Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PETAKA (Part 9 END) - Tabela


Tabela

“Benar Far ini jalan yang kamu lihat?” tanya Warti saat mobil mereka sudah masuk ke dalam jalanan yang sepi dan diapit oleh rimbunan pepohonan.

“Seharusnya, tidak jauh dari tempat ini ada persimpangan” jawab Farah sambil memperhatikan sekitarannya.

Farah terus melajukan mobilnya dengan pelan sambil mencoba mengingat semuanya. Kemudian matanya menyipit, bibirnya tersenyum.

Dia benar-benar tidak menyangka kalau apa yang ia lalui semalam bukan hanya mimpi belaka. Tepat di depannya, ia mengenali percabangan yang menuntunnya ke arah gubuk misterius itu.

“Itu Pakdhe, persimpangannya” ucap Farah gembira. Ia sontak langsung turun dari mobil di ikuti oleh Warti dan Pakdhe Wiryo.

“Benar ini persimpangannya! Dan di tempat ini Farah bertemu dengan....” ucap Farah yang langsung di potong oleh Pakdhe Wiryo.

“Dengan sosok perempuan tua bungkuk?” tanya Pakdhe Wiryo.

Farah mengangguk. Sedang Pakdhe Wiryo tersenyum. “Perempuan tua itu sekarang sedang ada di sebelahmu” ucapnya.

Farah menoleh cepat, dan langsung berlari ke arah Warti. Melihat tingkah Farah, Pakdhe dan sepupunya itu hanya tertawa.

“Dimana keberanian mu semalam nduk?” kekeh Pakdhe Wiryo, sedang Warti yang masih tertawa hanya bisa memegangi perutnya teringat expresi Farah yang begitu lucu.

“Ayo, sudah mau hujan ini” ucap Farah kesal.

Masih terkekeh, Pakdhe dan Warti segera mengekor dibelakang Farah. Sepanjang perjalanan mereka bertiga tidak banyak berbicara. Sesekali hanya menanyakan kondisi masing-masing.

Hingga Farah tiba-tiba saja berhenti. Tubuhnya mematung, melihat ke arah tanah terbuka di depannya.

“Ini tempatnya, Far?” tanya Warti memandang ke arah Farah dan Bapaknya.

Farah mengangguk, sedang Pakdhe Wiryo mengumamkan kata-kata yang tidak bisa di tangkap oleh telinga.

“Sudah ayok, kuat kan dirimu nduk” ucap Pakdhe Wiryo.

Jantung Farah berdetak keras. Setiap langkah yang ia ambil rasanya begitu berat. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.

Saat mereka sudah hampir mencapai gubuk. Pakdhe Wiryo menaruh tangan di bibirnya dan menyuruh anak dan keponakannya untuk bersembunyi di balik semak-semak.

Awalnya Farah menolak, tetapi dengan tatapan gahar yang diberikan oleh Warti, mau tidak mau ia menuruti ucapan Pakdhenya.

“Apa yang akan dilakukan Pakdhe, War?” tanya Farah lirih.

“Sudah diam dan lihat, kalau aku memintamu untuk pergi. Jangan membantah, tempat ini penuh dengan ilmu hitam. Aku tidak menyangka, dari mana teman mu itu bisa sampai ke tempat ini” jawab Warti.

Farah tidak menjawab, ia kembali memalingkan wajahnya ke arah gubuk. Tampak saat ini Pakdhenya tengah duduk bersila.

Angin mulai berembus kencang. Farah sedikit tersentak, ia mengenali suasana ini. Segera ia menolehkan kepalanya ke seluruh area tersebut. Sedang Warti terlihat bernapas berat, tetapi pandangannya tidak pernah lepas dari Bapaknya.

“Sopo koe? Opo perlumu?” (Siapa kamu? Apa keperluan mu?) terdengar suara perempuan tua dari arah gubuk.

Farah memperhatikan sosok perempuan tua yang baru saja keluar dari gubuk. Ia pernah melihat wanita itu. Ya itu adalah dukun yang dibunuh oleh Nyi Sari dan orang tua yang ia temui saat di halte Bus.

Sementara itu...

Mendengar suara tepat di depannya. Pakdhe Wiryo membuka matanya dan segera berdiri.

“Lepaskan laki-laki itu” ucap Pakdhe Wiryo lugas.

Mbah Wongso terlihat diam memperhatikan, ia tahu laki-laki didepannya bukan orang sembarangan. Sekali salah langkah, nyawanya bisa melayang.

“Laki-laki? Siapa maksudmu?” kilah Mbah Wongso berpura-pura tidak tahu maksud perkataan Pakdhe Wiryo.

Pakdhe Wiryo tersenyum, segera ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan segera menganggkat bungkusan kumal yang di ambil oleh Warti setinggi dada.

“Harus dengan cara kasar sepertinya, Nyi” ucap Pakdhe Wiryo menaruh korek api tepat di bawah bungkusan itu.

Mbah Wongso terkesiap. Mimik wajahnya berubah, matanya tidak lepas dari benda yang di pegang oleh laki-laki di depannya.

“Sekali lagi, lepaskan laki-laki itu dan angkat semua ilmu hitam yang kau pakai. Atau dedemit itu akan mengambil jiwamu” ucap Pakdhe Wiryo.

Entah dari kapan mereka datang tidak ada yang memperhatikan, kecuali Pakdhe Wiryo. Para pemanggul keranda berjalan tanpa suara dan sudah berdiri tidak jauh dari tempat Mbah Wongso dan Pakdhe Wiryo.

“Ambil orang-orang itu dan segera pergi dari tempat ini” ucap Mbah Wongso. Sesaat dia melirik ke arah para pemanggul keranda, dan segera berjalan masuk ke arah gubuk.

Melihat itu, Pakdhe Wiryo mengerutkan dahinya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan semua kemudahan ini. Apa yang sedang direncanakan oleh perempuan tua itu?

Saat Mbah Wongso sudah masuk ke dalam gubuk, Pakdhe langsung menoleh ke arah Warti dan Farah yang bersembunyi. Benar dugaannya kedua wanita itu sudah berdiri dan berniat untuk menyambanginya.

“Tunggu” ucap Pakdhe cepat.

Sementara Farah dan Warti langsung berhenti, Benar saja. Mbah Wongso kembali keluar, menyeret Angga yang kondisinya benar-benar memprihatinkan.

Laki-laki itu bertelanjang dada dan hanya memakai celana boxer. Tatapannya masih terlihat kosong, bahkan saat Mbah Wongso menjambak rambutnya dan meminta laki-laki itu untuk berjalan, ia hanya menurut.

“Manusia ini kan yang kamu mau?” ucap Mbah Wongso.

“Ambillah, toh hidupnya juga sudah tidak berguna. Kamu juga pasti tahu kan? pengaruh ilmu ikat sukmo itu tidak akan hilang sebelum orang yang membuatnya mati” lanjut Mbah Wongso.

“Begitu? Suruh laki-laki itu kemari dan segera masuk ke dalam. Setelah itu aku akan pergi dan nyawamu akan selamat” perintah Pakdhe Wiryo.

Menuruti ucapan Pakdhe Wiryo, Mbah Wongso segera membisikan sesuatu ke telinga Angga. Terlihat ia mengerjab beberapa kali.

Segera setelah itu, Angga berjalan sempoyongan ke arah Pakdhe Wiryo. Farah yang melihat itu ingin sekali datang dan membantu suaminya. Tetapi sedari tadi Warti menahan tangannya agar tidak bergerak sama sekali.

“Nang, wayahe mulih” (Nak, waktunya pulang) ucap Pakdhe Wiryo tersenyum sambil menurunkan bungkusan yang ia angkat setinggi dada.

Angga diam tidak menjawab, matanya terus menatap ke arah benda yang sedang di pegangi oleh laki-laki tua di depannya. Hingga, saat Pakdhe ingin memanggil Farah dan Warti...

Tiba-tiba saja Angga menerjang tubuhnya. Kalah cepat, tanpa bisa menghindar Pakdhe Wiryo dan Angga tersungkur ke lantai. Mereka berdua bergulat seru, memperebutkan benda sial pembawa petaka.

Sementara itu...
Warti yang melihat Bapaknya di pukuli oleh Angga langsung berdiri. Sedang Farah justru terdiam shock melihat kejadian tersebut.

“Balik, balik” teriak Pakdhe Wiryo saat melihat Warti muncul dari arah semak-semak.

Tidak menggubris ucapan Bapaknya Warti terus berlari, Ia tidak menyadari kalau Mbah Wongso sudah berdiri di depan gubuk dengan expresi puas di wajahnya.

“Manusia-manusia sampah” ucapnya tersenyum. Warti terus berlari secepat ia bisa, hingga saat hampir mencapai tempat Bapaknya. Tubuhnya tersentak, ia merasakan melewati sesuatu yang panas.

“Warti kembali nduk, Farah!!!” teriak Pakdhe sambil menahan pukulan yang diberikan oleh Angga.

Warti langsung berhenti dan menoleh ke arah tempat persembunyiannya. Ia tidak menyangka kalau Farah tidak mengikutinya.

Bingung apa yang harus dilakukannya, Warti kembali menoleh ke arah Bapaknya yang masih bergulat seru. “Siaaal” ucap Warti dan langsung berniat kembali ke arah Farah.

Namun, sebelum ia melangkah. Tubuhnya terpaku, saat melihat Ayu sedang menjambak keras rambut Farah. Dan menyeretnya ke arah gubuk.

“Wanita jalang” geram Warti.

Tanpa takut sedikit pun, ia berjalan ke arah gubuk. Mencoba tidak mengindahkan erangan Bapaknya dari arah belakangnya.

“Tidakkah kalian puas?” ucap Warti menahan amarah, tangannya terkepal kuat.

“Bocah wingi sore kakean cangkem” (Bocah kemarin sore banyak bicara) sahut Mbah Wongso, sedang Ayu hanya terdiam dan terus menjambak rambut Farah.

“Ayu, aku tahu perasaanmu. Lepaskan semua, aku dan Bapak bisa membantumu keluar dari jeratan iblis wanita itu” ucap Warti.

“Rasah percoyo karo omongan e wedok kae, nduk. Koe ngerti dewe, yen dedemit sek gowo keranda kui wes metu, artine bakal ono nyowo sek di gowo. Arep manut awak ku opo bocah tengik kui.” -

- (Tidak usah percaya dengan perkataan perempuan itu, nduk. Kamu tahu sendiri kalau dedemit pembawa keranda itu sudah muncul, artinya akan ada nyawa yang dibawa. Mau menuruti ku atau anak tengik itu) kata Mbah Wongso dengan suara parau.

Ayu terlihat memandang ke arah Warti dan Mbah Wongso bergantian. Tangannya masih mencengkeram erat rambut Farah.

“Yu, sadar. Jangan kau lanjutkan semua ini” ucap Farah air matanya menggenang menahan rasa perih di kepalanya.

“Diamlah, atau aku buat suamimu mu mati” bentak Ayu.

“Aku sudah melihat semua, Yu. Tolong, jangan lanjutkan lagi. Dukun itu cuma memperalat mu. Dengan memberikan nyawa kepada dedemit keranda itu, maka kesaktiannya akan bertambah.-

-Dan akhirnya kamu juga akan ditumbalkan” ucap Farah sambil merintih kesakitan, entah kenapa dia tidak bisa bergerak sama sekali.

Plaaakkk... Mbah Wongso tanpa ampun menampar pipi Farah dengan keras, sampai membuat tubuh Ayu terhuyung hampir kehilangan keseimbangan.

“Kakean omong” (Banyak bicara) bentak Mbak Wongso keras.

Warti yang melihat itu hanya menggeram, tetapi ia tidak berani untuk melangkah mendekat. Takut jika kedua wanita itu nekat dan membunuh Farah. Apalagi dia melihat dukun tua itu sudah mengambil belati dari balik lilitan kain jarik yang ia pakai.

“Wes, rabakal rampung. Cepet, pateni bocah iki, koe oleh lanangane, aku oleh sukmane” (Sudah, tidak bakal selesai. Cepat, bunuh anak ini. Kamu dapat laki-lakinya aku dapat sukmanya) ucap Mbah Wongso tidak sabar, sambil mengulurkan belati yang ia pegang.

Farah hanya bisa mengerang. Sedang Ayu seolah tidak peduli lagi dengan ratapan yang diberikan oleh sahabatnya itu.

“Maafkan aku Far” ucap Ayu sambil mengarahkan belati yang ia pegang ke arah leher Farah.

“Hei, wanita brengsek” teriak Warti panik,

Ayu mengangkat kepalanya, melihat ke arah Warti. “Sudah cepat lakukan, jangan buang-buang waktu lagi” desak Mbah Wongso jengkel.

Ayu kembali menundukkan kepalanya, tangannya terangkat. Warti yang melihat itu langsung berlari ke arah Farah.

Buggg... Seketika belati yang dipegang oleh Ayu telempar. Seolah ada kekuatan tak terlihat yang menampar tangan Ayu.

Mbah Wongso yang kaget seketika melihat ke arah Pakdhe Wiryo. Laki-laki itu terlihat duduk bersila. Sedangkan Angga sudah terkapar disebelahnya.

“Warti” teriak Pakdhe Wiryo.

Mendengar teriakan Bapaknya, Warti yang sudah sampai di depan Ayu langsung melayangkan tamparannya beberapa kali ke arah wanita itu sampai tubuhnya terhuyung dan jatuh ke lantai.

“Wanita brengsek, tidak tahu diri” umpat Warti sambil mencoba menarik Farah berdiri.

Sedang Mbah Wongso berusaha untuk mencegah Warti langsung terdorong dengan mudah. Tubuh tuanya tidak sebanding dengan tenaga Warti.

“Ayoo...” desak Warti mencoba menarik Farah.

“Kakiku, War. Kaki ku tidak bisa bergerak” rengek Farah.

“ckkkk” desah Warti, ia langsung jongkok di sebelah Farah. Namun belum sempat ia merapalkan penangkal untuk mengilangkan pengaruh ilmu hitam yang diberikan oleh Ayu. Ada tangan yang menjambak rambutnya dan menariknya dengan kuat.

“Aaarrgggg” ucap Warti kesakitan, kini Ayu dibantu Mbah Wongso mencoba menjauhkan Farah dari Warti.

“Mbah, lakukan ritualnya” ucap Ayu terengah.

Mbah Wongso mengangguk, ia langsung merapalkan mantra dan memandang ke arah para pemanggul keranda. Sontak suasana di tempat itu berubah drastis.

Angin berembus dengan kencang, udara disekitar mereka menjadi dingin. Belum lagi suara lolongan memekakkan telinga yang tiba-tiba saja hadir.

Warti dan Farah sontak melihat ke arah pemanggul keranda yang tengah berdiri tidak jauh dari tempat mereka. Keduanya tersentak kaget, takut akan kehadiran sosok dedemit itu.

“Gila kalian” jerit Warti mencoba melepaskan diri dari cengkraman Ayu.

Sedang Farah hanya bisa menggelengkan kepala panik. Sekuat tenaga ia mencoba untuk menggerakkan badannya.

Tetapi percuma saja, entah apa yang sudah Ayu lakukan kepadanya. Area bawah badannya terasa begitu lemas, ia hanya bisa menggerakkan tangan dan kepalanya saja.

Kini para pemanggul Keranda mulai berjalan bergerak ke arah gubuk. Mbah Wongso terus saja merapalkan mantra yang tidak bisa di dengar oleh mereka.

“Pati...pati...pati” (Mati...mati...mati) suara sekumpulan laki-laki memenuhi gendang telinga Farah. membuatnya bergidik ngeri.

“Pak...” teriak Warti panik, saat mendapati para pemanggul keranda semakin dekat ke arah mereka. Namun, terlihat Pakdhe Wiryo saat ini sedang bersimpuh di samping Angga. Entah apa yang di lakukan laki-laki itu, ia hanya duduk bersila tanpa melakukan apapun.

“Kubunuh kalian, brengsek!!! Pergi Far, Pergi” kembali Warti berteriak histeris sambil masih mencoba melepaskan tubuhnya dari cengkraman Ayu.

“Aku tidak tahu siapa kamu, tetap diam atau belati ini yang akan membawamu ke neraka” kata Ayu sambil mengarahkan belati yang ia pegang tepat ke arah leher Warti.

Seketika Warti berhenti meronta, ia merasakan mata pisau belati yang Ayu pegang sudah sedikit mengiris kulit lehernya.

“Nah, bagus. Sekarang kita lihat dedemit keranda itu mengambil jiwa Farah. Setelah itu baru kita pikirkan bagaimana dengan nasib kalian” lanjut Ayu tersenyum, menatap Farah yang berusaha sekuat tenaga untuk pergi.

Terlihat Farah mulai menitikkan air matanya. Pandangannya terus tertuju ke arah enam orang yang sedang melangkah pelan sambil menyerukan suara kematian.

“Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan. Tolong” ucap Farah lemas.

Kini para pemanggul keranda sudah berada tepat di depan gubuk. Raut wajah mereka tidak menampilkan expresi apapun. Namun, aura kematian yang terpancar membuat siapa saja merasa enggan untuk menatap mereka.

Dedemit laki-laki yang membawa golok berjalan mendekat tanpa suara. Tiap langkahnya seolah menjadi hitungan kematian bagi Farah.

“Pakdhe, Tolong” ucap Farah semakin panik tatkala si pria sudah hampir mencapai tempatnya.

“Patimu sadhelo maneh” (Kematian mu sebentar lagi) ucapnya bergaung di telinga Farah.

Mendengar itu, telinga Farah berdenging kuat. Udara disekitarnya seolah menghilang, dadanya terasa begitu sesak. Seolah saluran pernapasannya sedang tersumbat sesuatu yang tidak terlihat.

Tangan kanan pria itu mulai terangkat. Farah melihat bilah golok yang dipengai sosok dedemit di depannya benar-benar tajam. Ia sudah pasrah sekarang, setidaknya mungkin dengan kematiannya, ia bisa menyelamatkan orang-orang disekelilingnya.

Mata Farah terpejam, menunggu datangnya kematian. Tetapi waktu berlalu begitu lama, tidak ada ada rasa sakit yang muncul di sekitar lehernya. Perlahan Farah membuka matanya kembali.

Kini ia melihat, si pembawa golok sedang menoleh ke arah Mbah Wongso, Ayu dan Warti.

“Koe arep mateni, Anak ku?” (Kamu mau membunuh anak ku?) gelegar suara Pakdhe Wiryo dari arah tengah lapangan.

Farah menoleh seketika, ada desiran kelegaan dan ketakutan, ketika melihat Pakdhenya sedang berdiri dengan kedua tangan berada di pinggangnya.

Kharisma dari seorang yang ia anggap konyol, membuatnya begitu terpana. Sampai-sampai tidak ada seorang pun dari mereka yang menjawab pertanyaan Pakdhe Wiryo.

Laki-laki itu terus melangkah pelan namun penuh dengan kemantapan. Memandang tajam Mbah Wongso yang terlihat gusar.

“Mbah, kepie?” (Mbah, bagaimana?) tanya Ayu yang sudah tersadar.

Tanpa di duga, Mbah Wongso melesat cepat. Ia menarik belati yang ada di tangan Ayu dan langsung mengarahkan mata pisaunya ke arah atas kepala Warti.

“Maju sak langkah maneh, wadon iki mati” (Maju satu langkah lagi, perempuan ini mati) tegas Mbah Wongso.

Pakdhe Wiryo berhenti seketika, ia menatap ke arah Warti dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Tetapi bukannya, ketakutan justru sudut bibirnya tertarik menyeringai seolah sedang meremehkan sesuatu.

Mbah Wongso yang melihat itu awalnya kebingungan. Namun, saat ia menoleh ke arah Warti dan memperhatikan dengan seksama. Erangan kesal muncul dari bibirnya.

“Kampreetttt” ucap Mbah Wongso langsung mundur seketika.

Farah seketika menengok ke arah Mbah Wongso, ia mengikuti arah pandangan wanita tua itu. Tanpa mereka sadari seda. Ternyata Warti sedang duduk bersila dengan mata terpejam.

Sesaat tidak terjadi apa-apa. Hingga udara di sekitar mereka kembali menjadi dingin. Ada angin yang melewati tengkuk Farah, membuat bulu kuduknya meremang hebat.

Bukan hanya itu saja, sosok laki-laki pemegang golok. Tiba-tiba saja berjalan mundur tanpa membalikkan badannya, menuju ke arah teman-temannya.

“Lungo, lungo” (Pergi, Pergi) ucap Mbah Wongso kepada Ayu.
Sedangkan Ayu yang kebingungan hanya merepet dan terus bertanya kepada Mbah Wongso. “Kenapa Mbah, kenapa?” ujar Ayu panik.

Belum sempat Mbah Wongso menjawab. Sesosok wanita yang sangat Farah kenali sudah muncul di hadapan Warti.

Berbeda dengan kondisi terakhir yang ia lihat. Sosok Nyi Sari datang dengan wujud perempuan yang mengerikan. Rambut panjang berantakan, matanya merah menyalang. Serta gigi taring yang mencuat dari sela-sela bibirnya.

“Nyai” ucap Warti menundukkan kepalanya. Mengetahui ada sosok dedemit baru yang muncul, Mbah Wongso bergegas merapalkan mantra. Tetapi sejurus kemudian. Perempuan tua itu tiba-tiba saja terpelanting mundur hingga menabrak dinding kayu.

“Kampreetttt” erang Mbah Wongso sambil mengelus-elus dadanya.

Sedang Ayu mulai mundur ketakutan. Ia merasakan sosok yang berdiri tidak jauh dari tempatnya memiliki aura yang jauh lebih mengerikan dari pada sosok dedemit pembawa keranda.

Nyi Sari menolehkan kepalanya dengan lambat ke arah Mbah Wongso. Lantas ia berjalan ke arah wanita tua yang sedang mengerang kesakitan.

Panik, Mbah Wongso mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Saat matanya menatap ke arah Ayu, ia berteriak lantang.

“Pateni, Pateni koncomu kae nduk” (Bunuh, bunuh teman mu itu nduk!!!) teriak Mbah Wongso. Ayu mengerjab, kesadarannya kembali pulih. Ia hanya memiliki waktu sepersekian detik untuk memutuskan semuanya. Seketika Ayu melihat belati yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Sedangkan Warti yang mendengar teriakan Mbah Wongso, juga langsung mengarahkan pandangannya ke arah Ayu.

Saat Ayu mulai bergerak, Warti juga langsung melompat. Kedua wanita itu berusaha untuk mengambil belati yang tidak jauh dari tempat mereka.
Bugggg...

Warti mendorong keras tubuh Ayu. Hingga keduanya menabrak dinding gubuk. Erangan kedua wanita itu menggema. Sedang Farah terus berusaha untuk bergerak untuk kesekian kalinya.

“Siaaal” umpat Farah, saat menyadari kalau kakinya masih tidak bisa digerakkan. Andai ia bisa berdiri, ingin sekali Ia membantu Warti.

Sementara itu, pakdhe Wiryo kembali duduk bersila. Meskipun kedatangan sosok Nyi Sari yang sudah membuat perjanjian dengan Warti sedikit membantu.

Tetapi ia harus menyingkirkan para pemanggul keranda itu. Supaya ritual yang sudah dilakukan oleh Mbah Wongso kepada Farah dan Angga bisa hilang sepenuhnya.

“Patine wadon kae wes ditulis nganggo getih neng tabelo iki. Golek gantine lan awak ku bakal menyang seko panggonan iki” (Kematian perempuan itu sudah ditulis dengan darah di keranda ini, cari gantinya dan kami akan pergi) ucap suara tepat ditelinga Pakdhe.

Terdengar suara jeritan wanita keras. Pakdhe Wiryo segera membuka matanya. Kini ia melihat sosok Nyi Sari sedang berdiri tidak jauh dari tempat Mbah Wongso berada.

“Setan, Asu” (Demit, Anjing) bentak Mbah Wongso mengumpat. Seketika ia terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya.

Nyi Sari tidak merespon ucapan perempuan tua itu. Tatapannya begitu datar. Seolah tidak memiliki emosi meski mendengar dirinya di caci maki.

“Ojo dikiro aku ra iso ngadepi koe” (jangan dikira aku tidak bisa menghadapimu) ujar Mbah Wongso langsung merapalkan mantra.

Tetapi, belum sempat ia selesai dengan mantra miliknya. Kembali Nyi Sari mengangkat tangan kanannya. Menunjuk tepat ke arah Mbah Wongso.

Seketika tubuh Mbah Wongso menegang, spontan ia langsung mengarahkan kedua tangannya ke arah leher. Perempuan tua itu meronta-ronta, seolah ada sesuatu yang tidak terlihat sedang mencekik lehernya.

Perlahan, kepala Nyi Sari meneleng ke kanan dan kiri. Sedang tubuh Mbah Wongso seperti bergerak sendiri. Sangat pelan, ia dipaksa untuk berdiri.

“Aaaarrggggg, N—nduk tulung” (arrrggggg, nduk tolong) ucapnya sambil melirik ke arah Ayu yang masih saling menjambak dan memukul.

Mbah Wongso terus berusaha untuk melawan. Ia kembali memejamkan matanya dan mencoba untuk merapalkan mantra untuk menghalau dedemit yang sedang menguasai tubuhnya.

Namun, anehnya justru kini mulut mbah wongso dipaksa untuk terbuka, seperti ada tangan tidak terlihat sedang menarik paksa lidahnya untuk keluar.

Farah yang melihat itu hanya diam terpesona. Ia tidak menyangka Nyi Sari bisa sedemikian kuat. Siapa sebenarnya sosok dedemit itu?
Craaaattt....

Farah menjerit keras, saat melihat Mbah Wongso dengan keras mengigit lidahnya sendiri, hingga daging merah muda itu putus dan jatuh ke lantai.

Mendengar jeritan Farah. Ayu dan Warti sejenak berhenti. Seketika mereka menengok ke arah Farah lalu mengikuti arah pandangan wanita itu.

Benar saja, mereka tidak menyadari jika Mbah Wongso sudah dalam posisi berdiri yang aneh. Mulutnya penuh darah. Kepalanya menggeleng ke kanan dan kiri dengan kuat.

“eeeee ndddukk” ucap Mbah Wongso tidak jelas. Tangannya kembali bergerak pelan, mengarah ke kepalanya. Farah dan yang lainnya seperti sudah menyadari apa yang akan terjadi.

Tangan Mbah Wongso sudah berada di atas dan bawah kepalanya. Kepala wanita tua itu terus bergerak ke kanan dan kiri, seolah ingin menghindar dari tangannya sendiri.

Hingga, terdengar suara tertawa perempuan yang membuat buluk kuduk mereka semua berdiri. Sosok Nyi Sari yang sedari tadi diam kini tersenyum dan tertawa lirih.

Belum sempat Warti meminta dedemit wanita itu untuk berhenti. Sosok Nyi Sari dengan kekuatan gaibnya, membuat tangan Mbah Wongso bergerak cepat, memutar kepalanya sendiri.
Kraaaakk...

Terdengar suara tulang yang diputar dengan keras. Tubuh Mbah Wongso mengejang sesaat kemudian ambruk dengan posisi tengkurap dengan kepala menghadap ke atas.
“Astaghfirulloh” teriak Farah histeris.

Tubuh Ayu bergetar hebat. Ia tidak menyangka, dukun yang ia anggap sakti dengan mudah dibunuh oleh dedemit perempuan itu.

“Aaarrgggg” teriak Ayu, saat Warti menjambak keras rambutnya.

“Hilangkan, cepat hilangkan pengaruh ilmu hitam yang kamu gunakan kepada Farah!” ucap Warti sambil menyeret tubuh Ayu ke arah Farah tanpa ampun.

“Far, tolong. Far” rengek Ayu.

“Diaaam, wanita brengsek tidak tahu malu” bentak Warti yang terus menyeret Ayu.

“Tolong, Far. Biarkan aku hidup dan akan ku kembalikan Angga kepadamu” kata Ayu.

Tangis wanita itu pecah, ketakutan di dalam batinnya bercampur dengan rasa sakit yang timbul di tubuhnya.

“Budek, cepat hilangkan pengaruh ilmu hitam dukun itu” ucap Warti.

“Tidak semudah itu nduk” ucap Pakdhe Wiryo.

“Bapak?” kata Warti saat mendapati bapaknya sedang berjalan ke arah mereka.

“Ilmu hitam yang digunakan dukun itu hanya bisa dipunahkan oleh orang yang membuatnya. Tetapi sekarang wanita itu sudah Mati. Kenapa kamu membunuhnya, nduk?” kata Pakdhe Wiryo keras di kalimat terakhir yang ia ucapkan.

“T—tapi Pak?” kata Warti kebingungan.

“Pakdhe, terus bagaimana ini?” tanya Farah lemas, mengira bahwa dirinya akan lumpuh untuk selamanya.
Sreeeekkkk...

Sontak semua orang yang ada di sana menoleh ke belakang. Mereka melihat para pemanggul keranda sedang mengangkat tubuh Mbah Wongso.

Farah menelah ludahnya, ia ngeri melihat kondisi Mbah Wongso yang begitu memprihatinkan. Belum lagi, saat kepala perempuan tua itu ditebas dan dimasukkan ke dalam kendi.

Tanpa mereka sadari, Ayu memanfaatkan siatuasi tersebut. Perlahan ia bangkit dan langsung berlari ke arah hutan.

“Heeeyyyy” teriak Warti saat melihat Ayu berlari, ia berusaha untuk mengejar. Tetapi tubuhnya ditahan oleh Bapaknya.

“Sudah, biarkan dia pergi. Wanita itu tidak pernah tahu resiko yang sedang dihadapinya. Sekarang kita sembuhkan Farah dulu” kata Pakdhe tenang.

“Bagaimana caranya?” tanya Warti menatap ke arah Bapaknya. Ia masih ingat ucapan Bapaknya, kalau ilmu hitam yang mempengaruhi Farah tidak bisa lepas.

Pakdhe Wiryo tersenyum. Sedang Warti yang awalnya kebingungan tiba-tiba saja seperti mendapatkan pemahaman.

Warti menggeleng kuat, “Jangan Pak, jangan” ucap Warti.

“Gantine sukmo sek uwes di tulis ning, tabelo kae, yo kudu sukmo nduk” (Ganti dari sukma yang sudah di tulis di keranda itu, ya harus sukma nduk) kata Pakdhe Wiryo.

Farah tidak mengerti, apa yang sedang terjadi diantara kedua orang didepannya. “Pakdhe?” tanya Farah sambil memijit kakinya.

“Nduk, dingapuro yen aku bien wes gawe susah keluargamu. Titip salam ku kanggo Nur. Titip dulurmu iki, golek ke jodo yo” (Nduk, maaf kalau aku dulu sudah membuat susah keluargamu. Titip salam untuk Nur. Titip saudaramu ini, carikan jodoh ya) kata Pakdhe Wiryo.

Farah terkesiap, ucapan Pakdhenya seolah seperti sebuah perpisahan. “Warti” ucap Farah mencoba mencari jawaban.

Tetapi perempuan itu hanya menangis dan langsung memeluk erat tubuh Bapaknya. “Sudah nduk, Bapak sudah tua. Kalau dibandingkan... Masa depan kalian masih panjang. Pesan Bapak, jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali” kata Pakdhe Wiryo mencoba menenangkan Warti.

“Hey, kalian kenapa?” teriak Farah kencang.

“Far, ilmu hitam yang mereka gunakan sudah mengikat sukmamu. Sampai kapan pun, dedemit keranda itu akan terus menghantuimu. Dan hanya ada satu cara untuk melepaskan itu semua” kata Warti.

“Maksudnya, tolong bicaralah lebih jelas” desak Farah yang masih tidak mengerti ucapan Warti.

“Jika kamu ingin lepas dari semua ini, nyawamu harus ditukar dengan nyawa orang lain” ucap Warti sambil menghapus air matanya.

Seketika Farah paham. Semua terasa sunyi, seperti kenyataan sedang menjauh darinya. Farah menggelengkan kepalanya dengan kuat.

“Tidak, biar Farah” ucap Farah parau, air matanya mulai keluar. Tenggorokannya terasa sakit sekali.

“Nduk, semua sudah digariskan. Aku sudah hidup lama dan pernah berbuat seperti yang dilakukan dukun itu. Mungkin ini memang jalan yang harus Pakdhe tempuh untuk menebus semua dosa yang sudah kulakukan” ucap Pakdhe Wiryo.

Tanpa menunggu jawaban dari Farah. Laki-laki itu langsung duduk bersila menghadap ke arah pemanggul keranda yang ternyata sedari tadi berdiri memperhatikan mereka.

Kembali udara menjadi dingin. Sosok Nyi Sari yang berdiri tidak jauh dari mereka langsung menghilang dari pandangan.

“Pakdhe... Warti tolong,... jangan. Warti lakukan sesuatu” teriak Farah. Tetapi Warti hanya menggeleng dan memalingkan kepalanya.

“Pakdhe, tolong” ucap Farah saat ia melihat para pemanggul keranda mulai berjalan ke arah Pakdhe Wiryo.

Berbeda dengan adegan yang pernah Farah lihat. Para pemanggul keranda itu tidak sampai menebas kepala Pakdhe Wiryo.

Ke empat pria yang memanggul keranda segera menurunkan benda yang mereka pikul. Kemudian salah satu dari mereka membuka kain hijau.

Tidak menggubris erangan dan teriakan Farah. Pakdhe Wiryo berdiri dan melangkah pelan. Bibirnya tersungging, tersenyum penuh keiklasan.

Hingga saat mencapai sisi keranda. Pakdhe Wiryo tidak mendapati tubuh Mbah Wongso disana. Menoleh sesaat ke arah kedua perempuan itu. Pakdhe Wiryo kembali tersenyum dan langsung masuk dan merebahkan tubuhnya ke dalam keranda.

Kemudian, salah satu sosok dedemit keranda. Menutup kembali keranda tersebut. Lantas mereka pergi dengan gaung suara kematian.

“Pati...Pati...Pati”

EPILOG
“Jadi Pakdhe Wiryo setelah itu tidak pernah terlihat lagi, Bu?” tanya seorang laki-laki. Wanita yang dipanggil Ibu hanya menggeleng. Ia tersenyum kecut, mengingat kepingan kejadian puluhan tahun silam.

Sesaat ketika Pakdhe Wiryo menghilang bersama dengan pemanggul keranda. Kakinya secara ajaib bisa begerak. Lantas akhirnya Farah dan Warti segera menolong Angga.

“Lalu bagaimana dengan si Ayu itu?” tanya Arkhan penasaran mendesak Ibunya untuk kembali bercerita.

“Beberapa tahun berlalu, Ibu tidak pernah mendengar kabarnya. Hingga suatu hari, saat Ibu dan Bapak pergi ke kota seberang. Kami kembali bertemu dengan Ayu, dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Ia kehilangan kewarasannya” ucap Farah.

Beberapa tahun berlalu semenjak kejadian itu. Farah kembali menjalani hidup bersama Angga, sedang Warti pulang ke rumahnya dan beberapa bulan kemudian ada seorang laki-laki yang melamarnya.

“Sukurin, wanita jahat seperti itu seharusnya memang mendapat ganjaran setimpal” kata Arkhan menggebu-gebu membuyarkan lamunan Farah.

“Apa memang harus, nak?” ucap Farah tersenyum sambil membelai lembut kepala anaknya yang sudah mulai tumbuh dewasa.

Mendengar pertanyaan ibunya, Arkhan mengerutkan dahinya kebingungan.

“Tidak ada manusia yang layak mendapatkan kesengsaraan di hidupnya. Sejatinya kita sedang memainkan peran yang diberikan oleh Tuhan.

Mereka yang terluka, biasanya kerap melukai” lanjut Farah tersenyum, mengabaikan kebingungan Arkhan.

Lantas ia beranjak menuju ke arah taman belakang. Menyambangi Angga yang tengah bermain dengan anak perempuannya.

TAMAT
close