Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL TURUNAN (Part 2)


Setelah berusan dengan Nyimas Pandan Sari, aku pun bergegas pulang dengan membawa satu tas plastik batu mustika dari dalam laci tempat jualan Haryati. Aku menaruhnya di atas meja, tepat dihadapan Haryati yang tengah meminum kopi dan menghisap dalam-dalam rokoknya.

"Ini semua dari dalam Laci. Sekarang coba ambil semua barang-barang mustika warisan dari Mbah Sudirat." Ucapku.

Haryati segera beranjak dan melangkah memasuki kamarnya dan tidak lama kemudian keluar dengan membawa semua benda-benda pemberian mbahnya.

Di saat tanganku akan membawa semua benda-benda itu, ada sebuah kekuatan yang tak kasat mata menahanku, yang menjadikan benda-benda itu tidak terangkat oleh tanganku. Beberapa kali aku beristigfar, tetap saja benda-benda di dalam kantong plastik itu tak mampu aku jinjing.

“Ya Allah…" Gumamku dalam hati.

Melihat hal itu, Haryati pun kemudian mencoba untuk menenteng kantong plastik itu, dan anehnya dengan enteng Haryati dapat menjinjingnya. Aku segera meminta Haryati untuk memasukkan kantong plastik itu ke dalam mobilnya.

Kali Ciliwung kota Bogor, menjadi tempat di mana Haryati melarung semua benda-benda pemberian Mbah Sudirat, beserta mustika yang aku bawa dari kiosnya. Dengan menyebut Asma Gusti Allah, benda-benda mistis itupun dapat dilarung dengan lancar, tanpa halangan.

Dalam perjalanan pulang, aku kembali mengingatkan Haryati untuk selalu berdzikir dan jangan meninggalkan sholat lima waktu, karena sebetulnya saat ini Haryati telah menabuh genderang perang dengan penguasa goa Naga Raja yang menjadi Tuhan bagi Mbahnya, Sudirat.

Sesampainya di rumah, aku duduk di kursi panjang tengah rumah. Beberapa anak yatim piatu yang selama ini menjadi tanggungan Haryati terlihat tengah bermain. Haryati kemudian datang dengan dua cangkir kopi ditangannya, lalu duduk dihadapanku.

Mataku masih menatap lekat pada sosok buto yang menghias dinding rumahnya. Satu hawa yang begitu panas kembali aku rasakan, dan hawa itu keluar dari wayang kulit yang terpajang. Tak berselang lama, kemudian terdengar sebuah suara gemeretak dari arah kamar Haryati.

"Apa itu, Ti?" Tanyaku penasaran.

"Ayo Mas kita lihat." Ajak Haryati sambil berdiri dan melangkah kearah kamarnya.

"Lisa, sini ayo ikut Om." Ajakku pada Lisa, salah seorang anak yatim yang diurus oleh Haryati.

Aku segera meraih pergelangan tangan Lisa dan berjalan bersama, masuk ke dalam kamar Haryati. Di dalam kamar, terlihat dua bilah keris yang terpajang dengan ukuran yang berbeda. Yang satunya terlihat lebih panjang dari ukuran biasanya.

Dua bilas keris yang terpajang di dinding itu, seakan ingin keluar dari sarungnya, dan hal itulah yang menjadi sumber suara gemeretak tadi. Haryati dan Lisa yang melihat hal itu, kemudian menatap ke arahku dan berjalan di belakangku.

Dengan berdoa terlebih dahulu, tanganku mengambil bilah keris yang panjang itu, lalu mencabut keris itu keluar dari sarungnya. Sebuah hawa dingin menerpaku saat bilah keris berluk tiga belas keluar dari sarungnya.

Setelah memasukkannya kembali, aku meletakkan keris itu di atas ranjang Haryati, tapi tiba-tiba suara gemeretak lainnya terdengar dari dalam lemari. Aku pun meminta Haryari untuk membuka lemarinya, dan nampak dari dalam lemari sebuah kotak kayu berukir,-

dan suara itu berasal dari sana. Tanpa diminta, kemudian Haryati mengambil kotak kayu itu, kemudian membuka dan mengeluarkan isinya, dan kini nampak sebuah jenglot dengan tubuh ular, rambut panjang, berikat kepala merah, juga taring dan kukunya yang panjang.

"Mas Wi, jangan salah paham. Barang-barang ini sudah beberapa kali aku buang, tapi setiap kali kubuang, barang-barang ini selalu kembali kesini.

Ada beberapa orang pintar yang ingin memilkinya, tapi malah balik lagi, sampai orang pintar itupun sudah tidak sanggup lagi membawanya dari sini." Jelas Haryati.

Aku segera memejamkan mata dan mencoba untuk berkomunikasi dengan makhluk penunggu keris juga jenglot itu. Dan ternyata mereka memintaku untuk mengembalikan mereka kepada pemilik pertamanya, yaitu Mbah Sudirat.

"Ti, khusus untuk pusaka yang ini semua, coba kembalikan pada Mbahnya, Insya Allah tidak akan kembali lagi." Ujarku sesaat setelah membuka mata.

"Jadi aku harus pulang kampung ya, Mas?" Tanya Haryati memastikan.

"Iya…" Jawabku sambil berjalan keluar kamar Haryati.

"Mas Wi mau nganter aku ke Jawa? Kalau Mas mau, biar nanti bisa kenal juga dengan kekuargaku yang lain. Sama Mbah dan Mbokku juga, gimana mau kan? Mau ya, Mas?" Tanya Haryati memastikan dengan nada sedikit memaksa.

Aku diam tidak memberikan jawaban. Aku hanya berpikir, bahwa dengan mengembalikan semua barang ini kepada kakeknya Haryati, secara otomatis tentu akan diketahui oleh kakeknya, bahwa Haryati telah berubah.

"Gimana Mas, mau?" Kembali Haryati bertanya.

"Ti apakah kamu sudah siap kalau kakekmu marah, karena mengembalikan semua pemberiannya?" Ujarku.

"Aku sudah siap kalau simbah marah, tapi aku belum siap jika Tuhan yang murka karena ulahku yang menyekutukan-Nya. " Jawab Haryati tegas.

Setelah memastikan kesiapan Haryati, kamipun langsung bersiap-siap, dan pada keesokan harinya langsung berangkat menuju kampung halaman Haryati. Selesai menempuh perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya aku sampai di kediaman keluarga Haryati.

Haryati pun bergegas turun dari mobil, dan tak lama aku pun mengikutinya dari belakang.

Baru saja aku turun dari mobil, sebuah hawa yang begitu berat terasa olehku. Dadaku seakan terhimpit oleh sebuah kekuatan yang besar, yang membuatku sedikit kesulitan untuk bernapas.

Sebentar aku memejamkan mata, mengucap Istigfar dan Asma Allah, lalu kemudian kuhembuskan serentak napasku dari mulut dan hidung. Dan setelah itu, dadaku kembali menjadi lebih ringan, dan aku pun berjalan menyusul Haryati, dibelakangnya.

Kini, aku dan Haryati duduk dihadapan seorang kakek yang berusia sekitar satu abad lebih dengan pakaian yang serba hitam. kakek Sudirat memandangi wajahku dan juga wajah Haryati dengan sorot mata dalam dan kening yang berkerut.

"Ini ada apa, Ndok? Tiba-tiba kamu datang dan mengembalikan semua peganganmu sama Simbah. Dan siapa laki-laki ini? Ada apa dengan kalian?" Tanya mbah Sudirat, heran.

"Mbah, aku pengen hidup normal seperti orang lain, punya suami, punya anak juga punya keluarga. Dan laki-laki ini supirku, Mbah…" Jawab Haryati.

"Lah ne kui sopirmu, ngopo dijak melebu! Iki obrolan penting, kon metu ae." (Lah kalau dia sopirmu, kenapa diajak masuk! Ini obrolan penting, suruh keluar.) Ujar mbah Sudirat.

Aku yang sedikit mengerti bahasa daerah, hanya mesem sambil memalingkan muka ke arah Haryati.

Haryati lalu mengedipkan matanya, aku paham dan segera keluar dari rumah mbah Sudirat. Tak berapa lama kemudian, Haryati pun keluar sambil berpamitan dan meninggalkan rumah kakeknya itu.

Kami pun melanjutkan perjalanan, dan setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu lama, sampailah kami di rumah orang tua Haryati. Mbok Murti menyambut kedatangan anaknya itu, juga tidak ketinggalan adik bungsu Haryati, Santi.

Setelah selesai sholat isya, aku pun duduk di ruang tamu bersama kakak tertua Haryati juga adik bungsunya.

Yatno, nama kakak tertua Haryati bercerita panjang lebar tentang keadaan keluarganya, termasuk tumbal turunan yang menimpa adik-adiknya.

Tanpa ada yang terlewat, semua diceritakan oleh Yatno.

Aku yang sudah mendengarkan semuanya dari Haryati, hanya menjadi pendengar setia dan sesekali mengangguk-anggukkan kepala, hingga tak terasa malam semakin larut. Yatno akhirnya berpamitan untuk pulang,-

dan setelah kepulangan Yatno, aku pun menuju kamar belakang. Kulirik pergelangan tanganku, "Hmm… Sudah lewat tengah malam." Gumamku sambil bangun dari ranjang dan beranjak ke kamar mandi.

Setelah bersuci, aku pun menengadah ke langit. Bulan terlihat begitu terang, bintang-bintang berkedip, suara binatang malam seakan berlomba memecah keheningan, lalu tiba tiba dari arah timur, satu cahaya melesat dan meliuk-liuk tepat di atasku. Mataku tak berkedip melihat ke atas,-

sosok itu seperti seekor ular yang terbungkus oleh api yang terus menerus berputar di atas rumah Haryati.

Aku yang baru pertama mengalami dan melihat hal ini, seakan-akan tidak percaya. Bagaimana tidak, tepat di atas kepalaku,-

satu sosok ular terbungkus api meliuk-liuk dan berbolak-balik. Untuk beberapa saat aku terkesima dengan yang terjadi, aku pun kemudian cepat-cepat, mengucapkan Asma Allah di dalam hatiku. Setelah itu aku merasa tenang dan dapat mengendalikan diri.

"Turun kamu, kalau memang mencariku!" Seruku.

Ular yang diselubungi api itu terus meliuk-liuk mengitari langit di atas kepalaku, dan "Wusss..." ular itu masuk ke dalam rumah Haryati. Setengah berlari aku segara masuk ke dalam kamarku, lalu duduk bersila dan memejamkan mata. Menyatukan hati juga pikiran.

"Uler… Uler… Mbok, ono uler!" Santi berteriak-teriak sambil menunjuk ke sudut kamarnya.

Seisi rumah pun terbangun, kaget. Suasana hening menjadi gempar.

Mbok Murti tergopoh-gopoh sambil membuka pintu kamar anak bungsunya, langsung memeluk tubuh anaknya.

"Tenang Ndok... Ngucap... Ngucap Ndok." Ujar mbok Murti sambil menenangkan anak bungsunya.

Suara ketukan di pintu kamarku, terdengar berulang, seiring suara Haryati.

"Mas… Mas... Tolong, Mas..." Suara Haryati yang dalam keadaan panik memanggilku. Aku pun segera membuka mata dan secepatnya membuka pintu kamar.

"Anu, Mas... Anu..." Ucap Haryati panik.

Aku tidak menjawab tapi langsung bergegas menuju kamar Santi, terlihat wajah Santi begitu ketakutan dengan jari telunjuknya yang terus mengarah ke sudut kamar.

"Mas, tolong adik saya, Mas..." Ucap Haryati khawatir.

Aku kemudian menghampiri Santi dan mengusap wajahnya setelah sebelumnya membaca beberapa ayat.

Santi mulai tenang, tapi tatapan matanya masih tertuju ke arah sudut kamar.

"Ti, bawa ibu dan adikmu keluar dari kamar ini." Pintaku.

"Iya, Mas." Jawab Haryati sambil memapah adik bungsunya.

Aku segera menutup pintu dan kembali menyatukan hati dan pikiran.

Setiap helaan napasku menyebut Dzat Yang Maha Kuasa, dan melarutkan diri dalam Asma agung, Allah Rabbul Izzati.

"Wisss..." Aku seakan sudah berada dalam dimensi lain, dimensi dimana tidak ada matahari, dengan alam yang begitu hening.

Tiba-tiba sesosok perempuan berkebaya hijau, merentangkan tangannya.

"Mau apa kamu menemuiku, hah?!" Hardik wanita itu dengan sorot mata yang bengis.

"Apa maksudmu datang menemui anak itu!" Tegasku.

"Oh, itu yang mau kamu tanyakan? Dia sudah 2 tahun tidak memberikan persembahan, dan hari ini aku akan membawanya sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh anak manusia yang bernama Sudirat." Jawabnya.

"Kenapa tidak kamu ambil saja manusia yang bernama Sudirat itu?" Ucapku.

"Heheh... Kamu itu lucu. Aku datang kemari karena kakek tua bangka itu yang meminta aku untuk mengambil cucunya!"

"Apa?! Semua ini, atas perintah kakeknya sendiri?!!" Jawabku dengan perasaan yang sangat terkejut, seakan tidak menyangka akan segila gila ini mbah Sudirat mengorbankan cucunya.

"Cepat kamu minggir dan jangan menghalangi jalanku!" Bentak sosok wanita berkebaya hijau, sambil meneruskan langkahnya.

"Tunggu! Nyawa manusia itu urusan Gusti Allah. Kalau kamu mau mengambilnya, tapi belum taqdirnya, kamu tidak akan bisa membawanya!" Ucapku.

"Apa maksudmu? Kamu ingin menghalangi jalanku, hah?!" Ujar wanita berkebaya.

"Itulah maksudku." Jawabku sambil merentangkan tangan.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba tiga wanita berbusana yang sama, kini sudah mengurung tubuhku.

Dan wanita yang pertama sudah melesat mengejar Santi. Aku sama sekali tidak mampu mencegahnya, dan tak berapa lama kemudian, wanita itu terlihat membopong tubuh Santi sambil tertawa cekikikan dan ketiga tubuh wanita yang mengurungku, ikut lenyap seketika.

Aku membuka pintu kamar dan menghampiri Haryati, lalu mengajaknya untuk duduk di teras depan sambil meminum secangkir kopi panas.

"Ti, maaf aku tidak bisa menolong adikmu. Mungkin untuk dua atau tiga hari kedepan, persiapkan hatimu untuk sebuah kehilangan.." Ucapku seraya menuang kopi panas dalam piring kecil, lalu membakar ujung batang rokok.

"Maksudnya, Mas" Tanya Haryati.

"Adikmu sudah dua tahun ini tidak bersuami lagi, kan? Itulah sebabnya, adikmu yang diambil oleh penguasa gua Raja Naga, sebagai ganti dari tumbal keturunan." Ungkapku.

"Ya Allah.. Santi... Maafkan Mbakyumu" Gumam Haryati dengan deraian air mata.

"Ti.. Bisa jadi esok atau lusa, giliranmu. Tapi ajal manusia di tangan Gusti Allah. Bentengi dirimu.-

Aku tidak bisa berbuat banyak, apalagi di sini, yang memang menjadi kawasan kerajaan siluman ular. Kekuatan mereka betul-betul tidak bisa dianggap remeh." Ujarku sambil menepuk bahu Haryati.

Pada keesokan harinya, tubuh Santi panas tinggi. Semua badannya panas, kecuali ujung kakinya yang terasa sangat dingin. Saat aku menyentuhnya, aku merasakan bahwa sukma Santi telah dibawa pergi, dan tepat pada sore harinya, Santi pergi untuk selamanya dari alam manusia. Mbok Murti histeris.

Haryati terlihat bisa mengendalikan diri, setidaknya dia sudah tahu apa yang akan terjadi pada adik bungsunya itu.

Aku memandang jasad Santi yang terbujur kaku di tengah rumah. Bagiku itu bukanlah jasad Santi, tapi hanyalah sebuah batang pohon pisang.

Aku tidak mengatakannya kepada Haryati, aku hanya diam dan bersikap layaknya orang yang tengah berduka.

Tiga hari sepeninggal Santi, mbah Sudirat kemudian datang. Dia menatap ke arahku yang tengah duduk di tanah kosong sebelah rumah, dalam-dalam. Mbah Sudirat terlihat mendekat, dan kini duduk di kursi tepat dihadapanku.

"Jangan sekali-kali mempengaruhi cucuku untuk menghentikan perjanjian keramat, atau aku tukar nyawa cucuku dengan nyawamu!" Ucap mbah Sudirat.

"Maksudnya apa, Mbah?" Jawabku.

"Jangan pura-pura bodoh! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan, dengan menghadang jalan utusan Raja Naga?! Ingat, jangan ikut campur atau aku yang akan menjadikan nyawamu sebagai tumbal untuk menggantikan nyawa cucuku Haryati!!" Ancam mbah Sudirat tegas.

"Maaf Mbah, saya ada perlu, saya tinggal dulu.." Jawabku seraya berdiri dari kursi kayu.

"Kurang ajar! Orang tua lagi ngomong, kamu mau pergi begitu saja!" Seru mbah Sudirat sambil menggerakan telapak tangannya dan seakan memukulku dari jarak jauh.

Satu hawa panas kemudian menerpa punggungku. Aku yang merasakan serangan itu, kemudian berbalik badan dan kembali duduk dihadapan mbah Sudirat. Sorot matanya terlihat begitu tajam dan bengis. Aku balik menatapnya, sambil membaca Hijib Qursi dalam hati.

Rasa panas di punggungku mulai mereda. Sambil duduk, mbah Sudirat terlihat berkomat-kamit, dengan tangannya bergetar kencang. Aku mulai merasakan sesak, napasku tersenggal-senggal.

Sebuah kejadian yang luar biasa menurutku, karena aku disantet oleh orang yang sedang duduk dihadapanku, langsung.

Sambil duduk, kedua tanganku memegangi ujung meja sambil menarik napas panjang.

Aku menahannya di dalam perut. Kakiku menghentak, menginjak tanah, seraya berseru Asma Allah, dan seketika rasa sesak dan sakit di ulu hatiku hilang, seiring berjatuhannya paku dan juga jarum dari perutku.

Tubuhku pun kemudian rubuh, tertelungkup di atas meja, sedangkan mbah Sudirat sendiri terbanting dari kursi yang didudukinya. Tubuhnya kembali bangun dan duduk berhadapan denganku lagi.

Aku yang masih tertelungkup kemudian bersegera mengangkat tubuh untuk kembali duduk, berhadapan lagi dengannya.

"Itu hanya salam perkenalan dariku untuk mengujimu. Tapi jangan bangga dulu, masih ada salamku yang lain…" Ujar mbah Sudirat seraya memejamkan mata dan kembali berkomat-kamit.

Aku hanya menunggu apa yang akan mbah Sudirat lakukan, dengan batinku yang terus menerus menyebut Asma Allah dan mulutku bersholawat.

Sebuah asap berwarna hijau, kini terlihat menyelubungi tubuh tua mbah Sudirat. Perlahan-lahan asap itu menggumpal dan seakan membentuk sebuah wujud, dan benar saja, asap itu kini berubah menjadi sesosok ular berwarna hijau.

Ular itu membelitkan tubuhnya, sementara kepalanya sejajar dengan kepala mbah Sudirat.

Aku yang melihat itu langsung menarik kursi kayu ke belakang dan membaca mantra pemanggil, disusul dengan menghentakan kakiku ke atas tanah, tiga kali.

Desisan ular hijau dengan aroma amis darah, disambut sebuah auman dari sosok yang kupanggil. Sosok tubuh berbulu putih hitam, kini nampak duduk disampingku. Lidahnya menjilati wajahku, seakan rindu denganku. Aku pun segera membalas dengan mengelus kepalanya.

"Wangsadireja, aku memanggilmu karena kakek itu ingin berkenalan denganmu." Ucapku yang dijawab dengan sebuah auman membahana.

"Itu hanya kucing kurap yang mau kamu sombongkan padaku, hah?!" Ujar mbah Sudirat dengan sombong.

"Ya Mbah. Aku hanya berteman dengan kucing kurap, tidak jauh beda dengan mbah yang berteman dengan cacing tanah…" Jawabku membalas ejekkan mbah Sudirat.

"Bagus kalau begitu, biarkan kucing kurapmu bermain-main dengan cacing tanahku, kita lanjutkan permainan kita." Ajak mbah Sudirat.

"Silahkan Mbah, saya mohon maaf bila lancang dengan orang tua." Ucapku menjawab tantangannya.

Tak berselang lama, terdengar suara langkah kaki yang mendekatiku dan itu adalah Haryati.

“Niki Mbah, kopine..." Ujar Haryati sambil menyodorkan tiga cangkir kopi dan duduk melingkari meja. Mbah Sudirat yang memejamkan mata, kemudian membuka matanya.

"Iyo, Ndok…" Balas mbah Sudirat. Aku juga mengangguk tersenyum ke arah Haryati yang tidak tau apa-apa.

"Hari ini kamu diselamatkan cucuku. Tapi lihat nanti malam!" Ancam mbah Sudirat yang tedengar oleh batinku.

Sebelum aku menjawab ancamannya, satu auman membahan terdengar sebagai pertanda sebuah jawaban, Wangsadireja sudah siap bertarung.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close