Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL TURUNAN (Part 5)


Setelah berbagai kejadian yang menimpa, baik itu gangguan yang terjadi kepada beberapa pembeli harta kekayaan Haryati dan juga pertempuranku dengan Brolok Ireng yang hampir saja merengut nyawaku,-

aku kemudian diminta oleh Haryati untuk kembali mengantarkannya ke kampung halamannya, dan aku pun mengiyakan permintaannya. Semua barang-barang sudah berada di dalam mobil, aku kembali menanyakan untuk memastikan Haryati tentang kesiapan mental juga fisiknya.

"Ti, apa benar kamu sudah siap lahir batin." Tanyaku.

"Siap Mas. Mas sendiri sudah siap?" Tanya balik Haryati.

"Ini sebuah resiko dari apa yang akan kita jalani, hanya dengan kembali ke gua Raja Naga, semoga semuanya akan kembali seperti sedia kala." Jawabku.

"Oh iya Mas. Gimana mas Wi bisa melepaskan diri dari tumbal mbahku?" Tanya Haryati penasaran.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menceritakan semua kejadian, tentang bagaimana pertempuranku dengan Blorok Ireng, yang hampir saja merenggut nyawaku. Mendengar semua ceritaku, Haryati hanya bisa terdiam, menunduk dengan perasaan bersalah.

“Maaf ya Mas Wi. Gara-gara aku, Mas jadi harus ikut terseret dalam semua ini, yang bahkan taruhannya adalah nyawa Mas sendiri.” Ucap Haryati.

“Ini semua sudah menjadi resikoku. Ketika aku memutuskan untuk membantumu, aku sudah memikirkannya. Kamu tidak usah khawatir, Ti. InsyaAllah Gusti Allah akan membantu kita.” Jawabku dengan pandangan tetap lurus ke depan, memegang stir.

“Iya, Mas…” Jawab Haryati singkat dengan kepalanya yang tetap tertunduk, sedih.

Aku tahu bahwa saat ini Haryati sedang sedih. Harga dirinya pasti sedang terkoyak koyak, saat semua tudingan ditunjukan ke arahnya tentang semua korban yang berjatuhan setelah membeli properti Haryati. Entah sudah berapa kali, aku juga diminta untuk bantuan dari para pembeli propertinya, untuk membersihkan gangguan-gangguan ghaib yang terjadi, tapi aku selalu menolak, karena ada pertimbangan yang lain.

Semua pembeli properti Haryati, kini menjadi sasaran tumbal berikutnya, ini terjadi dikarenakan cucu-cucu perempuan dari mbah Sudirat lebih memilih hidup sendiri,-

daripada harus mengorbankan suaminya, bahkan keturunannya. Hal ini menyebabkan mbah Sudirat mau tidak mau harus mengambil korban tumbal di luar keturunannya.

***

Laju kendaraan terhenti di sebuah rumah makan, di sekitaran sebuah kota. Aku bersama Haryati segera turun untuk melaksanakan sholat ashar dan setelah itu duduk di salah satu meja untuk mengisi perut yang mulai berbunyi.

"Ti, nanti kalau sudah sampai tempat tujuan, kamu teruskan perjalanan menuju kampungmu. Aku berniatan akan menyambangi gua Raja Naga." Ucapku memulai pembicaraan setelah perut terisi.

"Aku ikut, Mas..." Jawab Haryati.

"Jangan, terlalu berbahaya." Jawabku sambil menuang kopi panas di piring kecil.

"Coba kalau dari dulu aku mengenal sampean, mungkin hidupku bakalan ada yang mengingatkan dan membimbing." Ucap Haryati disertai tatapan mata yang sendu.

"Kita punya jalan hidup sendiri-sendiri, Ti. Mungkin pertemuan kita tidak akan terjadi bila bukan kehendak Gusti Allah." Jawabku.

"Aku lelah dengan semua ini, Mas." Ucap Haryati sambil menyandarkan kepalanya dibahuku.

"Waduh... Bahaya ini..." Batinku, sambil berusaha untuk kembali menyadarkan Haryati agar tidak menyandarkan kepalanya dibahuku.

Sambil mengangkat kepalanya, sudut mata Haryati menatap ke arahku yang cuek sambil menghisap rokok.

Akhirnya kepala Haryati duduk dengan tegak kembali, hanya saja jemari tangannya yang lembut, memegangi jemari tanganku.

"Aku merasa tenang dan nyaman saat berada disampingmu, Mas..." Ujar Haryati setengah berbisik.

Aku semakin salah tingkah dengan perlakuan Haryati, dadaku pun berdegup dengan kencang. Aku berusaha untuk melepaskan tangan Haryati dengan kembali menuang kopi ke dalam piring kecil.

"Mas..." Panggil Haryati dengan suara lembut.

"Iya, Ti?" Jawabku dingin.

"Mau gak jadi suamiku?" Tanya Haryati dengan tatapan penuh harap.

Sebelum aku menjawab, Haryati kembali bersuara, "Eh… Jangan mau deh Mas, nanti malah dijadikan tumbal sama mbahku. Hehehe... Nanti, aku malah akan kehilangan dirimu." Ucap Haryati sedikit dengan nada manja.

Mendengar semua perkataan Haryati, Aku semakin menjadi kikuk. Memang sebagai lelaki, aku akui kalau Haryati terbilang wanita yang cantik, juga lembut, tapi dibalik kecantikan dan kelembutan Haryati ada sesuatu yang mengerikan.

Aku kembali segera mengalihkan pembicaraan ke arah lain, karena aku merasa tidak enak, dan Haryati pun paham dengan maksudku. Setelah berbincang-bincang ringan, kami pun segera meneruskan perjalanan kami kembali.

***

Akhirnya aku tiba di sebuah pantai dengan membawa sebuah bungkusan yang berisi benda-benda bertuah milk mbah Sudirat, sedangkan Haryati aku minta untuk meneruskan perjalanan ke kampung halamannya.

Setelah lumayan lama aku menyusuri pantai, akhirnya aku menemukan sebuah lubang gua, dan aku yakin jika itu adalah gua Raja Naga. Untuk menemukan gua ini tentu tidak sembarangan, tidak akan bisa orang biasa menemukannya,-

seolah-olah gua ini terlindungi dengan pelindung tak kasat mata. Hanya orang-orang dengan niatan tertentu atau mempunyai kemampuan tertentu saja yang bisa menemukannya.

Aku berjalan dengan pelan, selangkah demi selangkah sambil mengamati sekitar,-

dan tiba-tiba saja aku merasa pundakku ditepuk dari arah belakang. Sontak aku kaget dan langsung berbalik, karena sebelumnya aku tidak merasakan kehadiran seorang pun.

"Kamu mau ngalap berkah toh?" Tanya seorang laki-laki yang kemudian mengaku sebaga juru kunci gua Raja Naga.

"Saya hanya ingin menikmati alam saja Pak. Tidak ada maksud untuk ngalap berkah disini..." Jawabku sambil menggelengkan kepala.

"Kamu jangan bohong. Aku sudah dibisiki, bahwa akan datang satu orang yang akan melakukan tirakat disini, dan aku percaya kalau orang itu adalah kamu. Aku lihat-lihat juga, kamu ini kayaknya bukan penduduk sini." Ujar juru kunci.

"Hmmm.. Hebat juga, dia bisa menebak tujuanku." Gumamku dalam batin.

"Jangan heran, aku tahu maksudmu yang sesungguhnya dan aku harap kamu untuk membatalkan niatmu, sebelum semuanya terjadi. Masih ada waktu untuk mengurungkan semuanya dan kamu akan selamat,-

juga bisa keluar dari sini dengan hidup-hidup." Terang juru kunci sambil mengajakku berjalan menyusuri pantai.

"Maaf Pak. Aku hanya ingin menyelamatkan kehidupan seseorang yang menjadi panutan bagi kaum duafa dan anak-anak yatim." Jawabku.

"Meski pun tujuanmu untuk menyelamatkan kehidupan seseorang, tapi tidak mungkin bisa memutus perjanjian keramat antara pemuja dan yang dipuja. Si pemuja telah menikmati semua kekayaan yang diberikan dan pada akhirnya bila sudah tidak ada lagi yang dipersembahkan, maka jiwanya yang akan diambil. Itu sudah kesepakatan ghaib mereka." Ujar juri kunci.

"Tapi Pak, ini kasusnya lain." Jawabku.

"Aku tahu kasusmu adalah pesugihan sedarah yang menumbalkan semua keturunan yang berkelamin perempuan,-

karena dari anak dan cucu akan lahir keturunan keturunan baru yang memang sudah disiapkan untuk dijadikan tumbal, dan selama semua tumbal terpenuhi, maka kehidupan yang bergelimang harta akan dinikmati keturunannya, tapi tetap, perjanjian itu tidak bisa diputus, kecuali.."

Juru kunci menarik napas, dan mengajakku untuk duduk di bawah pohon di tepi pantai.

"Kecuali apa Pak?" Tanyaku penasaran.

"Kecuali semua keturunannya sudah habis, maka semua akan berakhir..." Jawab juru kunci.

"Jadi aku tidak bisa menyelematkan seseorang itu, Pak?" Tanyaku memastikan.

"Bisa dan tidak bisa, karena semua akan kembali pada pelaku pesugihan itu sendiri. Kamu lihat pulau kecil di tengah lautan itu?" Ucap juru kunci sambil menunjuk ke sebuah pulau kecil yang terlihat dari tepi pantai.

"Iya Pak. Saya lihat pulau itu." Jawabku.

"Pergilah kesana. Barang-barang yang kamu bawa harus dikembalikan..."

Jawab juru kunci sambil menatap ke arahku dan mengangukan kepala, lalu berbalik badan meninggalkan aku yang tengah menatap pulau kecil di tengah laut, yang terlihat diselimuti kabut.

***

Setelah mencari perbekalan di warung sekitar, dan atas kesedian salah satu warga setempat yang bersedia mengantar kepulau yang dituju, akhirnya aku mendaratkan kaki di pulau kecil yang lumayan jauh dari tepi pantai.

Aku pun meminta kepada orang-orang yang mengantarku untuk dijemput kembali keesokan harinya.

Kulangkahkan kaki menyusuri pulau ini lebih dalam. Angin terasa begitu kencang menerpa tubuhku, dinginnya terasa seperti tusukan jarum yang menghujam.

Aku bersegera untuk mencari tempat yang cukup aman agar bisa terlindung dari angin. Aku kemudian mencoba untuk mengumpulkan dedaunan dan ranting-ranting kering, untuk kubuat api unggun.

Setelah menyala, dengan segera aku menuang air panas dalam termos, yang sebelumnya sengaja kupinjam dari warung warga sekitar. Kini, secangkir kopi panas menemaniku di dalam pulau kecil tak berpenghuni ini.

Aku merasakan banyak sekali mata yang menatap ke arahku, juga kelebatan-kelebatan sosok astral yang lalu lalang, seakan ingin menunjukan keberadaannya dan juga menunjukan rasa ketidaksenangannya akan kehadiranku.

Segera kubuka ikatan dari sarung bantal dan kukeluarkan dua bilah keris, serta satu kotak kayu, juga satu sosok wayang kulit bergambar buto.

Satu persatu, semua barang barang mistis kukeluarkan dan kuletakkan di atas tanah.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah membentengi diri dengan Asma Empat Nabi, juga Hijib Qursi, karena aku sadar, bahwa barang-barang ini bukanlah barang biasa, barang-barang ini mengandung energi negatif yang besar.

Aku segera duduk bersila, menyatukan hati dan pikiran, larut dalam ke-Maha Besaran Tuhan. Hatiku terus menyebut Asma Allah, mulutku mengucap Sholawat.

Sebuah gerakan kemudian terjadi, dimana keris yang berukuran pendek, kemudian bergetar dengan sendirinya, lalu disusul oleh keris berluk tiga belas dan sosok wayang kulit yang kini juga ikut bergetar, secara bersamaan.

Dan tiba-tiba saja, keris pendek itu berdiri dengan sendirinya, lalu bergerak memutar serta meloncat menjauh sekitar dua meter, kemudian melesat ke atas berselimut cahaya hitam, lalu hilang dalam kegelapan malam.

Satu deru angin kemudian terdengar menyambar, "Wusss~" Wayang kulit itu terus berkelebat menyambar kian kemari, begitu juga dengan keris panjang yang terus bergetar dan kemudian berdiri,-

lalu bilahnya naik turun, seakan hendak keluar dari sarungnya. Aku yang paham dengan kondisi ini, segera menyambar keris panjang itu. Tanganku pun ikut bergetar karena tertarik oleh energi dari keris itu.

Ibarat seorang dalang yang tengah memainkan wayang, sosok wayang kulit itu terus berkelebat menyambar tubuhku, kedua tangannya hidup dan menunjuk-nunjuk ke arahku,-

tapi semua kelebatan dari wayang itu terhalang oleh perisai dari Empat Asma Nabi, berupa cahaya ungu yang menyelimuti.

Aku terus menggenggam keris ber-luk tiga belas yang terus meronta dan seolah-olah ingin keluar dari sarungnya itu.

Aku kemudian mencoba untuk meredam energi negatifnya dengan Sholawat Jibril, perlahan-lahan getaran keris luk tiga belas pun mereda. Segera kutarik perisai Empat Asma Nabi dan menatap wayang kulit yang kini masih melayang-layang di udara.

"Wusss~" Wayang itu berkelebat, menyambar dengan mengeluarkan suara angin yang menderu.

Dengan menyebut Asma Gusti Allah, aku mencoba menarik bilah keris luk tiga belas.

Sebuah pamor hijau keluar dari bilah keris dan dengan segera aku menyabetkan keris ke arah datangnya kelebatan wayang buto. Wayang itu betul-betul hidup, dia melayang lebih tinggi dari sabetan kerisku.

"Pulang! Ini bukan tempatmu, atau kamu akan hangus di ujung keris ini!" Bentakku sambil mengacungkan keris yang bernama Naga Pertala ini.

"Sendiko dawuh, Gusti…" Sebuah suara terdengar oleh telingaku, seiring berklebatnya sosok wayang kulit yang melesat ke dalam pulau itu.

Aku hanya terseyum saat dipanggil Gusti oleh sosok yang mendiami wayang kulit itu. Seumur-umur, baru kali ini ada makhluk astral yang membungkukan badan dan memanggilku Gusti. Masa bodoh, pikirku.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close