Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA (Part 8) - Kesalahan


Kesalahan

Farah Memalingkan kepalanya, ia tidak bisa melihat sorot mata ketakutan di wajah sahabatnya itu. Tetapi mau tidak mau ia harus menyelesaikan semuanya.

“Rampungke nduk” (Selesaikan, nduk) ucap Nyi Sari yang sudah berdiri di sampingnya.

Farah menoleh ke arah dedemit perempuan itu, menggangguk dan mulai berjalan ke arah para pemanggul keranda.

Saat melihat wajah pucat mereka, bulu kuduknya berdiri dengan hebat. Ada aura mencekam dari orang-orang itu. Para dedemit itu tidak bergerak, hanya berdiri mematung melihat ke arahnya dan Ayu. Siap menunggu untuk membawa jiwa salah satu dari mereka.

Kemudian, salah satu laki-laki yang membawa golok tersenyum menyeringai. Bibirnya tertarik ke atas hingga ujung telinga.

“Pilih! Koe opo bocah kae” (Pilih, kamu apa anak itu) ucapnya tanpa menggerakkan bibirnya sesentipun.

Farah memejamkan matanya. Seketika suasana berubah menjadi lebih mencekam. Hujan langsung berhenti, suara gemuruh angin menghilang. Kesunyian datang seloah menekan seluruh indra dan batinnya.

Melihat apa yang tengah dilakukan Farah, Ayu menggelengkan kepalanya dengan kuat. Ia tidak mau mati di tempat ini. Memandang panik ke segala arah, berusaha untuk mencari jalan keluar. Hingga dia menyadari sesuatu.

Segera Ayu memejamkan mata dan membisikan sesuatu yang hanya bisa di dengar olehnya. Berharap cara ini bisa membuatnya selamat dari kematian.

“Kalau kamu membunuh ku sekarang, ku pastikan jiwa suami dan ibumu tidak akan pernah bisa kembali” ucap Ayu.

Farah menoleh, ia lupa bahwa saat ini Angga masih dalam pengaruh ilmu hitam yang diberikan oleh dukun perempuan itu kepada Ayu.

“Aku tidak peduli lagi Yu” ucap Farah.

Tetapi tepat saat Farah selesai berucap, ia kembali mendengar suara teriakan dan lolongan dan desisan aneh yang bercampur dengan teriakan dari arah gubuk. Sontak ia langsung memalingkan kepalanya.

“Bajingan” umpat Farah saat menyadari Ibunya sedang ada dalam bahaya. Tanpa aba-aba ia langsung memukulkan kepalan tangannya ke arah pipi sahabatnya itu.

Buggg... Ayu terpuruk ke lantai, napasnya tersenggal-senggal. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang robek.

Tanpa ampun Farah kembali menarik wanita itu membuatnya berdiri. “Apa yang kau lakukan Bajingan, tidak kah cukup malapetaka yang kau timbulkan, HA?” bentak Farah keras sambil menggoncangkan tubuh Ayu yang sudah lemas.

“Bunuh Far, Bunuh. Maka pocong-pocong itu akan merasuki Angga dan mengoyak ibumu layaknya daging cincang” ujar Ayu lemah, dengan senyum memuakkan.

Jengkel, Farah langsung mendorong keras tubuh Ayu. Suara teriakan Bu Nur kembali menggema. Panik, Farah menoleh ke arah Nyi Sari, mencoba meminta bantuan. Tetapi sepertinya dedemit wanita itu tidak memperdulikan permintaannya.

“Nyi Tolong” kata Farah

“Selesaikan nduk, kamu atau dia” kata Nyi Sari tanpa membuka mulutnya sama sekali.

Farah kebingungan, jika dia menyerahkan jiwa Ayu lantas bagaimana dengan Ibu dan suaminya?

“Pilih, koe opo bocah kae” (pilih, kamu ada anak itu) ucap salah satu pemanggul keranda.

Farah menatap ke arah Nyi Sari, kemudian berpaling ke arah pemanggul keranda, lalu memalingkan kepalanya ke arah Ayu dan terakhir ke arah gubuk.

“Siaaal” ucap Farah, ia langsung berjalan menuju ke arah gubuk. Seketika sosok Nyi Sari lenyap dari pandangan. Farah sudah mengingkari perjanjiannya. Sedang Ayu tersenyum penuh kemenangan.

Tergesa-gesa, Farah segera masuk ke dalam gubuk. Kini Ia melihat Angga tengah berdiri tidak jauh dari Bu Nur. Tangan kanannya memegang belati yang sudah berlumuran darah.

Farah menjerit sekeras mungkin, kesakitan menjalari tubuhnya. Air matanya tumpah, membasahi pipinya. Pandangannya mengabur saat melihat ibunya yang sudah terkapar dengan beberapa luka tusukan di tubuhnya. Darah menggenang di sekitar tubuh renta itu.

“Jahanam kau Ayu” teriak Farah kencang. Ia kelimpungan, berjalan ke arah tubuh Ibunya.

“Nduk” ucap Bu Nur lirih

“Bu” ucap Farah parau,

“Maafkan Ibu, Far” ucap Bu Nur. lalu seketika tubuhnya melemas, sorot matanya menghilang. Menyisakan kekosongan disana.

Tangis Farah semakin menjadi saat melihat wajah Ibunya yang menyiratkan kesakitan luar biasa. Ia mengerang, seolah dunia sudah runtuh. Orang yang dikasihinya, yang selalu membantunya, tumpuan hidupnya. Mati di tangan suaminya sendiri.

“Farah” ucap Angga

Farah menoleh ke arah Angga. Terlihat laki-laki itu masih berdiri mematung dengan tatapan kosong. Kemudian tangannya bergerak, mengangkat belati yang sedang ia pegang.

Sesaat Farah mengira bahwa Angga juga akan membunuhnya. Tetapi, ia sepertinya keliru. Nyatanya suaminya itu justru mengarahkan mata pisau yang ia pegang ke arah dadanya.

Farah hanya punya waktu sepersekian detik untuk memutuskan. Tanpa membuang-buang waktu, segera ia melompat ke arah Angga.

Bugg... tubuh keduanya terjatuh ke lantai tanah, “Sadar Mas, sadar” ucap Farah, sambil menampar pipi Angga sekuat tenaga berharap suaminya segera tersadar.

Namun percuma, seolah jiwa Angga sudah terbelenggu dalam kegelapan. Ia tidak merespon apapun yang dilakukan oleh Farah. Justru malah sekarang ia mendorong istrinya hingga terpuruk ke lantai.

Angga mengerjab, ia langsung berdiri menuju ke arah Farah. Laki-laki itu mangangkat tangannya dan menghantamkan pukulannya tepat ke arah wajah Farah.

“Dimana istriku, wanita jalang” ucap Angga melotot, air liurnya berhamburan. Ia mengira bahwa sosok Farah adalah Ayu.

“Dimana istriku, jawab!!!” ucap Angga sekali lagi.

“Mas, aku Farah” kata Farah

“Dimana istriku?” tannya Angga sekali lagi sambil menghujamkan pukulannya ke arah Farah.

Napas Farah sudah tersenggal-senggal. Energinya habis. Ia sudah tidak punya tenaga lagi, bahkan saat melihat laki-laki itu kembali berdiri dan mengambil belati yang terlempar tidak jauh dari tempat mereka ia hanya bisa mengerang lemah sambil menyebut nama Angga berulang kali.

“Mas, tolong. Sadar” kata Farah mencoba kembali menyadarkan Angga. Saat suaminya kembali berjalan ke arahnya.

Tidak menggubris ucapan istrinya yang tengah terisak menahan rasa sakit di tubuh dan hatinya. Angga terus berjalan, dengan tangan menggenggam belati dengan kuat.

Farah mencoba untuk berdiri, menjauh dari Angga yang tengah dirasuki oleh dedemit peliharaan Ayu. Kini jarak mereka hanya tinggal selangkah.

Farah sudah pasrah, jika ini adalah akhir hidupnya setidaknya ia sudah berusaha untuk tetap menjadi istri yang berusaha menyelamatkan suaminya dari godaan setan terkutuk.

“Terima kasih Mas” ucap Farah saat melihat tangan Angga sudah bergerak.

Kemudian tanpa Farah duga...

Jleeeb... Mata Farah membulat. Teriakan tanpa suara keluar dari mulutnya. Saat melihat Angga menghujamkan mata belati itu tepat ke arah jantungnya.

Angga terjatuh ke lantai, darah segar keluar membasahi kaos putihnya. Mulutnya mengeluarkan darah, tubunya tersenggal-senggal. Suara dengkur keluar dari mulutnya.

“Mas” ucap Farah mengangkak mendekati Angga.

Angga menatap Farah sesaat, kemudian tubuhnya mengejang dan melemas.

Farah menangis sejadi-jadinya. Tangannya terus memukul-mukul tubuh Angga. “Bangun mas, bangun” ucapnya.

Sementara itu...

Tanpa Farah ketahui, ada seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu. Mulutnya komat kamit, Memperhatikan semua kejadian di dalam gubuk tersebut.

Wanita itu juga mengeluarkan tangis tanpa suara. Hatinya terasa sakit sekali, ia tidak berniat untuk membunuh Angga dan Bu Nur.

Sejatinya mereka hanya umpan agar Farah mau bertemu dengannya. Tetapi dengan semua kejadian ini jauh lebih baik untuk menyingkirkan mereka semua.

Dengan berat hati Ayu memejamkan matanya, meminta dedemit pemberian Mbah Wongso untuk melakukan tugas yang semestinya mereka lakukan. Seketika riuh lolongan dan desisan menggema di dalam gubuk itu.

Ayu berjalan menuju ke arah Farah, setelah sampai di depan wanita itu, ia langsung menjambak rambut Farah dengan kencang.

Farah tidak melawan, tubuhnya begitu lemah. Efek kematian ibu dan suaminya membuatnya tidak berdaya. Bahkan untuk berkata-kata pun ia tidak mampu.

Sejenak Ayu melihat ke arah Farah, hatinya bergemuruh tidak menentu. Kemudian dengan kasar ia menarik Farah keluar gubuk dengan menjambak rambutnya.

“Seharusnya kamu tidak menunda pilihamu Far. Jangan bilang aku bodoh dan mudah terpedaya. Nyatanya sekarang berbalik. Bergabunglah dengan ibu dan suamimu di akhirat” kata Ayu

Farah tidak menjawab, tatapannya benar-benar kosong. Seolah jiwanya sudah pergi, ia pasrah dengan keadaannya saat ini.

Benar kata Ayu jauh lebih baik bergabung dengan Ibu dan suaminya di akhirat sana dari pada hidup di dunia penuh dengan penyesalan.

“Selamat tinggal Far, terimakasih untuk kebaikan mu” ucap Ayu.

Selanjutnya ia menatap ke arah pemanggul keranda, meminta untuk membawa jiwa Farah. Seketika ke empat orang laki-laki yang membawa keranda menurunkan benda hijau yang meraka panggul. Sedang orang yang membawa golok dan kendi berjalan ke arah Farah.

Suasana tempat itu benar-benar mencekam. Keheninggan aneh menekan gendang telinga, membuat siapa saja pasti merasa benar-benar dibuat ketakutan. Bahkan dedemit yang ada di hutan itu silih berganti mengintip dari balik pepohonan disekitar mereka.

Kini para pemanggul keranda sudah berada di sekeliling Farah. Mereka memaksa perempuan yang sudah tidak berdaya itu terduduk di tanah.

Ayu yang melihat itu mundur beberapa langkah, jantungnya berdebar dengan keras. Menunggu kematian sahabatnya sendiri.

Kemudian, dedemit yang membawa golok bergerak ke arah samping Farah. Mengangkat goloknya setinggi kepala.

Dengan sekali tebasan...

Craaattttt.... Darah memercik dari tubuh Farah. Kepalanya menggelinding hingga mencapai bawah tubuh Ayu.

Melihat itu Ayu menutup mulutnya, air matanya merebak. Saat melihat wajah Farah yang sedang memandangnya dari bawah kakinya.

Ayu mendengar ada langkah kaki mendekat, seketika ia memundurkan tubuhnya. Salah satu pemanggul keranda yang membawa kendi berjalan ke arahnya.

Saat sudah berada di depannya, laki-laki itu segera mengambil kepala Farah dan memasukkannya ke dalam kendi.

“Jiwa mu sudah ditukar dengan jiwa wanita ini. Kau bagian dari kami sekarang” ucapnya tanpa menggerakkan bibirnya menatap ke arah Ayu.

Ayu terpuruk ke lantai, tangisnya pecah. Saat melihat tubuh Farah tengah di angkat dan dimasukkan ke dalam keranda.

Tak kuasa menahan perih di dadanya, Ayu menjerit sejadi-jadinya, memukulkan telapak tangangannya dengan keras di tanah basah. Bahkan para pocong yang menjadi peliharaannya juga ikut melolong seolah menanggapi rasa sakit yang muncul dari majikannya.

***

Tubuh Farah tersentak, napasnya memburu. Ia kebingungan mencoba mencerna apa yang barusan terjadi di hidupnya.

“Bangun nduk” kata Pakdhe Wiryo

Farah bangun, ia masih kebingungan. Tatapannya kosong. Hal terakhir yang dia ingat adalah tubuhnya dipaksa terduduk di lantai oleh para pembawa keranda. Setelah itu semuanya menjadi gelap.

“Minum dulu” ucap Pakdhe sambil menyerahkan sebotol air minum kepada Farah.

“Sudah, kita bicarakan di rumah, Warti bantu Farah berjalan” ucap Pakdhe Wiryo meminta anaknya untuk membantu Farah.

Farah menoleh ke arah Warti, wanita itu terlihat marah dan sedang memegangi pipinya yang kemerahan. Seperti baru saja di tampar dengan keras oleh seseorang.

“Ayo” bentak Warti mencoba mengangkat Farah.

Kali ini Farah menurut, tubuhnya terasa begitu lemah. Bahkan sepanjang jalan ia harus merangkul Warti agar bisa bergerak.

Sesampainya di rumah, mereka segera duduk di kursi ruang tamu. “Warti buatkan minuman hangat untuk Farah” pinta Pakdhe Wiryo.

“Ckkk” desah Warti, namun ia tetap beranjak menuju dapur sambil menghentakkan kakiknya terlampau keras. Pakdhe yang melihat tingkat anaknya hanya menggeleng, sedang Farah bertanya-tanya. Ada apakah gerangan?

“Apa yang kamu lihat tadi, gambaran jika kamu menuruti nafsumu, nduk. Beruntung Pakdhe datang tepat waktu” kata Pakdhe Wiryo.

Farah kembali menoleh ke arah Pakdhe Wiryo. Kepalanya masih begitu pusing, ingatan kejadian yang baru saja ia alami silih berganti masuk ke dalam otaknya begitu cepat.

“Apa yang sebenarnya terjadi Pakdhe?” tanya Farah tepat saat Warti muncul dan menaruh tiga gelas teh panas di meja.

“Kamu tidak ingat apa yang sedang kamu lakukan di sendang itu?” tanya Pakdhe.

Farah terkesiap, tubuhnya tersentak. Matanya terpejam, kepalanya menggeleng kuat saat semua ingatan kejadian mengerikan itu muncul di benaknya.

“Sudah ingat?” tanya Pakdhe sekali lagi.

Farah mengangguk, namun ia masih belum mengerti. Bagaimana mungkin ia bisa kembali ke masa lalu seperti ini? Apakah yang ia alami selama ini hanya sebuah mimpi belaka?

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Farah memandang Pakdhe dan Warti bergantian.

“Kamu masuk ke alam lain nduk, mereka membuat semua itu agar kamu menuruti dan melakukan perjanjian dengan mereka. Beruntung Pakdhe datang tepat waktu, kalau tidak semua bisa terlambat. Kamu lihat sendiri kan, apa yang terjadi dengan mu? Ibumu dan suamimu?” terang Pakdhe Wiryo.

Farah tertegun mendengar ucapan Pakdhenya. Hatinya terasa sakit, kerongkongannya terasa perih. Teringat dengan kondisi mayat Ibu dan juga suaminya.
“Farah?” panggil Pakdhe Wiryo saat mendapati, keponakannya itu tertunduk. Tubuhnya berguncang air matanya menetes membasahi pahanya.

“Apa yang harus Farah lakukan Pakdhe?” tanya Farah parau.

“Maafkanlah semua perbuatan teman dan suami mu. Kamu sudah melihat sendiri kebenaran dari semua ini. Kita masih bisa menyelesaikan semua ini. --

--Tapi jika kamu memilih untuk menyudahinya, biarkan mereka berdua memilih jalannya” jawab Pakdhe Wiryo.

Farah kembali memandang Pakdhenya, bola mata tua itu mirip sekali dengan kepunyaan mendiang Ayahnya. Sekali lagi Farah hanya bisa tertunduk, tangannya terkepal kuat. Menahan rasa sakit yang muncul di dalam hatinya.

“Sakit Pakdhe, sakit” ucap Farah sesenggukan.

Terasa sebuah rangkulan, sejenak Farah mengira itu adalah tangan Pakdhenya. Tetapi ia menyadari bahwa Wartilah yang sedang memeluknya. Tanpa dia duga wanita itu juga tengah menangis.

“Maafkan aku, karena hampir saja membuatmu cilaka. Maafkan aku, jangan kau jadikan dirimu seperti diriku. Maafkan mereka Far, jangan kau padamkan api dengan api” ucap Warti pelan masih memeluk Farah erat.

“Tapi mereka sudah mengkhianatiku War, wanita itu membuat hancur hidup ku. HIDUP KU, WAR. Terlebih dia sahabatku sendiri. Tak tahukah kau betapa sakitnya hati ini War” kata Farah cukup keras sambil mendorong Warti.

Warti terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia menyadari semua kesalahannya. Tamparan yang diberikan oleh Bapaknya menyadarkannya bahwa semua tidakannya hanya membuat masalah menjadi semakin buruk.

“Benar Far, kalau aku jadi kamu pasti aku ingin wanita itu mendapatkan ganjarannya. Tetapi tamparan yang diberikan oleh Bapak membuatku sadar. Kalau rasa sakit tidak bisa disembuhkan dengan rasa sakit pula” kata Warti pelan memandang lurus ke arah bola mata Farah.

“Cukup” ucap Pakdhe Wiryo.
Sontak Farah dan Warti menoleh ke arah laki-laki tua yang ternyata sedang memperhatikan mereka dengan expresi geli di wajahnya.

“Kenapa Pak?” ucap Warti jengkel.

“HAhaH sudah lama, Bapak tidak melihat sisi gadismu War. Ternyata kamu masih wanita” ucap Pakdhe Wiryo.

Farah melongo, menatap Pakdhenya dengan pandangan keheranan. Bagaimana mungkin bisa laki-laki tua itu bisa merusak suasana yang begitu khidmat ini.

“Sudah, mau mendapat ijin mu atau tidak. Pakdhe akan tetap menolong Ibu dan Suamimu. Wanita itu kalau dibiarkan akan semakin menjadi. Mau memaafkan atau tidak terserah kamu saja, Nduk” ucap Pakdhe Wiryo sambil berdiri dan melangkah masuk ke menuju kamarnya.

“Dasar orang tua perusak suasana” ucap Warti.

***

Pagi sudah menjelang, suara kokok ayam saling bersahutan. Semalaman Farah dan Warti begadang, saling bertukar cerita satu sama lain tentang kondisi yang Farah alami.

“Tahu tidak Far, tapi memang wanita itu perlu kita beri pelajaran” ucap Warti, yang secara ajaib berubah menjadi wanita yang sedikit bawel.

“Nduk, jangan mancing masalah” ucap Pakdhe yang tengah duduk di meja makan sambil menikmati secangkir kopi dan rokok.

“Bukan begitu Pak. Tapi kan Bapak liat sendiri kalau si Ayu itu memang tidak tahu diri. Sudah di tolong oleh keluarga Farah malah bikin masalah. Memangnya tidak ada laki-laki lain di dunia ini?” tanya Warti sambil membalikkan tempe yang sedang dia goreng.

“Apa bedanya dengan kamu, War. Bukannya kamu juga sama saja. Ingat kan? saat Jaka memilih Gendis?” tanya Pakhde Wiryo.

Warti tidak menjawab ucapan Bapaknya, terlihat mulutnya cemberut sambil membolak balikkan tempe di atas wajan dengan tenaga extra.

Farah yang melihat itu hanya terkiking geli. Semalam dia sudah memutuskan untuk tidak hidup dalam kebencian. Semua sudah ia iklaskan. Apapun yang akan terjadi biarlah Tuhan yang menentukan. Tugasnya saat ini hanya menyadarkan teman dan menolong suaminya.

“Kita berangkat jam berapa Pakdhe?” tanya Farah saat meletakkan sepiring tempe di meja makan.

“Setelah sarapan, sekalian aku ingin mampir ke makam adik ku” ucap Pakdhe, Farah spontan menundukkan kepalanya. Merasa bersalah tidak memberikan kabar tentang kematian Ayahnya.

“Kenapa nduk?” tanya Pakdhe Wiryo

“Maaf, karena keluarga Farah sudah mengucilkan Pakdhe” kata Farah lirik.

“Wes, sudah sudah. Jangan dibahas lagi. Aku sudah lupa dengan itu semua. Yang terpenting sekarang kita sarapan. Pakdhe sudah bosan sama masakan Warti yang selalu keasinan” ucap Pakdhe Wiryo.

Farah yang mendengar itu bukannya duduk, tetapi justru berjalan ke arah laki-laki tua itu dan segera memeluknya.

“Terima kasih Pakdhe” ucap Farah.

Pakdhe tidak menjawab, senyumnya mengembang. “Wes sudah ayo sarapan. Nanti Warti minta di peluk juga. Males Pakdhe kalau dipeluk Warti badannya bau kecut” ucap Pakdhe.

“halah Pak. Jangan main hakim sendiri” ucap Warti pura-pura jengkel.

Farah terkikik geli melihat tingkah kedua orang itu. Akhirnya mereka bertiga melewatkan sarapan dengan sendau gurau. Hal yang sepertinya sudah lama sekali hilang di hidup Farah.

***

Beberapa Jam sudah mereka menembus jalanan, menuju ke rumah Farah yang berada di kota. Farah lebih banyak diam. Berusaha untuk menguatkan mentalnya jika harus melihat kemesraan yang dilakukan oleh Angga dan Ayu.

“Kuat Far, kamu kuat” ucap Farah menguatkan dirinya sendiri.

Beberapa waktu kemudian, mobil yang dikendarai oleh Pakdhe Wiryo sudah masuk ke dalam kompleks perumahan yang Farah tinggali.

“Kamu tunggu di mobil saja nduk, biar Warti yang mencoba untuk mengambil bungkusan yang di tanam oleh teman mu itu” ucap Pakdhe Wiryo.

“Bagaimana caranya?” tanya Farah penasaran.

“Sudah, memangnya yang punya ilmu sirep cuma dia? Aku juga bisa” ucap Warti.

Farah mengangguk mengiyakan. Ia mempercayakan sepenuhnya kepada Pakdhe Wiryo dan Warti.

“Ingat, War jangan keterlaluan. Kamu disini untuk mengambil bungkusan yang ditanam oleh Ayu” ucap Pakdhe Wiryo saat mendapati expresi wajah anaknya.

Warti tersenyum jahil, “Sedikit pelajaran untuk pemanasan tidak masalah to Pak?” tanya Warti,

Pakdhe seperti mempertimbangkan sesuatu, kemudian mengangguk. Sedang Farah kebingungan dengan apa yang akan dilakukan oleh kedua orang ini.

Kini, Warti sudah keluar mobil. Farah melihat wanita itu berjalan ke arah rumahnya. Tanpa ragu sepupunya itu segera memanggil nama suaminya.
Sementara itu...

Warti berjalan, tatapannya mengarah ke sekitaran melihat jika ada dedemit atau sesuatu yang menghalangi rumah milik Farah.

“Aneh” ucap Warti kebingungan. Saat ia tidak merasakan apapun yang aneh dari tempat itu. Seharusnya bungkusan yang diceritakan oleh Farah dan Bapaknya memiliki energi negatif yang bisa ia rasakan.

Kini ia sudah berada tepat di depan rumah Farah, beberapa kali ia memanggil nama Angga tetapi tidak ada sahutan sama sekali.

Penasaran, Warti nekat membuka pintu gerbang. Seketika, saat kakinya melangkah masuk bagian rumah Farah, bulu kuduk yang ada di tubuhnya meremang hebat. Hatinya terasa tertekan, seolah ada benda padat yang menghimpitnya.

“Astaga, Apa yang sudah dilakukan oleh wanita itu?” ucapnya pelan saat mendapati energi negatif yang begitu besar.

Warti terus melangkah, tidak mengindahkan apa yang ia rasakan. Tujuannya saat ini adalah mengambil bungkusan yang sudah ditanam di rumah ini.

Warti kembali mencoba memastikan sekali lagi keberadaan Angga atau Ayu, dengan mengetuk pintu dan memanggil nama Angga berulang kali. Namun, sama saja tidak ada jawaban sama sekali.

Merasa bahwa rumah Farah kosong, segera Warti melihat sekeliling. Ia kemudian berjalan ke arah taman, mencari-cari tempat yang sekiranya ideal untuk menguburkan benda keparat itu.

Hingga, ia melihat ada salah satu pot yang sengaja di seret dari tempatnya. Curiga, ia segera melangkah dan memperhatikan dengan seksama.

Kemudian bibirnya tersenyum, benar ada tanah yang baru saja digali dibawah pot bunga. Menoleh kebelakang untuk memastikan tidak ada orang. Warti segera menggali tempat tersebut.

Jantungnya berdebar cepat, ia benar-benar diburu waktu. Secepat mungkin ia harus mengambil bungkusan itu sebelum Ayu melihatnya. Jika semua itu terjadi maka rencana yang sudah ia siapkan tidak berguna sama sekali.

Sreeeekk...

Terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Seketika Warti terdiam, kepalanya menoleh mendengarkan dengan seksama. Tetapi suara itu tak kunjung muncul lagi. Benar dugaannya pasti ada yang tidak beres.

Lantas tanpa pikir panjang ia langsung mengambil bungkusan itu. Warti lupa dengan pesan yang diberikan oleh Bapaknya, bahwa ia harus menetralisir energi dari benda itu sebelum menyentuhnya.

Seketika, tubuh Warti tersentak. Pandangannya mengabur, suara-suara disekelilingnya menghilang. Kesunyian menusuk indra pendengarnnya.

Kaget, Warti langsung berdiri tangannya masih memegangi bungkusan kumal itu. Namun tubuhnya terpaku, saat mendengar segerombolan orang tengah mendekat.

Warti memundurkan tubuhnya, dadanya naik turun takut mereka adalah warga dan mengira dirinya adalah maling. Namun, saat suara itu semakin mendekat.

Betapa tekejutnya Warti, kini ia melihat enam orang tengah berjalan di depan rumah Farah. Empat orang memanggul keranda satu orang membawa kendil sedang satunya lagi golok.

Tubuh mereka kurus hanya berbalut kulit, rongga mata kosong serta mulut yang sobek hingga menyentuh ujung telinga.

Warti terus mundur mencoba agar mereka tidak melihatnya. Hingga tiba-tiba saja mereka berhenti, seolah menyadari kehadiran Warti.

Kepala mereka serentak menoleh kearah Warti. “Pati...Pati...Pati” ucap mereka serempak.

Warti menggelengkan kepalanya, ia tahu ini bukan alam nyata. Berulang kali ia mencoba merapalkan mantra yang di ajarkan oleh Bapaknya tetapi sama saja sosok pemanggul keranda itu tetap berdiri memandangnya.

Justru malah sosok laki-laki yang membawa kendil berjalan ke arah Warti. Panik, Warti mencoba mencari jalan keluar, tapi kakinya seolah tidak mau diajak bekerja sama.

Dedemit laki-laki itu semakin cepat, tiba-tiba saja dia sudah berada beberapa meter di depan Warti. Lantas dia menurunkan kendilnya dan memasukkan tangan pucatnya ke dalam benda tersebut.

Tersenyum, sosok laki-laki itu menarik pelan benda yang ada di dalam kendil. Bagai roll film yang diputar lambat, dedemit itu menarik sebuah kepala. Mulai dari ujung rambut, hingga sebatas pangkal leher.

Kemudian dedemit laki-laki tanpa mata itu, tersenyum kepalanya meneleng pelan ke kiri dan kanan. Kini kepala yang sedang ia pegangi memutar pelan.

Warti menjerit sejadi-jadinya. Saat melihat benda itu adalah kepalanya sendiri. Penuh dengan darah. Lidah yang menjulur serta mata yang melotot.

“Sadar” ucap suara laki-laki membuat tubuh Warti tersentak kaget. Ia kebingungan, melihat ke arah Bapaknya dan langsung membuang bungkusan yang ia pegang.

“Bocah gemblung, wes diomongi ojo langsung di demok. Ckkk” (Bocah gemblung, sudah dikasih tahu jangan langsung dipegang. CKkkk) tegur Pakdhe Wiryo sembari mengambil bungkusan yang Warti buang.

Warti menggeleng, ia tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya barusan. “makane rasah sok-sokan” (makannya, jangan sok) ucap Pakdhe Wiryo sembari menarik Warti keluar dari rumah Farah.

Sementara itu...

Farah, melihat Warti dan Pakdhenya berjalan keluar rumah. Menyipitkan mata, ia menyadari ada yang tidak beres dengan sepupunya itu.

“Warti kenapa Pakdhe?” tanya Farah saat mereka berdua sudah duduk di dalam mobil.

“Dapat kejuatan, nduk... Katanya preman, sama dedemit saja takut haha” jawab Pakdhe Wiryo.

“Minum dulu War” kata Farah sambil menyerahkan sebotol air mineral.

“hah...hah... gila gila, wanita itu sudah gila. Benar ucapan mu Far. Kamu tahu? Sosok pemanggul keranda itu muncul saat aku memegangi bungkusan itu” ucap Warti masih shock.

“Lalu bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Farah ikut panik dan ketakutan.

“Kita kembalikan benda ini ke pemiliknya” ucap Pakdhe Wiryo. Seketika mata Farah dan Warti membulat, mereka tahu siapa yang mengirim benda itu. Dukun yang membantu Ayu melancarkan aksinya.

***

Sudah hampir satu jam, mereka menembus jalanan perkotaan. Lalu lalang kendaraan yang padat membuat sesekali mereka harus berhenti.

Beberapa kali Farah merasa ada yang aneh, entah memang perasaannya saja atau memang Pakdhenya ini hanya berputar-putar di tempat sekitar rumah tinggalnya.

“Pak, memangnya Bapak tahu tempat dimana dukun itu tinggal?” tanya Warti penasaran.

“Ya, ndak tahu to War. La wong Bapak juga tidak kenal sama orang itu” ucap Pakdhe Wiryo tanpa dosa.

Farah yang mendengar itu, menghembuskan napas panjang. Sedang Warti matanya sudah melotot.

“La terus ini kita mau kemana?” tanya Warti

“Ya siapa tahu di jalan ketemu sama temannya Farah itu” jawab Pakdhe Wiryo.

“Ealah Pak, buang buang bahan bakar. Bapak itu Cuma pengen liat-liat wanita kota kan?” tanya Warti.

“HEh, kalau ngomong ada benernya, kamu War” kata Pakdhe Wiryo sambil terkekeh.

Kepala Farah semakin pusing dengan adu debat kedua orang itu. “Jadi, kita sekarang mau kemana Pakdhe? Kalau kita tidak tahu tempat tinggal dukun itu, lebih baik kita pulang dulu saja. Sambil memikirkan langkah selanjutnya” tanya Farah.

“Pakdhe memang tidak tahu, tapi kan kamu sudah pernah kesana, Far” ujar Pakdhe Wiryo.

Deg... jantung Farah seolah berhenti berdetak saat mendengar kalimat Pakdhenya. “Maksudnya?” tanya Farah

“Ya kamu kan pernah ke tempat itu to? Saat mengikuti teman mu itu” ucap Farah.

“T—tapi bukannya itu tidak pernah terjadi Pakdhe? Bukannya itu hanya sekedar mimpi?” tanya Farah yang napasnya mulai memburu.

“Beruntungnya, kejadian itu memang tidak pernah terjadi nduk. Tapi Pakdhe yakin, kalau sukmamu pernah pergi ke tempat dimana dukun itu berada. Dan sekarang tunjukan kemana kita harus pergi!” jawab Pakdhe sambil menangguk anggukkan kepalanya.

Farah memejamkan matanya, mencoba untuk mengingat semua kejadian yang ia lalui semalam. Seingatnya Ayu pergi ke rumah ibunya kemudian ia membawanya ke luar kota dan masuk ke dalam hutan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close