Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL TURUNAN (Part 8 END)


Tidak lama setelah kami berbincang-bincang, seorang santri datang dengan nampan yang berisi cemilan dan dua cangkir, yang dari wanginya pasti kopi hitam kental.

"Wah, dari dulu kebiasaanmu gak berubah ya, Wi?" Ucap Gus Malik, saat melihatku menuang kopi di piring kecil.

"Hehehe... Masih ingat saja sampean itu, Gus..." Jawabku disusul dengan tegukan pertama yang menghangatkan dan sudah pasti, ujung rokokku terbakar.

"Aku tahu kedatanganmu pasti tidak jauh dengan urusan perghaibanmu, kan?" Ujar Gus Malik sambil menatap ke arahku.

"Kok tahu, Gus?" Jawabku, heran.

"Sebentar lagi mereka akan datang untuk mengejarmu, Wi." Balas Gus Malik.

"Serius, Gus?" Tanyaku memastikan.

"Iya, Wi. Tuh baru saja diomongin, mereka sudah datang." Jawab Gus Malik, sambil menatap ke arah depan.

Gus Malik sendiri merupakan salah satu santri kesayangan dari mbah Yai Ambari dan tentunya kelebihan-kelebihan yang dimiliki mbah Yai, bisa saja dan tidak menutup kemungkinan dimiliki oleh Gus Malik.

Aku sebenarnya datang kesini dengan harapan, bahwa Gus Malik mau membantuku yang saat ini sedang dikejar oleh para dedemit goa Raja Naga, atas permintaan mbah Sudirat. Meski telah ada kesepakatan antara penguasa gua Raja Naga dengan Kyai Among Rogo,-

tapi tetap saja, yang namanya iblis tidak akan pernah takut untuk melanggar perjanjian. Dan bisa saja, Nyimas Pandan Sari masih memiliki dendam untuk membinasakanku.

Gus Malik mengambil sebatang sapu lidi, lalu mulutnya berkomat-kamit.

Setelahnya, menjadikan sapu lidi itu untuk menulis di atas tanah. Aku melihat sebuah tulisan Asma Empat Nabi, hanya saja ada sesuatu yang tidak aku mengerti, semua tulisan Asma Empat Nabi itu terbalik ditulis dengan keadaan terbalik.

"Jangan heran, Wi. Ini sengaja aku tulis terbalik, untuk menyerang balik mereka dengan serangannya sendiri." Ucap Gus Malik seakan tahu apa yang kupikirkan.

"Opo tenan iki, Gus?!" Seruku.

Empat Asma terbalik. Aku pernah mendengarnya waktu itu, saat masih menjadi salah satu anak didik dari mbah Yai Ambari. Tapi pada waktu itu, pondok tidak mengajarkan secara khusus kitab yang berisi tentang pengajaran hal-hal yang bersifat ghaib,-

mungkin karena aku terbilang salah satu anak didik yang sedikit bandel, jadi tanpa sepengetahuan siapapun, aku mempelajarinya tanpa guru yang membimbing, aku hanya mengikuti petunjuk dari kitab yang kubaca saja,-

dan aku lebih cenderung untuk mencoba menggabungkan satu amalan dengan amalan yang lain, tanpa pernah untuk mencoba apa yang kupelajari, hingga sampai sebuah kejadian yang menimpa kehidupanku,-

dan aku sangat-sangat merasakan efek dari sebuah kiriman yang tidak terlihat dan dimata masyarakat lebih dikenal dengan istilah tenung, santet, teluh juga yang lainnya.

Setelah kejadian yang menimpa kehidupanku yang mengakibatkan aku harus kehilangan dan menderita, juga mengalami sebuah kehancuran yang diakibatkan oleh sihir, maka setelah kejadian itu, aku terus menggali dan mempelajari, hingga akhirnya aku bisa banyak membantu masyarakat.

Dan pada saat itu juga, aku banyak menemui hal-hal yang memang diluar logika.

Saat aku turun ke masyarakat, aku sadar bahwa apa yang kujalani, sangat berisiko dan bisa jadi nyawa kita sendiri menjadi taruhannya,-

karena banyak kejadian bahwa sang pengirim sihir merasa tidak terima saat kita mengobati orang yang menjadi sasarannya, sehingga pada akhirnya adalah terjadi menyerang pada orang yang mengobati.

Satu hal yang sulit adalah melepas simpul-simpul ghaib yang dikirim, karena bisa saja simpul-simpul itu disimpan oleh si pengirim di tempat yang tidak diketahui orang lain, jika si pengirim sihir sudah berada pada tingkatan atas.

Hal yang sulit lainnya adalah jika yang menjadi target sudah terlalu lama terkena kiriman sihir.

Ini juga akan lebih sulit untuk dibersihkan, karena kiriman sihir sudah mengakar dan mendarah daging. Maka dari itu, ada baiknya kita memagari diri dengan lebih dekat kepada Sang Pencipta, dan memohon perlindungan-Nya,-

hingga dengan sendirinya perisai ghaib akan menyelimuti tubuh kita dan bisa menangkal semua kiriman-kiriman sihir dari orang-orang yang tidak menyukai kita.

***

Gus Malik hanya tersenyum dan menatapku, seraya berkata "Wi, tidak ada sesuatu apapun yang terjadi pada diri manusia tanpa seijin Gusti Allah, dan kekuatan Yang Maha Besar hanyalah kekuatan Gusti Allah. Jika Allah berkehendak,-

maka mereka akan bisa mengalahkanmu, tapi sebagai manusia kita wajib berusaha dan berdoa. Bukankah doa adalah penangkal takdir, Wi?" Jelas Gus Malik, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke arah depan.

Aku hanya menganguk dan mengikuti arah pandangan dari Gus Malik, dan tepat dari arah depan dan atasku, satu sosok ular hijau yang merupakan jelmaan dari Nyimas Pandan Sari tengah memperhatikan dan menatap ke arah kami berdua.

Betul juga ternyata nyimas Pandan Wangi yang datang, pikirku.

"Ular itu tidak akan berani masuk, selama kamu di sini. Hanya yang jadi masalah sampai kapan, kamu akan diam di sini? " Ucap Gus Malik sambil tersenyum ke arahku.

"Aku memang harus keluar dari sini Gus, hanya saja saat ini kondisiku sedang tidak dalam kondisi yang baik." Jawabku.

"Aku tahu Wi, apa yang kamu rasakan saat ini. Tunggu sebentar ya, biar aku urus dulu makhluk ini." Ujar Gus Malik sambil menyingsingkan lengan bajunya dan terlihat matanya terpejam dengan kedua tangannya bergerak seakan tengah membuat sebuah perisai ghaib.

Setelah melakukan itu semua, Gus Malik mengajakku untuk ke pekarangan belakang.

"Petik tujuh lembar daun bidara, Wi. InsyaAllah badanmu akan kembali segar…" Saran Gus Malik.

Aku segera melakukan apa yang disarankan oleh Gus Malik, dan setelah itu, aku dibawa ke bagian belakang rumah, ke arah dapur. Tujuh lembar daun Bidara kemudian dilembutkan dengan cara diulek, lalu direbus dan setelah mendidih ditambah sedikit garam.

"Minum ini, Wi." Ucap Gus Malik, setelah membaca doa dipermukaan gelas yang berisi air rebusan daun bidara.

"Iya Gus. Ngomong-ngomong ini pake doa yang mana, Gus?" Candaku sambil tertawa kecil.

"Satu guru satu ilmu, ojo ganggu. Hehe…" Ujar Gus Malik membalas candaanku.

***

Waktu bergulir begitu cepat, tidak terasa langit senja telah meremang dan dipenuhi oleh kicau burung-burung di dedahanan, seakan sedang memilih tempat terhangat direrimbunan pohon untuk melewati malam.

Selepas Isya, setelah meminum rebusan daun bidara, aku tertidur dan terbangun tepat tengah malam. Aku segera berjalan menuju ruang tengah dan duduk di kursi panjang, mataku mengitari ruangan yang penuh dengan berbagai kitab.

Kumpulan kitab-kitab khas pondok, hingga mataku tertuju pada sebuah kitab yang berwarna kuning.

"Hmm… Ini kitab yang dulu aku pelajari…" Gumamku.

Sekali tarik, kitab itu sudah keluar dari barisan-barisan kitab yang lain. Helai demi helai aku buka, hingga aku begitu asyik membacanya, dan tanpa sadar Gus Malik tengah berdiri dihadapanku yang tengah tertunduk membaca.

"Kamu cari di situ gak akan ada, Wi." Suara Gus Malik mengagetkanku, aku segera menengadah, dan satu tangan Gus Malik menyodorkan sebuah kitab yang terlihat usang.

"Kamu itu, dari dulu ya begitu itu. Kebiasanmu gak berubah, seperti kopi dan piring kecilmu." Ucap Gus Malik sambil menjatuhkan badan di kursi yang ada dihadapanku.

Aku hanya tersenyum, dan tanganku segera meraih kitab itu. Helai demi helai terlewati, hingga sampai di bab yang kucari. Dan aku pun membacanya dengan khidmat.

Setelah empat hari aku berada dikediaman Gus Malik, akhirnya aku berpamitan. Gus Malik memeluk tubuhku dengan erat, seraya berbisik, "Jalanmu dan jalanku memang berbeda, tapi satu hal yang harus kamu ingat, Wi.-

Jika kamu mampu dan bisa, maka permudahlah urusan orang lain yang datang kepadamu. Aku hanya mengutip dan mengingatkan padamu. Itu pesan mbah Yai sebelum ‘berpulang'..”

"InsyaAllah, Gus. Akan kulakukan semampuku." Jawabku.

Setelah itu, aku pun langsung berangkat meninggalkan pondok ‘Sirna Raga’ dan bergegas pergi. Kami bertemu di suatu tempat, dan tidak langsung pergi ke rumah Haryati. Saat tiba di tempat tujuan, Haryati telah menungguku, kemudian mengatakan bahwa kakeknya masih ada di rumah.

"Tiga hari mbah gak keluar kamar, dan sepertinya mbah sedang melakukan semedi. Mungkin mbah sedang mempersiapkan dirinya, karena walau bagaimana pun, aku khawatir terjadi sesuatu diantara kalian berdua, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi mencegah mbah." Ucap Haryati penuh rasa khawatir.

"Tidak ada pilihan lain, Ti. Kini hanya antara aku mbahmu yang harus menjadi tumbal." Jawabku tegas.

"Apa gak ada jalan lain, Mas?" Ujar Haryati.

"Aku sudah menerima pemberian uang dari mbah Sudirat yang sudah diritualkan. Dan siapapun yang memegang uang itu, sudah dijadikan sebagai tanda manusia yang jadi persembahan. Jika aku bisa lepas, maka mbahmu yang akan menjadi gantinya, dan itu sudah menjadi resiko,-

ketika tidak ada lagi nyawa yang bisa dijadikan tumbal, maka pemilik pesugihan yang akan diambil. Jujur waktu, kemarin kamu demam, sesungguhnya dirimulah yang dijadikan gantinya." Jelasku.

"Beneran Mas?!" Ucap Haryati kaget.

“Benar, Ti. Awalnya aku, karena tidak bisa, akhirnya kamu yang mau diambil, dan aku bisa mencegahnya atas ijin Gusti Allah. Mungkin karena merasa dihalangi, akhirnya mbah Sudirat kembali menjadikan aku sebagai persembahan, tapi sudahlah..." Ucapku saat seorang pelayan datang membawa pesanan yang Haryati dan aku pesan.

***

"Hahaha... Modar kowe Bocah!!" Tawa mbah Sudirat pecahkan keheningan malam. Kali ini dibarengi dengan melesatnya sebuah keris hitam, disusul liukan seekor ular hijau yang tiada lain adalah Nyimas Pandan Sari.

Aku yang memang sudah mempersiapkan segalanya dan menunggu kedatangan kiriman mbah Sudirat, kemudian mencabut keris Naga Pertala sambil mengucap ’Bismillah’. Sesaat aku berkomunikasi dengan Kyai Among Rogo, meminta ijin untuk menggunakan kembali keris Naga Pertala,-

dan Kyai Among rogo mempersilahkanku. Keris Naga Pertala pun keluar dari sarungnya, melesat cepat mengarah kepada Nyimas Pandan Sari.

Di sisi lain, keris hitam mbah Sudirat melaju lurus, tepat mengarah ke jantungku. Aku kemudian mengangkat kedua telapak tanganku, dalam posisi menahan energi kiriman mbah Sudirat. Keris hitam itu pun tertahan dalam jarak satu meteran dari tubuhku.

Dua kekuatan yang seimbang saling beradu. Dua energi saling berbenturan, dan dua-duanya sudah mencapai puncak energi, lalu ledakan dahsyat terjadi, terdengar menggelegar.

Aku merasakan tubuhku terdorong ke belakang, dan keris hitam itu pun terpental, tapi tidak berapa lama, keris itu kembali datang, melesat cepat. Tapi kali ini berbeda, ada satu kekuatan lain yang mendorong keris itu.

Dan tiba-tiba dari samping kiri dan kanan keris itu, dua ekor ular hitam terihat ikut mengiringi melesatnya keris hitam. Ujung keris yang lancip, dengan dua pasang taring dari ular hitam, seakan sudah bersiap untuk menancap di dada dan leherku.

"Dengan menyebut Asma Gusti Alloh. Balik…!" Bentakan suaraku seakan menggelegar.

Empat Asma terbalik yang kupelajari dari Gus Malik menghantam balik kiriman dari mbah Sudirat. Entah apa yang salah, kulihat bahwa keris hitam itu tetap melesat dengan cepatnya, sedangkan dua ekor ular itu terbakar, dan berbalik arah.

"Wessss~” Keris hitam terus melesat dengan cepat.

Aku merasakan sebuah hawa panas dan teramat sangat panas menembus tepat dibahuku, "Sleeeb...!" Hawa panas kemudian menjalar ke seluruh tubuhku, ketika keris itu menusuk bahuku. Aku merasakan seakan akan terbang melayang.

Dalam kamar yang tidak begitu besar, aku tak mampu untuk membuka mata. Yang kurasakan pada saat itu, hanya gelap. Semuanya terlihat begitu gelap, entah pingsan atau apapun namanya.

Yang kuingat, aku seakan berjalan sendirian di suatu tempat yang begitu terang dan luas, terlihat dari jauh seorang laki-laki berbaju putih melambaikan tanganya, dan tersenyum ke arahku.

Kulangkah kakiku terus mengarah pada laki-laki tersebut, dan dengan jelas sekali bahwa lelaki berbaju putih adalah sosok ayahku. Dengan kedua tangan yang direntangkan seakan-akan ingin memeluk tubuhku, tapi tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang menghalangi jalanku, seraya berkata,

"Pulanglah, Nak. Ini belum saatnya..." Ucap kakek tua tersebut, lalu kemudian lenyap dari hadapanku. Sosok yang menyerupai ayahku pun sudah tidak terlihat lagi. Lalu tiba-tiba, aku seakan memasuki sebuah lorong cahaya.

Aku seakan mendengar lantunan orang yang sedang mengaji. Aku tersadar dan membuka mataku. Aku tengah terbujur di ruang tengah, dikelilingi oleh orang-orang yang tengah membaca surah Yasin. Kulihat Haryati, sedang duduk tertunduk dengan kedua mata yang terlihat sayu dan sembab.

Aku langsung duduk, sambil menyingkapkan kain jarik yang menutupi tubuhku. Kuarahkan pandangan ke sekitar, dan Haryati yang melihatku duduk, langsung memeluk tubuhku dan dengan serentak semua orang-orang mengucap syukur, setelah sebelumnya merasa ketakutan.

"Ketika Gusti Allah berkehendak, maka tak ada sesuatu yang tidak mungkin…"

Menurut penuturan Haryati, sudah satu hari satu malam, aku dinyatakan 'koma' dan bahkan, sempat beberapa saat detak jantungku terhenti.

***

Seminggu kemudian, di tengah malam saat aku bertirakat, aku merasakan sebuah hawa panas yang datang dan kembali, permainan mbah Sudirat telah dimulai. Saat kejadian malam itu, aku dapat memastikan sesuatu, bahwa mbah Sudirat masih memburuku.

Dendamnya masih tinggi, dan benar-benar berhasrat untuk membunuhku.

Energi serangan ghaib kali ini terasa begitu kuat, dan mungkin juga sebagai pamungkas dari semua ilmu-ilmu mbah Sudirat. Aku merasakan hawa panas yang luar biasa, hingga keringatku deras bercucuran.

"Ya Rabb, jika malam ini adalah malam yang terakhir bagiku, maka matikan aku dalam keadaan mengingat-Mu. Ya Rabb, jika malam ini adalah akhir dari semuanya, maka jadikanlah setiap ayat, setiap kalimah dan setiap surah yang pernah kubaca, menjadi sebuah sebuah wasilah/jalan untuk menghentikan semuanya, dengan ke-Agungan dan segala Karomah yang terkandung di dalamnya." Lalu dengan segera aku menepuk lantai, seiring mataku yang terpejam.

Tak berapa lama, seekor ular besar dengan tiga kepala, datang mendesis ke arahku.

"Jika kamu datang atas suruhan penguasa gua Raja Naga, maka ambilah abdimu, Sudirat. Jika yang menyuruhmu adalah Sudirat maka kembalilah kepada tuanmu. Dan jika ini atas kehendak kalian berdua, maka aku akan mengusirmu saat ini juga!" Seruku.

Secara perlahan-lahan cahaya ungu kemudian menyelimuti seluruh tubuhku. Ular besar berkepala tiga, dengan cepat melesat ke arahku.

Aku yang sudah mempersiapkan segalanya dengan segera menarik napas, seraya menarik tanganku ke arah belakang, lalu dengan sebuah hentakan, aku mendorongkan dua telapak tanganku untuk menghalau melesatnya tubuh ular berkepala tiga tersebut.

"Wisssh~" Sebuah energi dari Empat Asma Terbalik, berbenturan dengan tubuh ular yang melesat itu. Kali ini tubuh ular itu terpental dan energi dari Empat Asma Terbalik terus membungkus tubuh ular tersebut.

"Blarrrr...!" Ular itu tercerai berai.

Satu kepala dari ular tersebut kemudian berubah menjadi keris hitam, lalu melesat kembali ke arahku. Dua kepala ular, kini berubah menjadi sosok Nyimas Pandan Sari.

Keris hitam yang kembali melesat ke arahku, tiba-tiba disambar oleh keris Naga Pertala, lalu kedua keris itu menempel jadi satu, kemudian cahaya hijau dari keris Naga Pertala meredam cahaya hitam gelap dan sejurus kemudian,-

cahaya hijau dari keris Naga Pertala melesat ke arah yang berlawanan. Melihat hal itu, Nyimas Pandan sari, melesat untuk menghalangi laju dari keris Naga Pertala. Tubuh ularnya membelit keris hijau Naga Pertala,-

tapi Nyimas Pandan Sari tidak mampu untuk menghentikan lesatan keris hijau Naga Pertala, dan seakan tubuh dari Nyimas Pandan Sari tergusur oleh kekuatan keris Naga Pertala. Aku pun merasakan sebuah guncangan yang begitu dahsyat disusul sebuah jeritan kesakitan, "Aaaaaa...!!"

"Mas, Mbah, Mas… Mbah..." Ucap Haryati di gagang telepon.

"Kenapa dengan Mbah, Ti?" Jawabku.

"Mbah sudah dua hari badannya panas tinggi, Mas. Sampean bisa ke sini?" Balas Haryati dengan nada panik.

Sesaat setelah berada di dalam kamar, mbah Sudirat memalingkan mukanya saat aku datang dan mengucap salam. Tubuh rentanya terlihat sedang dibelit seekor ular hitam yang besar.

"Antarkan aku pulang, penguasa gua Raja Naga sudah menungguku..." Ucap mbah Sudirat dengan suara lirih.

Aku segera mengangguk dan keluar dari kamar, lalu menghampiri Haryati dan mengatakan padanya tentang keinginan dari mbah Sudirat. Hari itu juga, aku dan Haryati segera menuju kampung halamannya, sesaat setelah sampai di kampung halaman,-

mbah Sudirat langsung kami baringkan di kamarnya sendiri, dan pada saat maghrib, mbah Sudirat meregang nyawa, dia meninggal.

***

Dua bulan setelah kematian Mbah Sudirat,

Haryati kembali memintaku untuk datang ke kampung halamannya dalam acara syukuran atas pembangunan kawasan panti dan masjid yang didirikannya, tapi karena ada sebuah urusan, aku tidak bisa datang.

Berselang dua hari kemudian, Haryati merasakan pusing dan suhu badan yang sangat panas. Aku mengetahuinya dari sebuah teks pesan yang masuk ke dalam selulerku. Pada malam harinya, tepat pukul 22: 45. Aku melakukan kontak mengirimkan pesan kepada Haryati.

"Jangan tidur malam ini dan minta seluruh anak Yatim untuk berdzikir dan membaca Yasin…" Pesanku mengingatkan Haryati.

Entah berapa banyak Al-Fatihah yang kukirimkan dan kutujukan untuk Haryati, yang jelas malam itu aku merasakan sesuatu yang membuat aku begitu resah. Jam empat pagi, sebuah pesan masuk kembali, yang memberitahu bahwa Haryati sudah tiada.

Di malam harinya, aku bermimpi bahwa Haryati tengah berada di tengah laut dan tubuhnya sedang dibelit oleh seekor ular hitam.

Pada malam kedua, aku kembali bermimpi melihat Haryati berkamben hijau dan melambaikan tanganya ke arahku.

Pada malam ketiga, aku kembali bermimpi. Haryati kini tengah berada di gua Naga Raja, dan tengah dicekik oleh mbah Sudirat. Mbah Sudirat begitu marah kepada Haryati yang telah mendermakan semua hartanya, dan menjadi pemutus dari tumbal turunan dengan mengorbankan dirinya.

Aku langsung terbangun. Yang aku pahami, bahwa ketika seseorang itu telah meninggal, ruhnya akan kembali kepada Sang Pencipta. Adapun gambaran-gambaran siksaan yang terlihat di dalam mimpiku, itu hanyalah Jin qorin.

Jin yang menyerupai kita, dan sesungguhnya menjadi pengingat bagi kita, bahwa segala persekutuan yang dilakukan dengan bangsa Jin, tidak akan mendatangkan kebaikan, dan bahkan selalu berakhir dengan kesengsaraan.

-TAMAT-

Kisah perseteruan antara Mas Wi ketika membantu Haryati dengan Mbah Sudirat selesai sampai disini. Nanti akan ada lanjutannya di kisah dengan judul "TUMBAL PAMUNGKAS" terimakasih.
close