidak ada yang bisa digenggam kecuali keyakinanku sendiri. Aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian dan keyakinanku sendiri yang sudah runtuh sedari tadi. Pelan, tapi pasti.

Begitulah langkahku sekarang. Semak belukar serta beberapa pohon besar menyambut kehadiranku. Tapi, lama-lama, keadaan itu semakin lama berubah seiring langkahku yang semakin naik.

Masih dengan bantuan headlamp di kepala, aku memperhatikan setiap jalan yang ku lewati. Medan tanah, perlahan berubah menjadi pasir dan kerikil. Tersesat sendirian di dalam hutan. Memang malang sekali nasibku ini.

Hingga, tiba-tiba diujung penglihatan, ada sebuah pemandangan yang menyita perhatianku. Berkali-kali aku menajamkan mata dan mengarahkan cahaya headlampku kesana, agar dapat dengan jelas tertangkap oleh kedua mataku.

Namun, sialnya, yang ada disana bukanlah hal yang ku harapkan.

Sesosok makhluk berukuran raksasa berwarna hitam dengan mata merah menyala terlihat dari kejauhan.

Melihat sosok raksasa itu, membuatku ragu untuk melanjutkan langkah lagi.

Apa aku harus kembali mundur? Tidak. Jika mundur, aku akan kembali ke jurang tadi, artinya, tidak ada jalan jika kemnali kesana. Aku berusaha mencari jalan lain selain jalan yang mengarah ke tempat raksasa itu berdiri.

Tapi, sialnya, tidak ada jalan lain selain jalan yang mengarah ke tempat raksasa besar itu berdiri. Kenapa begitu? Hal itu karena posisiku masih berada di punggungan bukit, membuat area di sekitarku masih sempit, dan diapit oleh jurang dalam.

Aku berdiam cukup lama, kakiku gemetar tatkala aku ingin mengangkat kaki dan melanjutkan langkahku.

“Apakah aku akan mati disini? Apakah semuanya akan berakhir disini? Apakah aku akan dikoyak dan menjadi santapan bagi raksasa itu?”

Dalam kemelut rasa takut, aku masih mencoba mencari jalan lain atau sekadar bersembunyi.

Tapi, tidak ada tempat untukku bersembunyi. Jalan satu-satunya pun hanya mengarah ke raksasa itu.

Ya Allah...

“Ya Allah, lindungi hambamu yang teramat sangat lemah dan tidak berdaya ini. Aku hanyalah anak sekolahan bandel yang membohongi kedua orang tuaku hanya demi mendaki ke gunung ini”

Setelah menarik nafas panjang, aku memulai melangkah lagi. Di ujung, raksasa itu sudah menungguku.

Saat semakin dekat, sosok raksasa itu semakin terlihat jelas dengan kedua mataku. Matanya merah menyala dan 2 taring besarnya tumbuh dari dalam mulutnya, seakan haus akan darah dan ingin memangsa apapun yang ada di hadapannya.

Namun, sial. Hanya aku yang ada di hadapannya, dengan jarak tidak lebih dari 15 meter. Dan ada kemungkinan, jika aku tertangkap olehnya, aku akan menjadi santapannya.

Suara raungannya pun semakin jelas terdengar saat langkahku semakin dekat dengan raksasa itu. Kepalaku tertunduk, tak sedikitpun berani menatap ke arah raksasa itu.

“Assalamualakum.... Jika kamu sama-sama makhluk ciptaan Allah SWT, biarkan aku lewat. AKu hanyalah makhluk kecil yang ingin menikmati ciptaan Allah SWT yang megah ini” ucapku dari dalam hati dengan tetap menundukkan kepala.

“Haaaa...haaaa....haaaaa” raksasa itu tiba-tiba tertawa menggelegar, membuat telingaku sakit saat mendengar suaranya. Sontak, sambil jongkok, aku menutup telinga dengan kedua tanganku.

“Tolong.... Tolong..... Saya tidak punya niat jahat di gunung ini. Biarkan saya pergi dari sini” ucapku pelan dengan suara terbata-bata karena ketakutan.

“Haaaa...haaaa....haaaaa......” Dia tertawa. Seakan menertawakan perkataanku tadi.

Entah setan apa yang merasuk ke dalam jiwaku, aku perlahan berdiri lagi sambil memantapkan kaki. Aku mengatur nafas dan membenarkan kaki, sebelum akhirnya, aku berlari tunggang langgang melewati raksasa menyeramkan itu.

Tak peduli medan terjal yang menghadang. Jantungku dipaksa memompa darah lebih ekstra dari biasanya. Udara dingin pun hilang seketika, karena suhu tubuhku yang semakin naik.

“Tolong...... Tolong......” aku berteriak minta tolong, berharap ada seseorang yang mendengar teriakanku.

Raksasa itu mengejarku dari belakang, seperti sedang mengejar santapan malamnya. Walau hanya berjalan, tapi langkahnya yang sangat besar membuatnya cepat mendekatiku.

Jalur yang didominasi oleh batu kerikil dan pasir, membuat langkahku semakin sulit. Aku benar-benar kepayahan disini. Ditambah, kepalaku pusing, nafasku semakin terengah-engah, karena banyak menghabiskan tenaga akibat berlari.

“Huhh.... Huhhh.....”

“Dug... Dug.... Dug.....” Suara nafas dan detak jantungku saling berlomba siapa yang paling cepat keluar.

Hingga, langkahku sampai pada 2 pohon kembar yang tumbuh tinggi saling berhadapan. Pohon kembar yang seperti membentuk sebuah gerbang atau gapura yang teramat sangat besar. Di antara 2 pohon itu, terdapat celah kecil seukuran manusia yang bisa dilewati.

Tubuhku yang berukuran tak begitu besar ini pun dengan mudah melewatinya. Setelah melewati itu, aku terus mendaki. Tapi, sejak dari sini, langkahku melambat, karena tenaga yang sudah terkuras.

“Tolong.... Tolong aku....” Suaraku pun mulai melemas.

Aku melihat ke belakang lagi, ke arah dimana raksasa besar itu mengejarku.
Tapi, kalian tau apa yang aku lihat sekarang?

Raksasa besar itu tidak lagi mengejarku. Pohon kembar tadi menghentikan tubuhnya yang berukuran besar kesini.

Di balik pohon kembar itu, mata merahnya yang menyala diantara kegelapan, dan taring besarnya masih bisa aku lihat dari sini. Benar-benar pemandangan yang tak ingin lagi ku lihat setelah ini, bahkan seumur hidupku lagi.

Beruntung, beruntung sekali nasibku. Aku masih bisa selamat dari cengkeramannya.
Aku memperlambat lagi langkah kecilku ini, setelah memastikan jika raksasa itu tidak lagi mengejarku.

“Alhamdulillah..... Alhamdulillah, Ya Allah. Kau mendengar doaku. Terima kasih, Kau masih memberiku kesempatan agar tetap hidup” ucap syukurku.

Aku memang berhasil bebas dari laki-laki misterius dan raksasa itu. Tapi, dimana sebenarnya aku sekarang? Aku benar-benar putus asa. Persediaan air minumku semakin menipis.

Tenaga ku tinggal sisa. Aku mulai putus asa. Sesekali aku berteriak. Tapi, masih tidak ada yang mendengar suaraku.

Setelah tenagaku perlahan pulih, dan pikiranku tidak lagi kalut seperti tadi. Mataku kembali mencari, mencari kemana arah langkahku setelah ini. Aku berputar-putar sebentar, mencari jalan yang bisa ku lewati.

Hingga akhirnya, aku menemukan sebuah jalan setapak kecil, seperti pernah ada yang melewatinya. Tanpa berpikir banyak, aku berjalan kesana. Cukup lama aku menyusurinya. Hingga, di ujung jalan mataku melihat sebuah area datar yang cukup luas. Aku pun mempercepat langkah.

Berharap ada petunjuk disana. Dan ternyata, firasatku benar. Saat langkahku sampai, disini, di tempat datar yang cukup luas ini, terpasang sebuah penanda bertuliskan “Pos 2”. Akhirnya, aku kembali ke jalur pendakian yang benar.

“Alhamdulillah......” aku kembali berucap syukur. Kali ini sambil menangis. Air mataku tak kuasa menahan setiap air mata yang ingin keluar dari kedua bola mataku.

Terima kasih, terima kasih Tuhan. Engkau telah menuntunku kembali ke jalur pendakian yang benar.

Aku istirahat sebentar, sambil memakan beberapa bekal yang ku bawa. Perjalanan tadi benar-benar membuatku lemas dan kehabisan tenaga.

Setelahnya, aku menatap ke atas. Hanya ada dataran gersang berselimut kabut. Saat ku rasa siap, aku kembali mendaki. Dari sini, harusnya sudah tidak jauh lagi.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close