Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL TURUNAN (Part 7)


Nenek bongkok ini sudah tidak tanggung-tanggung. Tiga kiriman langsung menggempur, dia kirimkan. Aku yang sudah bersiap-siap, dan membentengi rumah dengan Yasin Tujuh Mubbin sebelumnya, segera menuju lahan kosong sebelah rumah.

"Ayo Nek, kita main di sini saja. Biar lapang dan leluasa." Tantangku, sambil terus menatap banaspati berputar-putar.

Banaspati adalah sosok bola api yang sering dijadikan sebagai media untuk mengirim santet kelas tinggi.

Empat bola api kini datang menyambar, berbarengan dari empat penjuru. Dan dari atap rumah dua sosok hitam bermata merah, terlihat melotot ke arahku.

"Hik-hik-hik..." Tawa cekik dari nenek bongkok yang tiba-tiba sudah berdiri dihadapanku.

“Nenek ini sebenarnya siapa?” Tanyaku memastikan.

“Aku Iswari, dari goa Srandil. Cukup itu saja yang kau tahu. Hik-hik-hik…!”

Tanpa basa-basi lagi, nenek itu lantas menggerakkan tangannya, mengetukkan tongkat berkepala ular, dan...

"Wuss~" satu asap putih menyembur dari tongkat kepala naga itu.

Empat bola api ditambah dengan dua sosok hitam yang sedang tegap berdiri di atas atap rumah dengan mata merah menyala, dan dihiasi mahkota dikepalanya,-

tentu menunjukkan bahwa mereka adalah sosok-sosok raja dari bangsa genderuwo. Semua sudah jelas, bahwa nenek bongkok yang bernama Iswari ini, bukanlah dukun ilmu hitam kelas bawah.

Asap putih yang keluar dari tongkatnya seperti memiliki mata, kemana pun aku menghindar, asap itu selalu mengikuti dan menyerangku. Aku berusaha untuk menghalau energi dari asap putih itu dengan Asma Empat Nabi, juga dengan energi Telaga Qausar,-

dan tameng Hijib Qursi untuk menahan gempuran dari empat banaspati. Dua cahaya hitam bergulung, melesat dari arah atap, menyerang dari belakang.

"Blarrr...!" Gumpalan cahaya hitam pecah, saat satu benda melayang di atas kepalaku, menyambut dua cahaya hitam.

Sosok hitam tinggi besar dengan mata yang merah menyala, terjajar akibat benturan itu, dan serentak berseru, "Naga Pertala…!!"

Aku yang mendengar seruan mereka, mendongakkan kepalaku dan melihat keris Naga Pertala yang tiba-tiba jatuh dan tergeletak di atas tanah.

Nenek Iswari yang melihat itu, sontak mundur beberapa langkah dengan wajah terkaget.

"Eh, kunyuk dari mana kamu dapatkan keris keramat Naga Pertala? Apa hubunganmu dengan keturunan Sudirat?!" Cetuk Nenek Iswari.

"Hehehe… Buka telinga baik-baik, wahai Mbahnya kunyuk. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan keturunan mbah Sudirat, dan aku yang meruwat semua benda pusaka lalu membuangnya, termasuk keris panjang ini." Jawabku.

"Anak ingusan! Jangan kamu pikir aku takut lihat keris itu sama Tuhan-mu. Aku tidak pernah takut...!" Balas nenek Iswari, seraya kembali mengetukkan tongkat naganya, kemudian melemparkannya ke udara.

"Serang…!!" Seru nenek Iswari.

Sekejap kemudian tubuhnya mengambil posisi duduk bersila dengan mata terpejam, dengan mulut yang komat-kamit. Serentak pasukan ghaib nenek Iswari kembali menyerang ke arahku.

"Naga Pertala, lakukan apa yang seharusnya dilakukan." Perintahku dalam batin, sambil menepuk tanah.

Keris Naga pertala sontak berdiri, bilahnya melesat menyambut tongkat nenek Iswari, sedangkan ke empat bola api yang datang menyambar, aku sambut dengan doa Jibril, sementara tangan kiriku menghantam dua sosok hitam dengan Hijib Qursi.

Lalu tubuhku bersila, menyatukan hati dan pikiran, merapal perisai diri dengan Asma Empat Nabi dan Telaga Qausar. Sebuah sinar ungu mulai menyelimuti tubuhku, lalu hening.

Dua tubuh yang sama-sama bersila, bergetar hebat. Aku mengerahkan semua kemampuanku untuk mengimbangi kekuatan dari nenek bungkuk dari goa Srandil itu.

"Cukup, Nek. Diantara kita tidak ada permusuhan. Kenapa nenek begitu ingin membunuhku, apa salahku?" Batinku.

"Untuk membunuhmu, aku tidak perlu mencari-cari kesalahanmu!" Balas nenek Iswari, seraya mendorongkan telapak tangannya, dan satu hawa panas yang terdorong, menyeluru datang.

Aku melakukan hal yang sama dan mendorongkan telapak tanganku. Dua energi pun berbenturan dengan dashyat. Dua tubuh bergetar hebat.

"Jika kamu bisa menahan seranganku, maka aku akan melepaskan nyawamu!" Seru nenek Iswari.

"Sebelum aku menahan seranganmu, katakan apa alasannya, kenapa Nenek kekeuh mau melenyapkan diriku?" Balasku penasaran.

"Aku hanya disuruh, dan kamu bisa menyimpulkan siapa yang menyuruhku. Selama dia masih sangup membayarku,-

maka selama itu pula makhluk yang telah terkunci tak akan pernah selamat dari ilmu ‘Pedot pati’." Jawab nenek Iswari.

Pedot pati atau rogoh nyowo, merupakan ilmu tingkat tinggi, dimana jantung korban akan pecah, darah akan keluar dari semua lubang dari tubuhnya,-

dan korban akan menemui kematian dalam jangka waktu satu hari. Aku pernah berhadapan dengan ilmu Pedot pati, saat berhadapan dengan pemilik santet setan kober, ketika hendak mencoba untuk menyelamatkan Erika.

"Aku sudah terkunci dan aku adalah korban selanjutnya dari ilmu pamungkas Nenek. Mari kita lihat..." Ucapku seraya menahan nafas dan larut dalam Qalam Illahi, juga Asma Empat Nabi.

Empat bola api hanya berputar-putar mengelilingi tubuhku, tak sanggup untuk menembus perisai Asma Empat Nabi dan Telaga Qausar,-

sementara keris Naga Pertala dan juga tongkat Naga milik nenek Iswari, sudah menjelma menjadi dua ekor ular yang sama besar, bergelut saling melilit.

Dua raja genderewo melesat masuk kedalam rumah dan merasuk dalam tubuh Haryati, lalu mengacak-ngacak isi rumah. Melihat hal itu, keluarga Haryati pun lari tergopoh-gopoh mengarah ke arah rumah mbah Sudirat yang tidak berapa jauh.

Jika mbah Sudirat, tahu keadaanku yang tengah bertarung dengan nenek Iswari, maka ini kesempatan bagi dia untuk langsung menghabisiku. Aku harus segera menyelesaikan urusanku secepatnya, sebelum mbah Sudirat datang.

Sebuah tarikan napas, dibarengi dengan pukulan telapak tanganku ke atas tanah, dibarengi dengan rapalan Asma Empat Nabi, juga doa Jibril yang kugabungkan, menghentak, disusul oleh guncangan Zalzalah dan Telaga Qausar yang bersusulan menghantam energi dari Pedot nyowo.

"Blarr-blarrr-blarr-blarr-darrgg!" Empat benturan terjadi. Tubuhku yang tengah bersila, langsur jungkir balik. Darah kental menyembur dari mulut, juga kedua telingaku. Nenek iswari pun sama,-

dia tersungkur jungkir balik dan secepatnya berdiri, dengan dua tangan yang bertumpu dilututnya.

"Hebat… Dia masih sanggup berdiri." Batinku.

Nenek Iswari dengan kedua tangan yang bertumpu pada lututnya, kemudian berteriak lantang,

"Kembali…!" Sambil mengangkat sebelah tanganya. Lalu tongkat Naga pun melesat dan tergenggam ditangannya, kini dengan bantuan tongkatnya, tubuh nenek Iswari berdiri dan dengan sorot mata yang dingin, menatap ke arahku.

Aku yang masih berada dalam posisi duduk dengan bertumpu pada lutut, segera merentangkan kedua tangan dengan wajah menghadap langit. Belum selesai rapalan Sirr Yasin, keris Naga Pertala sudah berada dalam genggaman jemari tanganku.

Nenek Iswari pun tak mau kalah, dia merentangkan kedua tangannya dan komat-kamit, tapi tiba-tiba, "Hoeeek-hoeeek..." Dari mulut nenek Iswari menyembur darah segar, tangannya yang terlihat keriput memegangi dadanya, raut wajahnya meringis seakan merasakan kesakitan.

Tak lama kemudian, tubuh nenek Iswari pun ambruk, terduduk dengan kedua lutut yang terlipat.

"Puluhan tahun aku menjalani hidup dan bertemu dengan orang-orang berilmu. Menjalani puluhan, bahkan ratusan pertarungan, hanya kamu yang bisa membuat aku terduduk seperti ini.-

Inilah yang menjadi sebab, kenapa Sudirat datang memintaku untuk membunuhmu. Ternyata kamu sudah matang…" Ujar nenek Iswari, kali ini dengan senyuman ke arahku.

"Maaf Nek, kalau saya lancang. Nenek pun betul-betul hebat, dan saya masih selamat mungkin karena Yang Maha Kuasa, yang menyelamatkan saya." Jawabku.

"Hisss… Jangan bawa-bawa nama Tuhan-mu. Telingaku terasa panas mendengarnya. Kali ini kita sama-sama kehabisan tenaga, dan kamu harus ingat, aku belum kalah. Camkan itu!" Ujar nenek Iswari, dan sesaat kemudian tubuhnya sudah tidak ada lagi dihadapanku.

"Jangan ada dendam diantara kita Nek. Yang sudah, ya sudah. Tak perlu lagi untuk dilanjutkan." Batinku.

Sepeninggal nenek Iswari, aku kembali membuka mata.

Rasa sesak dalam dadaku begitu sangat terasa, dan secepatnya aku menuju ruang tengah, lalu berkacak pinggang dihadapan Haryati yang masih kerasukan.

"Kamu tidak ikut pulang ke gua Srandil, hah?!" Tanyaku sambil menunjuk ke arah Haryati.

"Sendiko dawuh..." Jawab makhluk di tubuh Haryati, dan kemudian Haryati Apun ambruk tak sadarkan diri.

Haryati kemudian tersadar, sesaat kemudian dan mengarahkan pandangannya mengitari sekitar, seolah kebingungan.

Pada saat itu, terdengar derap langkah mendekati, mbah Sudirat masuk ke dalam rumah.

"Hmm.., kamu sudah sadar toh Ndok?" Ucapnya sambil melirik ke arahku yang tengah duduk.

Haryati tidak menjawab pertanyaan dari mbah Sudirat, dia masih terlihat shock dan kebingungan. Karena tubuhnya lemas, kemudian Haryati pun dibopong ke dalam kamarnya, untuk beristirahat.

***

Beberapa hari kemudian, Haryati berpamitan untuk kembali pulang dan selama diperjalanan, tidak banyak yang dibicarakan. Aku pun hanya menjawab seperlunya dari setiap pertanyaan yang dilemparkan oleh Haryati. Sebetulnya dari mulai kejadian di pulau saat aku mengembalikan semua pusaka, mbah Sudirat sudah mengetahuianya.

Benda-benda pusaka yang didapatkan dengan susah payah olehnya, malah dikembalikkan olehku, tentu saja ini membuat mbah Sudirat merasa kesal, marah dan dendam kepadaku, hingga akhirnya dia meminta bantuan kepada nenek Iswari untuk membunuhku.

Sesampainya di rumah, Haryati kemudian langsung disambut oleh anak-anak asuhnya. Terlihat, wajah anak-anak itu begitu sumaringah bahagia, saat bertemu kembali dengan Haryati.

Bagi anak-anak itu, Haryati adalah sosok seorang ibu, seorang pelindung yang selama ini mengurus dan menghidupi mereka.

***

Selepas Isya, Haryati mengeluh kepadaku, bahwa kepalanya terasa pusing, badannya demam. Setelah meminum obat,

Haryati pun berbaring di kursi panjang ruang tengah. Aku pun mengumpulkan semua anak-anak untuk duduk bersama berdoa dan membaca surah Yasin. Semua aku lakukan karena adanya sesuatu yang akan datang.

"Ti, usahakan lawan rasa kantukmu dan jangan tidur malam ini." Ucapku pada Haryati yang tengah memijit-mijit keningnya.

"Hmm.. iya Mas. Ini ada apalagi Mas?" Tanya Haryati pensaran.

"Gak ada apa-apa kok." Jawabku singkat.

"Pokoknya, upayakan untuk jangan tidur sebelum aku kembali dan ingatkan anak-anak, untuk kembali mengulang bacaanya sampai aku kembali, ya." Pesanku.

"Iya Mas..." Jawab Haryati sambil merubah posisinya dan berusaha untuk duduk.

Aku segera pergi ke belakang untuk bersuci dan langsung masuk ke dalam kamar. Tepat di atas atap, kiriman santet dari mbah Sudirat yang berwujud sosok genderewo tengah mengamati.

"Pulang atau aku bakar tubuhmu!" Bentakku dengan pergelangan tangan yang sudah memutih dengan energi dari doa Jibril.

"Grrhhh… Aku akan membawa sukma wanita itu, dan ini atas perintah tuanku." Ujar sosok hitam sambil menunjuk ke arah Haryati.

"Kalau tetap mau membawa dia, berarti berurusan denganku!" Balasku seraya menahan napas dan siap menyerang.

"Tunggu...!" Jawab sosok hitam itu, lalu menghilang dalam sekejap.

Seminggu kemudian, mbah Sudirat datang ke rumah cucunya, Haryati.

Aku yang tahu akan kedatangan mbah Sudirat, lalu meminta ijin kepada Haryati untuk pulang ke Bandung. Bagiku, tinggal serumah dengan mbah Sudirat, sama saja dengan membiarkan dua energi yang berbenturan terus menerus, tentu saja ini adalah hal yang melelahkan dan berbahaya.

Aku bisa merasakan energi yang begitu panas menyengat dari mbah Sudirat, begitu juga sebaliknya dengan mbah Sudirat.

Dua hari semenjak kehadiran mbah Sudirat, akhirnya aku berpamitan dan tanpa sepengetahuan mbah Sudirat,

Haryati menempatkan aku di sebuah rumah yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Ini memang sengaja Haryati lakukan, agar jikalau ada apa-apa, aku bisa secepatnya menangani, pikir Haryati. Aku hanya diam dan mengikuti saran dari Haryati, untuk tidak jadi pergi ke Bandung.

Dan selama aku tidak berada di rumah Haryati, dia selalu memberikan informasi tentang ritual-ritual yang dilakukan oleh mbah Sudirat.

Malam kelima keberadaan mbah Sudirat di rumah Haryati, Haryati menginfokan, bahwa mbah Sudirat sedang melakukan sebuah ritual.

Memang betul, entah ritual apa yang sedang dilakukan oleh mbah Sudirat, yang jelas aku pun bisa merasakan sebuah energi yang mulai berdatangan, walaupun dari kejauhan.

Satu cahaya berbentuk pipih, meliuk-liuk mengitari atap rumah yang kutempati.

Aku paham ini adalah kiriman dari mbah Sudirat yang memang ditujukkan untuk diriku. Cahaya pipih yang meliuk-liuk itu, kemudian secara tiba-tiba melesat ke arah dadaku. Aku tersentak kaget,-

setelah aku tahu bahwa cahaya itu adalah sebuah keris yang terbungkus dengan cahaya merah darah. Tentu ini bukan hal yang biasa, karena pada umumnya media penyerangan untuk mengirim santet biasanya menggunakan makhluk-makhluk astral, bukan benda seperti keris.

Aku segera merentangkan kedua tanganku dan membiarkan dadaku terbuka, menyambut datangnya keris sakti milik mbah Sudirat.

"Kamu pilih, mau dari mana." Tantangku, sedikit jumawa.

Saat keris itu semakin dekat, satu cahaya hijau menghantam cahaya merah yang datang, "Blarrrr~"

Memang aku sengaja memakai keris Naga Pertala untuk melawan pemiliknya, sebagai tindak lanjut dari saran Kyai Among Rogo sebagai pemilik asli dari keris Naga Partala, yang telah ditarik oleh mbah Sudirat dari punden Kyai Among Rogo.

Dan atas bantuan penguasa gua Raja Naga, makhluk-makhluk yang bersemayam dalam keris Naga Pertala pun berhasil ditaklukkan, hingga akhirnya disalahgunakan dan menjadikan keris Naga Pertala yang beraura negatif. Dan kini tanpa sepengetahuanku,

Kyai Among Rogo sudah masuk dalam keris Naga Pertala saat berada di pulau tengah laut.

Kini, dua keris yang berbalut cahaya, beberapa kali beradu. Mereka meliuk-liuk layaknya ular yang sedang menari, dan "Wusshh~" Sebuah energi panas datang, menyeluru dengan cepat ke arahku.

"Hmm... Kiriman kedua." Batinku, seraya mengarahkan telunjuk ke arah datangnya energi kiriman dari mbah Sudirat.

Satu bola api yang berukuran lebih besar dari biasanya, datang melesat ke arahku, dan saat mendekat, bola api itu kemudian terpecah menjadi lima.

Bola-bola api itu menyerang dari empat arah, dan satu bola api melesat ke arah dua keris yang tengah bergelut, lalu letupan keras pun terdengar, saat bola api menghantam dua keris yang tengah bertempur, "Blarrt…!!"

Bola api itu menyatu dengan keris mbah Sudirat, secara tidak menambah kekuatan serangannya.

Empat bola api yang datang dan menyerang dari empat arah, sudah bukan lagi main-main dan jelas memang ditunjukan untuk menghabisi diriku.

Asma Empat Nabi dan doa Telaga Qausar menjadi perisai ghaib untuk melindungi diriku, dan kali ini, serangan mbah Sudirat tidak seperti biasanya, bola api yang keempat bola api itu betul-betul menghantam perisai ghaib.

Beberapa kali tubuhku yang berselimut cahaya ungu bergetar hebat, bahkan sempat terjengkang.

Pertempuran kali ini benar-benar sengit, tidak jauh beda dengan ketika aku melawan sosok utusan gua Raja Naga yang akan menjemput diriku.

Aku segera menggabungkan doa Jibril dengan doa Nabi Musa, disusul dengan Fatihah Qubro dan Hijib qursi.

Dalam balutan energi kurungan Asma Empat Nabi, empat energi dari doa-doa yang kugabung, sudah aku siapkan untuk menghadang empat bola api itu, dan "Blarrr-blarrr-blarr-blarrr!" Empat ledakan dahsyat terdengar secara beruntun.

"Braaakkkk!!" Aku yang tengah duduk dalam kamar terpental, hingga menabrak dinding kamar. Seluruh badanku terasa sakit dan ngilu, begitu lemas tak bertenaga.

Dadaku terasa sesak, dengan hawa panas yang menjalar di seluruh tubuhku. Dengan segera, aku memejamkan mata dan mencoba untuk menembus tirai ghaib mbah Sudirat.

"Bocah edan...!" Gerutu mbah Sudirat, seraya menepis bara api yang menempel di baju hitamnya.
Dupa yang dipasang telah pecah, air bunga setaman dalam wadah plastik pun tertumpah, kondisi mbah Sudirat tidak jauh beda dengan kondisiku, yang sama-sama terluka.

Setelah melihat kondisi mbah Sudirat, aku segera membuka mata dan berusaha untuk berdiri. Pandangan mataku gelap dan tubuhku limbung, dan aku tidak ingat apa-apa lagi, aku jatuh pingsan.

Entah berapa lama aku tergeletak pingsan, karena saat aku siuman, kulihat keris Naga Pertala sudah tergeletak tidak jauh dari diriku, dan di salah satu sudut kamar, satu sosok yang kukenal tengah menjilati kakinya dan mengibas-ngibaskan ekornya.

Puluhan panggilan tak terjawab terlihat dan beberapa pesan text terlihat di layar selulerku, semuanya dari Haryati. Aku membaca beberapa pesan dari Haryati yang mengatakan, bahwa kakeknya sejak tadi malam tidak keluar kamar,-

bahkan setelah diketuk-ketuk beberapa kali pun tetap tidak ada jawaban. Akhirnya pintu kamar dibongkar paksa atas bantuan tetangga, dan mbah Sudirat ditemukan tak sadarkan diri.

Setelah membaca pesan dari Haryati aku berpikir, bahwa kami memiliki kekuatan yang hampir sama.

Sebuah kekuatan yang seimbang, maka jawabannya, kalau tidak aku, ya dia yang jadi korban. Aku sadar, setelah pertempuran secara ghaib butuh waktu untuk kembali pulih. Hari itu juga aku berkemas dan pamit kepada Haryati untuk sebuah keperluan, karena aku yakin,-

mbah Sudirat akan meminta bantuan penguasa gua Raja Naga untuk menyerangku kembali, sementara aku masih dalam kondisi terluka.

***

"Sirna Raga" adalah sebuah pondok yang berada di pelosok jawa barat.

Salah satu pendiri pondok itu adalah Gus Malik, salah satu alumni di pondok yang sama denganku, saat dulu sama-sama mondok. Gus Malik sendiri merupakan salah satu pengajar di pondok waktu itu.

"Sampai juga kamu ke sini… Langkahmu panjang ya, Wi." Jawab Gus Malik setelah membalas salamku. Aku hanya tersenyum saat mendengar ucapannya.

"Telinga sampean itu tajam juga, ya Gus. Tau saja kalau ada yang mau datang. Hehehe…" Ujarku sambil mencium tangannya.

"Allah akan menajamkan mata dan telinga kita, saat kita selalu ingat akan-Nya" Balas Gus Malik sambil mempersilahkanku untuk duduk.

BERSAMBUNG

close