Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL TURUNAN (Part 4)


"Biasanya para pemuja siluman ular atau orang yang melakukan pesugihan siluman ular, akan memberikan sesuatu benda berupa apa saja, termasuk uang, dan uang itu sebagai tanda, bahwa orang yang akan menjadi tumbal adalah pemegang uang itu.

Biasanya uang itu sudah diritualkan terlebih dahulu, lalu memberitahukan pada siluman ular untuk mengambil tumbal yang sudah ditandai dengan uang yang sudah diritualkan tadi, tapi sebelumnya, Mas Wi minta maaf ya Ti." Jelasku.

"Gak apa-apa Mas, aku sudah tahu dengan apa yang dilakukan oleh Simbahku. Hal ini justru membuat aku lebih yakin untuk mengakhiri semuanya." Jawab Haryati dan belum kering mulut mengucap, dari dalam kamarnya, terdengar suara, "Klotak, kletek..."

"Tetap disini..." Ujarku sambil melangkah ke arah kamar Haryati.

Kuperhatikan secara seksama, dan suara itu terdengar dari dalam lemari. Aku segera meminta Haryati untuk masuk dan kemudian Haryati membuka lemari tesebut.

Ternyata kedua keris dan kotak kayu sudah berada dalam lemari, ngeri.

"Kok bisa ya, Mas??" Haryati terheran.

"Ya bisa. Kan ini bukan kejadian pertama..." Jawabku sambil kembali duduk dan melipat uang dari mbah Sudirat dan membungkusnya dengan kain hitam.

Aku tahu bahwa mbah Sudirat, akan menjadikan aku sebagai tumbal untuk menambah kekayaan dan juga ilmunya. Aku pun merasakan kehadiran sosok yang akan membawaku sebagai tumbalnya.

Brolok Ireng namanya. Dia tertawa panjang, sesaat setelah aku memfokuskan hati dan pikiran, dan berada di dimensi lain. Brolok Ireng adalah seekor ular berwarna hitam yang mungkin besarnya sama dengan batang pohon kelapa. Sosok itu datang niatan ingin membawaku.

Sosok ular hitam utusan dari gua Raja Naga. Lokasi gua Raja Naga sendiri terletak bersebrangan dengan pulau Nusa kambangan dan terdapat di pulau Jawa.

Malam ini Brolok Ireng mendesis, tubuhnya membentuk lingkaran dengan kepala yang terus bergerak maju mundur, seakan siap menyerang.

Aku tahu utusan gua Raja naga bukan seperti suruhan mbah Sudirat yang bisa dikalahkan dengan mudah. Lalu dengan tiba-tiba tubuh ular itu menerjangku. Aku sendiri sudah waspada, segera pedang Sirr Yasin berkelebat menebas tubuh ular hitam itu.

Dan betul dugaanku, pedang Sirr Yasin tidak mampu menembus kulitnya. Aku terperanjat dan segera mundur untuk menyiapkan pukulan Jibril. Kepala ular hitam itu melesat dengan mulut terbuka dan taring yang keluar, siap menusuk tubuhku.

"Blarrr..." Pukulan Jibril tepat mengenai kepala ular besar itu, dan yang terjadi, kepala ular itu hanya terhenti sejenak saat terhantam pukulan Jibril, lalu selanjutnya kembali menerjang. Aku merasakan tubuhku begitu sesak saat ular itu mulai melilit tubuhku.

Aku hanya memejamkan mata, kembali menyatukan hati juga pikiran. Sebagai manusia yang tiada daya dan upaya, jika malam ini Gusti Allah berkehendak, maka tak ada siapapun yang mampu menghalanginya. Dan upaya terakhirku, tiada lain hanyalah berdoa meminta pertolonganNya.

Di saat-saat terjepit dan tersudut ini, aku masih sempat berpikir, bahwa yang kulawan ini baru baru utusannya saja, apalagi jika aku harus melawan Nyimas Agung, penguasa gua Raja Naga.

Mulut ular itu terbuka lebar, dan aku masih hanya bisa pasrah dengan mata terpejam, tapi kemudian sesosok bayangan putih berkelebat cepat. Sosok yang berselempang kain dengan wajahnya yang bersinar. Sosok itu kemudian tersenyum kepadaku.

"Belum… Belum…” Ujar pelan sosok itu.

“Belum saatnya kamu pergi, Wi..." Lanjut suara sosok itu, begitu penuh wibawa.

Sebuah gerakan tangannya terlihat memukul ke arah kepala ular, yang kini tengah bersiap untuk melahap kepalaku.

Aku merasakan belitan ular itu kemudian melonggar, dan ular itu seakan menunduk pada sosok berselempang kain itu.

"Sampaikan salamku pada Ratumu, Nyimas Agung dan bebaskan anak ini, dari aku, Paku Bumi Tatar Kulon" Ucap kakek tua berselempang kain putih.

Aku yang mendengar percakapan itu, kemudian mengerenyitkan kening, ketika sosok itu memperkenalkan dirinya, Paku Bumi Tatar Kulon.

“Siapa sebenarnya sosok kakek-kakek yang menyebut dirinya sebagai Paku Bumi Tatar Kulon itu?” Batinku penasaran.

Ular sebesar pohon kelapa itu pun tiba-tiba pergi begitu saja. Aku yang melihat hal itu, untuk sesaat hanya bisa terdiam masih tak percaya.

Rasa sesak dalam rongga dadaku pun hilang dan setelah merasa lega, aku segera menyalami dan mencium tangan kakek tua yang berselempang kain putih itu.

"Kamu mau tanya siapa aku, kan? Tidak perlu tahu siapa aku. Aku datang karena diminta oleh leluhurmu yang merupakan abdi dalem,-

dan aku hanya ingin mengingatkanmu, bahwa kamu tidak akan pernah bisa mengalahkan utusan gua Raja naga, kalau hanya mengandalkan semua yang kamu miliki. Dia hanya akan bisa dikalahkan dengan..." Jelas kakek tua itu terhenti.

"Dengan apa, Kek??" Tanyaku semakin penasaran.

"Dengan Asma Empat Nabi yang diibaratkan lautan, maka semua ilmumu adalah ikan-ikannya. Empat Asma Nabi itu yang ingin aku berikan padamu, agar kamu bisa bebas dari kejaran siluman ular." Ucap kakek Paku Bumi sambil membisikkan Asma Empat Nabi.

"Terima kasih, Kek..." Ujarku sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada.

"Gabungkan Asma Empat Nabi dengan Telaga Al-Kautsar. InsyaAllah, kamu bisa terbebas dari ular itu. Mungkin saat ini dia melepaskan dirimu karena melihatku,-

tapi suatu saat pasti akan datang kembali untuk  menjemputmu. Leluhurmu lah yang memintaku untuk menyelamatkanmu. Wangsadireja pun tak akan mampu berbuat banyak, ketika harus berhadapan dengan penguasa gua Raja Naga.

Hanya itu yang bisa aku berikan padamu, kelak suatu saat jika kamu datang berziarah ke makam leluhurmu, kamu akan tahu siapa aku. Aku harus pulang sekarang. Jaga dirimu baik-baik. Wassalamualaikum…" Ucap Kakek Paku Bumi, dan seketika dia menghilang, kedua mataku tak lagi melihat wujudnya.

"Waalaikumsalam…" Jawabku.

***

Atas petunjuk seorang ulama, Haryati pun kemudian menjual semua hartanya dan tidak sedikit menyedekahkan hartanya di jalan Tuhan. Semua ini dilakukan untuk menebus semua dosa-dosanya, yang hampir seumur hidupnya bersekutu dengan Jin atas ajaran mbahnya, Sudirat.

Ada sebuah kejadian yang cukup aneh menurutku, dimana salah satu ruko milik Haryati yang disewakan, selalu mengorbankan penyewanya dengan cara yang sepele, sehingga ruko itu tak ada lagi yang mau menyewa, bahkan dijual dengan harga yang terbilang cukup murah pun tetap tidak laku-laku.

Hingga pada satu hari ada seorang pemuda yang bernama Asep yang hendak menyewa ruko tersebut. Haryati pun menceritakan semua yang terjadi dengan ruko tersebut,-

dan meminta Asep untuk mencari tempat yang lain, tapi Asep tetap bersikeras dan dengan nada sombong Asep menceritakan asal usulnya. Dia kekeuh ingin menyewa ruko tersebut.

"Kang Asep tidak perlu menyewa, pakai saja tapi jangan menyalahkan dan menuduh saya yang lain-lain jika terjadi sesuatu. Saya sudah mengingatkan Kang Asep sebelumnya. Apapun yang terjadi, semua resiko ditanggung sendiri." Ujar Haryati.

"Tenang saja Bu, yang begituan biar jadi urusan saya. Bukan sesuatu hal yang harus ditakutkan. Lagian saya ini berguru, Bu. Jadi tidak usah khawatir." Balas kang Asep dengan Jumawa.

Mendengar ucapan kang Asep, aku pun tersenyum, karena aku tahu bahwa mbah Sudirat telah menanam beberapa siluman ular di ruko tersebut untuk mengambil nyawa sebagai tumbal untuk kekayaan dan menambah kesaktian ilmunya.

Aku yang pernah masuk ke dalam ruko itu, merasakan sebuah energi yang cukup besar dengan bau menyengat khas seekor ular.

Baru saja seminggu Kang Asep menempati ruko tersebut, dia ditemukan nyaris tewas di dalam ruko. Kang Asep mengalami muntah darah terus menerus, dan akhirnya dibawa oleh keluarganya untuk diobati di kampung halamannya. Hal tragis juga menimpa kepada salah seorang pembeli rumah Haryati. Dua hari setelah membeli rumah itu, badannya langsung demam, lalu pada hari ketiga dinyatakan meninggal dunia oleh pihak rumah sakit setelah dirawat sebelumnya. Tragis.

***

Aku membuka lipatan kain hitam yang berisi uang pecahan terbesar, masih tersusun rapih. Dihadapan Haryati, aku menunjukkan uang itu.

"Ti, mari kita lihat uang ini agar kamu tahu yang sebenarnya." Ucapku.

"Mau diapakan uang ini, Mas?" Jawab Haryati penasaran.

Aku tidak menjawab, tapi segera beranjak menuju dapur lalu merebus air dalam panci, kemudian memasukan uang pemberian dari mbah Sudirat ke dalam panci dan menutupnya. Selang setengah jam kemudian, aku meminta Haryati untuk membuka tutup panci itu.

Uap yang mengepul menebar bau busuk, tidak jauh beda dengan bau telur yang busuk, hingga Haryati muntah dan uang itu kemudian berubah menjadi lembaran daun.

"Itulah Ti, sihir dari setan." Ucapku sambil menunjuk ke arah panci dimana lembaran daun menimbulkan aroma busuk.

"Apa nanti tidak akan menimbulkan efek yang mengancam keselamatan Mas sendiri?" Tanya Haryati.

"InsyaAllah tidak, Ti. Doakan saja..." Jawabku.

"Ti, ingat. Jangan lupa sholat lima waktu dan dawamkan apa yang dianjurkan oleh pak Kyai, karena Mas sendiri belum tentu bisa menjagamu selamanya. Jangankan untuk menjaga dirimu, saat ini Mas merupakan salah satu tumbal yang sudah ditandai." Jelasku.

"Aku tidak habis pikir dengan Simbah, kok tega sekali mengorbankan keturunannya. Kalau nanti saatnya tiba, mungkin aku juga akan menjadi tumbal berikutnya, sementara dosa-dosaku tidak sebanding dengan amalku." Ujar Haryati dengan raut wajah yang sedih.

Malam pun datang, sesuatu hal terjadi diluar kebiasaanku. Setelah selesai sholat isya, aku merasakan kantuk yang begitu berat, hingga aku tertidur di atas sajadah.

Dalam mimpi, aku melihat Wangsadireja terus mengaum tiada henti, karena kini dia tengah dililit oleh seekor ular yang berukuran sangat besar. Lalu, tak berselang lama aku mendengar sayup-sayup sebuah suara yang sangat aku kenal.

"Naha Jang meni kamalinaan teuing, tuh batur maneh keur dirogahala.” (Kenapa Nak sampai terlena begitu, tuh lihat kawanmu lagi tersiksa.) Bisik sebuah suara yang terasa begitu dekat, dibarengi dengan sebuah belaian lembut di rambut kepalaku.

"Nin...” (Nek…)

Aku berteriak dan langsung terbangun, "Ya Allah!" seraya mengusap wajah dan merasakan suasana hati yang tidak enak.

"Hmm... terjadi sesuatu pada Wangsadireja..." Gumamku.

Aku segera duduk bersila, menyatukan hati dan pikiran, larut dalam kebesaran nama Tuhan, dan...

"Wesss..." aku tengan berada dalam dimensi dunia lain. Ternyata benar, Wangsadireja tengah dibelit oleh sebuah ular hitam yang begitu besar. Auman Wangsadireja terdengar begitu lemah.

Melihat hal itu, aku tidak ingin kehilangan Wangsadireja, secepatnya aku membaca Asma Empat Nabi dan doa Telaga Qausar. Sebuah hawa yang begitu sejuk menerpaku, disertai dengan sebuah cahaya ungu yang mengitari tubuhku,-

lalu menyebar menyelimuti tubuh ular hitam yang kini tengah membelit Wangsadireja. Secara perlahan-lahan, ular itu melonggarkan belitannya lalu tubuh ular itu seakan menjauhi cahaya ungu.

Ular hitam itu mundur beberapa meter, lalu merubah wujudnya. Separuh badannya berbentuk tubuh manusia dengan jenggot panjang yang hampir menyentuh tanah, rambutnya juga tidak kalah panjang, hanya saja bagian tengah kepalanya ditumbuhi dengan dua tanduk yang bercabang.

Aku Pun segera mengelus kepala Wangsadireja, "Waras kersaning Allah. Waluya Wangsadireja." Batinku sambil meniup kepala Wangsadireja.

Ternyata saat aku tertidur, Wangsadireja mencoba menghalangi Brolok Ireng yang datang dan hendak menjemputku, hingga terjadi pertempuran yang dahsyat, mungkin seandainya jika tidak dihalangi oleh Wangsadireja, bisa jadi aku telah menjadi bagian dari tumbal dari keserakahan mbah Sudirat.

"Kita kembali bertemu lagi Brolok Ireng. Kamu telah mencelakai dan hampir membunuh Wangsadireja, kamu memang hebat. Siluman yang memiliki kesaktian sepertimu hanya dimilki oleh siluman yang berumur ratusan tahun." Ujarku.

"Hahaha... Kali ini, aku tidak akan membebaskanmu. Aku juga tidak akan perduli jika kakek tua bangka yang menyelamatkan dirimu tempo hari, akan datang kembali untuk menyelamatkanmu! Manusia sepertimu termasuk manusia yang paling enak untuk dimakan oleh bangsaku, dan aku akan sangat bangga, bila bisa membawamu sebagai persembahan untuk Nyimas Agung. Ayo sebut dan panggil Tuhan-mu, sebelum aku membawamu!"

Tantang Brolok Ireng dengan tawanya yang bergema.

Aku segera menyiapkan pukulan Jibril dan juga guncangan Zalzalah, dibarengi dengan Hijib Qursi. Dengan satu hentakan disertai sebuah teriakan, aku hantamkan dua pukulan secara berbarengan,

"Wussss~" Satu larik sinar putih dan goncangan dahsyat pun menggelegar.

"Hahaha... Cuman segini saja kemampuanmu, hah?!" Ejek Brolok Ireng sambil menarik nafas, kemudian menghembuskannya untuk menghalau dua pukulanku.

Dan kedua pukulanku, mampu dipatahkannya hanya dengan tiupan dari mulutnya.

Brolok Ireng kembali menarik napas dan dengan satu hentakan kakinya, dia meniupkan ke arahku,
"Wusssssh~" Sebuah angin berhawa panas datang bagaikan pusaran puting beliung, berputar mengelilingi tubuhku. Tak terlekkan, tubuhku tertelan pusaran angin panas itu, dan keringatku pun mulai mengucur deras.

"Empat Asma Nabi adalah lautan, dan ilmu-ilmu itu adalah ikan…" Batinku.

Aku segera merapal Asma Empat Nabi dan Doa Telaga Qausar yang telah diajarkan oleh kakek Paku Bumi Tatar Kulon. Sebuah cahaya ungu tiba-tiba datang menyelimuti dan membungkus tubuhku, hingga pusaran angin puting beliung itu tak mampu menelanku, dan secara perlahan menjauhi lalu hilang dibalik tubuh Brolok Ireng.

Melihat serangannya bisa dipatahkan, Brolok ireng kemudian mengangkat tangannya ke atas, seketika petir menyambar dan suara guntur saling bersahutan, dan tubuh Brolok Ireng pun terpecah menjadi tujuh.

Aku tahu, ini adalah ilmu pemecah raga tingkat tinggi dan ilmu ini hanya dimiliki oleh bangsa siluman dalam starata tinggi.

Kini ketujuh tubuh Brolok Ireng menyerangku kembali dan berusaha menjebol tameng Asma Empat Nabi dan aku betul-betul tidak berdaya,-

hanya mampu berlindung kepada Gusti Allah dengan Wasilah Asma Empat Nabi. Mataku terus terpejam, hatiku memuji keagungan Tuhan Sang Pencipta dan mulutku larut dalam bacaan Doa Asma Empat Nabi.

Pukulan demi pukulan yang berhawa panas dari ketujuh wujud Brolok Ireng terus menyerangku dengan bertubi-tubi. Aku yang masih diselimuti oleh cahaya ungu mulai merasakan kepanasan dan aku terus mencari cara agar bisa keluar dari situasi ini.

Segera aku gabungkan pukulan Jibril dengan doa Telaga Qausar. Dua pukulan yang berbeda karakter, antara hawa panas dan sejuk telah siap ditangan kananku. Dari sikut sampai jari tanganku berselimut cahaya putih, lalu tangan kiriku telah terisi dengan pukulan Zalzalah.

Aku terus menunggu waktu yang tepat agar bisa melayangkan serangan balik kepada Brolok Ireng.

"Hahaha... Manusia, kamu hanya bisa sembunyi dibalik perisai itu. Apa sudah tidak ada lagi kemampuanmu untuk menghadapi aku, hah?!"

Ejek Brolok Ireng yang sengaja memancing diriku untuk keluar.

Cukup lama ketujuh tubuh Brolok Ireng menggempurku, hingga Brolok Ireng akhirnya menarik semua pecahan raganya untuk kembali bersatu, inilah saatnya bagiku untuk keluar, dan di saat yang tepat aku langsung menarik perisai Asma Empat Nabi, lalu menyerangnya dengan tiba-tiba.

Sebuah serangan menderu langsung mengarah ke arah tubuh Brolok Ireng yang tengah lengah, disusul dengan serangan berikutnya.

Sebuah serangan yang berisi Empat pukulan dengan hawa yang berbeda mengarah ke tubuh Brolok Ireng, dan dengan cepat, dua tangan Brolok Ireng diangkat ke atas, tapi terlambat, empat pukulan saling beruntun menghantam tubuhnya, hingga membuat tubuh Brolok Ireng terpental. Dengan sisa-sisa tenaganya, Brolok ireng berusaha beringsut dengan tubuh yang limbung.

"Pengecut! Memang anak manusia pengecut! Menyerangku ketika aku sedang lengah. Apa karena kamu takut, hah?!" Ujar Brolok Ireng sambil memegangi dadanya yang terluka.

"Cih! Padahal kau yang datang menyerangku saat aku tengah tertidur." Jawabku tak kalah garang.

"Hari ini kamu menang. Tapi ingat, aku akan kembali datang untuk mencarimu dan membawamu sebagai persembahan untuk Nyimas Agung Sang Penguasa gua Raja Naga." Cetus Brolok Ireng.

"Brolok Ireng, kita sudahi sampai disini urusan kita dan diantara kita, tak ada lagi silang sengketa." Ujarku.

"Hanya ada satu pilihan untukmu. Bunuh aku atau bunuh yang namanya Sudirat yang telah menjadikan dirimu sebagai tumbal dan persembahan untuk Nyimas Agung!" Tantang Brolok ireng.

"Aku tidak akan menerima tawaranmu, karena aku punya pilihan sendiri." Jawabku sambil kembali merapal doa Al-zalzalah dalam hatiku.

"Apa pilihanmu, wahai manusia?" Suara Brolok Ireng bergema.

"Mengirimmu kembali pada penguasa gua Raja Naga sebagai bentuk perlawananku!" Jawabku seraya memukulkan telapak tanganku.

Tubuh Brolok Ireng yang limbung semakin terhuyung-huyung. Paduan Empat Asma Nabi dengan doa Telaga Qausar membentuk cahaya ungu, membungkus tubuhnya lalu terbang ke arah selatan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close