Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANG PENAKLUK JIN (Part 10) - Kisah Nyata


JEJAKMISTERI - Kang Wiji pun tak mau kalah, dia maju menyerang dengan bogem yang telah dilambari aji lebur sekti, tangannya yang besar berotot menderu, tapi plep! Pergelangan tangannya dapat ditangkap Muhamad. Dan oleh Muhamad kepalan kang Wiji diadu dengan bogemnya . Dugh! Kang Wiji menjerit, jari-jarinya seperti patah semua, lalu tangan kang Wiji yang masih digenggaman Muhamad itu diangsurkan ke mulutnya yang terbuka menganga, “Sudah mateng huahaha..” tangan kang Wiji digigit, aku sudah sampai disitu “Hentikan!!” bentakku tak sadar. Muhamad kaget, tangan kang Wiji dilepaskan, yang segera dipeganginya dan wajahnya meringis-ringis, sementara Muhamad melihatku, dia mundur-mundur. Takut, aku beranjak maju, dan Muhammad mundur-mundur. Untung saja aku mempunyai daya hayal yang tinggi karena setelah ku pelajari, ilmu dalam tubuhku ini perlu dibangkitkan dengan memerlukan daya hayal yang tinggi, melihat Muhamad yang kerasukan mundur-mundur takut padaku, bertambahlah keberanianku, tanganku terangkat dengan jari telunjuk membuat coretan-coretan di udara kearah tubuh Muhamad, setelah itu tapak tanganku terbuka, kubayangkan aku menyedot jin yang ada di dalam tubuh Muhamad, dengan menggunakan telapak tanganku, hasilnya, tubuh Muhamad lemas menggelosor ke bawah, pertanda jin telah keluar.

Saat yang menegangkan telah berlalu, Bibi Asiah tak menangis lagi, dan Muhamad juga telah sadar, sementara tak hentinya orang-orang memberikan ucapan selamat atas keberhasilanku mengobati. Para tukang suwuk memuji-muji ilmu yang ku miliki.

“Mas Ian, benar-benar luar biasa, belum pernah saya melihat ilmu sehebat itu, mengeluarkan jin dari seseorang tanpa jurus-jurus.” kata kang Nur.

“Ah jangan dilebih-lebihkan, biasa saja.” jawabku yang memang belum tau pasti akan ilmu dalam tubuhku.

“Benar sampean kang Nur.” tandas paman Muhsin, “Aku saja kalau mengeluarkan jin harus pakai sarat atau jurus tertentu, setidaknya harus pakai bacaan Ayat tertentu dari Alquran.” kang Nur dan kang Wiji manggut-manggut. Kang wiji nampak memegangi tangannya yang biru lebam.

“Kenapa kang tangannya?”

“Ini mas tadi, beradu jotos dengan Muhamad yang kerasukan.” jawab kang Wiji meringis menahan sakit.

“Coba lihat.” tangan kang Wiji yang lebam segera diangsurkan kepadaku.

“Saya akan coba obati, kalau sembuh ya syukur, kalau tak sembuh ya sabar.” kataku, karena sekalian mau mencoba ilmu yang ada di dalam tubuhku.

Kusuruh kang Wiji meletakkan tangannya yang lebam membiru di atas tapak tangan kiriku yang terbuka, lalu tapak tangan kananku ku taruh di atas tangan kang Wiji, berjarak sepuluh sentian, kubayangkan tenaga mengalir dari pusarku hangat bergulung berkumpul di tapak tanganku, menyerbu masuk ke tangan kang Wiji mengangkut segala sakit derita, nyeri terangkat seperti udara hitam berkumpul terangkat dan ku tangkap di tapak tanganku, kemudian kubuang.

“Sudah..!” kataku, sambil melepaskan penahanan napasku, semua mata yang memandang pun ikut bernapas lega, yang saat aku mengobati kang Wiji semua menatap tegang.

“Bagaimana kang rasanya?” tanyaku yang tak yakin akan ilmuku sendiri.

Kang wiji menggenggam lalu membentangkan jarinya, dilakukan berulang-ulang, “Sudah enak, tak sakit lagi.” katanya girang.

“Ah yang benar kang?” kata kang Nur tak percaya.

“Tadi apa yang kau rasakan, saat diobati?”

“Seperti banyak semut yang masuk ke dalam tubuhku, lalu seperti ada yang terbetot keluar dari tanganku, wah, makasih banyak mas Febri…!” kata kang Wiji haru.

Malam itu aku benar-benar tak habis-habisnya dipuji.

Besoknya jadi pembicaraan di setiap mulut, sekaligus menambah keyakinanku akan ilmu pengobatan dari Kyai. Dan di malam aku mengobati itu, dalam tidurku tiba-tiba aku mendengar ledakan teramat keras membahana. Aku kaget dan terbangun. Betapa terkejutku, karena kamarku penuh asap. Dan ternit kamarku jebol. Yang lebih menakutkanku apa yang ku lihat. Ku lihat tubuh yang teramat besar dalam kamarku, aku beringsut mundur, melihat penampakan yang memiriskan hati, tubuh yang tinggi besar sampai kepalanya tembus ke internitku, padahal ternit dalam kamarku tingginya empat meter dari tanah.

“Kau siapa?” tanyaku gemetar.

“Ampun tuan, mohon saya dilepaskan dari belenggu ini tuan..!” kata suara mahluk besar itu memelas, mengiba-iba. Baru kuperhatikan tubuh mahluk besar itu terbelit-belit rantai yang hampir membungkus tubuhnya.

“Hei, siapa yang membelenggumu?” tanyaku keheranan.

“Oh kenapa tuan lupa? Bukankah tuan yang membelengguku? Huhu…, tolong tuan lepaskan saya, ampuni saya tuan, huhu…” kata mahluk itu menangis.

“Hus..,cengeng, masak begitu saja nangis…” aku mulai berani.

“Tapi tuan, kalau belenggu ini tak dilepas, saya akan sengsara seumur-umur, huhu…, bagaimana kalau saya makan, bagaimana saya buang air besar, huhu…, bagaimana aku pipis? Tak ada yang memegangi, pasti kencingnya kemana-mana, huhu…”

“Nanti dulu, nanti dulu.., aku mau melepaskanmu, tapi kau tunjukkan dulu asalmu dan kenapa sampai di tubuh paman Mursid, awas jangan bohong!!, udah jangan nangis…! Jadi jin cengeng amat sih…” kataku agak jengkel juga karena jin itu nangis hahahuhu.

“Tuan, aku ini adalah jin penghuni Telogo Wungu, daerah Pati, aku sampai di tubuh Mursid karena aku dikirim orang.”

“Dikirim lewat pos? atau paket kilat?”

“Ya enggak lah, masak jin dikirim lewat pos hu..hu..hu..” lalu jin itu menceritakan tentang siapa yang mengirimkan dan karena masalah apa. Aku pun melepaskan rantai yang membelit tubuh jin, dengan menjulurkan tanganku, dan bilang “lepas!”, maka rantai yang membelenggu jin itu pun hilang, entah kemana.

Setelah belenggunya tak ada, tiba-tiba jin itu menggelosor bersimpuh di depanku, aku kaget tapi ingin ketawa juga, karena melihat ukuran jin itu duduk aku masih sepinggangnya kalau berdiri, yang membuat aku pengen ketawa karena wajahnya yang tak menyeramkan dan lucu. Mata jin itu bulat besar, mengerjap-erjap, kepalanya gundul, tapi bekas cukurannya kurang bersih, hidungnya mbengol, dan bibirnya tebal sekali, seperti bibir keledai.

“Hei kenapa kau belum pergi?” tanyaku heran.

“Apakah tuan tak ingin menjadikanku pelayan?”

“Ah pelayan apa? Aku tak biasa dilayani, aku biasa nyuci baju sendiri,”

“Bukan itu maksudku tuan, tapi kalau tuan mau aku bisa mengambilkan nasi gandul dari Pati, enak lo tuan.”

“Ah apa enaknya nasi gandul tak usah promosi, lagian aku tak punya kerjaan tetap, tak kan sanggup membayarmu, udah sana pergi!”

“Baiklah tuan, kalau begitu aku mohon diri.”

“Eh tunggu dulu, betulkan dulu ternitku yang kau jebolkan.”

“Baik tuan.” lalu jin itu menjentikkan tangan dan ternitku kembali seperti semula.

Begitulah, setelah kejadian aku menyembuhkan paman Mursid, aku makin dikenal dan tiap hari ada saja yang datang dari anak yang rewel, orang sakit gigi, sakit kepala, penyakit dalam, penyakit luar, semua datang minta diobati, juga aku sering diajak lek Muhsin untuk menolong orang yang kerasukan jin. Namun aku sudah janji kepada Kyai bahwa aku hanya di rumah dua bulan, aku sudah kangen pada Kyai dan kedamaian pondok lereng gunung Putri. Apalagi setelah mengalami suatu kejadian yang membuatku amat merasa betapa masih dangkalnya ilmu yang kumiliki.

“Yan…!” suara lek Muhsin memanggilku, ketika ku utak atik internet, melihat pesan di emailku.

“Ada apa lek?”

“Nanti sore temani aku ke Kalitidu Bojonegoro ya?”

“Mau apa lek ? Mau nyambangi saudara apa?”

“Ah, biasa ada orang minta tolong, keluarganya ada yang kesurupan.” aku mantuk aja. Dan selepas Ashar, aku dan lek Muhsin pun pergi ke Bojonegoro.

Perjalanan ke Kalitidu dari rumahku hanya memakan waktu dua jam setengah, yaitu dari rumahku, naik angkot, kemudian ganti bus jurusan ke Bojonegoro, trus naik mobil ke Kalitidu, ini kalau lewat utara, sebenarnya melewati selatan lebih dekat, yaitu dari rumahku ke Cepu, Bato’an lalu nyebrang, sampai deh, cuma akan makan waktu lebih lama, karena dari rumahku ke Cepu jarang ada kendaraan, mungkin seharian menunggu belum tentu ada kendaraan.

Jadi untuk lebih gampangnya harus lewat Bojonegoro, walau jalannya muter, tapi kendaraan selalu ada. Sampai di rumah yang kami tuju, hari sudah sore tapi matahari masih enggan ke peraduan, suasana amat sepi, kami mengucap salam, berulang kali, baru muncul seorang lelaki setengah tua. Peci kain bundar bermotif kotak-kotak kain sarung ada bertengger di kepalanya. Wajah lelaki itu sedikit murung. Namun ketika berhadapan dengan lek Muhsin dia langsung tersenyum.

“Oh lek Muhsin, mari-mari, silahkan dienak-enakkan dulu.” setelah menerima kami berdua dengan ramah maka lelaki itu pergi ke dalam, menyuruh istrinya mengambilkan minuman dan makanan ala kadarnya.

Setelah itu kedua suami istri itu pun mengobrol dengan kami, saat berkenalan denganku lelaki itu bernama pak Soleh. Dan istrinya bernama Hamidah, karena istrinya adalah orang sedesaku maka mengenal lek Muhsin, kemudian tau lek Muhsin biasa menyembuhkan orang yang kerasukan jin, jadi lek Muhsin dipanggil.

“Awal-awalnya gimana to di, kok si Marjuki itu bisa berpenyakit seperti itu?” pak Soleh pun bercerita:

“Benar Ki kamu mau mesantren?” tanya pak Soleh suatu malam kepada Marjuki yang sedang makan.

“Bener pak’e, aku sudah jenuh di rumah terus, tak ada perkembangan.” jawab Marjuki sambil mengunyah nasi di mulutnya.

“Mondok itu berat lho, kalau kamu mbangkong di rumah bapakmu ini tak ngapa-ngapain kamu, tapi kalau kamu mbangkong tak mau subuhan, bisa dipecuti sama Kyainya, kalau kamu melanggar peraturan pondok kamu akan diberi hukuman, apa kamu siap? Tirakat di pondok?”

“Pokoknya aku siap pak’e.”

“Lalu kamu mau mesantren di mana?”

“Bagaimana kalau di Tegalrejo, Magelang, pak’e?”

“Di mana saja tak masalah kalau memang kamu siap.”

Marjuki adalah anak tunggalnya pak Soleh, sifatnya ceria dan rajin bekerja, kadang membantu orang tuanya di sawah, kadang juga bekerja di tempat orang lain, pekerjaan apa saja, Marjuki siap melakukan asalkan halal, umur Marjuki telah menginjak sembilan belas tahun. Akhir-akhir ini Marjuki merasa kesepian, sebab teman-temannya yang selama ini menemaninya nyangkruk telah pergi semua, mencari pengalaman hidup, ada yang mesantren ada juga yang pergi merantau ke Jakarta, ada yang ke Malaysia, bahkan ada yang ke Saudi Arabia, Marjuki bingung mau kemana. Tapi setelah berpikir, maka Marjuki memutuskan mesantren saja, maka dia pun bercerita pada ibunya supaya keinginannya disampaikan pada ayahnya. Dan terjadilah dialog malam itu, sekarang dia telah pergi ke Magelang.

Setahun di pesantren, Marjuki pulang keadaannya telah berubah, dulu dia periang dan giat bekerja, kini sering kelihatan diam dan amat malas, bahkan dia suka pergi menyepi di kuburan-kuburan, dan melakukan puasa yang aneh-aneh, bahkan kamarnya dicat warna hitam. Pak soleh melihat hal yang seperti itu, mau menegur, tapi takut Marjuki marah, tak jarang karena kesalahan sedikit saja, Marjuki marah membanting piring.

Ternyata Marjuki telah terseret mempelajari ilmu sesat, yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul.

Telah beberapa hari, Marjuki tak keluar kamar, tidak makan, tidak melakukan aktifitas apa-apa, dari dalam kamarnya bau menyan jawa. Tiap malam menyengat hidung, ibunya sangat kawatir, maka setelah ada lima harian di kamar ibunya mengetuk pintu, memintanya untuk makan karena takut terjadi apa-apa yang menimpa anak semata wayangnya. Setelah lama mengetuk, terdengarlah lenguhan dari kamar, dan pintu terbuka. Terkejutlah perempuan itu, melihat Marjuki yang tak seperti anaknya.

Mata Marjuki semerah darah, di lingkar matanya warna hitam angker, hidungnya mendengus-ndengus, dari mulutnya keluar air liur yang membanjir.

“Hmmm, siapa kau perempuan tua? Mengganggu saja.” suara Marjuki, berat mendirikan bulu roma. Sangar!

“Nak ayo makan, nanti kamu sakit…” suara ibu Marjuki, di antara rasa takut melihat keadaan anaknya.

“Jebleng, jebleng… apa sudah kau sediakan darah ayam dan darah kambing?”

“Udah ibu masakkan sambal terong kesukaanmu.”

“Sialan, memang aku apa? Di masakkan suambel terong mati saja kau…” tiba-tiba tangan Marjuki bergerak cepat menyambar leher ibunya dan mencekiknya. Untung ibunya masih sempat teriak, sehingga teriakan itu didengar pak Soleh yang sedang membersihkan rumput di depan rumah, yang segera berhambur ke dalam rumah, melihat istrinya dicekik anaknya, sampai kelihatan matanya mau keluar, maka pak Soleh segera memukul tangan anaknya itu sehingga cekikan lepas. Melihat ada yang memukul tangannya Marjuki pun mengalihkan serangan ke leher pak Soleh, dengan mudahnya dia menangkap leher pak Soleh dan mencekiknya, tubuh pak Soleh sampai terangkat dari tanah. Dia mencoba melepaskan dengan segala daya, tapi tangan Marjuki yang kerasukan itu teramat kuat sehingga pak Soleh hanya menendang-nendangkan kakinya, nyawanya benar-benar telah di ujung tanduk, sementara istrinya yang tadi dilepas oleh Marjuki, ngos-ngosan di tanah, melihat suaminya dalam keadaan sekarat, segera mengambil kursi kayu, dan mengemplangkan ke kepala Marjuki sekuatnya. Sampai kursi kayu patah-patah. Dan untung cekikannya dilepaskan, sehingga pak Soleh pun menggelosor jatuh di tanah. Aneh, Marjuki sama sekali tidak berdarah, malah tertawa bergelak-gelak, lalu mengamuk menghantam meja kursi sampai semuanya hancur. Lalu dia berlari keluar rumah mengamuk di jalan, segera gemparlah semua tetangga, orang yang lewat segera lari ketakutan, lalu Marjuki meloncat ke atas genteng. Melempar-lemparkan genteng pada orang yang lewat di jalan. Ibu Marjuki menangis melihat keadaan anaknya seperti itu.

Para orang pintar telah didatangkan untuk membujuk Marjuki turun dari genteng, tapi malah disambitin pake genteng, dia hanya mau turun kalau diberi minum darah ayam dan kambing. Sudah dua hari Marjuki ada di atas genteng, dia mau turun kalau ada darah ayam dan kambing disediakan, dan setelah minum darah itu maka dia meloncat lagi ke atas rumah, dan menyambitin orang yang lewat. Kelakuan Marjuki yang menyambiti orang yang lewat dengan genteng rumahnya ini benar-benar membuat panas hati, maka para pemuda kampung pun bermusyawarah untuk menangkap Marjuki, dan nantinya akan dipasung, setelah dipancing dengan darah, Marjuki pun turun, ketika sedang menikmati darah yang dikasih obat bius itu, para pemuda pun bergerak meringkusnya, yang mau meringkusnya dari belakang ada tiga orang itu kecele, walau Marjuki tak melihat kebelakang, tapi dengan mudahnya dia menjatuhkan diri dan berguling sehingga yang menubruknya dari belakang hanya menangkap angin.

Pemuda dan orang desa pun melakukan pengepungan, dari kiri kanan, depan belakang, dengan susah payah tujuh orang dapat memegang tangan kaki, namun semua dapat disentak lepas, dan banyak yang terpental dilemparkan oleh Marjuki yang kerasukan, yang memang tenaganya berlipat-lipat, kembali tujuh orang berusaha mendekap memiting kaki tangan Marjuki, namun kali ini para penduduk tak mau usaha mereka sia-sia, maka segera berbagai macam tambang dijeratkan ke tubuh Marjuki. Rupanya saat itu obat bius yang dicampurkan darah pun mulai bekerja. Kelihatan sebentar-sebentar, Marjuki melengut ngantuk siut, lalu meronta lagi, begitu berulang kali, dan orang-orang tak mau kecolongan tetap mendekapnya erat, sampai akhirnya Marjuki terbius. Perjuangan yang melelahkan, Marjuki kelihatan tergolek di pelataran rumah pak Soleh, semua orang yang meringkusnya semua mandi keringat, bahkan ada yang luka berdarah dan salah urat. Orang-orang yang tidak ikut meringkus Marjuki, telah membuatkan pasung dari kayu sebesar sedekapan manusia, Marjuki pun dipasung. Tangannya masih dirantai, para dukun paranormal didatangkan, para Kyai dimintai tolong, untuk membantu penyembuhan, sawah lima petak pun telah terjual sebagai biaya pengobatan, tapi kesembuhan tak kunjung datang. Sampai hampir setahun Marjuki dipasung. Tapi penyakit gilanya makin parah saja.

Kami berdua diajak melihat keadaan Marjuki, ternyata pemuda itu diletakkan di ruangan terpisah di belakang rumah dalam satu ruangan.

Berdinding gedek, pintu dibuka dan bau busuk segera menampar hidung, bangunan berukuran lima meter persegi itu gelap, karena tak ada jendela juga tak ada penerangan, penerangan hanya dari lampu ublik yang dibawa pak Soleh, nampak lapat lapat seorang pemuda dewasa tengah duduk terpasung, wajahnya mengerikan, matanya yang hitam ke atas, tapi yang putih mencorong merah menatap kami, wajah pemuda itu tak bisa dibilang bersih lagi, wajahnya menghitam penuh daki, rambutnya awut-awutan kribo panjang, bagian atas tubuh tak berpakaian dan nampak bekas darah ayam dan kambing yang mengering menempel di tubuhnya. Orang yang melihat keadaan Marjuki, pasti akan ngeri sekaligus iba, siapakah orangnya yang mempunyai cita-cita menjadi orang gila. Karena penerangan yang tak memadai, maka oleh pak Soleh kami diminta mengobatinya besok hari saja, malam ini kami menginap, beristirahat.

“Yan bagaimana menurutmu, gila kerasukannya Marjuki?” tanya paman Muhsin, ketika kami berdua telah rebahan dalam kamar.

“Ya gilanya karena mempelajari ilmu, tanpa dasar yang kuat, tarekat misalkan, juga karena mempelajari ilmu tanpa guru pembimbing, sungguh berbahaya sekali, karena belajar ilmu tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan, bagaimana menurut lek Muh sendiri?” tanyaku balik.

“Apa yang kamu katakan, tepat sekali, tapi terus terang aku ragu akan bisa menyembuhkannya…” nampak lek Muhsin mengerutkan keningnya.

“Yah sebelum kita mencoba, kenapa harus ragu lek? Itu sama saja dengan kita kalah satu langkah, kita hanya berusaha, kesembuhan hanyalah di tangan Tuhan semata, jangan sampai kita tertindih oleh keharusan, seakan akan sembuh dan sakit itu kuasa kita, hidup dan mati kuasa kita, kita hanya berusaha saja…” dan kami pun tidur tanpa beban.

Esoknya, kami berdua diantar pak Soleh ke tempat Marjuki dipasung, jam di tanganku baru menunjukkan jam tujuh seperempat, matahari yang kuning keemasan memantulkan sinarnya yang hangat, terasa hangat di tubuh yang baru mandi, membayangkan hal yang seperti itu, betapa damai dunia, seakan di dunia ini tak ada kejadian yang seperti dialami Marjuki.

Setelah masuk ke tempat Marjuki, uh jijik sekali, rupanya bau yang menyengat di malam itu, adalah baunya kotoran dan kencingnya Marjuki, juga bau bangkai tikus dan binatang-binatang lain yang dimakan mentah-mentah oleh Marjuki. Oh, sungguh menggidikkan bulu roma. Rupanya di tempat pemasungan, telah berjejal-jejal orang desa yang ingin menonton, tua muda, prawan, janda, remaja, jejaka, duda, semua pada datang menonton, sampai kebun belakang rumah pak Soleh bener-bener lebek, ah kyak ada tontonan dangdutan aja, atau bioskop misbar, gerimis bubar, orang-orang itu ada yang mengintip dari gedek, ada yang berdesakan di pintu masuk, dan ada yang dari luar pagar saja, rupanya pengobatan Marjuki, tanpa disiarkan dengan mikropon keliling kampung, telah terdengar dari telinga ke telinga.

Lek Muhsin mulai mengobati, sementara aku mempersiapkan yang diperlukannya. Lek Muhsin memang sudah profesional, segala macam cara mengobati orang kesurupan dia kuasai. Dari yang model kejawen, ilmu tao, ilmu tenaga dalam, dan ilmu rukyah. Lek Muhsin mulai mengobati dengan ilmu tao, bajunya diganti jubah kuning, dan ada simbol tao di punggungnya, semua mata menatap tegang ketika dia beraksi, dengan uang logam Cina kuno yang dengan cepat dibentuk pedang, dan tangan kirinya memegang pedang dari kayu setigi, tubuh lek Muhsin mulai berloncatan kesana kemari, membuat jurus mengelilingi Marjuki, tiba-tiba Marjuki yang sedari tadi diam, menatap kosong, serentak ramai, “Ayo… ayo menari…, bang Roma menarinya kurang seru, kenapa tak pakai gitar…?” semua yang ada di situ kontan ketawa, karena memang lek Muhsin adalah penggemar Roma Irama, jadi biasalah kalau dari potongan rambut, jenggot, dia upayakan mirip dengan Roma.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya


close