Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KATHI


Cepu, tahun 1960.. waktu itu ibuku masih menjadi istri seorang carik sebelum akhirnya mereka berpisah.
Masih terbilang sangat muda saat itu untuk menyandang gelar istri seorang pamong desa (carik). Kalo sekarang kita biasa menyebutnya sekertaris desa.

*****
JEJAKMISTERI - Saat itu memang sedang.. Terjadi krisis pangan, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Yang mau tidak mau banyak orang dari desa pelosok mencari kerja serabutan di desa lainnya.

Jabatan sebagai carik desa sangat disegani waktu itu. Beberapa bidang tanah pemberian pemerintah selama masa tugas, juga tanah warisan keluarga yang ditanami padi, banyak menyerap pekerjaan bagi warga sekitar.

Membagi hasil saat panen, sangat membantu ekonomi warga saat itu. Suami ibuku waktu itu sengaja mempekerjakan warga secara serabutan hanya untuk membantu mereka yang ekonominya lemah.

Kemiskinan semakin meluas karena "larang pangan" Kondisi pemerintahan yang labil akibat pergolakan politik sangat berimbas besar pada rakyat kecil. Melambungnya harga beras dan meroketnya kebutuhan non primer seperti produk kain membuat banyak orang memutar otak dengan membuat..

Baju dari bahan goni. Meski sebetulnya tidak layak digunakan dikarenakan pemahaman orang waktu itu sangat kurang, minim data dan banyak yang tidak sekolah..

Menjamurnya peminta-minta, hingga masuk ke pedesaan dan tak segan-segan mengetuk rumah warga hanya untuk meminta beras. Anak-anak kecil dibiarkan telanjang badan tanpa pakaian, miris memang karena kemiskinan yang semakin meningkat.

Dan bahan goni itu adalah bahan yang paling murah dan mudah didapat. Terkadang mereka biasa memakainya sehari-hari meskipun gatel dan banyak kutunya, tapi mereka yang merasa gak nyaman memakainya memilih telanjang badan.

Ibuku mempekerjakan beberapa orang untuk menggarap sawahnya, memanen padi dan memprosesnya hingga menjadi beras hanya menggunakan cara tradisional. Setiap hari para pekerja sibuk menumbuk gabah kering di gudang. Hingga suatu ketika terlibatlah mereka dengan obrolan tentang "Kathi".

"Wes krungu durung yu pur? Winginane anake mbak semi ilang. Jare kancane diculik kathi..." ujar mbok siem pada ibuku.

"Seng tenan mbok, aja gawe-gawe" Jawab ibuku dengan muka seriusnya.

"Halah opo yo ngapusi, lah wong digoleki ra ketemu. Jare kancane sek weruh digowo "kathi" dilebokne karung..." terang mbok siem lagi.

"Lah kancane weruh kok ra nulungi to mbok?..." mbak parti menyahut dari dapur sambil membawa seceret teh hangat.

"Lah "Kathi"ne nggowo celurit koyo carok., wes surup-surup. Kancane mlayu bali neng omah, ngandake bapakne. Mbandang dibaleni mpun mboten enten.." jawab mbok siem

Bagi warga desa waktu itu, keberadaan kathi sudah jadi rahasia umum. Entah darimana asalnya, gak ada yang tau. Biasanya penampilan kathi ini malah mirip orang gila, lusuh dan rambutnya acak-acakan. Lain hal jika kathi itu adalah orang jahat yang menyamar..

Menculik anak-anak kecil kisaran usia 5 sampai 10 tahun. Kabarnya dijadikan tumbal pesugihan, ada kemungkinan juga di jual ketempat lain...

Setelah beredarnya kabar penculikan anak mbak semi? Saat surup banyak warga yang memilih diam dirumahnya masing-masing. Gak berani keluar rumah hanya untuk ke surau yang jaraknya lumayan jauh melewati pinggiran sawah.

Kathi yang datang setiap pagi, banyak yang diusir warga saat meminta makanan.

Kadang kasian juga liatnya, tapi diam-diam ibuku selalu memberi beberapa bungkus makanan pada mereka tanpa sepengetahuan suaminya. Dalam pandangan ibuku mereka hanya orang susah, ya bener-bener susah...

Kalo kathi yang menyamar itu sudah pasti beda, sorot matanya seolah menelisik ke segala penjuru mencari korban baru. Dan menurut cerita warga mereka tidak datang saat pagi, seringnya menjelang surup saat anak-anak kecil berangkat ke surau hendak belajar ngaji..

Di era pemerintahan presiden soekarno, terjadi isu terkait kudeta pemerintahan. Saling Langgar-melanggar hak dan tindakan pro mengatasnamakan rakyat kecil sudah menjadi berita populer yang makin meluas. Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi korbannya...

Mereka adalah kelompok rentan yang mudah di hasut dan di pengaruhi dengan "iming-iming"... Para perangkat desa waktu itu, dipercaya sebagai pelaksana untuk melakukan aksi merangkul masa guna mendapatkan suara terbanyak. Bukan pemilu, tapi semacam mengkudeta pemerintah.

Ibuku termasuk orang yang lugu dan polos, gak pernah tau urusan politik. Politik itu kejam atau tidak gak ada yang tau juga waktu itu...
Suami ibuku yang selalu mengikuti berita tentang politik, malah mengkaitkan kathi itu dengan unsur politik...

Heem... kok bisa ya? Ada apa dengan kathi?... banyak yang berspekulasi bahwa kathi adalah bentukan oknum tertentu. Entah hanya untuk pengalihan isu atau bagaimana gak ada yang tau persisnya...

Ada juga yang mengkaitkan kathi dengan pesugihan...
Selepas hilangnya anaknya, mbak semi sering melamun. Kadang ibuku bertandang kerumahnya sambil membawa mengantar makanan.

"Mbak semi.. seng sabar, akeh dungo neng Gusti Allah mugo-mugo tole ora ngopo-ngopo" ucap ibuku seraya merangkul dan mengelus rambut mbak semi.

Namanya kehilangan anak satu-satunya, udah pasti kalut juga pikirannya. Apa masih hidup atau sudah meninggal gak tau pasti...

Pagi-pagi di teras rumah, ibuku duduk sambil menyusui anaknya yang pertama, Kakakku tapi beda bapak. Dari kejauhan terlihat bapak-bapak menggandeng anak kecil, tampilannya lusuh, rambutnya gimbal dan bajunya compang-camping...

Bapak itu berjalan jongkok sejauh 10 meter, menuju teras dimana ibuku sedang duduk. Ibu setengah berdiri, perjelas pandangannya melihat siapa bapak itu. Beliau lalu bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah. Menidurkan bayinya didalam rumah, lalu kembali ke teras...

"Bu... nyuwun sego" bapak itu meminta nasi dengan muka memelas. Anaknya tampak kurus kering, hanya memakai celana pendek dan tanpa baju...

"Ampun ndodok ngonten niku kang, lenggah mriki mawon.." pinta ibuku pada bapak itu, lalu beliau pergi kedapur...

Membungkuskan makanan dan membuat teh hangat untuk bapak dan anaknya itu. Kathi memang meminta-minta tapi mereka tidak pernah mau mencuri meski gabah banyak dibiarkan di luar..

"Niki kulo damelke unjukan, reneo le.. diombe yo? Iki ono telo godok dimaem yo le?" Ujar ibuku dengan mata berkaca-kaca, ibuku memang paling gak bisa liat orang susah apalagi anak kecil..

"Kang, mbok anake ojo digowo. Mengko ilang lo ndak diculik" ibuku memulai percakapan..

"Diculik bu? Diculik sinten?" Bapak itu terkejut mendengar ibuku bicara soal penculikan..
"Enten seng ilang pak, tiang mriki. Winginane sonten ajeng mlampah teng langgar" terang ibuku...

"Saniki ajeng enten gebyare ndunyo bu... tandane nggeh ngoten niku" Jawab bapak itu singkat.

Ibu gak ngerti maksud perkataan bapak itu, beliau memilih diam. Setelah menghabiskan tehnya, bapak itu pamit undur diri. Mengucapkan banyak terima kasih pada ibu.
"Maternuwun sanget bu, weling kulo ati-ati nggeh bu? Niki negorone arep rame, banyu mili nanging abang wernine"

"Nggeh pak sami-sami..." jawab ibuku lalu masuk kedalam rumah. Dan ibuku masih bertanya-tanya maksud ucapan bapak itu apa... apa hubungannya anak hilang dengan kathi? Siapa kathi itu? Tujuan mereka apa? Rame negorone, akan terjadi apa? Banyu mili warnanya merah, darahkah?

Bapak dan anak itu pergi berlalu begitu saja, selang berapa detik ibuku keluar hendak memastikan apa mereka sudah pergi. Namun betapa terkejutnya ibuku, bapak dan anak itu hilang gitu aja. Harusnya masih kelihatan, karena mereka berjalan cukup pelan...

Lawatan orang tak dikenal, tiba-tiba lenyap jaman dulu memang uda bukan hal aneh. Sama kalo mau terjadi pagebluk atau munculnya lintang kemukus yang menandai akan terjadinya sebuah peristiwa.

"Loh nengdi mau, kok cepet lungane (loh kemana tadi, kok cepet perginya" batin ibuku.

Sambil nengok kanan-kiri mencari keberadaan bapak dan anaknya, barangkali masih ada disekitar. Terbilang masih pagi, sekitar pukul 5.30. Orang yang bekerja di rumah ibuku juga belum berdatangan. Kecuali mbok bingah yang memang tinggal dirumah ibu, bantu-bantu di dapur..

"Bu, kulo ndamel legen sekedap nggeh?... banyu panase mpun umup" (Bu, saya bikin gula merah sebentar ya? Air panasnya sudah mendidih..) Ucap mbok bingah sembari melangkah ke halaman belakang hendak mengambil blarak untuk membuat api...

Ibuku yang masih termenung, masih merasa aneh dengan kejadian tadi seperti tersentak dari lamunannya..

"Oo...nggeh mbok..." jawab ibuku singkat, telat menjawab mbok bingah. Sedangkan mbok bingah sudah gak ada ditempatnya...

Pukul 7.00, para pekerja sudah memulai aktifitasnya. Mulai berdatangan kerumah dan sebagian terjun ke sawah. Ibuku baru saja selesai memandikan bayinya, anak pertama yang masih disayang-sayang...
"Mbok, wau niku enten bapak kaleh anake neneko njaluk sego" setengah berbisik.. Ibuku bicara pada mbok siem..

"Kathi yu pur?" Tanya mbok siem...

"Lah iyo mbok, tapi nggowo bocah cilek umur 8 tahunan. Bocahe kuru tenan... mesake mbok"  (Lah iyo mbok, tapi bawa anak kecil usia 8 tahunan. Anaknya kurus sekali... kasian mbok) jawab ibuku.

"Kulo bungkuske sego, kulo suguhi telo kaleh damelke teh anget.. sakbare kui pamit njuk ilang mbok" (Saya bungkusin nasi, disuguhi ubi dan teh panas, setelahnya pamit terus menghilang) terang ibu lagi.

Mbok siem hanya manggut-manggut dengerin cerita ibu, seperti sedang memikirkan Sesuatu...

"Mboten ngucap nopo-nopo yu? Bapake niku?" (Gak ngomong apa-apa yu? Bapaknya itu?..) Tanya mbok siem

"Gur pesen, kon ngati-ngati meh gebyare dunyo. Banyu mili abang wernine" (Cuma pesan suruh hati-hati akan terjadi ramainya dunia. Air mengalir warnanya merah) Jawab ibuku dengan suara setengah berbisik, khawatir orang-orang pada dengerin.

Mbok siem terkejut mendengarnya.. Seingat mbok siem, dulu tahun 1940an pernah terjadi hal serupa seperti pagebluk. Wabah pes yang merenggut hampir 12000 nyawa manusia di jawa tengah. Waktu itu mbok siem masih kecil, masih ingat juga munculnya lawatan orang gak dikenal tiba-tiba lenyap.

Kejadian ganjil lainnya sering juga meneror penduduk jaman itu. Alat transportasi masih menggunakan dokar (andong), banyak penarik dokar ditumpangi perempuan-perempuan cantik, minta turun di area persawahan namun tiba-tiba berubah jadi tikus...

Saking banyaknya nyawa yang hilang karena wabah itu, semakin banyak pula yang gentayangan mencari tempat. Wabah pes berasal dari tikus, karena tikus pulalah banyak sawah gagal panen waktu itu. Banyak orang memakan gadung, resiko salah masak juga bisa keracunan.

Mbok siem terkesiap dari lamunannya....
"Yu pur? Kui gur dinggo pengiling-ngiling, dudu opo-opo" (mbak pur? Itu hanya untuk peringatan, bukan apa-apa) ujar mbok siem pada ibuku.

Sementara itu di sawah ramai orang menanam padi..., 🎵mongso rendeng wayahe nandur pari..🎵

Simbah-simbah semangat bekerja sambil bersenandung, kesederhanaan yang udah langka jaman sekarang.. tiba-tiba seseorang berteriak minta tolong dari arah barat sawah dekat bendungan irigasi.
"Tuluuuung... tuluuung ono mayit.." pakde giman berlari melewati tegalan sawah...

Hampir saja pakde giman terjatuh karena tanah yang licin...

Orang-orang berhamburan mendekati pakde giman...
"Ono opo de?" (Ada apa pakde?) Tanya mbak karsiah.

"Oono... mayit neng ledeng" pakde giman menjawab sambil gemetaran dan basah keringat...

Lalu semua berbondong-bondong mendekati area bendungan dimana mayat itu berada...
"Astagfirullah... ora ono endase. Anake sopo kui" ucap mbak karsiah sambil menutup hidung karena mayat itu sudah berbau. Mayat seorang bocah laki-laki berusia 7 tahun...

Salah satu warga melihat bagian tengkuk mayat itu, persis ada tanda lahir berwarna coklat (toh)..

"Lah iki anake mbak semi seng ilang, oalaaah lee.." (Lah ini anaknya mbak semi yang hilang kemarin) Warga yang mengenali mayat itu, segera melapor pak lurah, sedangkan yang lain membawa mayat bocah tanpa kepala itu kerumahnya. Dan sebelumnya sudah ada yang mengabarkan pada orang tuanya..

Hilangnya anak mbak semi terhitung sudah 3 hari, di hari ke 3 inilah anaknya ditemukan dengan kondisi tanpa kepala..

Tangisan histeris keluarganya begitu menyayat.. gak ada yang menyangka bocah itu akan pergi dengan cara yang tragis. Polisi yang mendapat laporan atas penculikan yang berujung kematian juga tak bisa berbuat banyak. Terkesan ada yang ditutupi, tapi namanya orang kecil.. yang awam dengan kasus seperti itu akhirnya hanya bisa pasrah saja.

Selesai dikebumikan, satu-persatu warga kembali kerumah masing-masing. Terkecuali ibuku, beliau memilih menemani mbak semi.

Mbak semi masih saja meratapi kepergian anaknya. Suami mbak semi yang hanya bekerja sebagai buruh sawah tak mampu berbuat banyak. Banyak warga sukarela mencari kepala anaknya yang entah dimana, berharap masih ada disekitaran lokasi ditemukan...

Tiap malam, selalu terdengar suara tangisan anak kecil. Berjalan mengelilingi kampung mencari kepalanya. Kematiannya yang tragis menyebabkan arwahnya gentayangan. Waktu itu serasa mencekam kata ibuku, ketiadaan listrik semakin menambah kengerian..

....Selamat pagi saudara, selamat mendengarkan radio republik indonesia. Rabu 29 september 1960, selamat menikmati dan tetap merdeka....
Sayup-sayup terdengar suara radio dari dalam rumah, suami ibuku terlihat duduk sembari mencukur kumisnya. Beliau biasa mendengarkan berita...

Terkait politik negara yang sedang kacau. Ibuku membawakan segelas besar teh hangat, sebelum beliau berangkat ke kantor desa biasa minum teh sambil dengerin radio.

"Bu.. ati-ati nek ono kathi yo? Genduk diawasi..." (bu hati-hati kalo ada kathi, anaknya diawasin) Ucapnya psda ibuku

Ibu mengiyakannya, padahal tanpa sepengetahuan suaminya acapkali memberi beberapa bungkus makanan. Kalo ketauan pasti dimarahi, gak segan-segan main tangan juga. Suami ibuku orangnya keras, temperamen juga. Apa-apa selalu dibawa emosi, kadang ibuku sering nangis sendiri..

Lagi-lagi kathi menjadi kambing hitam atas segala peristiwa yang tengah terjadi. Kadang orang-orang disawah gak sengaja melihat aktifitas mencurigakan di tanah lapang di atas perbukitan...
Gak tau mereka sedang berlatih apa, mereka mengenakan baju hitam dan sepatu boots hitam...

Menenteng senjata, dan berteriak-teriak keras seperti sedang pelatihan militer. Tapi banyak warga yang gak berani mendekat, lebih aman menghindar dan gak ingin banyak tau. Warga memilih melakukan kegiatan seperti biasa, mencari kayu bakar setelahnya pulang..

Di suatu sore yang sepi, hujan yang turun dari siang masih menyisakan gerimis tipis saat itu... mbok bingah hendak mengambil wudhu di sumur samping rumah, tiba-tiba ia mendengar suara anak kecil manggil-manggil..

"Mbok... mbok bingah, golekno endasku mbok.." (Mbok.. mbok bingah cariin kepalaku mbok...) Suara bocah tanpa kepala yang muncul dari balik pohon waru..

"Oalaah le... mesake men awakmu, wes balio yo, panggonmu wes ra neng kene. Mbok kirim dungo nggo kowe, mugo ndang ketemu yo le?" Jawab mbok bingah.. (Oalah nak, kasian sekali kamu. Udah pergi ya? Tempatmu bukan disini. Mbok doakan semoga cepet ketemu..)

Mbok bingah termasuk berani pada hal-hal begitu, menurutnya mereka hanya minta didoakan biar tenang dan meninggal dengan sempurna..

Tiba-tiba bocah itu menghilang... Di rimbunnya pepohonan, seolah tebawa angin...

Desas-desus penculik anak, menyebar sampai desa sebelah. Kabarnya disanapun juga terjadi hal yang sama. Ada kemiripan saat terjadinya pun di sore menjelang magrib.

Dan lagi-lagi selang berapa hari kemudian ditemukan meninggal dunia tanpa kepala. Tanda tanya besar bergelayut di pikiran warga saat itu, kejadian yang sama dan tanpa jejak si pelaku. Penuh dengan misteri dan sangat bersinggungan dengan situasi pelik yang sedang terjadi.

Gak biasanya, siang itu bapaknya (mbah kung) ibuku datang kerumah, gak ada yang antar. Cuma jalan kaki sambil bawa sekarung singkong. Orang jaman dulu udah biasa jalan jauh, sambil bawa kayu bakar atau hasil panen cukup dipanggul aja, tapi kuat. Memang fisiknya udah ditempa... sedari kecil biasa melakukan pekerjaan berat...

Ibuku yang sedang didapur terkejut liat mbah kung kok tiba-tiba datang.
"Oaalaah bapak... kok mboten kabar-kabar rumiyin?" Ujar ibuku seraya berjalan mendekati mbah kung dan menyalaminya.

"Awakmu sehat ta? Bojomu piye?" (Kamu sehat to? Suami bagaimana?) Tanya mbah kung tanpa banyak basa-basi. Kemudian beliau duduk di kursi kayu yang ada diteras rumah sambil udud (merokok) Disitulah dimulainya cerita tentang ramainya penculikan anak oleh Kathi, antara untuk tumbal pesugihan atau pengalihan..

Isu politik...

Menculik untuk tumbal pesugihan bisa saja, karena tidak menutup kemungkinan orang banyak yang gelap mata. Ambil jalan pintas untuk hidup enak, hal seperti itu juga sempat merebak di tahun itu. Tetangganya ibuku ada yang seperti itu, tiba-tiba kaya mendadak...

Namun kekayaannya tak sampai langgeng, dikarenakan terjadi kebakaran hebat yang meluluh lantakkan rumah tetangga ibuku itu. Hewan ternaknya pun banyak yang mati terbakar, tak ada satupun warga yang tau penyebab kebakarannya. Dan setelah kejadian itu si pemilik rumah pergi dari desa itu...

Dan kabarnya selang setahun beliau meninggal dunia... Miris memang, tapi itu kejadiaan nyata juga waktu itu. Makanya banyak warga yang berspekulasi Kathi itu menculik untuk pesugihan..

Ibuku membuat segelas kopi hitam untuk mbah kung...

"Alhamdulilah sehat pak, bojoku kulo nggeh sehat..." (Alhamdulilah sehat pak, suami saya juga sehat) jawab ibuku.

Mbah kung tampak manggut-manggut mendengarkan ibuku bicara..

"Reneo nduk, lungguh kene cerak bapak. Bapak arep ngomong" pinta mbah kung pada ibuku. (Kesini nak? Duduk sini deket bapak. Bapak mau ngomong"

"Mau bengi bapak ngimpi, banyune bengawan kui abang. Ono muncul lintang kemukus neng awang-awang. Akeh wong mati pating keleler" (Tadi malam bapak mimpi, air bengawan warnanya merah. Muncul lintang kemukus, banyak orang pada mati dijalan-jalan) Mbah kung berbicara dengan wajah gelisah, sebentar menyeka keringat di keningnya. Mbah kung seakan ingat kejadian sewaktu beliau masih berusia 15 tahun..

Waktu itu indonesia diambang kemerdekaan. Pemboman hirosima dan nagasaki oleh tentara sekutu, yang mau tidak mau membuat jepang meninggalkan indonesia. Waktu itu negara kita masih menghadapi krisis di segala bidang.

Susah payah bangkit dari keterpurukan. Mbah kung pernah melihat puluhan tentara jepang melakukan seppuku atau harakiri disebuah tanah lapang di bukit, disana ada goa peninggalan jepang. Puluhan tentara itu sempat bersembunyi meski pada akhirnya mereka menyerah pada keadaan dan mengakhiri hidup disana.. mbah kung lupa dimana kejadian itu..

Mayat puluhan tentara jepang itu dibiarkan begitu saja. Hingga akhirnya warga dan perangkat desa memakamkan secara masal mayat-mayat itu. Sangat mengerikan sekali waktu itu, mbah kung tak berani melihat pemakaman itu..

Kata mbah kung sebelum kejadian itu malam dini hari ada cemlorot bintang dari arah selatan ke timur.. mbah kung yang tak tau itu apa menganggap hal biasa..

"Ono lintang kemukus le.. arep ono opo iki" (ada lintang kemukus nak, akan terjadi apa ini) ujar bapaknya mbah kung..

Setelahnya memang tejadilah peristiwa itu. Mayat-mayat tentara jepang berserakan...

Ibuku yang mendengarkan cerita mbah kung tampak bergidik ketakutan. Gimana gak takut, karena mbah kung punya firasat kuat akan terjadi sesuatu...

Waktu menunjukkan pukul 4 sore, suami ibuku sudah pulang kerja. Kebetulan mbah kung masih duduk di teras rumah. Rencananya mau menginap semalam saja...

"Oo.. bapak? Dugi jam pinten pak? Kok mboten kabar-kabar rumiyin.." (Oo..bapak? Datang jam berapa pak? Kok gak kabar-kabar dulu..) Ucap suami ibuku pada mbah kung, pertanyaan yang sama persis dengan ibuku tadi.

"Mau awan le.. jam 12an.." (Tadi siang nak.. jam 12 an) jawab mbah kung singkat..

Lalu mereka masuk ke dalam dan meneruskan obrolan di dalam rumah.

Banyaknya spekulasi orang tentang Kathi akhirnya pemerintah desa mblokade jalan. Menutup akses keluar masuk orang dari luar kampung. Khawatir akan terjadi penculikan lagi, dalam 2 minggu sudah ada 2 kejadian..

Esok paginya mbah kung pamit mau pulang, karena adiknya ibuku yang masih kecil dititipin di rumah bude.. takut kelamaan. Sepeninggal ibunya ibuku (Mbah uti) adiknya ibuku sering di momong bude...

"Nduk, bapak balik sek yo? Dolan-dolan mrono, tileki adimu..." (Nduk, bapak pulang dulu ya? Main-main kesana, tengokin adekmu) pinta mbah kung..

"Nggeh pak, pak diterke nggeh wangsule nanggo dokar. Niku dokar pakde giman empun teng ngajengan" (Iya pak, pak dianterin ya pulangnya naik andong. Itu andongnya pakde giman udah didepan) bujuk ibuku pada mbah kung.

Awalnya mbah kung gak mau, takut merepotkan. Tapi akhirnya mau juga, karena suami ibuku yang membujuknya lagi..

Selama pemortalan jalan, tak ada satupun Kathi yang masuk kedesa. Tiap hari warga bergantian ronda di pojok desa tepat diujung jalan yang diportal. Hanya malam hari saja portal itu tak dijaga..
Kondisi lengah begitu memang banyak dimanfaatkan para penyusup untuk menerobos masuk..

*****

Imbas jalan yang diportal jadi pemicu bagi penyusup untuk memasuki perkampungan saat malam hari. Bukan Kathi, bisa jadi Kathi yang ditunggangi oknum...
Setiap hari ada saja simpanan gabah warga yang hilang.. satu karung, dua karung... pasti ada.

Sebetulnya kaitan kathi dengan politik bisa saja terjadi. Kaum pemberontak yang mulai merintis aksinya dengan melakukan teror di kampung-kampung memang sengaja dilakukan untuk menarik perhatian pemerintah..

Banyaknya terjadi konfrontasi antar dua belah pihak akibat referendum yang tidak transparan menyebabkan terjadi pergolakan antar beberapa kelompok... padahal indonesia masih sangat muda setelah lepas dari penjajahan bangsa lain. Terjadi propaganda politik...

Hujan disertai petir menambah lengang malam itu, ada 2 bayangan hitam mengendap-endap di belakang rumah ibuku. Mbok bingah yang masih di dapur sedang memasak sayur, mendengar suara kemrosak seperti suara langkah kaki yang menginjak jerami kering..

"Sopo kui...!" (Siapa itu) nada suara mbok bingah yang sedikit meninggi, terdengar oleh ibuku dan suaminya.

"Ngomong karo sapa mbok? (Bicara sama siapa mbok) Tanya suami ibuku.

"Niku kok koyo enten tiang teng wingking... muni krosak-krosak" (Itu seperti ada orang dibelakang... Bunyi krosak-krosak...) jawab mbok bingah dengan wajah pucat ketakutan.

Lalu suami ibuku menyalakan lampu teplok, berjalan ke belakang rumah tapi gak ada siapa-siapa. Kemungkinan takut ketauan orang itu lalu pergi, menghilang di gelapnya malam..

Suami ibuku gak tidur hingga pagi, berjaga-jaga andai penyusup itu datang lagi. Kebetulan esoknya beliau libur kerja, rasa-rasanya ingin melihat sawah di dekat bendungan dimana jenasah anaknya mbak semi ditemukan. Langkah kaki membawanya menyusuri tepian sungai kecil di pinggiran

Sawah. Sehabis hujan semalam banyak ikan kecil-kecil terbawa arus sungai yang mengalir deras... Tiba-tiba langkahnya terhenti, melihat potongan kertas yang sudah tersobek-sobek di jalan. Beliau mencermati tanda dan tulisan apa yang ada di kertas itu, agak sulit terbaca karena sebagian sudah sobek.. hanya saja beliau mengenali simbol di kertas itu, tak usah aku sebutin ya? Biar aja kita berasumsi sendiri-sendiri...
Kertas yang ada gambar simbol nya lalu beliau bawa pulang. Diamatinya apa simbol itu, sepertinya milik sebuah kelompok...

Oposisi....
Sementara itu ibuku yang sedang momong diteras rumah, tergesa-gesa masuk kedalam karena diluar ada sekitar 5 orang berpakaian tentara bertamu kerumah. Untung saja suami ibuku ada dirumah waktu itu, gak tau maksud dan tujuan mereka datang kerumah...

Mereka cuma bertanya apa pekerjaan suami ibuku. Dan berapa luas tanah yang ibuku miliki.. Meski ujung-ujungnya mereka minta bantuan untuk membekali kegiatan mereka.. gak pernah dijelaskan kegiatan apa yang sedang dilakukan, daripada berbuntut panjang akhirnya suami ibuku memberi bantuan sekedarnya dan membekali mereka dengan makanan dan minuman. Ibuku sembunyi dikamar karena takut, setelah mereka pergi baru beliau keluar dan bertanya..

"Sinten pak, ono perlu opo?" Tanya ibuku...

Tapi hanya ditanggapi suami ibuku dengan dingin. Muka datarnya seolah mengisyaratkan ibuku untuk diam saja dan gak usah banyak tanya. Sepertinya beliau tau apa yang sedang terjadi... (gak usah aku jelasin ya? Biarkan orang membangun opininya masing-masing)..

Kalo udah gitu ibuku langsung diam, gak berani tanya lagi.

Sorenya dari ujung jalan yang di portal terdengar warga membunyikan tabuhan mirip kentongan..
"Dok..dok ting...ting..dok..dok..ting" Rame banget kedengarannya, biasanya kalo ada suara itu, telah terjadi sesuatu...

Betul saja, disana ditemukan mayat tak dikenal... gak tau siapa dan darimana asalnya. Sepertinya beliau adalah korban pembunuhan, ada beberapa luka tusukan di perutnya. Kalo diliat tampilannya bapak itu mirip orang kerja disawah, ada topi caping dan sabit di sebelahnya...

Warga melaporkan kejadian itu pada polisi, karena tak ada yang mengenali mayat itu lalu polisi membawanya ke rumah sakit dan menguburkan di pemakaman umum. Lagi-lagi muncul tanda tanya besar... setelah kasus penculikan lalu pembunuhan..

Peristiwa itu trus terjadi seiring bergulirnya waktu, entah berapa banyak orang yang ditemukan meninggal tak terhitung jumlahnya. Setiap kejadian yang dilaporkan juga belum menemui titik terang.. hingga tahun 1965 kurun waktu 5 tahun terjadilah peristiwa tragis yang memakan banyak korban jiwa, kalo kata ibuku waktu itu ratusan ribu orang menjadi korbannya. Antara mereka simpatisan atau pengikut yang tak tau apa-apa jadi korban juga..

Seperti biasanya pagi itu, pekerja sibuk di sawah. Mbok siem, mbak parti ikut kesawah, tak menumbuk gabah dulu...

Sibuk nanam padi di sawah bersama beberapa orang lainnya. Anaknya ibuku yang udah berusia 5 tahun tapi belum mulai sekolah. Dulu taman kanak-kanak belum ada. Jadi cuma belajar dirumah diajarin ngaji sama ibuku.. cukup ketat juga ibu menjaganya karena dirumah sering tak ada orang.

Kathi... yang sempat bikin heboh tiba-tiba menghilang tak ada beritanya lagi. Setumpuk koran hanya berisi berita dalam negeri tentang kudeta.. banyak rakyat kecil yang kelaparan, mengais sisa makanan di tempat sampah atau duduk dipinggir jalan meminta sedekah udah jadi pemandanga umum...

Banyak yang berjualan keliling, ada juga yang menjual alat-alat dapur seperti cobek, pisau dipinggir jalan. Atau menjual hasil panen dan sebagainya, tapi masih lebih mendinglah daripada minta-minta...

Jauh setelah menghilangnya berita kathi orang-orang sudah berani melakukan aktifitas seperti biasanya. Berdagang, berkebun, beternak... sudah jadi keseharian warga desa. Krisis pangan mulai berangsur-angsur membaik, orang-orang yang tadinya bekerja ikut ibuku ada yang memilih merantau ke kota mencari pekerjaan yang lebih baik..

Disini aku tak akan ceritain gerakan apa yang terjadi di tahun itu. Kathi ada hubungannya apa tidak tak tau juga.. sekarang yang mau aku ceritakan adalah sungai bengawan solo, sungai terpanjang di pulau jawa. Yang mengalir di sepanjang jawa tengah dan jawa timur yang melewati beberapa daerah... menurut cerita ibuku, setelah terjadinya peristiwa itu banyak antek-antek terkait gerakan itu yang di bunuh dan dibuang di sungai bengawan solo. Tak terkecuali anak kecil bahkan bayi yang baru lahir. Air sungai yang mengalir sampe berwarna merah darah..

Ikan-ikan yang dijual dari hasil menangkap di sungai itu sampai tak laku dijual. Pernah ada kejadian seorang pembeli ikan, saat membersihkan kotoran dan membelah perutnya ada potongan jari manusia. Sontak membuat geger masyarakat waktu itu...

Sungai bengawan solo sempat berbau busuk.. mayat-mayat yang tak terhitung jumlahnya dibiarkan begitu saja. Firasat mbah kung dan perkataan bapak yang dulu sempat mintak makan pada ibuku ternyata memang benar terjadi. Meski jarak kejadiannya selang beberapa tahun..

Namun teror penculikan, pembunuhan, pencurian, pemerasan... oleh orang-orang tak dikenal membuat trauma mendalam bagi rakyat kecil waktu itu. Pelatihan militer di tanah lapang di atas bukit bisa jadi adalah gerakan kelompok makar...

*****

Bengawan solo riwayatmu kini...
Sedari dulu jadi perhatian insani..

Petikan lagu itu seolah menyiratkan peristiwa apa yang pernah mewarnainya dulu. Kalo kita napak tilas lagi banyak korban-korban tak berdosa yang terbunuh dan mati penasaran..

Dibalik kelamnya peristiwa itu menyisakan hawa kesedihan dan penderitaan yang tak pernah selesai...

Purwodadi, tahun 1967 ibuku resmi bercerai dengan suami pertamanya. Memiliki 3 putri dari perkawinan pertamanya. Setelah bercerai beliau memilih pulang kedaerah kelahirannya.

Selama menikah ibuku memang tak pernah merasa bahagia dengan perkawinannya karena hasil dari perjodohan. Pokoknya dulu apa-apa harus manut, kalo gak manut pasti dimarahi abis-abisan. Ya memang proses melaluinya sangat berat, ibuku berusaha menjadi istri yang baik...

Banyak profesi yang ibuku kerjakan. Jadi buruh tani, berdagang di kereta, jualan di pasar udah pernah dilakoninya. Mbah kung yang semakin tua, lebih banyak mnghabiskan waktunya dirumah. Beliau sudah tak mampu bekerja disawah. Ibuku jadi tulang punggung untuk menghidupi keluarga..

Jam 3 pagi ibuku sudah bangun, membawa dagangan pergi ke pasar. Ada beberapa teman ibuku yang seprofesi, biasanya mereka berangkat dengan jalan kaki membawa obor. Ternyata hidup itu keras ya? Gak jaman dulu aja, malah jaman sekarang lebih keras lagi...

Sepanjang jalan cuma ada pohon-pohon besar, bulak sawah... suara kodok, jangkrik malam, burung hantu ya pastinya mewarnai perjalanan dini hari ibuku dan teman-temannya ke pasar... mau ngilangin rasa takut tapi gimana lagi, jadi dilematik karena keadaan yang menuntut untuk itu..

Njer..genjer wong mati pating keleler.. sayup ditengah hutan dekat bulak sawah terdengar lagu yang tak asing yang pernah mengaung di 2 tahun sebelum ibuku bercerai...
Jadi serem juga, seingat ibuku setelah peristiwa tragis itu acapkali muncul penampakan atau suara rame-rame tapi... kalo dicari tak ada wujudnya, malah suaranya semakin menjauh terus menghilang.. peristiwa yang sempat menggemparkan pulau jawa, masih menyisakan aura mistis disaat-saat tertentu...

Pernah ada temen ibuku yang berjualan gorengan, namanya mbok aten. Jam 2 dini hari biasanya mbok aten udah bangun buat bikin gorengan. Ditengah-tengah saat menggoreng kadang bunyi suara kayak kelapa jatuh mengglinding kayak bola. Waktu ditengok ya itu, gundul peringis..

Tapi mbok aten diemin aja kalau ada penampakan gitu. Nanti juga pergi sendiri, beliau tetap melanjutkan menggoreng. Kalau cerita ibuku lain lagi, makanya beliau paling takut kalo sendiri dirumah. Waktu pertama kali pulang ke purwodadi setelah cerai, sudah lama tak tidur dirumah mbah kung.

Ya agak aneh juga, kamar yang ditempatin ibuku jadi dingin banget padahal tak hujan. Adeknya ibuku sudah tidur duluan, tiba-tiba dari balik kamar yang hanya berdinding bambu bunyi suara..." tek..tek..tek.." sekilas mirip cicak tapi semakin lama suaranya semakin mirip orang ketawa.

Sontak ibuku lari dan teriak manggil mbah kung. Mbah kung yang lagi sholat isya, gak peduli langsung ambil golok keluar rumah nyari asal suara itu...

"Rene.. kowe tak beleh nek ganggu anakku.." (Kesini kamu tak sembelih kalo ganggu anakku) mbah kung mengacungkan golok..

Dengan geramnya mengancam akan menyembelih makhluk itu. Ibuku gemetaran, tak tau makhluk apa itu. Tapi kata mbah kung penampakan seperti memang sering terjadi. Yang paling ngeri kalo ada bayi baru lahir, baunya masih enak. Kerap jadi incaran juga sama hal-hal begitu.

"Wes pur, ra sah wedi..." (sudah pur, gak usah takut) ujar mbah kung..

"Bongso ngono kui, nek diwedeni malah soyo ndadi.. nek ape turu moco dungo.." (bangsa seperti itu jangan ditakuti nanti tambah jadi, kalo mau tidur baca doa) Mbah kung tau persis kalo anaknya sedang kalut..

Selepas bercerai dan terpisah dari 3 anaknya. Ibu mana yang sanggup pisah dari anak-anaknya, mana masih kecil-kecil. Beliau kadang suka melamun, miris juga liatnya kalo aku ada waktu itu. 

Pagi-pagi ibuku udah bangun, kebetulan hari itu ibu tak kepasar karena ada saudara yang mau nikah. Seperti biasa ibuku nyiapin sarapan pagi buat mbah kung dan adeknya ibuku. Selesai masak, ibuku rewang kerumah saudaranya. Sebelumnya udah di ulem-ulem untuk rewang (bantu-bantu)...

Memang kok saat rewang, kumpul banyak orang celetukan tetangga itu paling tajem. Rasanya pedes-pedes nyokot. Ibuku mah orangnya diem, tapi setelahnya mikirnya berhari-hari sampe jatuh sakit... mungkin kalo aku udah lahir waktu itu trus ikut rewang, aku cuci itu mulut tetangga...

Awalnya gini...
"Loh mbak pur, neng kene to saiki? Bojone seng pangkate carik nengdi lo, kok ra melu..." (loh mbak pur, disini to sekarang. Suaminya yang pangkate carik kemana, kok gak ikut..."

Jawab seorang tetangga, sebut aja bude nis. Basa-basinya busuk banget tuh orang...
"Onten de teng nggriyane, empun pisah kaleh kulo" (ada bude di rumahnya, sudah pisah sama saya) Jawab ibu singkat.

Sebnernya bude nis itu ya uda tau kalo ibuku udah pisah, namanya orang sok lambe turah juga. Orang-orang yang rewang cuma diemin aja tuh bude nis ngomong gak jelas.

"Bude nis.. njenengan niku lo, nek ngomong kok ngelantur ra nggo tedeng babarblas. Mbok dadi wong kie ngregani wong" jawab mbah mun, buleknya ibuku. (Bude nis.. kamu itu lo, kalo bicara ngelantur gak pake hati sama sekali. Kalo jadi orang tuh menghargai..) Ibuku cuma diem, tapi..

Nahan nangis, rasa-rasanya  Pengen marah, teriak.. tapi gak bisa. Jaman dulu menyandang gelar "janda muda" selalu jadi bahan cemohan. Seolah status janda itu buruk banget. Orang gak peduli masalah apa yang melatari sampe berstatus janda..

Mbah mun mengelus-elus pundak ibuku berusaha menguatkan...

"Mbah, wingi nang pasar rame. Jare ono seng bayine ilang pas surup" ujar mbak jum sembari menggoreng kerupuk... (Mbah, kemarin di pasar rame. Katanya ada bayi hilang pas magrib..)

"Neng pasar endi mbak jum?..." (di pasar mana mbak jum) tanya ibuku sambil menyeka keringat..

"Pasar purwodadi mbak pur, kae lo seng omahe cerak ringin..." (Pasar purodadi mbak pur, itu lo yang rumahe dekat beringin) Jawab mbak jum..

"Kok bener yo omongane bapak" gumam ibuku.

Sementara itu bude nis yang abis ditegur mbah mun cuma diem aja. Pengen ikutan ngomong tapi di pelototin sama mbah mun.

"Rasakno, nek kakean lambe" (rasain kalo kebanyakan ngomong) batin ibuku.

"Lha wit ringin seng nang pasar kae iseh sok diubengi manten ora jum?" (Lah pohon beringin yang dipasar itu masih suka di puterin manten gak jum?) Tanya mbah mun...

Dulu di tengah pasar purwodadi ada pohon beringin, bagi warga situ setiap ada upacara pernikahan harus muterin.. Pohon beringin itu sebanyak 7 kali kata ibuku, gak tau kalo sekarang. Sekedar tradisi turun-temurun masyarakat setempat, kadang hilang dengan sendirinya seiring majunya jaman...

"Yo tasik to mbah, lha mantene iki sesok ngubengi ringin ra?" Tanya mbak jum.

Sebenernya mbah mun sudah gak mau pake tradisi itu lagi. Ini pernikahan anaknya yang bungsu, terhitung uda 5 tahunan mbah mun belum ada hajatan lagi. Ya baru ini nikahin anaknya yang terakhir... sepeninggal suaminya, mbah mun udah gak mau ribet gitu. Kalo pake acara muterin ringin

Bisa sampe semingguan acaranya.. Dan menghabiskan biaya cukup besar juga..

"Wes ra nganggo ngubengi ringin jum, wes dungo karo gusti mugo lancar sekabehane. Kui seng dijaluk" (Wes gak make muterin beringin jum, berdoa pada Tuhan semoga lancar semuanya) jawab mbah mun..

"Lah bayine seng ilang niku pripun mbak jum? Ora digoleke wong pinter? Mergane apa" (Lah bayinya yang hilang itu gimana mbak jum? Gak dicariin orang pinter? Karena apa..") tanya ibuku...

"Nah kui, njuk sakbare kui to mbak pur. Wongtuane kok dadi iso tuku kebo loro.." (Nah itu, setelahnya orangtuanya bayi itu malah beli kebo 2) jawab mbk jum

*****

Bisa juga bayinya sendiri dijadikan tumbal pesugihan orangtuanya. Kembali lagi pada jaman itu, merebaknya kasus pesugihan atau tentang kathi atau hal lain tentang yang tak kasat mata sudah jadi rahasia umum.

-SEKIAN-

close