Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PANTAI TRISIK 1990 (Part 4) - Diambang Kematian


Hanya beberapa menit menjelang jam 1 siang rombongan penduduk padukuhan Banaran yang dipimpin oleh Mas Dukuh Joko, Mbah Kaji, beberapa polisi bersama TIM SAR sampai di tempat kejadian. Satu tandu digotong cepat ke arah sebuah ambulan. Di atas tandu tergolek tubuh Djarot yang tampak tidak bergerak. Baju yang dikenakan masih utuh, hanya keningnya tampak luka dan ada darah mengering disana. Semua orang yang ada di sana serta merta berusaha mendekati. Mbok Narti berteriak histeris memanggil nama anaknya.

"Djarot, Djarot.. jangan mati nak. Jangan tinggalkan simbok."

Mbok Narti menangis histeris sehingga ditenangkan oleh beberapa penduduk padukuhan Banaran. Sesaat setelah ambulan yang membawa meninggalkan tempat itu dengan kawalan dua mobil polisi dan beberapa perwakilan dari TIM SAR, seorang lelaki berjaket loreng mendatangi para penduduk Banaran yang masih berkerumun disitu. Dia adalah Letnan Kolonel Polisi Dharmo Atmojo. Disampingnya mengikuti Mas Dukuh Joko, Mbah Kaji dan dua anggota dari TIM SAR yang masih tinggal.

"Pak Polisi bagaimana anak saya?"

Perwira Menengah dari Polsek Galur itu mengangkat tangan kanannya.

"Ibu saya tahu dan paham kekhawatiran ibu kepada anak ibu, akan tetapi kami harus bertindak cepat. Anak ibu berada dalam keadaan sangat kritis. Saat ini anak ibu dilarikan ke Rumah Sakit terdekat disini untuk mendapatkan pertolongan pertama. Setelah itu jika diperlukan dan keadaan mengijinkan direncanakan dipindah ke Rumah Sakit yang lebih besar dan memadai. Semua harap sabar dan tenang. Walau sangat kritis tapi mudah-mudahan nyawanya masih dalam lindungan Yang Maha Kuasa..."

Isak tangis dan jerit histeris Mbok Narti kembali pecah.

Pagi itu ketika Mas Dukuh Joko datang, Mbok Narti tengah mengompres kening anaknya dengan sehelai handuk yang dibasahi air es dari dalam rantang. Saat itu memang belum jam kunjungan, namun para jururawat memberi banyak kebebasan pada penduduk padukuhan Banaran yang akan menjenguk Djarot.

Di luar kamar Mas Dukuh Joko bertemu dengan Mbah Mangun dan Soma. Dekat pintu kamar kelihatan Noto dan Daldiri. Mereka berdua masih saudara jauh dari Mbok Narti. Prastowo duduk terkantuk-kantuk di salah satu sudut. Tadi malam teman masa kanak-kanak Djarot ini ikut bergadang bersama teman-temannya menunggu Djarot.

Di atas ranjang Djarot kelihatan seperti tidur nyenyak. Jarum infus menancap di tangan kirinya yang tampak agak bengkak kebiruan.
Mas Dukuh Joko ngobrol sebentar dengan Mbah Mangun, Noto dan Daldiri serta Soma.
Lalu melayangkan senyum pada Prastowo lalu masuk ke dalam kamar.

"Bagaimana keadaan Djarot, Mbok?" tanya Mas Dukuh Joko dengan suara perlahan sambil berdiri di samping Mbok Narti.

"Panasnya nggak turun-turun. Tadi malam Djarot kejang-kejang lagi. Mengigau, ngomong sendirian. Tidak jelas apa yang diucapkan."

"Dokter bilang apa Mbok?" tanya Mas Dukuh Joko.

"Dokter Ernawan tadi malam bicara sama Simbok. Katanya dari hasil pemeriksaan darah, nggak ada tanda-tanda Djarot terserang gejala thypus atau demam berdarah. Di badannya ada luka di jidat dan memar di tengkuk seperti luka pukulan benda tumpul, sudah diperiksa dan nggak ada infeksi. Tapi heran mengapa panasnya tinggi terus. Yang bikin saya khawatir igauannya itu. Suaranya yang bisa berubah menjadi parau menyeramkan. Lalu bilang jangan bunuh aku Gusti Ratu jangan bunuh aku... Sudah dua malam dia begini terus. Jangankan sadar atau ngomong, buka mata saja tidak."

Tidak terasa air mata mengucur jatuh ke pipi. Mbok Narti cepat menyeka wajahnya yang mulai keriput dengan ujung lengan panjang pakaiannya.

"Simbok pikir-pikir, bagaimana kalau Djarot dipindahkan saja ke rumah sakit lain di kodya Jogjakarta RSUD Sardjito misalnya. Tapi itu terlalu jauh Simbok mau ikhtiar yang lain. Tapi nggak tau mau ikhtiar apa?"

Mbok Narti memasukkan handuk kecil ke dalam rantang berisi es.

Mas Dukuh Joko mendekat seraya berkata.

"Mari Mbok, biar saya yang bantu ngompres. Simbok pasti capek. Duduk saja..."

"Simbok sudah nggak mikirin capek atau ngantuk atau lapar. Simbok ingin Djarot cepat-cepat ketahuan apa penyakitnya. Bisa sadar dan sehat seperti semula."

"Djarot pasti sembuh Mbok. Mari saya bantu..."

Mas Dukuh Joko mengambil handuk kecil dari dalam rantang, memerasnya lalu meletakannya di atas kening Djarot

"Gusti Ratu.... Jangan Gusti Ratu.... Saya nggak mau. Jangan Gusti Ratu..."

Tiba-tiba Djarot mengeluarkan ucapan. Lalu suara pemuda itu berubah parau menggidikkan. Tapi tak jelas apa yang diucapkannya. Mas Dukuh Joko sampai tergaga dalam kejutnya. Termos di atas meja kecil di samping tempat tidur hampir terjatuh terlanggar sikutnya. Untung masih sempat dipegang oleh Mbok Narti.

Sesaat pucat wajah Mas Dukuh Joko. Kalau tidak mendengar sendiri rasanya tadi dia kurang percaya akan ucapan Mbok Narti. Setelah agak tenang, Mas Dukuh Joko kembali mengompreskan handuk kecil ke kening Djarot.

"Mbok, hal-hal seperti ini mungkin Bapak bisa sedikit membantu. Akan tetapi sejak kejadian dua minggu yang lalu. Kecelakaan Lik Kasto, Djarot, Tomo, Karjo dan Pangat Bapak lebih sering bersemadi di sanggar pamujan (ruangan kecil khusus untuk berdoa orang jaman dahulu). Terakhir keluar kemarin pas tubuh Djarot ditemukan terdampar di Pandan Segegek. Sepulang dari Pandan Segegek Bapak langsung lagi masuk ke sanggar pamujan. Sampai hari ini pun Bapak belum keluar."

"Mungkin Mbah Kaji sedang wirid Mas, sedang berdoa pada Gusti Allah agar penduduk padukuhan Banaran terhindar dari hal-hal yang tidak diingankan"

Mbok Narti menimpali.

***

Hujan lebat menggebrak bumi. Guntur menggelegar berkepanjangan. Kilat sambar menyambar. Bumi Tuhan seperti hendak kiamat. Saat itu lepas tengah malam. Jarum jam di tengah ruangan tempat Djarot dirawat nampak menunjukkan pukul 12.30 tengah malam. Mbok Narti terkantuk-kantuk, kepalanya sesekali jatuh terkulai kebawah karena kantuk yang mendera. Kelopak matanya serasa dilem dengan getah nangka sangat berat untuk dibuka.

Di langit di arah selatan tiba-tiba tampak satu titik terang, bergerak cepat, membentuk ekor panjang dan meluncur cepat membelah derasnya hujan menuju ke arah tenggara di mana letak Rumah Sakit yang merawat Djarot berada. Tiga ribu tombak... dua ribu tombak... seribu tombak... lima ratus tombak... tiga ratus, seratus.... sepuluh.., satu tombak! Sinar terang putih menyilaukan itu berputar-putar tepat di atas atap ruangan Djarot. Lalu perlahan-lahan menerobos dari sela-sela ventilasi masuk ke ruangan Djarot. Lalu lenyap diikuti aspa tipis yang lama-lama membentuk sesosok tubuh manusia.

***

Siapakah sesosok tubuh manusia jelmaan dari sinar terang putih tersebut?
Apakah jelmaan dari penguasa laut selatan yang sengaja menjemput Djarot?

BERSAMBUNG
close