Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL TURUNAN (Part 6)


Segera aku memasukkan kembali bilah keris dan menancapkannya di atas tanah. Di sisi lain, suara getaran semakin terdengar kencang dari kotak kayu. Bahkan, kini tidak hanya bergetar, kotak kayu itu juga berputar dan terbalik-balik dengan sendirinya.

Aku sebenarnya tahu, bahwa "Batara Karang" yang ada di dalam kotak kayu itu, sedang berusaha untuk keluar. Dia berusaha untuk menjebol kunci ghaib yang aku pasang.

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, sedikit bergetar tanganku ketika akan membuka kotak kayu tersebut, dan dengan cepat menggenggam sosok "Batara Karang" ketika kotak kayu itu telah terbuka sepenuhnya.

Batara Karang adalah jenglot seukuran boneka kecil. Tingginya kurang lebih setinggi bungkus rokok, dua tangannya dilipat di depan dada, dengan kuku yang panjang, juga sepasang taring. Separuh badanya berwujud ular dengan rambut yang panjang dan berwarna putih.

"Aku musnahkan kamu!" Seruku sambil menatap ke arah mata Batara Karang.

Mendengarkan ucapanku, mata Batara Karang tiba-tiba bersinar dengan warna merah menyala. Tubuhnya menggeliat hebat, seakan ingin keluar dari genggamanku. Dengan mulut yang terbuka lebar dan dua taring runcing seakan ingin menggigitku.

Melihat hal itu, aku segera mencabut keris Naga Pertala dan mengarahkan ujung keris itu ke arah mulut Batara Karang.

"Berani kamu menggigitku, aku tusukkan ujung keris ini ke dalam mulutmu!" Ancamku.

Suasana malam semakin dingin, gelegar ombak terdengar bersahutan saling menyusul menerpa karang-karang hitam di tepi pulau. Aku tidak ingin berlama-lama, harus secepatnya menyelesaikan urusanku dengan benda-benda bertuah milik mbah Sudirat.

Dengan cepat tanganku memasukkan sosok Batara Karang dalam kobaran api unggun, sebuah jeritan menyayat terdengar oleh batinku. Tubuh kecil Batara Karang terlihat bergulingan, terlahap api yang menimbulkan bau sangit daging terbakar.

"Asal dari api. Kembali ke api…" Ucapku sambil meyandarkan punggungku di batu hitam yang terdapat disitu.

Aku kemudian bangkit untuk meraih termos air panas, karena hawa malam itu begitu dingin menusuk tulang dan kembali kutuang air panas dalam termos.

Aku harus terjaga malam ini, untuk mengantisipasi semua kemungkinan yang terjadi, pikirku.

Dalam kegelapan malam, dari kejauhan beberapa pasang mata seakan-akan terus memperhatikanku. Aku mencoba bersikap tenang, sambil terus berdzikir dan tetap memperhatikan sekeliling.

"Wisss~" Satu cahaya hijau melesat dari dalam pulau mengarah ke arahku yang tengah duduk bersila.

"Kita bertemu lagi di sini, hai manusia!" Cetus satu suara, yang merupakan suara seorang wanita.

Satu sosok tubuh berkamben, dengan hiasan selendang hijau di kepalanya tiba-tiba telah berdiri dihadapanku.

"Nyimas Pandan Sari" Gumamku.

"Ya, aku Nyimas Pandan Sari, yang kamu bakar. " Jawab Nyimas Pandan Sari sambil menunjuk ke arah kobaran api unggun.

"Jadi Nyimas Pandan Sari lah yang bersemayam di dalam tubuh Batara Karang." Batinku.

Selendang hijau milik Pandan Sari dikibaskan, Sebuah hawa dingin yang lembab menerjang ke arahku. Aku sudah pernah merasakan bertempur dengan Nyimas Pandan Sari sebelumnya,-

saat bentengku ditembus oleh empat helai rambutnya yang berubah menjadi empat ekor ular hijau dan di pulau ini, kembali aku bertemu dan terlibat pertempuran secara ghaib dengan sosok Nyimas Pandan Sari.

Aku tidak boleh main-main atau lengah sedikitpun, karena aku pernah merasakan kekuatan energi Nyimas Pandan Sari yang membuat kedua telingaku mengeluarkan darah. Kibasan selendang yang mengeluarkan hawa lembab, kini aku halau dengan Asma Empat Nabi yang berenergi sama.

Benturan dua energi ini tidak menimbulkan ledakan, tapi membuat tulang belulang terasa menggigil hingga terasa ke dalam sum-sum. Gigiku gemeretak menahan dingin, perut mual dan dada yang begitu terasa sesak. Nyimas Pandan Sari pun sepertinya merasakan hal yang sama denganku,

karena tubuhnya terlihat meneteskan keringat berbau amis, layaknya seekor ular, mulut mendesis dengan lidah bercabang dan dua bola mata berwarna merah tidak lepas menatap ke arahku.

Disaat yang bersamaan, aku dan Nyimas Pandan Sari sama-sama menghentakkan kaki, dan yang terjadi selanjutnya, dua tubuh sama-sama terjengkang, berguling di atas tanah.

Beberapa pasang mata yang sedari tadi memperhatikan diriku dalam gelap malam, serentak keluar,-

saat menyaksikan tubuh Nyimas Pandan Sari bergulingan. Sosok-sosok siluman dengan berbagai macam wujud yang menyeramkan dan rata-rata berwujud binatang, serentak mengepung diriku yang kini sudah berdiri.

Aku langsung menepuk tanah dan memanggil Wangsadireja.

Satu auman dahsyat, menggelegar dan membahana. Mendirikan bulu roma, dan menjadikan sosok-sosok yang mengurungku tertegun, terkesima.

Kali ini Wangsadireja bersikap garang, langsung menerkam membabi buta sosok-sosok astral dari dunia lain yang mengurungku.

Pasukan ghaib Nyimas Pandan Sari dibuat kocar-kacir oleh keganasan Wangsadireja. Melihat hal itu, Nyimas Pandan Sari kemudian mengibaskan rambutnya dan sesaat kemudian, rambut dari Nyimas Pandan Sari berubah menjadi ular yang rata-rata berwarna hijau dengan mata merah darah.

Aku yang melihat hal itu, segera merapal Sirr Yasin dan beberapa doa yang biasa kugunakan. Dengan sebuah gelengan kepala Nyimas Pandan Sari, membuat melesat beberapa ekor ular di kepalanya yang mengarah pada titik titik mematikan di tubuhku.

"Bahaya...!" Batinku.

Aku tahu, beberapa ekor ular yang melesat dari rambut kepala Nyimas Pandan sari pernah menembus perisai yang kubuat, hal ini kembali terjadi dengan kekuatan yang berbeda.

Secepatnya aku merentangkan tangan dan merapal doa Nabi Musa untuk menghalau ular-ular yang datang. Dan betul saja dugaanku, ular-ular itu menembus energi dari rapalan yang kubaca, betul-betul berbahaya.

Pedang Sirr Yasin segera menderu. Kilatan-kilatan sinar perak mengitari, laksana perisai untuk melindungi tubuhku dari serangan ular-ular hijau milik Nyimas Pandan sari, tapi sungguh ular-ular itu terus melesat ke arahku dan “Cras... Cras..."

Tubuh ular-ular itu terpotong dan jatuh ke atas tanah yang berpasir, lalu tubuh ular itu kembali menyatu dan merayap mendekatiku.

Satu larik sinar hijau, tiba-tiba menderu disaat aku tengah berhadapan dengan ular-ular yang semakin banyak menyerangku.

Gerombolan ular-ular itu terus berdatangan dari arah dalam pulau. Dan, "Blarrr!!” Tubuhku seakan terbang, dihantam larik sinar hijau itu. Aku terkapar di tepi pantai, dengan ratusan ular berbagai jenis terus merayap mengejar tubuhku.

Satu energi yang lembab kembali datang disertai dengan deru angin yang seakan memburu tubuhku, disusul kembali oleh serangan dari ujung selendang hijau yang mengarah kepalaku.

"Tamat sudah..." Batinku, disusul dengan dua mata yang terpejam pasrah.

“Jalanku sudah selesai” Lanjutku.

"Blar…! Blar...!!" Suara dentuman begitu dahsyat terdengar, disusul dengan sebuah kobaran api yang melingkari tubuhku.

Sesosok laki-laki tua berpakaian serba hitam, terlihat berdiri tegak dihadapanku yang tengah terkapar tak berdaya.

"Hehehe... Hampir saja kamu pulang, Le." Ujar lelaki tua berpakaian serba hitam, sambil menepuk punggungku.

Cairan darah kental menyembur dari mulutku, dan seterusnya laki-laki tua itu mengangkat kedua tangannya, disertai mulutnya yang komat-kamit, lalu mengusap rambut kepalaku, hingga ujung kaki.

"KYAI AMONG ROGO!" Seru Nyimas Pandan Sari yang begitu terkejut melihat kehadiran kakek tua yang dia panggil Kyai Among Rogo.

"Untuk apa Kyai mengotori tangan dengan menyelamatkan manusia ini?!" Tanya Nyimas Pandan Sari sambil menunjuk ke arahku yang masih berada dalam lingkaran api.

"Aku datang ke sini untuk menyelamatkan dirinya, bukan mau mengotori tanganku. Untuk ikut dalam pertempuran kalian, dan katakan pada junjunganmu, bahwa Among rogo yang meminta untuk membebaskan anak ini." Ucap kyai Among Rogo dengan suara yang datar.

"Tapi Kyai..." Sanggah Nyimas Pandan Sari yang terpotong oleh suara Kyai Among Rogo.

"Sudah sampaikan saja salamku buat junjunganmu, Nyimas Agung, bahwa Among Rogo yang meminta.” Ujar Kyai Among Rogo.

"Maaf seribu maaf Kyai. Saya harap Kyai untuk tidak campur tangan dalam masalah ini. Anak manusia ini, udah terlalu banyak mencampuri urusan bangsa kami, dan maaf bila saya lancang..."

Jawab Nyimas Pandan sari sambil menarik napas, lalu meniupkannya ke arah bara api yang melingkari tubuhku. "Wusss~" Seketika bara api yang melingkar itu padam.

Dengan satu gerakan dari ujung telunjuk Nyimas Pandan sari, cukup menjadi isyarat bagi pasukan ular yang begitu banyak itu untuk kembali menyerang.

"Kamu bukan lawanku, Pandan Sari!" Ujar Kyai Among Rogo sambil mengibaskan tangannya dan kibasan tangan dari Kyai Among Rogo, kemudian membuat ratusan hewan melata itu berterbangan.

Tak elak, tubuh Nyimas Pandan Sari pun ikut terhuyung-huyung, terjajar beberapa langkah ke belakang. Kedua telapak tangannya didorong ke depan, seakan-akan menahan sebuah energi yang begitu dahsyat.

"Pergi dan sampaikan salamku pada Ratumu, atau aku akan mengirim kamu secara paksa, Pandan Sari." Ucap Kyai Among Rogo sambil mengangkat satu tangannya ke atas langit.

"Cukup Kyai..." Satu suara lembut datang dari arah laut.

Sudut mataku memandang ke arah datangnya suara. Sebuah kereta kencana yang ditarik oleh enam ekor kuda, tampak berjalan di atas permukaan air laut.

"Nyimas Agung..." Sahut Nyimas Pandan Sari sambil menundukkan kepala dan merapatkan telapak tangannya di dada.

Dari pinggir pantai yang berjarak hanya beberapa meter dari garis pantai berpasir, kereta kencana itu kemudian berhenti. Satu sosok perempuan cantik berkamben hijau tampak tersenyum ke arah Kyai Among Rogo.

"Maafkan kelancangan abdi dalemku Kyai..." Ucap wanita cantik yang memakai mahkota dan berkamben warna hijau itu.

"Atas namaku, sudi kiranya. Nyai membebaskan anak ini." Pinta Kyai Among Rogo.

"Kyai, kita sudah lama saling mengenal dan diantara kita tidak ada silang sengketa, tentu saja untuk menjaga hubungan baik kita, anak manusia itu akan bebas sebagai persembahan dan biarkan dia mengurus urusannya dengan abdiku, Sudirat.-

Dan saya harap, cukup kali ini saja Kyai mengotori tangan dalam urusan mereka. Biarkan mereka menentukan hidupnya masing-masing, karena siapapun yang telah melakukan perjanjian denganku di atas altar persembahan, selayaknya dia harus membayar dengan nyawa,-

begitu juga dengan orang-orang yang menghalangiku. Tapi untuk menghargai Kyai, untuk kali ini saja, saya maafkan anak manusia itu, tapi ini yang terakhir. Semoga Kyai bisa mengerti." Jelas Nyimas Agung panjang lebar.

"Baiklah Nyai, sesuai permintaanmu, aku tidak akan ikut campur, begitu juga dengan dirimu, agar tetap menjaga kebersihan tanganmu dalam masalah ini." Jawab Kyai Among Rogo.

"Saya sepakat dengan Kyai untuk sama-sama tidak mengotori tangan kita, dan terima kasih Kyai sudah bersudi sowan dan memberi pelajaran untuk abdi dalemku. Saya mohon pamit Kyai..." Ucap Nyimas Agung dibarengi dengan sebuah kabut putih yang menutup jarak pandangku.

Aku berusaha untuk bangkit dan duduk bersila. Sekelilingku kembali hening, hanya terlihat kegelapan yang menyelimuti. Deburan ombak bersahutan, angin yang berhembus dingin kembali menusukku. Aku kembali ke balik batu dan mencoba untuk menikmati secangkir kopi,-

dan tepat dihadapanku, dalam kegelapan, sepasang mata terang mengawasiku. Sangat jelas, satu auman kerinduan dari Wangsadireja. Aku menatap sepasang mata itu dan bergumam, "Wangsadireja. Dia menjaga ragaku.”

***

Semburat fajar pagi menelisik hitam, dengan perlahan-lahan menikam malam, menidurkan sang rembulan dalam peraduan. Sesaat kemudian sinar hangat mentari menyapa.

Dari sisi pulau, aku melihat sebuah kapal pancung mendekati, dan seorang nelayan terlihat melambaikan tangannya ke arahku. Kapal pancung itu, kemudian merapat di tepian pulau.

"Saya itu ragu mau ke sini atau tidak, sebenarnya..." Ucap pak Darmo, salah satu warga sekitar yang menjemputku pagi itu.

"Ragu kenapa, Pak?" Jawabku sambil menyodorkan satu cangkir kopi panas.

"Anu, Mas... Jarang sekali ada orang yang berani masuk ke dalam pulau ini. Mas nya malah bermalam di sini." Jawab pak Darmo sambil meniup-niup permukaan cangkirnya yang masih terlihat mengepulkan uap panas.

"Pulau ini termasuk angker dan sering digunakan oleh orang-orang untuk ngalap berkah, atau mencari ilmu dengan bersemedi. Kadang juga mereka tak pernah kembali lagi, atau keluar dari pulau ini. Hal ini yang membuat saya tadinya tidak yakin, Mas." Ucap pak Darmo sambil kedua matanya mengitari sekeliling.

"Gak ada apa-apa, Pak. Kan saya cuma di sini, gak masuk ke dalam. Saya juga cuma ingin berbaur dengan alam saja. Gak punya maksud apa-apa." Ujarku sambil meneguk hangatnya kopi, disusul dengan mengepulnya asap rokok.

Setelah menghabiskan kopi dan berkemas-kemas, juga membersihkan semua alat-alat. Aku melangkah menyusul pak Darmo yang sudah menunggu di atas perahu.

Tapi, tiba-tiba saja ada sesuatu yang terasa menimpuk punggungku. Aku yang merasakan hal itu, reflek membalikkan tubuh. Aku tercengang dan kaget, keris luk tiga belas sudah berdiri dan bergoyang-goyang.

"Ohh..." Gumamku sambil kembali membalikkan badan dan melangkah.

Baru saja tiga langkah, punggungku kembali tertimpuk sesuatu, dan kali ini terasa agak keras.

"Hmm... Kamu mau ikut ya? Ya sudah, ayo." Batinku, sambil meraih keris itu dan memasukkannya ke tempat semula saat aku membawanya.

"Kembalikan lagi keris Naga Pertala setelah urusanmu selesai." Sebuah suara terdengar dengan jelas olehku, entah siapa.

Aku melanjutkan langkahku, menaiki kapal pancung bersama pak Darmo untuk kembali pulang.

***

Haryati telah menungguku, dan aku segera memasuki mobil.

Di dalam mobil, aku langsung tertidur, karena saking lelahnya dengan kejadian luar biasa yang telah aku alami. Aku terbangun, sesaat ketika mobil yang kutumpangi sudah sampai di depan rumah Haryati. Aku segera menuju kamar belakang yang memang sudah disiapkan untukku, sesaat setelah berbincang-bincang dengan Haryati.

Aku segera membuka pintu kamar, dan saat kedua kakiku sudah melewati kusen daun pintu, sebuah energi yang begitu besar seakan mencekik leherku.

"Ya, Allah..." Batinku.

Aku memegangi leherku, yang seakan ada yang menjeratnya dengan tali. Napasku semakin sesak. Aku mencoba untuk menajamkan mata, dalam pikiranku berkelebat sebuah bayangan, seekor ayam jantan tergantung di kusen pintu, lidah ayam itu keluar,-

kakinya meronta berusaha untuk lepas, dan satu sosok perempuan tua dengan memakai baju compang-camping, terlihat tertawa terkekeh-kekeh.

"Hik-hik-hik… Cuma segitu saja kemampuanmu anak ingusan?!" Ejeknya sambil menyapukan susur dibarisan giginya yang menghitam.

Siapapun yang menyerangku kali ini, pasti adalah sosok yang mempunyai kekuatan ilmu yang sangat tinggi, karena mampu mengirimkan serangan dengan memerintahkan Jin di siang bolong seperti ini. Edan, pikirku.

Ini bukan main-main. Aku harus melepaskan diri dari jeratan sukma yang digunakan oleh nenek tua ini. Dengan menyebut kebesaran Asma Gusti Allah dan Empat Asma Nabi, dalam kelebatan batinku aku melihat ayam jantan yang tergantung itu talinya kemudian terputus,-

sebelum ayam itu kemudian lari, tapi sebuah tendangan dari nenek sihir itu berhasil bersarang di tubuh ayam jantan hitam.

"Dug…!" Begitu sangat terasa tendangan itu bersarang di dada, dan aku langsung terkapar.

"Gila! Nenek sihir itu menjadikan ayam jantan sebagai media untuk menyerangku." Batinku seraya bangkit dan secepatnya bersila, memejamkan mata menyatukan hati dan pikiran, larut dalam kebesaran Asma Sang Pencipta.

Aku berusaha membentengi diri dengan doa nabi Musa, lalu mengusap seluruh tubuhku, kemudian segera beranjak mengambil air dalam botol dan membacakan Yasin Tujuh Mubbin.

"Aduh, Mbok!" Jerit Haryati.

"Kenapa, Ndok?!" Sahut mbok Haryati sambil tergopoh-gopoh dari arah dapur menghampiri Haryati yang jatuh terjerembab.

"Hati-hati, Ndok." Ujar mbok, dan berusaha membangunkan tubuh anaknya.

Aku yang mulai bisa menguasai diri, bergegas keluar kamar dan menghampiri Haryati.

"Aku kepleset Mas, barusan." Ucap Haryati, meringis karena salah satu kakinya terlihat membengkak.

"Hmm..." Gumamku.

Mataku melihat di betis Haryati ada sebuah bekas telapak tangan, juga luka seperti terkena benda panas dan terlihat permukaan kulit betisnya menggelembung berisi air, tidak jauh beda saat kaki kita terkena knalpot motor.

"Kok terasa panas. Panas Mas, betisku." Ucap Haryati kesakitan.

"Iya, Ti. Betismu digampar setan kiriman." Jawabku sambil tersenyum.

"Ahh, yang benar Mas! Masa ada setan siang-siang begini sih." Jawab Haryati kesal.

"Sudah. Gak apa-apa. Lain kali hati-hati." Jawabku seraya beranjak ke arah dapur dan kembali dengan sebotol air.

Melihat hal itu, mboknya Haryati kembali ke arah dapur sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum ke arahku.

"Ini, Ti. Basuh betismu dan sisanya siramkan di sudut rumah ini." Ujarku sambil menyerahkan botol berisi air yang telah kudoakan terlebih dahulu.

"Usahakan nanti malam untuk membentengi diri." Ucapku, sesaat setelah Haryati membasuh betisnya dan menyiram ke empat sudut rumah.

"Ini ada apa, Mas? Aku jadi takut." Balas Haryati sambil menatap ke arahku.

"Gak ada apa-apa. Yang penting sedia payung sebelum hujan saja." Jawabku, kemudian melangkah menuju kamar mandi, saat gema adzan dzuhur terdengar.

Selesai dari masjid, aku kemudian berjalan ke arah utara dan berhenti di sebuah punden yang atapnya bercungkup, lalu duduk bersila dan mengirim doa-doa untuk Kyai Among Rogo.

Selepas sholat Isya, aku segera bergegas memasuki kamar. Batinku mulai merasakan hawa yang kurang enak, selain itu juga mulai tercium bau-bau khas dari suruhan nenek sihir,-

seperti tadi siang, yang mulai terasa berdatangan. Setelah sebelumnya berpesan kepada keluarga Haryati untuk membentengi diri, aku segera memejamkan mata, dan baru saja mataku terpejam, satu teriakan yang kencang terdengar, disusul dengan suara tangisan dari Haryati.

Aku segera bangkit dan keluar dari kamar kemudian menghampiri Haryati yang kini terlihat bertingkah aneh. Haryati bertingkah layaknya seorang nenek-nenek berbadan bungkuk, dia berjalan mondar-mandir, dan sesekali seperti mengetukkan tongkat ke atas lantai.

"Aku mencari anak itu. Suruh dia keluar!" Bentak Haryati dengan suaranya yang berubah menjadi suara seorang nenek-nenek.

"Nek, untuk apa mencari saya? Kita gak ada urusan, dan kita saling tidak mengenal satu sama lain." Ujarku sambil menghampiri Haryati yang sedang kerasukan.

"Kita memang tidak ada urusan, tapi aku ingin berurusan denganmu!" Cetus nenek-nenek itu.

"Baiklah Nek, silahkan keluar dari tubuh perempuan itu." Ucapku datar, sambil merapal doa yang biasa aku gunakan.

Tidak lama kemudian, tubuh Haryati ambruk. Aku segera mengusap wajah Haryati dan sesegera mungkin kembali ke kamarku.

Lewat tengah malam, serangan nenek sihir mulai berdatangan. Empat bola api serentak melesat, disusul suara pasir yang berjatuhan di atas atap rumah, lalu "Baam!!"

Satu suara benda jatuh terdengar sangat keras.

"Tiga tanda kiriman Santet..." Batinku.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close