Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENDAKI DIANTARA DUA DUNIA (Part 2) - Gerbang

Langkahku dicegat oleh keberadaan laki-laki misterius di tengah hutan, lalu memintaku untuk tinggal bersamanya. Tapi...


Jarum jam sudah menunjuk ke angka 5 saat aku mulai melakukan pendakian. Cahaya matahari bernuansa senja pun menyertai awal perjalananku. Senja dan awan, 2 objek yang sangat indah kini tersuguhkan di depan mataku.

Tidak hanya disitu, dari arah berlawanan, gunung Merbabu yang menjulang tinggi pun juga menambah kesan cantik pemandangan di sore hari kala itu.

“Ya Allah... Cantik sekali ciptaan-Mu, semoga, aku selalu Kau beri kesempatan untuk melihat keindahan-keindahan ciptaan-Mu yang lainnya”

Di sela-sela perjalananku yang baru mulai ini, dan senja di sore hari, tiba-tiba pikiranku teringat pada seorang perempuan yang selama ini aku sukai diam-diam. Tari, itulah namanya. Perempuan berwajah manis, yang selalu menyita perhatianku dari kejauhan.

Andai, andai aku berani menyodorkan tangan dan berkenalan dengannya waktu itu, mungkin sekarang aku bisa bercengkerama dengannya, atau bahkan bisa menikmati senja sore hari bersamanya.

Tari... Tari.... Semoga kelak kita bisa seperti Merapi dan Merbabu yang saling bersanding.

Ah... Brutal sekali pikiranku...

Semoga, sepulangnya dari sini, keberanian dan kegagahanku terpupuk tinggi seperti gunung Merapi.

Tak terasa, langkahku tiba di persimpangan jalan. Beberapa warung tampak berdiri di sebuah area yang bertuliskan ‘New Selo’ , beberapa warga dan pendaki yang belum lama turun terlihat santai disana, aku tersenyum melihat mereka, sekadar menyapa.

Tidak jauh dari situ, jalanan aspal perlahan berubah menjadi tanah dan cahaya senja perlahan mulai menghilang. Langkahku tetap santai, aku berpikiran kalau Kosim dan Ali pasti sudah sampai di area camp karena mereka sudah mulai perjalanannya sejak pagi-pagi tadi.

Jadi, percuma saja, mau secepat apa langkahku, tidak akan sampai jika ingin menyusul mereka di jalur pendakian.

Tak seorang pun pendaki yang aku lihat menyertai perjalananku, yang ada hanyalah warga-warga lokal yang lalu lalang, “Mungkin sudah terlalu sore” gumamku

Tiba-tiba, dari atas, muncul laki-laki paruh baya dengan arit ditangan kanannya berjalan ke arahku.

“Mau kemana, Mas? Kok sendirian” tanyanya.

“Mendaki, Pak”

“Sendiri?”

“Iya, teman saya sudah di atas. Saya mau menyusul”

“Lho, kok berani”

Jawabannya seketika membuatku heran, memangnya ada apa jika sendiri?

“Memangnya kenapa, Pak?” tanyaku.

“Rawan, Mas. Hati-hati” ucapnya pelan.

Perkataannya semakin membuatku penasaran.

Aku tersenyum mendengarnya, lalu berkata “iya, Pak. Saya pasti hati-hati”

“Nanti, kalau bertemu sesuatu yang janggal, jangan hiraukan dan tetap jalan saja sesuai dengan tujuanmu”

“Nama bapak siapa?” tanyaku, aku penasaran dengan orang yang menurutku aneh karena tiba-tiba datang dan memberiku petuah seperti ini.

“Saya? Panggil saja Pak Gun”

“Oh ya, dan 1 lagi. Kadang, di atas sering ada pasar, Mas. Jika nanti kamu menemuinya, belilah 1, apa saja, jangan sampai kamu tidak membeli apa-apa dari sana, hitung-hitung membantu mereka”

“Pasar apa to, Pak? Mana ada pasar di hutan?”

Beliau hanya tersenyum. Senyumnya seakan menyimpan arti lain yang aku tidak mengerti.

"Sudah, sudah, kamu lanjutkan saja perjalananmu keburu malam, Mas. Saya pulang dulu, ya, sudah ditunggu istri saya di rumah” ucap Pak Gun sembari meninggalkanku.

Mendengar itu, aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum “Iya, Pak. Maturnuwun”

Walau bingung dengan perkataannya, aku tidak begitu ambil pusing, aku kembali melanjutkan perjalananku.

Cahaya senja lamat-lamat menghilang, berganti dengan gelapnya kelambu malam. Suhu udara pun kian dingin seiring dengan langkahku yang semakin naik. Lama berhenti = kedinginan. Jadi, jika hendak istirahat, aku perhatikan benar-benar agak tidak terlalu lama.

Selain karena dingin, aku malas kalau harus bongkar jaket yang sudah aku kemas rapat di dalam daypacak. Lagi pula, dingin hanya akan terasa saat berdiam diri saja, jika bergerak, suhu tubuh akan meningkat dan tubuh akan kembali hangat.

Suara adzan terdengar dari perkampungan bawah, aku berhenti sebentar sembari minum beberapa tenggakan air putih. Sunyi, itulah yang aku rasakan sekarang. Sendirian di gunung yang baru aku daki pertama kali.

Aku kembali berjalan saat suara adzan selesai berkumandang. Headlamp di kepala, dan alunan music pop yang sengaja aku setel menemani perjalanan malamku.

Tak terasa hampir 1 jam setelah melewati pos 1 aku berjalan. Hingga disini, aku masih sendiri, tidak seorang pun pendaki aku temui.

Tapi, tiba-tiba cahaya headlampku menangkap seseorang tak jauh dari tempatku berdiri. Seorang perempuan dengan style pendaki dengan ransel di punggungnya sedang duduk di tepi jalur pendakian

Aku senang melihatnya, karena artinya aku tidak akan sendirian lagi berjalan. Terlebih lagi, dia perempuan.

Kesempatan, haha.... Naluri laki-lakiku seketika muncul.

Aku mempercepat langkah untuk menghampiri perempuan itu. Semakin dekat, semakin dekat, lalu aku menyapanya.

“Mbak.....” sapaku sambil membentuk senyum di wajahku.

Dia diam. Aku mengulangnya sekali lagi.

“Mbak.....”
Anehnya, lagi-lagi dia masih diam. Perasaanku mulai tidak enak.

“Ini perempuan kenapa?” gumamku dalam hati.

“Mbak, dari mana? Sendiri saja?” aku kembali melontarkan pertanyaan.

Dugaanku benar, dia masih diam.

“Ini suaraku yang kurang kencang, atau si mbak ini yang telinganya bermasalah?”

Aku membenarkan suaraku

“Ekkkhhhmmmm.....Ekkkhhhmmmm”

“Mbak? Sendirian saja disini? Teman-temannya dimana?” ucapku sedikit lantang.

Dia menoleh sedikit ke arahku dengan tatapan tajam misterius. Aku yang melihatnya sontak sedikit memundurkan kepalaku.

“Hehe....” Aku tersenyum kepadanya.

“Dia manis juga” gumamku.

“Sendiri saja, Mbak?”

Dia kembali diam mematung.

“Ah, sial, dia cuek sekali. Mungkin dia merasa terganggu dengan kehadiranku”

“Baru saja mau kenalan. Sudah dicuekin dulu” ucapku kesal dalam hati.

Sadar diri memang jauh lebih baik untuk saat itu. Aku menjauhkan diri dari perempuan itu, lantas duduk sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya.

“Perempuan aneh, diam saja dari tadi apa gak kedinginan? Diajak bicara diam saja. Memangnya tampangku seperti orang jahat?” Gerutuku kesal.

“Apa jangan-jangan?” pikiranku mulai merajalela.

“Ah, tidak, jelas sekali dia manusia, semuanya lengkap dengan seluruh anggota tubuhnya”

“Tapi kenapa tidak bergerak? Apa dia sakit?”

Berbagai spekulasi berperang di dalam otakku, memikirkan siapa dan sedang apa perempuan itu sebenarnya. Suatu hal yang percuma jika aku kesana dan bertanya “Apa kau baik-baik saja?”

“Ah, tidak. Aku jalan saja”

Aku kembali bangun dan mulai berjalan mendaki lagi. Langkah sengaja ku pelankan, sekadar untuk melihat apa sebenarnya yang perempuan itu lakukan seorang diri.

Saat sudah dekat, perasaan janggal mulai menyeruak ke dalam rasa dan pikiranku. Pasalnya, wajah perempuan itu berubah pucat dengan bibirnya yang membiru. Sontak, aku mendekatinya.

“Mbak... Mbak... Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku sambil memegang lengannya. Aku hanya takut jika dia ternyata hipotermia dan terlambat ditangani. Dia diam sambil sedikit menganggukkan kepalanya. Aneh, dia benar-benar perempuan aneh.

“Apa kamu perlu bantuan?” tanyaku lagi. Dia menggeleng.

“Ya sudah, saya duluan, ya. Jaga diri” timpalku.

Setelahnya, dengan rasa curiga dan sedikit cemas, aku kembali berjalan lagi.

“Perempuan aneh” aku terus mengumpatnya dalam hati.

Aku melangkahkan kakiku lagi ke jalan yang sudah didominasi oleh bebatuan dan sesekali kerikil.

Setelah cukup jauh, aku berhenti lagi lalu memutar kepalaku ke belakang. Melihat perempuan aneh di bawah tadi.

“Deggg...” jantungku seperti berhenti berdetak seketika. Pasalnya, perempuan itu tidak ada disana.

“Kemana dia?”

Seharusnya, dari tempat berdiriku sekarang, aku masih dapat melihatnya. Tapi, kenapa dia sudah hilang seketika?

Seharusnya, dari tempat berdiriku sekarang, aku masih dapat melihatnya. Tapi, kenapa dia sudah hilang seketika?

“Jangan-jangan, dia beneran setan? Ah, sudahlah” rasa takut tiba-tiba datang menyelimutiku.

“Dia tak lebih seperti pemuda-pemuda sekarang yang datang hanya karena penasaran. Setelah terjawab, mereka akan menghilang tiba-tiba. Ironis”

Aku berusaha menepis segala ketakutan yang hinggap dipikiranku. Kembali ku langkahkahkan kakiku, berharap cepat sampai dan pertemu Kosim dan Ali di atas.

Suara musik yang sejak tadi aku putar masih senantiasa mengiringi perjalananku. Walau dengan suara pelan, sudah cukup menemani langkahku yang hanya sendirian ini.

Kebetulan saat itu sedang berputar lagu Dewa-19, Munajat Cinta. Sambil berjalan, mulutku komat-kamit mengikuti lagu yang sedang berputar.

“Tuhan, kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati.... Yang mencintai aku apa adanya” begitulah liriknya, sangat relate dengan doa pengharapanku kepada Tuhan pemilik alam semesta ini.

Sura burung beterbangan tiba-tiba muncul dari kejauhan. Hanya terdengar suaranya saja. Mungkin burungnya ada di lembahan sana.

Beruntung, rasa janggal dan takut yang sempat muncul tadi tersingkirkan oleh musik-musik dari hp lawasku. Beruntung, aku membawanya kala itu. Entah sudah berapa lama dan berapa langkah yang ku habiskan malam itu.

Tidak ada pemandangan, hanya ada kabut tipis yang menemani perjalananku kala itu.

Hingga, tiba-tiba pandanganku tersita oleh sesuatu di depanku. Sebuah gubuk layaknya gubuk sawah milik petani- petani desa tiba-tiba muncul di depanku. Aku menghentikan langkahku, sejenak diam lalu memperhatikan.

“Ada gubuk disini? Milik siapa?” tanyaku. Karena baru kali ini aku melihat gubuk begini di jalur pendakian.

Kabut tipis agak menghalangi penglihatanku. Karenanya, aku berjalan mendekat, berharap bisa melihat gubuk itu dengan jelas.

Saat semakin dekat, jantungku tiba- tiba berdetak semakin kencang seperti genderang mau perang. Bukan, bukan karena lagu dewa-19 yang ku putar, tapi memang jantungku berdetak kencang karena ada seorang laki-laki yang ku lihat sedang duduk bersila di atas gubuk itu.

Saat menyadari keberadaannya, reflek, kakiku terhenti, rasa takut kembali datang dan menahan kakiku untuk melangkah ke atas. Rasaku bergejolak, berpikir sampai kapan aku diam seperti ini.

“Apa dia manusia sepertiku?” aku melihatnya dengan teliti. Seluruh badannya lengkap sepertiku. Satu hal yang beda, pakaian yang ia kenakan adalah pakaian adat jawa berwarna serba hitam.

“Sial, siapakah dia? Kenapa penampilannya tidak biasa” berbagai pertanyaan berkecamuk dipikiranku.
Tubuhku mulai kedinginan karena hanya diam diantara kabut yang datang.

Tidak hanya kabut yang menyelimuti tubuhku, tapi, juga keraguan. Keraguan apakah aku harus kembali turun, atau terus mendaki. Jika turun, langkahku sudah sejauh ini, dan kedua temanku sudah menungguku di atas sana.

Jika naik, kenapa rasa takut menahanku untuk melangkah lebih jauh lagi. Aku benar-benar bingung, tapi, aku kudu berpikir cepat mengenai apa yang harus ku lakukan.

Setelah berpikir cepat dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, aku memutuskan kembali melangkah.

“Bismillah... Tidak akan terjadi apa-apa. Aku berani” ku mantapkan hatiku sambil menghentakkan kakiku 3 kali di atas tanah. Sudah kebiasaanku demikian, jadi, jangan ditanya apa arti menghentakkan kaki 3 kali di atas tanah.

Tak sedikitpun mataku berani melirik ke arahnya. Aku hanya membungkukkan tubuhku tatkala melewatinya, sebagai unggah-ungguh orang Jawa saat melewati orang yang lebih tua.

Tapi, tiba-tiba...

“Leee......”

“Mau kemana? Dari mana datangmu? Mau apa kamu disini?”

Sebuah suara tiba-tiba muncul di telingaku. Suara yang tidak begitu keras tapi terdengar sangat bijaksana. Aku yang mendengarnya pun sontak berhenti lalu menolehkan kepalaku.

Bulu kudukku seketika berdiri. Ternyata benar, suara itu berasal dari laki-laki itu.

“E.... ee......” rasa takut membuatku bingung harus mengatakan apa. Rasanya, aku ingin segera berlari dari tempat ini.

Tapi, dia bertanya lagi denganku dengan suara lantang.

“Lee... Apa kamu tidak mendengar perkataanku? Kemarilah”

Keringat dingin berjatuhan dibalik kaosku, saking takutnya, bahkan aku bisa merasakan tetesan demi tetesan keringat yang mengalir di tubuhku.

Tubuhku masih mematung, bingung, antara kabur dari tempat ini, atau mendekat ke gubuk dimana ada laki-laki misterius itu. Laki-laki itu sepertinya sedang memperhatikan dan menatapku dengan tatapan mata yang sangat tajam.

Ya Allah, lindungi aku.... Aku hanya sendirian.... Masa depanku masih Panjang.... Siapa laki-laki itu, Ya Allah.....

Lagi-lagi laki-laki itu menyentakku, menyuruhku menghampirinya.

Aku menarik nafas panjang, lalu ku keluarkan perlahan. Setelahnya, dengan keberanian yang hampir tidak ada, aku berjalan ke arah laki-laki itu dengan kepala tertunduk. Mataku sama sekali tidak berani menatap ke arahnya.

Saat sudah dangat dekat dengan gubuk dimana dia duduk diatasnya, dia kembali menanyakan hal yang sama.

“Mau kemana? Dari mana datangmu? Ada perlu apa kamu kesini?”

“Sa.... Sa.... Saya hendak mendaki....” Jawabku dengan suara terbata-bata karena sangat ketakutan.

Dia tertawa mendengar perkataanku. Tawanya menggelegar mengisi keheningan malam itu.

“Ba....Bapak siapa, ya, kalau saya boleh tau?”

“Kamu, kamu berani tanya begitu kepadaku? Hahaha” jawabnya sambil tertawa.

“Kamu tidak perlu tau-menau siapa aku. Merapi, adalah rumahku. Burung-burung yang sejak tadi kau dengar itu semuanya adalah bangsaku”

“Kamu, kalau berani macam-macam disini. Habis kamu”

Perkataannya membuatku mati berdiri. Aku bingung harus apa setelah ini. Apa dia akan menculikku? Atau, atau....
Segala macam doa ku panjatkan, memohon perlindungan kepada Tuhan pemilik alam semesta ini.

Entah mengapa rasa penasaranku datang, penasaran dengan laki-laki yang dari tadi hanya duduk bersila di atas gubuk itu. Pelan-pelan, aku tegakkan kepalaku, lalu menatap jeli ke arah laki-laki itu. Tapi, sialnya, saat mataku sampai di wajahnya, laki-laki itu sedang tajam menatapku

“Apa? Sekarang kamu mau apa?” tanyanya.
Aku kembali menundukkan kepalaku. Satu hal yang dapat ku lihat dalam waktu singkat tadi. Laki-laki itu seperti laki-laki berusia 40an dengan wajah seperti manusia pada umumnya. Jauh dari bentuk hantu yang sering aku lihat di layer kaca TV.

“Kamu disini saja ikut denganku. Ya?”

“Tidak... Saya mau menyusul teman saya di atas... Biarkan saya berjalan mendaki lagi. Tolong...” ucapku memohon kepadanya

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close