Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

POCONG JALAN SUKRI

"Ayo Pah cepetan kita bawa Yini ke Bu Ariyah," sahut istriku mengajakku membawa Yeni putri bungsuku ke rumah seorang Bidan.

Hujan yang menggericik mengguyur malam Jum'at 11 Januari 1994, memaksa ku harus berjalan menggendong si kecil untuk diperiksa, karena demam yang sangat panas.

Namaku Bobi, Istriku Dea seorang guru Honor di SD, Putriku Yini 4 tahun dan Silvi 14 tahun, kejadian ini ku ingat karena bertepatan dengan pernikahan idolaku Armand Maulana.

Semua berawal ketika aku menghuni rumah baru, yang ku beli dari seorang yang pindah rumah, lokasinya terletak di ujung Jalan Sukri, atau jalan setapak menuju kampung mertuaku.

Aku dan keluarga memutuskan pindah dengan alasan supaya lebih dekat ke jalan raya dan tak terlalu jauh ke pusat keramaian.

Sebelumnya rumah ini dimiliki seorang penjual burung yang pindah ke Kota Cimahi, rumah ini sempat kosong selama 4 tahun, adapun yang mengisi hanya orang yang mengontrak saja, tidak lama, hanya 1 atau paling lama 2 bulan saja.

Dari luar tampak sangat kotor, mungkin karena memang tidak ada yang ngurus, terutama di bagian teras, begitu banyaknya daun-daun berserakan dari pohon beringin yang ada di samping halaman, tambah di samping rumah ada pabrik pembakaran bata merah.

Istriku dan anak-anak tidak setuju pindah ke rumah ini, namun daripada tinggal ngontrak terus-terusan mungkin lebih baik ku beli saja rumah dengan harga murah.

Setidaknya aku punya bangunan, kalau nanti aku punya rezeki lebih untuk membeli yang lebih baik, mungkin rumah ini bisa ku wariskan untuk anak-anak ku.

Ku bersihkan semuanya, dari halaman depan yang penuh dengan ilalang, dan semua ruangan yang sudah berdebu.

Satu bulan kami tinggal di rumah itu tidak ada kejanggalan apapun, apalagi cerita-cerita horor seperti yang diceritakan masyarakat, hingga tepat malam tahun baru, aku dan anak-anak nginap di rumah mertuaku.

Setelah beberapa waktu menginap, aku mendengar berita kecelakaan, rombongan pemuda kampung seberang yang akan merayakan malam tahun baru di Pelabuhan Ratu, dengan naas mobil yang mereka naiki masuk ke jurang, bahkan diantaranya ada beberapa yang menjadi korban jiwa.

Kabar itu kudapat seminggu setelah tahun baru, tepatnya dari Mang Barna tukang ojek yang kutemui di tempat penggilingan kopi di Tanjakan Ibot.

Setelah tragedi itu, suasana malam menjadi sangat sepi, seolah masyarakat tidak berani keluar rumah setelah Adzan Maghrib.

Tepatnya pada Kamis malam, anakku Yini demam, pikir ku mungkin karena kecapean bermain dengan temannya hingga hampir larut Maghrib.

Sudah di kompres, namun demam nya tidak kunjung turun, Dokter yang paling dekat hanya Dokter Amin, itupun jaraknya sekitar 1 Km di kampung sebelah.

Aku coba menyuruh Silvi anak ku yang yang pertama untuk beli obat ke warung kelontong didekat rumah, hampir semua warung tidak ada yang buka dan suasana di luar rumah pun sangat sepi.

Akhirnya aku dan Dea memaksakan diri untuk pergi membawa Yini ke Bu Bidan Ariyah, meskipun hujan masih gerimis.

"Bu bidannya sedang tidak ada di rumah," kata Bah Wawan tetangga Bu Bidan.

Kulanjutkan menggendong Yini ke Dokter Amin dan Dea menenteng payung sambil memegang senter menerangi jalan, karena jalan masih sangat basah setelah hujan reda.

Sesampainya di rumah Pa Dokter, Yini pun diperiksa, dan kami pun bergegas pulang, takut hujan turun lagi, karena waktu menunjukan semakin malam.

Angin berhembus kencang, jalanan pun sepi, tibalah kami di pertigaan Jalan sukri, aku melihat ada seseorang yang sedang berdiri di tepi jalan, seperti sedang kebingungan.

Kulihat dari jauh pria itu seperti mencari sesuatu di sekitar tempat dia berdiri, dia memakai baju dan celana berwarna putih.

"Punten!" Sahutku.

Pria itu tidak menjawab hanya menunduk dan mondar mandir seperti bingung, aku penasaran dan kembali bertanya.

"Nyari apa kang?"

Dia hanya diam membelakangi ku dan membalikan badan perlahan, Dea sudah jalan lebih dulu sekitar 6 meter ke arah rumah.

"Ayo pah, Papah ngobrol sama siapa?" Kata istri ku.

"Ini si akang ini" jawabku sambil membetulkan gendongan Yini, kebetulan Yini sudah tidur pulas.

Dea kembali bertanya lagi "Si akang siapa Ari papah?" Seakan heran Dea bertanya.

"Ini si akang, , , ," kujawab sambil menghadap ke arah pria itu dan ketika aku membalikan badan ternyata, dia memperlihatkan 2 buah bola matanya sendiri yang berlumur darah, pakaian putih yang dikenakannya juga berubah menjadi berlumuran darah dan dia mengucapkan.

"Ini bola mata ku terjatuh, ha ha ha ha," suaranya sangat menakutkan.

"Whaaaaaa," serontak aku berlari mengejar Dea.

"Ada apa pah?" Tanya Dea seperti tidak melihat apapun.

"Ayo lari mah!" ku tarik tangan Dea.

Dengan sekuat tenaga aku berlari
Sambil membaca doa, Dea dibelakangku ikut berlari tanpa menoleh kebelakang, sampailah kami di depan puskesmas, kami berhenti.

"Kenapa pah ngajak lari?" Tanya istri ku

Kujelaskan apa yang ku lihat, namun Dea hanya terheran, karena katanya dia tidak melihat siapapun di pertigaan, hanya melihat aku ngobrol sendirian.

Karena terlalu malam, kami lanjut berjalan, tepat di turunan tiba-tiba Dea bergeser ke sebelah kiri dan berjalan melambat.

"Ada apa mah?" Tanya ku

"Papa di depan, mamah takut papa ketinggalan lagi!" jawabnya sambil memegang lengan baju ku seperti ketakutan.

Kami berjalan terus, melewati rindangnya pohon bambu itu, disebelah kanan jalan adalah hamparan kebun dan Makam yang sangat luas, senter yang di pegang Dea cahayanya semakin kecil, hingga ditengah turunan senter itu mati.

"Yah batre nya abis pah," kata Dea.

"Ya udah bentar lagi juga nyampe, ayo cepetan aja jalannya,"

Kami berjalan sambil menunduk karena memilih jalan, takutnya terpeleset, karena jalan itu masih hanya bebatuan tanpa aspal.

Kurang lebih 200 meter lagi menuju rumah, kami berpapasan dengan 4 orang pria, yang berlawanan arah, mereka memakai baju putih celana putih seperti pria yang kutemui tadi, dengan wajah menunduk seperti memilih jalan, aku mengenal mereka kalo tidak salah mereka dari kampung seberang.

Semakin dekat kami berhadapan dengan ke empat pria yang berlawanan arah tersebut, dari sekitar kurang lebih 10 meter, tiba-tiba tercium bau seperti darah yang masih segar dan membuat pusing kalo tercium bau nya, dari situ kami pun berjalan tegak, karena takut nya berpapasan dengan orang yang kami kenal.

Semakin berdekatan jarak kami, ke empat pria tersebut jalan nya hanya menunduk, dan bau darah itu semakin menyengat.

Ketika berpapasan, istri ku tiba-tiba berjalan semakin cepat, seolah dia pura-pura tidak melihat ke empat pria tersebut.

Namun ketika aku yang berpapasan, tiba-tiba anakku Yini mempererat pelukannya dan membuang muka berbalik arah seperti ketakutan, dia menangis dan teriak.

"Mamaaaaaaaa, takuuuuuuut,"

Aku pun kaget dan Membalikan Yeni menjadi di depan

"Ada apa Yank?" Tanya ku pada Yini sambil ku peluk erat.

"Papaaaaaa,, Yini takuuuuuuut!" Yini menangis dan menunjuk ke arah belakang yang mana ke 4 pria tersebut sudah berpapasan dengan kami.

"Takut apa Yank?" Ku elus-elus sambil jalan sedikit di percepat.

"Itu papaaaaaah, ituuuuuu" Yini menunjuk sambil menangis ketakutan.

"Ituuuuu dibelakang Papa, huaaaa huaaaa huaaaa" Yini menutup muka dengan satu tangan dan menunjuk ke arah belakang, istriku menoleh ke belakangku.

"Papah larii," teriak Dea sambil berjalan mundur dan berlari.

"Astagfirulloh!" Ku lihat dengan ujung mata.

"Astagfirullah, ya Allah, Astagfirullah, ya Alloh," terus ku ulang, Yini menangis sampai rumah, tetangga ku yang hanya 2 rumah pada keluar menghampiri.

"Ada apa a?" Tanya mertua ku, yang datang setelah kami berangkat ke tadi.

"Abaaaaah, Yini takuuuuut," sambil menangis Yini langsung turun dari pelukan ku dan lari ke pelukan Kakeknya.

"Ada apah a? Ko pada lari?" tanya tetanggaku.

Kuceritakan apa yang kulihat, ketika aku melirik ke 4 pria yang berpapasan tadi dengan ujung mata, ternyata mereka berubah menjadi 2X lebih tinggi dari manusia biasa, baju dan celana nya yang tadinya putih, berubah menjadi seperti penuh dengan darah segar dan tanah merah yang basah.

"Astagfirullohaladim," mertua ku kaget seakan marah karena aku meninggalkan Silvi sendirian dirumah, "Makanya a, jangan bepergian malam Jum'at Kliwon!" kata mertuaku "Ini lagi Si Teteh ditinggalin sendiri di rumah, gimana kalo ada apa-apa,"

"Disini tuh pintu masuk ke Astana (Kuburan yang luas), jadi kalo malem Jum'at kebanyakan orang pada gak berani keluar, apalagi semenjak ada tragedi Tahun baru itu," sahut tetanggaku yang datang.

Sejak kejadian itu, setiap malam Jum'at, kami tidak berani keluar rumah, namun setelah berselang satu tahun aku memutuskan untuk membeli rumah yang lebih dekat ke jalan raya, harapan ku agar semakin dekat dengan pusat keramaian.

Hingga kini kami masih menetap di daerah Citalem tidak jauh dari Jalan Sukri.

Alhamdulillah, Cerita Pocong Jalan Sukri itu hanya cerita rakyat lama, yang mana di masa sekarang sudah tidak terlalu di hiraukan lagi, bahkan cerita nya pun sudah banyak yang tidak tahu.


KISAH MISTERI BERDASARKAN KISAH NYATA
-------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~
close