Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUSUK TERATAI PUTIH (Part 21) - Sejarah


SEJARAH

"Perkenalkan, nama saya Purnomo, orang-orang memanggil saya pak Pur. Sebenarnya anda itu siapa mas? Kenapa bisa sampai ditempat itu?"

Dahi Anggara berkerut. Tempat itu? Apa maksudnya? Bukankah itu masjid, rumah Allah, dan siapapun boleh beribadah didalamnya.

"Maafkan saya pak Pur, saya Anggara. Saya berasal dari pulau seberang."

"Oh, kau bukan asli sini toh, pantas saja"

"Memang ada apa pak?"

Belum sempat pak Purnomo menjawab, seorang gadis muda berjalan mendekati Anggara dan pak Purnomo yang sedang berdialog dirumah pak Pur.

Gadis itu adalah Lastri, anak bungsu pak Pur. Lastri berjalan sambil membawa nampan berisikan 2 gelas teh hangat dan sepiring singkong rebus.

Mata Lastri terus menatap takjub karena terpesona oleh ketampanan dan kharisma Anggara. Sementara itu yang ditatap diam tak membalasnya sama sekali.

"Eheemm!"

Suara deheman pak Purnomo membuyarkan konsentrasi Lastri.

"Masuklah nduk!"

"Tapi pak!"

"Eheeem....!"

Pak Purnomo kembali berdehem, dirinya tidak suka jika perintahnya ditolak. Lastri yang kecewa pun menghentakkan kakinya, lalu masuk kedapur dengan wajah cemberutnya.

"Maafkan dia nak Anggara, dia Lastri, anak bungsuku, he..he...!"

"Iya pak, tidak apa-apa"

"Oh ya, saya lupa memperkenalkan diri karena tadi terburu-buru mengeluarkanmu dari sana. Tadi sudah kusebutkan, namaku Purnomo, saya kepala desa Kalimas. Kalau nak Anggara membutuhkan bantuan sesuatu, nak Anggara bisa datang menemui saya"

"Oh, maafkan saya pak Pur, tadi sebenarnya sesampainya di desa Kalimas, saya berniat akan langung pergi ke rumah bapak. Namun ditengah perjalanan saya mendengar suara adzan, jadi saya mengurungkan niat saya untuk langsung menemui bapak, saya mencari masjid untuk sholat. Itulah kenapa saya bisa sampai dimasjid tadi pak."

"Adzan? Maksud nak Anggara, njenengan mendengar suara adzan begitu?"

"Iya pak, saya mendengar suara adzan dengan sangat jelas pak!"

Pak Pur menyalakan rokoknya, Anggara menolak saat pak Pur menawarinya. Pak Pur menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Sebenarnya kau ini siapa nak Anggara?"

Pak Pur menatap lekat kearah Anggara. Anggara yang tak paham pun menunjukkan ekspresi bingung.

"Maksud bapak?"

"Kau tahu nak, sudah sejak lama di desa ini tidak ada yang mengumandangkan adzan. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mendengar kumandang adzan dari tempat itu. Kau itu sebenarnya siapa nak Anggara?"

Anggara tersenyum ramah, menatap lekat ke manik pak Purnomo.

"Saya hamba Allah biasa pak Pur, yang kebetulan takdir telah membawa saya kemari."

"Takdir?"

"Iya pak, ketika saya tertidur, saya bermimpi seseorang memanggil saya dan menyuruh saya datang kemari, ke desa Kalimas ini. Sekarang saya mulai paham kenapa saya disuruh hijrah kemari."

Pak Purnomo terlihat kurang puas dengan penjelasan Anggara. Anggara yang paham pun menjelaskan asal usulnya kembali.

"Saya berasal dari pulau seberang, saya adalah seorang guru ngaji disana pak Pur. Setelah saya mendapatkan mimpi tersebut, saya pun bermusyawarah dengan guru besar saya. Beliau berkata jika saya harus berhijrah dari pulau seberang ke desa ini untuk membagikan ilmu yang saya miliki."

Pak Pur manggut-manggut mendengar penjelasan dari Anggara.

"Jadi nak Anggara seorang ustad?"

"Iya pak"

"Oh ya ya... Lalu apa rencana nak Anggara selanjutnya setelah sampai di desa ini?"

"Saya meminta izin untuk mengajar anak-anak disini mengaji pak"

"Boleh, nak Anggara sudah dapat tempatnya?"

"Sudah pak"

"Dimana? Bukannya nak Anggara baru sampai di desa ini? Atau mungkin nak Anggara punya kerabat disini?"

"Saya tidak punya saudara disini pak jadi saya akan menyewa rumah, lalu untuk tempat mengaji, saya ingin meminta izin masjid yang tadi saya singgahi pak"

"Appaa! Masjid? Maksud nak Anggara masjid tiban?"

Pak Purnomo langsung berdiri karena kaget mendengar perkataan Anggara.

"Jadi namanya masjid tiban pak?"

Pembawaan Anggara yang tenang membuat pak Purnomo yang sempat panik kembali tenang, lalu kembali duduk dikursinya.

Pak Purnomo menghisap rokoknya dalam-dalam. Lalu menghembuskan asapnya dengan gusar.

"Sebelum kau menggunakan tempat itu, akan aku ceritakan terlebih dahulu asal muasal masjid itu dan alasan kenapa tidak ada yang adzan maupun sholat dimasjid itu. Kau pasti juga penasaran kan nak Anggara"

"Nggih pak"

Lastri mengintip dari balik korden yang menutupi dapur rumahnya. Dirinya ingin melihat lelaki yang tengah berbincang dengan bapaknya itu. Lastri telah jatuh cinta pada pandangan pertama.

Bukan ia tak tahu jika perbuatannya mengintip tamu bapaknya itu adalah perbuatan tidak terpuji, namun hasratnya terlalu menggebu didalam hati anak gadis pak Purnomo itu.

Anggara bukannya tidak menyadari jika dirinya tengah diawasi. Namun dirinya tidak peduli karena amanah dari kakek buyutnya jauh lebih penting.

"Huuush nduk! Malu! Kamu itu anak gadis, jangan mengintip seperti itu!"

Lastri yang terlonjak reflek menutup kain korden yang dia pegang lalu melotot kearah orang yang telah mengganggu kegiatannya.

"Iih biyuung, mengganggu saja!"

"Jangan seperti itu nduk, malu. Kamu kan perempuan!"

"Eh, jangan berisik biyung. Itu loh ada pria ganteng. Apa biyung tidak mau punya menantu ganteng?"

Biyung Lastri menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menarik paksa tangan anak gadisnya itu. Lastri berteriak-teriak menolak, suaranya sampai terdengar diruang tamu, tempat Anggara dan pak Purnomo berbincang.

"Maafkan atas ketidaksopanan anak saya nak Anggara"

Anggara tersenyum ramah penuh pengertian.

"Begini nak Anggara, saya sendiri sebagai kepala desa tidak tahu kapan pastinya masjid itu berdiri. Saya hanya mendengar kisah masjid itu dari ayah saya yang juga hanya mendengarkanya dari kakek saya."

"Jadi, tidak ada yang tahu kapan pastinya  masjid itu dibangun pak Pur?"

"Tidak nak, kata bapak saya, masjid itu muncul tiba-tiba. Masjid itu dibangun oleh seorang pria pada suatu malam demi membuktikan cintanya kepada sang istri. Pria yang sangat merindukan istrinya itu membangun masjid. Kenapa masyarakat menyebutnya masjid tiban karena tiba-tiba sudah berdiri tanpa ada seorang pun yang tau proses pembangunannya."

"Kenapa tidak ada yang sholat di masjid itu pak? Padahal tempatnya bersih."

"Karena..."

Pak Purnomo nampak ragu mengucapkannya. Anggara yang penasaran pun meyakinkan pak Purnomo agar melanjutkan ceritanya.

"Karena apa pak?"

"Karena masjid itu sudah itu sudah dikutuk oleh penguasa Rawa Ireng!"

BERSAMBUNG
close