Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 1) - Persembahan Untuk Laut

Deru ombak menghantam lambung kapal nelayan yang mengadu nasibnya dengan melepaskan jalanya di laut yang perlahan mulai tenang.


Angin laut yang berhembus tanpa malu menemani mereka menanti berkah laut yang mereka harap.

Tanpa perlu diberikan aba-aba setiap orang di kapal itu mengambil posisinya masing-masing ketika jala yang sudah ditebar sejak tadi mulai di tarik.

Senyum kecil terbentuk diantara peluh mereka ketika mendapati sekumulan ikan memenuhi salah satu sisi jala mereka.

“Lumayan, Yon!” Ucap Idris yang cukup puas dengan hasil tangkapan mereka.

“Iya nih, bisa balik ke darat kita habis ini,” Balas Yono.

Tak perlu waktu lama untuk mereka menaikkan jala dan sekumpulan ikan itu ke kapal mereka yang bertuliskan KM. Gagak Laut sebagai namanya.
Baru saja mereka selesai menarik jala, Idris melihat sesuatu yang cukup janggal cukup jauh dari pandangannya.

“Yon, Yono.. Itu pulau?”

Idris melihat sebuah bayangan besar di belakang kapalnya.
“Ngawur kamu, Dris. Ini laut selatan.. Mana ada pulau lagi.”
“Itu lho, liat sendiri!”
Yono dan teman-temannya ikut memperhatikan ke arah bayangan tersebut. Benar ucapan Idris, bayangan itu membentuk seperti pulau.

Bertahun-tahun mereka mencari nafkah di lautan itu tak pernah mereka ketahui ada pulau di sana.
“Aneh, seumur-umur kita nyari ikan di sini nggak pernah tahu ada pulau di sini,” ucap Yono.
“Nah, kan! Malah pas tadi kita nebar jala aja kayaknya pulau itu belum ada,” tambah Idris.

Yono menoleh ke arah Idris sebentar sembari berpikir. Tidak ada yang salah dari ucapan Idris. Keberadaan pulau itu adalah sebuah keanehan. Rasa penasaran pun membuat Yono dan Idris menyelesaikan tangkapanya dan memutar perahunya ke arah pulau itu.
“Yakin mau ke sana, Yon?”

Idris mempertanyakan keputusan Yono. Bukan tanpa sebab, firasat tidak enak sedari tadi mengganggu Idris.
“Iya, Yon.. nggak usah aneh-aneh,” ucap teman-teman mereka.
“Kita puterin aja, nggak usah turun ke sana,” balas Yono.

Idris cukup lega mendengar keputusan Yono. Ini adalah hari terakhir perlayaran mereka. Ia tidak ingin mencari gara-gara di malam ini.
Aneh, pulau itu terlalu aneh. Pulau itu bukanlah pulau yang besar. Bila digambarkan sekilas, pulau itu hanya sebesar sebuah desa.

Hanya ada beberapa pohon beringin yang sangat besar sepanjang yang bisa mereka lihat. Dan dibawa pohon-pohon itu…
“Kuburan? Itu semua kuburan, Yon!”
Teriak Idris yang semakin tidak tenang.

Mereka melihat kuburan-kuburan dengan berbagai bentuk batu nisan, dan perlahan bau busuk mulai tercium dari arah pulau itu. Semakin mereka mendekat, sesuatu yang lain mulai terlihat dari pulau itu.
Mengerikan…

Di pohon-pohon besar itu tergantung jasad-jasad manusia yang sudah membusuk. Angin laut menggoyangkan jasad-jasad itu dan mengembuskan aroma bangkai ke arah mereka.

Dan yang membuat mereka semakin bergidik ngeri, diantara kuburan-kuburan itu berdiri makhluk-makhluk berwajah pucat yang menatap mereka sambil menyeringai.
“Balik, Dris! Putar balik!” Perintah Yono.

Tanpa bertanya, Idris pun kembali ke kemudi dan memutar arah kapal mereka untuk segera menjauh dari pulau itu. Tapi baru saja mereka berjalan sebentar, tiba-tiba suara menjadi hening. Suara mesin yang mendorong kapal mereka berhenti tanpa sebab.

Idris ingin menanyakan keadaanya pada Yono dan teman-temanya, tapi saat itu juga ia terhenti saat melihat teman-temanya yang tertegun dengan wajah pucat. Termasuk Yono, ia juga terpatung menatap sesuatu di depannya.
Kapal ini dipenuhi rambut…

Kemana pun Idris menoleh ada rambut yang tiba-tiba jatuh dan melilit di sekitarnya. Yono dan teman-temanya tidak bergerak seolah ada sesuatu yang menahannya. Idris menoleh ke arah dimana Yono menujukan pandanganya.

Ada seorang perempuan dengan tinggi dua kali manusia biasa berdiri di haluan kapal. Wajahnya pucat, tubuhnya setengah bungkuk, rambutnya panjang menutupi sebagian wajahnya yang rusak. Wanita itu hanya mengenakan sehelai kain yang menutupi hingga ke dadanya.

Di tangannya tergenggam sebuah keris yang sudah sangat berkarat.
“Yon! Itu apa, Yon!!!” Ucap Idris. Tapi Yono tidak menjawab. Tak ada satupun teman-teman idris yang bisa bergerak saat ini.
Idris gemetar…

Ia melihat perempuan itu mulai berjalan dengan melayang dan memegang rambut Yono. Dengan keris di tangannya, makhluk itu menyayat leher Yono hingga darah terus bermuncratan. Makhluk itu memisahkan kepala yono dari tubuhnya dan membuangnya ke laut.
“Yono!!! Yono!!”

Idris ingin mendekat, namun ia tahu hal ini diluar kuasanya. Satu persatu teman-temanya yang dalam pengaruh makhluk itu mati dengan cara yang sama. Kepala mereka masih mengambang di laut menanti untuk bersemayam di dasarnya.
Idris hanya tinggal menunggu gilirannya.

Namun sebelum itu terjadi, ia memilih untuk melompat ke laut dengan bermodalkan sebuah pelampung di dekatnya dan menjauh dari kapal itu.

Mati… semua orang yang berada di kapal itu mati.

Idris menyaksikan bagaimana teman-temanya di penggal dan kepalanya menjadi bagian dari lautan ini. Saat semua selesai, makhluk itu hanya berdiri di kapal sambil menatap ke arah Idris.

Idris pun berenang menjauh. Ia lebih milih mati beradu nyawa di lautan daripada harus mati begitu saja oleh makhluk itu.
Entah berapa malam Idris terombang-ambing di lautan sampai akhirnya ada kapal nelayan yang melintas menyelamatkanya.

Walau begitu, idris masih belum tersadar ia dibawa ke daratan dan dirawat di rumah seorang mantri di desa kecil di pesisir. Tubuhnya begitu lemah hingga belum mampu untuk berkomunikasi.

Setelah dirawat selama beberapa hari, ia pun mulai terbangun dan hendak menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dan teman-temannya. Ia berusaha untuk berdiri dan keluar dari rumah. Saat itu adzan baru saja berkumandang, langit sudah mulai gelap.

Idris berniat keluar menemui mantri yang berada di depan rumahnya.

“Eh, masnya sudah sadar. Jangan memaksakan diri, pelan-pelan saja.”

“Iya pak, terima kasih. Harus mulai gerak biar pulih..”
Idris pun cukup lega bisa menikmati kembali udara malam di daratan. “Ini saya dimana, Pak?"

Mantri itu menyiap segelas teh hangat yang untuk Idris dari meja ruangan depan. Ia meminta Idris untuk menenangkan diri dulu.

“Saya Pak Luhur, Mantri di desa ini. Desa Pangijajar. Nggak ada dokter di sini, jadi saya yang ngerawat masnya..”
Idris meneguk teh hangat yang diberikan padanya dan memandangi rumah kayu sederhana tempat ia dirawat itu.

“Terima kasih banyak, Pak Luhur. Nggak disangka saya bisa selamat,” ucap Idris.
Idris benar-benar bersyukur, namun ingatan akan kematian teman-temannya benar-benar merasuk di ingatannya. Ia pun menceritakan kejadian itu pada Pak Luhur.

Tentang ia dan teman-teman di kapalnya menemukan sebuah pulau, dan bagaimana teman-temannya mati oleh sosok mengerikan itu.
“Mas, ceritamu ini benar?” Tanya Mantri itu.
“Sumpah, Pak! Saya nggak bohong. Saya sampai terjun ke laut untuk bisa selamat..”

Cerita Idris jelas saja membuat Pak Luhir kebingungan. Tapi belum sempat ia bertanya lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara riuh dari warga desa. Pak Luhur pun mencari tahu sumber keriuhan warga saat itu.

Ia mendapati bahwa warga sedang memperhatikan sesuatu yang mendekat dari arah laut.
Idris dan Pak Luhur mengikuti warga dan mendapati keberadaan sebuah kapal yang terombang ambing mendekat ke arah pantai.

“Karam! Kapalnya mau karam..”

“Itu nggak ada orangnya?”

“Nggak ada tanda-tanda…”
Idris menyadari tentang kapal yang mendekat itu. Ia mengenalinya dan memastikannya saat melihat tulisan di samping kapal bertuliskan ‘KM Gagak Laut’. Itu adalah kapal yang ia naiki. Kapal dimana teman-temanya dibantai oleh sosok yang mengerikan.

Ia pun memperhatikan kapal itu dari jauh. Samar-samar ia melihat keberadaan makhluk itu masih ada di sana. tapi, kali ini ia tidak sendiri. Ada makhluk-makhluk lain yang berada di kapal itu bersamanya. Yang ia heran, bagaimana warga desa tidak melihat apa yang ia lihat.

“Pak Luhur, pergi pak! Jangan dekati kapal itu! Tinggalkan desa ini!”
“Maksud kamu apa mas? Emangnya itu apa?
“Itu kapal yang saya ceritakan, pak! Setan-setan itu masih di sana!!!” ucap Idris.
Pak Luhur ragu, tapi saat itu Pak Luhur juga merasakan sesuatu yang tidak biasa.

Ia menggenggam sesuatu yang terkalung di lehernya. Benda itu seperti sebuah jimat. Ia pun menuruti ucapan idris dan kembali ke rumahnya. Masih dalam keadaan bimbang, Pak Luhur bergegas mengambil motor tuanya dan meninggalkan desa itu bersama Idris.

“Semoga yang kamu pikirkan tidak terjadi, Mas,” ucap Pak Luhur di atas motor.
“Iya, Pak.. Makhluk itu benar-benar mengerikan. Teman-teman saya mati begitu saja tanpa ampun..”

Sayangnya harapan mereka sama sekali tidak terjadi. Ketakutan Idris menjadi kenyataan. Beberapa hari kemudian mereka mendapat kabar mengerikan. Desa kecil itu mengeluarkan bau amis yang pekat.

Jasad manusia bergelimpangan di sana, namun tak ada satu orang pun yang berani mengevakuasinya. Siapapun yang memasuki desa itu akan bernasib sama seperti mereka. Dan ketika malam mulai datang, desa di pesisir itu bukan lagi milik manusia.

Setan-setan yang muncul dari laut menghuni desa itu dan menikmati sisa-sisa bangkai manusia. Setan-setan tanpa kepala bersliweran di desa seolah mencari keadilan atas kematiannya. Namun lebih dari itu, ada yang berkuasa di sana.

Sesosok setan berwajah hitam dengan baju kebesaran seorang raja. Rambutnya memanjang menutupi wajahnya dan ia tak henti-hentinya mengunyah bagian tubuh manusia yang dipersembahkan oleh dedemit-dedemit bahannya.

***

PILIHAN TERKUTUK

(Sudut pandang Danan…)

Suara knalpot vespa tua Cahyo tak pernah gagal menarik perhatian warga desa yang kami lewati. Kebun-kebun pisang dan beberapa rumah sisa bangunan-bangunan belanda masih menjadi pemandangan wajib setiap aku kembali ke desa ini.

“Lah, Mas Danan! lagi libur?” Sapa Mbok Darmi.

“Nggih, Bu! Disuruh Ngingon Cahyo!” Balasku.

Ckiiiiittt!!!
Cahyo mengerem motornya dan membuatku terdorong mendadak.

“Heh! Gitu aja tersinggung! Guyon lho!” ucapku.

“Ya nggak, tapi kalau nggak ngebales kayaknya nggak afdol,” balas cahyo.

Tingkah laku cahyo seketika menjadi tontonan Mbok Darmi dan tetangga yang lain. Walau begitu mereka tidak heran, kelakuan tengil cahyo memang sudah menjadi tontonan wajib warga desa ini.

Ada sebuah motor tua terparkir di rumah Paklek. Dari Plat nomornya aku mengetahui bahwa pemilik motor ini berasal dari kota yang cukup jauh dari desa ini.

“Kulo nuwun…” (Permisi)

Terlihat Paklek sedang menerima dua orang tamu dan mereka terlihat berbincang dengan serius.

“Eh, Danan.. udah sampe! Sini di dalem aja,” Sambul Bulek.

Aku pun memberi salam pada paklek dan kedua tamunya dan segera masuk ke dalam.

Cahyo dengan sigap segera mengecek meja makan setelah mendeteksi aroma sedap yang muncul dari sana.

“Tenang, Jul. Stok ikan asin sama sambelnya aman,” ucap Bulek.

“Hehe… Bulek emang terbaik!” Balas Cahyo.
“Sana, kamu juga makan dulu, Nan. Pasti laper kan?”

“Laper nggak laper kalau masakan Bulek pasti kita serbu. Iya nggak, Nan?” Ucap Cahyo menggantikanku menjawab.

“Nah, Betul itu!”

Bulek hanya menggeleng melihat kelakuan kami.

Tapi memang masakan bulek menjadi senjata andalan untuk memancing keponakannya ini untuk sering datang ke sini. Aku pun meletakkan barang-barangku membersihkan tubuh seadanya dan menyusul Cahyo ke meja makan.

“Ayo makan, Nan!” ucap Cahyo.

“Nasimu udah tinggal setengah baru nawarin, piye to?”
“Yo, wis ra usah..” (Ya udah nggak usah) Ucap Cahyo yang segera menggeser piring ikan asin ke dekatnya.
“Heh! Enak aja! Siniin!”

Seketika suara dapur menjadi ramai dengan keberadaan kami berdua. Nikmatnya masakan buatan Bulek dalam keadaan lapar benar benar sulit dibandingkan dengan kenikmatan dunia manapun.
“Bulek, itu paklek ngobrolin apa? Kok serius banget?” Tanyaku.

“Bulek belum tahu, tapi kalo ngobrolnya sampai seserius itu biasanya urusan klenik. Paling nanti kalian juga dilibatin,” ucap Bulek.
Cahyo melirik dan tertawa ke arahku dan aku membalasnya dengan wajah kecut.
“Kayaknya gagal niatku liburan,” ucapku.

Mereka berbincang sampai sore sampai akhirnya paklek meminjamkan sebuah rumah yang memang biasa digunakan untuk menginap. Pemilik rumah ini sudah pindah ke ibukota, namun ia mengijinkan rumahnya sebagai rumah singgah desa.

Saat matahari terbenam paklek berjalan ke pendopo dengan wajah bingung. Aku dan Cahyo pun menghampirinya dengan membawa sepiring singkong goreng yang baru saja selesai digoreng ileh Bulek.
“Paklek, serius banget sih. Masalah dua orang tadi ya?” Tanyaku.

“Jangan serius-serius, Paklek! Singkong goreng dulu,” Cahyo menyodorkan piring dengan sepotong singkong goreng sudah mengisi mulutnya.
Paklek menghela nafas, ia pun melihat singkong goreng itu dan memilih untuk menikmatinya dulu untuk menunda beban di kepalanya.

“Kamu inget desa Srawen, Nan?” Tanya Paklek.
“Jelas inget, Paklek! Desanya Dimas dan Rumi kan?”
Tak mungkin aku melupakan Desa yang benar-benar mengenaskan itu.

Terlebih bila aku membayangkan bagaimana perasaan Dimas saat ia kembali ke desanya dan mendapati seluruh warga desanya sudah mati karena ulah seorang yang menumbalkan seisi desa.
“Mas Idris dan Pak Luhur, nasib mereka juga mengenaskan,” ucap Paklek.

Ia menceritakan tentang desa tempat Pak Luhur membuka praktek sebagai mantri. Sebuah kejadian yang tidak bisa dipercaya terjadi di sana. Kapal nelayan yang sebelumnya dinaiki Idris mendarat di kampung pak luhur tanpa awak yang masih idup.

Kapal itu hanya berisi jasad manusia tanpa kepala dan sosok makhluk-makhluk tak kasat mata. “Sekarang desa itu jadi desa terlarang, demit-demit yang berasal dari laut menguasai desa itu dan mengambil nyawa siapa saja yang masuk ke dalamnya…”

Mendengar cerita itu, aku dan Cahyo tak lagi bisa bercanda. Penumbalan desa lagi? Masalah apa lagi ini?
“Paklek sudah mencari tahu?” Tanya Cahyo.
Paklek menggeleng, namun ia memang berniat mencari petunjuk mengenai permasalahan ini.

Belum sempat kami berbicara panjang, samar-samar tercium bau aneh disekitar kami.
“Bau amis..” ucap Cahyo yang penciumanya paling peka diantara kami.
“Iya, kayak bau amis laut. Jarang banget di sini kecium bau beginian,” balasku.

Mendengar perbincangan kami, Paklek tiba-tiba berdiri. Ia menghampiri salah satu tanaman yang ia tanam untuk memagari rumah ini dari hal gaib, dan tanaman itu layu.
Aku dan cahyo sama sekali tidak merasakan firasat apapun, tapi dari pertanda yang ada.

Jelas saja ada sesuatu yang terjadi dan berhubungan dengan bau amis ini.
“Apa Mas Idris dan Mas Luhur diikuti sosok yang dari pulau laut itu?” Gumam paklek.
“Maksud Paklek?” Tanya Cahyo.
Belum sempat paklek menjawab, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara dari luar.

“Paklek!! Paklek!!”

Terdengar suara seseorang yang berlari ke rumah dan menggedor-gedor pintu. Seketika kami pun berlari ke arah pintu dan menemui beberapa tetangga paklek yang terlihat panik.

“Tenang dulu, pak? Ada apa ini?” Tanya Paklek.

“Di sekolah, Paklek! di SD desa, ada yang aneh..” Pak Hasno terengah-engah mencoba menceritakan pada paklek.

“Aneh gimana pak?”

“Tadi awalnya pas maghrib Pak Supri lewat sana dan ngedenger suara perempuan nyinden. Karena merinding, dia lewat aja tanpa melengos.
Tapi barusan pas udah, tiba-tiba ada warga desa yang lewat sana lagi dan ngeliat yang aneh di sana..”

Pak Hasno bercerita kalau warga ada yang mengaku melihat ada acara hajatan di lapangan SD desa. Ada beberapa warga desa yang terlibat disana, dan mereka hanya terdiam dengan wajah yang pucat.
Tapi yang membuat mereka panik, hajatan itu diramaikan oleh berbagai wujud dedemit.

“Pocong, Paklek! Pocongan menuhin lapangan sekolah. Itu orang-orang yang di sana kena sirep atau gimana?” Jelas Pak Hasno.

Mendengar cerita itu Cahyo segera masuk mengambil sarungnya, dan aku mengambil tas yang hampir selalu kubawa.

“Ayo, Paklek! kita datengin aja..” ajakku.

Paklek setuju, iapun berpamitan pada Bulek dan mengambil tas kainnya. Kami pun bergegas menuju lapangan sekolah yang dimaksud oleh warga desa tadi.

Jarang sekali desa ini ramai di jam setelah maghrib. Banyak yang keluar dari rumah untuk menyaksikan hal yang tak lazim terjadi.

Anehnya lagi, desa mulai tertutup kabut. Semakin malam semakin pekat juga kabut yang muncul di desa ini. Terlebih kabut ini mengeluarkan bau amis.

Benar cerita Pak Hasno tadi, terdengar suara sayup-sayup dari arah lapangan SD.

Ada suara gamelan dan suara tembang yang dinyanyikan dengan nada yang membuatku tidak tenang.
Sekolah desa memang bangunan yang sangat tua peninggalan zaman penjajahan dulu. Beberapa bagian sudah dirubuhkan dan dibangun konstruksi baru.

Ada dua pohon beringin disana yang memang cukup dikira angker oleh murid-murid. Namun bagiku dan Cahyo, sebenarnya tidak ada yang perlu di khawatirkan di sana.
Sayangnya, harapanku pupus ketika melihat sesuatu dari jarak yang sebenarnya masih cukup jauh dari sekolah itu.

Sesuatu yang tinggi menembus kabut di sekolah itu, dari jauh terlihat makhluk menyerupai kuntilanak yang setinggi bangunan sekolah. Sosok itu menjaga jalan yang mengarah ke sekolah itu.
“Pak Hasno, cukup sampai disini saja,” Ucap Paklek.

“Nggak papa, Paklek. Biar kita juga ikut ngebantu,” Tolak pak hasno.
“Jangan, Pak.. Biar kami bertiga dulu saja. Pastikan tidak ada yang mendekat ke sekolah sampai kami memberi kabar,” ucapku.

Pak Hasno mengerti, ia mengatakan akan berjaga bersama kepala desa sampai kami kembali.
“Pokoknya kalau butuh bantuan, saya akan siap sampai besok pagi,” ucap Pak Hasno.
“Terima kasih pak..”

Kami pun meninggalkan mereka dan berjalan ke arah sekolah dengan hanya bermodalkan senter perak yang ukurannya cukup besar. Benda ini masih menjadi andalan kami untuk menelusuri berbagai tempat di malam hari.

Tapi sayangnya benda ini tidak dapat membuat kami menghilangkan rasa merinding saat ini.
Dia berdiri disana, sama sekali tidak ada keinginan untuk beranjak membiarkan kami lewat.

Diantara kabut yang menghalangi pandangan kami kuntilanak setinggi bangunan itu terus menatap kami dengan satu matanya yang tertutup rambut. Saat kami mendekat, makhluk itu tiba-tiba menyeringai dengan senyuman yang mengerikan.

Cahyo maju mendahului kami dan membangunkan sahabatnya yang bersemayam di dalam dirinya.
“Wanasura…”
Hawa keberadan wanasura sekita terasa oleh aku dan Paklek. Aku tahu maksud Cahyo, ia tidak ingin susah payah bertarung dengan makhluk itu.

Seharusnya dengan hawa keberadaan Wanasura, makhluk itu bisa menyadari bahwa ia takkan berkutik untuk menghadapi sosok yang berdiam di tubuh Cahyo itu.
“Khikhikhikhi…. Khikhihi….”
Kuntilanak itu tertawa, ia seolah tidak takut dengan keberadaan wanasura.

Walau begitu, ia perlahan menghilang dari tempatnya. Aku menyadari, ia tidak pergi. Ia hanya berpindah ke suatu tempat di sekitar kami. Ia masih mengawasi kami.
Kalian tau apa yang paling mengerikan saat menghadapi makhluk-makhluk halus?

Buatku, yang paling menakutkan adalah ketika kami tidak dapat memutuskan apa yang harus kami perbuat. Mungkin sebenarnya kami bisa membakar setan-setan di sini dengan ayat-ayat suci, atau menghadapinya langsung dengan pusaka dan ilmu kami.

Tapi, ada yang harus kami selamatkan di sana. Salah sedikit saja, nyawa mereka bisa melayang dengan mudah.
Saat ini itulah yang terjadi. Kami disambut..
Sepajang jalan menuju gapura sekolah,

berbagai sosok setan-setan berpakaian penari meliak-liuk memamerkan wajah rusaknya sambil menertawakan kami. Tak ada satupun dari mereka yang takut dengan hawa keberadaan Wanasura.

“Ada sosok besar di dalam sana, saking kuatnya makhluk itu ia sampai bisa menghilangkan hawa terkutuknya,” jelas paklek.
Aku dan Cahyo mengangguk setuju. Siapapun mereka, kami harus menghadapinya dengan serius.

Yang kami lindungi bukan lagi desa orang lain, tapi desa tempat kami paklek tinggal dan tempat kami bertumbuh sejak kecil.
Saat itu gerbang sekolah seolah menjadi batas antara dimensi gaib dan alam manusia.

Aku sadar, sejak kami melewati gapura itu, kami telah memasuki alam yang belum tentu bisa dilihat manusia biasa.
Benar cerita Pak Supri, ada tiga orang warga desa yang terjebak di sini, di alam ini.

Sepertinya mereka sengaja memperlihatkan pemandangan di alam ini kepada Pak Supri untuk memancing kami ke tempat ini.
Mbok Darmi, Pak Kunandang, dan seorang anak kecil bernama Inah. Kami mengenal mereka semua. Melihat itu Cahyo terlihat hampir tak mampu menahan rasa kesalnya.

Ia tidak mungkin bisa memaafkan siapapun yang menyakiti Mbok Darmi yang selalu baik kepada dirinya dan Kliwon.
Terlebih saat kami melihat keadaan mereka saat ini…
Tubuh mereka bertiga berada di dalam keranda bambu.

Wajahnya pucat, matanya terus melotot seolah merasa sangat ketakutan. Tapi mereka tidak bisa bergerak dan tidak bisa berbicara.
Ada seorang nenek bungkuk di sekitar mereka yang membawa siwur, gayung dari batok kelapa.

Ia terus mengambil air dari tempayan yang berisi kembang berkelopak hitam. Airnya pun keruh. Dan Nenek itu bolak balik menyiramkan air itu ke tubuh mereka dari luar keranda dengan diiringi suara gamelan tak kasat mata -

dan tarian-tarian dari berbagai setan yang berkumpul di halaman ini.
“Apa yang kalian inginkan?” Tanya Cahyo kesal.
Nenek itu tidak menggubris, sebalikna mata Mbok Darmi yang melotot melirik ke arah cahyo.

“Tumbal… tidak lebih,” Mbok Darmi berbicara dengan suara yang jauh berbeda dari suara dirinya.
Cahyo marah melihat hal itu, aku segera meremas pundak cahyo untuk menahan amarahnya.

“Kami tidak bodoh, kalian tidak perlu melakukan ritual ini hanya untuk meminta tumbal!” ucap Paklek. Benar ucapan Paklek.
Setan-setan sebanyak dan sekuat ini seharusnya mudah untuk mempengaruhi seseorang untuk memberikan tumbal kepada mereka.

Tapi sampai melakukan hal sejauh ini, mereka pasti punya maksud lain.
“Khekhekhe… menungso-menungso goblok!”(Manusia-manusia goblok)
Suara itu terdengar dari pohon yang tidak jauh dari kami.

Di salah satu rantingnya melilit ular yang lebar tubuhnya hampir setubuh manusia, dan kepala ular itu adalah kepala manusia. Berbeda dengan siluman ular yang kami temui selama ini. Biasanya setengah badan mereka adalah badan manusia.

“Sebaiknya kau diam atau kuhabisi kau lebih dulu,” ucap Cahyo.
“Khekehkehke…” siluman ular itu tidak takut.
“Coba saja kalau berani, kepala orang itu akan menjadi pengganti untuk kepalaku,” ucap ular itu yang tiba-tiba sudah ada di tubuh cahyo dan melilitnya.

Wajahnya berada di samping wajah Cahyo dan mengarah ke tubuh Mbok Darmi.
Cahyo mengepalkan tangannya erat. Ia sadar nyawa Mbok Darmi sedang terancam. Ia pun memilih untuk tidak melawan dan diam.

“Bagus…”
Ular itu pun pergi meninggalkan tubuh cahyo dan mendekati jasad-jasad itu. Ia menghampiri sosok yang akhirnya menampakkan diri itu.
Manusia? Bukan.. tidak ada manusia semenakutkan ini.

Ia adalah makhluk berwujud manusia tua berwajah hitam dengan baju kebesaran seorang raja.
Rambutnya memanjang menutupi wajahnya yang bersimbah darah.
“Kalau kalian mengerti, sebaiknya kalian ikuti saja kemauan kami,” ucap makhluk itu.

Ia membawa tiga bilah pisau dan membawanya ke Mbok Darmi dan yang lain.
“Jangan! Jangan sakiti mereka!” Teriakku.
Makhluk itu tidak menggubris. Sebaliknya ia hanya meletakkan pisau itu di sebelah kepala Mbok Darmi dan yang lain. Ia mundur menjauh setelahnya.

Nenek itu membuka keranda itu dan ketiga tubuh itu pun duduk bersamaan.
“Ambilah pisau itu.. Tusukkan tepat di ujung kepala mereka. Kalian harus menumbalkan mereka untukku..”
Mendengar kalimat itu kami tidak lagi dapat menahan amarah.

Aku meninggalkan tubuhku bersama cahyo sementara sukmaku melesat menghunuskan keris ragasukma ke setan itu.
“Bodoh!”
Dengan mudah tanganku tertangkap oleh makhluk itu. Saat itu juga api hitam menyala membakar tanganku yang menggenggam keris Ragasukma.

Paklek tak tinggal diam, ia meletakkan tanganya di tubuhku dan menarik kembali sukmaku ke dalam tubuh. Saat itu luka yang bakar muncul di lengan tubuhku dan paklek segera mencoba memulihkan dengan ilmunya.

Walau tak cukup untuk menyembuhkanya, setidaknya itu cukup untuk membuatku menggerakkan pergelanganku.
“Jangan gegabah..” tegur paklek.
Aku mengangguk, setidaknya sekarang aku mengerti bahwa makhluk itu tidak bisa diremehkan.

“Kalian pikir kalian mampu menghadapi mereka semua?” Tantang makhluk itu.
Seusai ucapan itu seketika seluruh pocong yang memenuhi tempat ini tertawa dan menatap kami. Belum lagi demit-demit yang menari pun berhenti dan mengelilingi kami.

“Takut pada mereka adalah sebuah dosa..” ucap paklek lantang. Membacakan ayat-ayat suci dengan lantang yang serta merta membuat pocong-pocong itu kepanasan.
Mengetahui kami memilih untuk melawan, setan-setan wanita berpakaian penari itu melayang layang mengelilingi kami.

Suara-suara mengerikan terus menggema di telinga kami yang berasal dari tembang setan-setan itu.
“Grrroaaarr!!!”
Wanasura terganggu, Ia meraung sekuat-kuatnya mengalahkan suara setan-setan itu.

Tapi itu hanya sementara, tembang itu terus mengalun dan membuat kepalaku seperti mau pecah.
Sementara itu dari dalam tanah, tangan-tangan bermunculan berniat menangkap kami.
“Ternyata benar, ada jasad yang terkubur di bawah tanah sekolah ini,” ucapku.

“Itu urusanmu, Nan! Yang berisik itu biar si Panjul yang ngeladenin,” Perintah Paklek.
Sementara Paklek menahan gerombolan pocong-pocong dan siluman yang mencoba menyerang kami. Cahyo melompat dengan kekuatan wanasura yang ia pusatkan ke kakinya.

Ia mengejar dan menghantam sinden-sinden demit yang melayang-layang itu.
Saat gangguan itu mulai berkurang, aku meletakkan kelima jariku di tanah. Tangan-tangan yang mencoba meraihku pun semakin banyak dan mengerubuti tubuhku.

Aku membiarkannya dan menahan setiap cakaran yang menggores tubuhku.

Suara gending gamelan terdengar semakin cepat, seolah pertarungan kami ini adalah tontonan yang menarik bagi mereka.

“Tenanglah, jangan biarkan setan busuk itu mengendalikan kalian..” ucapku.

Aku pun meruwat tanah itu dengan membacakan ayat-ayat suci dan lantunan doa. Perlahan tapi pasti tangan-tangan itu mulai melepaskan tubuhku dan paklek satu persatu.

Dari sisa pakaian yang terlihat dari jasad itu, aku menebak mereka adalah roh dari bekas pekerja yang dipekerjakan hingga mati.
Tangan-tangan itu kembali menjadi tulang belulang, sementara pocong-pocong yang mengelilingi kami mulai terbakar dan menghilang.

Sinden-sinden demit itu pun melayang ke belakang makhluk itu dan mengambil posisi berlutut seolah tidak berniat menghadapi kami lagi.
“Menyerah saja!” Ucap Cahyo.
“Khekehkeh… Menyerah? Bodoh! Pertunjukanya baru saja di mulai!”

Sebuah gong dipukul dan mengeluarkan suara yang menggema hingga seluruh desa. Makhluk menjengkelkan itu terus tertawa dan menatap bergantian ke arah kami bertiga.

“Aku tidak salah datang ke tempat ini, kalian adalah manusia-manusia yang bahkan mampu menghentikan rencana setan-setan dari kerajaan di Setra Gandamayit.” Ucapnya.
Aku menelan ludah.

Kalau ia tahu mengetahui tragedi itu, itu berarti setan itu sudah mengetahui tentang kekuatan kami.
“Aku permudah tugas kalian..”
Makhluk itu mencabut keris dari pinggangnya. Ia meludahinya, memantrainya, dan menancapkannya ke tanah.
Seketika kami bertiga terjatuh.

Kekuatan hitam yang besar mengguncang tempat ini. Firasatku benar-benar buruk.
“Khekehkehe… Tak kusangka aku harus melakukan ini,” ucapnya.
Cahyo menoleh ke belakang. Matanya tertegun melihat sesuatu. Aku dan paklek menyusul menoleh ke arah itu.

Dan apa yang kami lihat disana sontak membuatku lemas.
Roh warga desa tiba-tiba melayang begitu saja di atas Desa. Aku melihat paklek sudah mengambil duduk bersila dan merogosukmo melihat apa yang terjadi di desa.

Gila.. Semua roh warga desa terpisah dari tubuhnya dalam sekejap. Saat kembali, Paklek terlihat pucat.
“Paklek, jangan-jangan bulek juga..” tanya Cahyo. Paklek mengangguk, ia mulai meneteskan keringat di pelipisnya.

“Sudah kupermudah tugas kalian.. Bunuh mereka satu persatu, atau kupastikan semua roh itu akan menjadi makananku,” ucapnya.
Sial!! Sial!! Bagaimana kami bisa memilih. Cahyo hampir melangkah maju tapi ia kembali mundur.

Aku tahu, Bulek sudah seperti ibu untuk Cahyo tapi ia sadar kalau ia tidak boleh gegabah.
“Aku mengerti..” ucap Paklek.
Aku dan Cahyo menoleh ke arah paklek mempertanyakan maksud ucapannya.

“Kau ingin kami membunuh mereka yang artinya kami telah melakukan hal yang tabu. Itu artinya semua ilmu dan kharomah yang kami miliki akan sirna..” Ucap Paklek.
Makhluk itu tersenyum, sepertinya tebakan paklek tepat.

“Khekhekeh… Benar, aku perlu memastikan bahwa tidak ada satupun orang yang akan mengganggu rencanaku..” ucapnya.
Sial, ternyata itu maksudnya. Aku tidak pernah berada di situasi ini.

Membunuh Mbok darmi, seorang anak kecil, dan seorang ayah? Atau membiarkan mereka membunuh Bulek dan seluruh warga desa? Aarrrrggggghh!!! Brengsek! Mereka benar-benar iblis!!

Suara tawa dari setan-setan di sekitar kami terdengar bersamaan suara alunan gamelan yang mulai kembali berbunyi. Mereka seolah-olah menikmati menyaksikan hal ini.
“Aku akan permudah lagi pilihan kalian…” ucap Makhluk itu lagi.

Walau berbicara begitu, aku tetap mempercayai ucapannya.
“Bunuh mereka bertiga, biarkan seluruh warga desa mati, Atau pilihan terakhir bunuh diri kalian sendiri…” Ucapnya.
“Brengsek!! Kau mempermainkan kami!!” Umpat Cahyo.

“Khekehkehe… Memangnya apa yang kau harapkan dari setan? Pengampunan? Khekehkehke…”
Paklek terus berpikir, tapi kali ini ia benar-benar terdesak. Saat itu cahyo menatap ke salah satu sisi di belakang makhluk itu.

Aku mencoba memperhatikannya dan menyadari ada sosok yang kami kenali disana.
“Kau bagian dari mereka?” Ucap Cahyo.
Itu manusia… Ia menyaksikan kami dari dalam kegelapan yang tertutup kabut.

Sosok pria yang wajahnya tertutup topeng hitam dan sebuah wayang terikat di punggungnya.
“Hahaha! Akhirnya kalian menyadari keberadaanku! Ini tontonan menarik, tak mungkin aku melewatkannya..” Tawanya puas.
“Kau bersekutu dengan Iblis!” Teriakku.

“Aku tidak peduli siapa sekutuku! Selama aku bisa melakukan apa yang kumau!!” Ucapnya yang maju menunjukkan dirinya kepada kami. Ia seolah menyatakan kemenangannya kepada kami.
Kemenangan yang ia dapatkan dengan menjadi kacung dari setan-setan itu.

“Graaaaorrrr!!!” Wanasura geram.
“GGRRRRR!!!!” Wayang di balik punggung pria bertopeng itu bergetar dan ikut mengaum. Dendam diantara mereka berdua masih begitu besar.
“Setidaknya kau mati lebih dulu!!” Ucapku yang segera membacakan mantra pada keris ragasukma.

Nyala kilat putih menyelimuti kerisku, dan dengan sigap aku melemparkannya ke arah pria bertopeng hitam itu.
Sraaaattt!!!
Pria bertopeng itu menghindarinya, namun tenaga keris ragasukma menggores topengnya hingga menembus wajahnya.

Topeng itu retak sekali lagi dan memamerkan darah merahnya yang menetes.
“Brengsekk!!!” Umpat pria itu.
“Kau terlalu lama Kalatuo! Selesaikan ini dan berikan pelajaran tersakit untuk mereka!” Ucap Pria itu.

“Khekehkeh…Kau saja yang terpancing! Nikmati saja, pagi masih lama.” Ucapnya.
Ternyata demit kakek itu bernama Kalatuo. Entah mengapa aku merasa pernah mendengar nama seperti itu. Sayangnya, mengetahui namanya saja tidak membantu apapun.

“Mungkin saja kami akan kalah, tapi aku cukup terhibur saat melihat ada yang paling pecundang di tempat ini,” Ucap Cahyo.
“Apa kau bilang?!” Pria itu kembali dengan mulai mengibaskan wayangnya.
Suara auman wanasura kembali menggema menandakan ia siap merasuki tubuh Cahyo.

“Jangan berani-berani!” Peringat kalatuo, ia mengancam kami dengan roh warga desa yang menjadi tahananya.
Pria bertopeng itu pun tertawa, ia mengembalikan wayangnya dan berganti dengan mengambil sebuah keris. “Hahaha! Sekarang siapa yang pecundang!”

Dengan rasa kesal yang memuncak, ia menghunuskan kerisnya dan menghujamkannya ke tubuh cahyo. Cahyo hanya bersiap menahannya dengan tangan kosong tanpa kekuatan wanasura di dalam dirinya. Jelas itu adalah tindakan bunuh diri.

Tapi tepat sebelum keris itu menyentuh kulit cahyo, Paklek menahannya dengan keris sukma geni di tangannya.
Pertarungan sengit terjadi sejenak diantara mereka sampai akhirnya paklek unggul dan membuatnya mundur.

Tak mau melewatkan kesempatan, Paklek membacakan mantra pada kerisnya dan membuat api hitam menyala dari bilah hitamnya.
Ia menerjang Pria bertopeng itu dan melemparkan keris itu ke wajahnya. Keris itu melayang cepat dan berhasil menggores leher pria bertopeng itu.

“Tamat riwayatmu!” ucapku.
Jelas aku tahu, dengan sebuah mantra saja api hitam dari keris itu akan membara dan tak terpadamkan sampai benar-benar menghanguskanya.
“Ternyata semua manusia sama bodohnya!” Ucap Kalatuo

“Kau yang terlalu banyak bermain-main!” ucap pria bertopeng itu yang tiba-tiba mengeluarkan benda dari balik pakaianya.. tiga buah tusuk konde.
Ia membacakan sesuatu pada tusuk konde itu dan melemparkannya ke langit.
Jleb…Jleb… Jleb…
“Apa yang kau lakukan!!” protes Kalatuo.

“Kuselesaikan tugasmu!” balasnya.
Ketiga tusuk konde itu seketika menembus ubun-ubun kami dengan sendirinya. Darah mengalir dari tusukkan itu. Kesadaranku mulai menghilang.
Di sisa kesadaranku aku melirik ke arah paklek dan cahyo yang bernasib sama.

Mati? Apa ini akhir dari hidup kami…
Perlahan semua menjadi gelap. Aku tak mampu menggerakkan semua bagian tubuhku. Satu persatu indraku mati dan tak berfungsi.

Sakit… bukan rasa sakit yang disebabkan oleh pusaka tusuk konde pria bertopeng itu. Tapi rasa sakit karena aku tak tahu apa yang terjadi setelah kematianku. Apa yang terjadi pada mereka bertiga dan warga desa setelah ini? Tuhan, hanya padaMu lah aku bisa menitipkan mereka.

***

(Di desa Guntur...)

Suara tawa melengking terdengar dari salah satu rumah warga, rumah Mbah Kasiah. Tak ada satupun warga yang berani mendekat ke dalam rumah yang sudah reyot itu. Ada kejadian-kejadian janggal yang terjadi ketika ada warga yang mencoba masuk ke rumah itu.

Sebelum sempat sampai ke pintu rumah Mbah Kasiah, siapapun warga yang mendekat tiba-tiba bertingkah aneh. Mereka tertawa, merangkak, dan sembari menyakiti dirinya sendiri. Mereka kerasukan…

Awalnya warga masih mencoba mencari tahu dan menolong Mbah Kasiah. Namun saat semakin banyak korban berjatuhan, warga pun mengurunkan niatnya. Mereka hanya bisa memberi batas pada rumah itu agar tidak ada yang mendekat.

Mbah Kasiah dibiarkan kerasukan seperti itu saja di rumahnya.
“Kasihan, kesurupan sebentar aja badan rasanya kayak mau rontok. Bisa-bisanya nggak ada yang mau nolongin Mbah Kasiah,” ucap sambil berusaha membuka ikatan kawat yang melilit pagar rumah Mbah Kasiah.

“Sudah lebih dari seminggu ya? Selama kesurupan dia makan apa ya?” Tanya Guntur yang memilih untuk melompati pagar untuk masuk ke rumah itu. Sengaja mereka memilih waktu tengah malam untuk mendatangi tempat ini.

Selain agar kami bisa mencari tahu sendiri masalah sebenarnya yang terjadi pada tempat ini, sekaligus agar tidak terlihat oleh warga desa. Guntur dan Dirga merasa malas jika ditanya bermacam-macam hal oleh mereka.

“Nggak tahu, tapi tebakanku pasti yang aneh-aneh..” Jawab Dirga sambil membayangkan apa saja yang tersedia di rumah itu.
Dengan penuh waspada Guntur dan Dirga memasuki halaman rumah Mbah Kasiah. Daun-daun kering dan sampah yang berserakan tertiup angin memenuhi halaman itu.

Mata batin mereka berdua melihat aura kelam yang menyelimuti rumah Mbah Kasiah.
“Hihihihihihi….”
Sekali lagi suara tawa melengking itu terdengar dari dalam rumah menyambut keberadaan mereka.
Degg!!

Setiap ia menoleh, suara itu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
“Minggir!” Guntur mendorong Dirga, sementara sesuatu melesat menggores tipis betis Dirga.
Dirga sempat melihatnya. Ia menyadari makhluk itulah yang merasuki warga desa setiap mendekat ke rumah mbah Kasiah.

“Disana!” Tepat saat ia membuka matanya kepalan tangannya juga melayang menghantam sosok makhluk yang jatuh ke tanah.
Anjing hitam…
Jelas itu bukan anjing pada umumnya.

Wajahnya yang sedikit membentuk wajah manusia berbulu menunjukkan bahwa ia adalah sosok siluman yang baru-baru ini menguasai halaman rumah ini.
Dirga mendekat dengan kedua telapak tangannya yang berwarna kuning yang ia balur dengan kunir.

Ada lantunan doa dari mulutnya yang ia tujukan kepada makhluk itu.
Anjing hitam itu menggeram mengancam, namun ia tidak berdaya dengan pukulan Guntur yang mendarat telak di tubuhnya.
Blarrr!!!

Api merah yang tak terlihat dengan mata manusia biasa seketika membakar tubuh siluman anjing itu tepat saat Dirga meletakkan kedua tangannya di makhluk itu.
“Pembuat onarnya sudah, sekarang tinggal penunggunya…” Ucap Dirga.

Baru saja mereka menoleh ke pintu masuk rumah yang sudah jauh dari kata layak itu, dari balik jendela kamar sosok Mbah Kasiah tertawa cekikikan seolah siap menyambut mereka berdua.

“Ono opo cah-cah bagus dolan ning omahku?” (ada apa anak-anak ganteng main ke rumahku?”) Sambut Mbah Kasiah yang tiba-tiba muncul merayap di langit-langit rumah.
“Ini rumah Mbah Karsiah, bukan rumahmu!,” balas Dirga.
Mendengar bantahan Dirga, wajah Mbah Kasiah seketika berubah.

Tawanya menghilang dan berganti dengan amarah. Wajahnya menghitam dan mengancam kami.
Dirga dan Guntur merasakan ada yang berubah dari rumah itu. seketika dinding ruangan itu dipenuhi rambut putih yang berpangkal pada kepala Mbah Kasiah,

sementara cairan hitam menetes dari mulut Mbah Kasiah membasahi lantai rumah.
“Wis, mbah! Ra usah meden-medeni! Jijik!” (udah Mbak, nggak usah nakut-nakutin! Jijik!) Ucap Guntur.
“Bocah ra tau sopan santun!”
Tiba-tiba Mbah Kasiah muncul tepat di belakang Dirga.

Dirga pun menoleh dan mendapati wajah mengerikan Mbah Kasiah di hadapannya.
“Tur!! Guntur!!” Panggil Dirga. “Dari tadi, Mbah Kasiah ngomong apa sih?”
“Uasem.. udah tahunan tinggal disini bahasa jawa gitu aja nggak ngerti,” balas Guntur.

“Ya gimana? Sundaku sudah mendarah daging,” balas Dirga.
Mbah Kasiah terdiam melihat kedua pemuda itu tidak terpegaruh dengan semua teror yang ia berikan. Wajahnya semakin kesal, namun semua rambut yang memenuhi ruangan mulai menghilang.

“Yo wis nek kowe ra wedi..” (Ya sudah kalau kalian tidak takut) ucap Mbah Kasiah yang berjalan bungkuk menuju dinding ujung ruangan itu. Ia hanya menyenderkan dahinya ke tembok sambil membelakangi kami.
Raut wajahnya terlihat kecewa dengan sikap mereka berdua.

Melihat hal itu Guntur dan Dirga menghampiri Mbah Kasiah.
“Ya sudah, Mbah! Makannya kami doakan ya biar tenang?” Tawar Dirga.
Dirga dan Guntur sadar, sosok yang merasuki Mbah Kasiah bukanlah sosok yang membuat onar.

Mereka tahu ada sesuatu yang membuatnya merasuki Mbah Kasiah sampai seperti ini.
“Kalau kalian sudah membereskan anjing siluman itu, seharusnya aku sudah bisa pergi. Aku titip anak di dalam kamar itu,” ucap sosok yang merasuki Mbah Kasiah.

Saat itu Dirga dan Guntur bertatapan. Mereka pun berlari menuju kamar itu dan seperti kata sosok yang merasuki Mbah Kasiah, ada seorang anak perempuan kurus meringkuk di sudut ruangan. Tapi belum sempat masuk ke sana, Dirga dan Guntur tertahan dengan bau yang sangat menyengat.

Banyak bangkai tikus di ruangan itu berserakan di lantai. Sebagian bangkai tikus itu tersisa tulangnya saja.
“Nenek sialan! Kau memberi makan anak ini dengan tikus-tikus ini?” Guntur kesal.
“Hihihihihi…..” Tawa nenek itu melengking ke seluruh ruangan.

Dirga menahan Guntur dan mengajaknya untuk menolong anak perempuan itu lebih dulu.
“Setidaknya anak itu masih hidup, kamu berharap apa dari setan yang memberi makan seorang anak perempuan?”
“Iya, benar.. tapi tikus?? Arrrrgghhh…” Guntur benar-benar tidak bisa menerima hal itu.

Walau dengan perasaan trauma seperti itu, setidaknya anak itu masih hidup. Saat mengetahui ada dirga dan Guntur yang menyelamatkannya, anak itu pun menangis terharu dan menceritakan segalanya.
Namanya Susni, tubuh anak perempuan itu penuh dengan bekas luka.

Ia anak yatim piatu yang tinggal di desa yang tidak jauh dari tempat ini. Ada sebuah kutukan di dirinya yang seharusnya sudah merenggut nyawanya. Namun ia tertolong berkat sosok yang merasuki Mbah Kasiah.

Suatu ketika, Susni tidak sengaja menemukan seseorang yang sedang bertapa di sebuah tempat di kedalaman hutan di desanya. Sebenarnya Susni sudah merasakan perasaan tidak enak, maka ia segera pergi meninggalkan pertapa itu.
Tapi pertapa itu tidak senang.

Ia mengirim utusanya sang siluman anjing untuk mengejar Susni untuk membunuhnya secara perlahan. Susni yang tidak dapat melihat siluman anjing itu hanya menyadari tubuhnya muncul luka secara tiba-tiba.
Lambat laun, barulah ia merasa ada sosok yang terus mencoba menyakitinya.

Ia berusaha mencari cara untuk selamat mulai dari menjauh dari hutan, meninggalkan rumahnya, hingga meninggalkan desa.
Barulah saat sampai di desa Guntur sebuah kejadian terjadi. Susni terus bersembunyi dari anjing siluman itu, tapi anjing itu selalu saja menemukannya.

Bahkan saat itu niat anjing itu seolah ingin benar-benar membunuhnya. Sampai tiba-tiba seorang nenek menariknya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Itu adalah Mbah Kasiah. Sayangnya saat itu Mbah kasiah sudah bertingkah aneh.

Mbah Kasiah dirasuki oleh sosok yang sudah mengawasi Susni sejak masuk ke desa. Itu adalah roh seorang nenek yang mati tidak tenang setelah dipisahkan oleh serdadu Belanda sebelum kematiannya.

Mbah Kasiah yang dirasuki itu pun menyembunyikan dan melindungi Susni di rumah Mbah Kasiah. Ia tidak membiarkan siluman itu masuk dan melindungi Susni secara berlebihan. Satu-satunya makanan yang bisa ditemukan di rumah itu hanyalah tikus-tikus yang bersarang di rumah tua itu.

Selama seminggu, Susni dan Mbah Kasiah bertahan hidup dengan memakan daging tikus yang Mbah Kasiah tangkap.
Susni bingung menghadapi situasi itu. Ia sempat berharap saat ada warga yang berkerumun mengetahui ada perubahan pada Mbah Kasiah.

Tapi sayangnya warga tidak tahu bahwa ada Susni di rumah itu. Terlebih setiap warga yang mendekat pasti akan dirasuki oleh sosok siluman anjing yang mengincar Susni.
Setelah mengettahui cerita itu mereka bertiga pun keluar dari kamar.

Susni ketakutan saat melihat mbah Kasiah, namun Mbah Kasiah malah tersenyum.
“Wis yo,nduk. Saiki wis iso mbah tinggal…” (Sudah ya, nak. Sekarang sudah bisa mbah tinggal) Ucap Mbah Kasiah.
Memang niat sosok yang merasuki mbah kasiah adalah untuk melindungi susni.

Tapi memberi makan susni dengan tikus, mengurungnya di rumah, jelas itu bisa saja malah membunuh Susni perlahan.
Walau takut, Susni masih mau memberi jawaban dengan mengangguk dan melambaikan tangannya.

Dirga dengan perlahan melantunkan doa-doa di ruangan itu untuk menenangkan sosok yang merasuki Mbah Kasiah. Hanya dalam beberapa saat, tubuh Mbah Kasiah terkulai lemas di lantai. Guntur mengecek detak jantung mbah kasiah dan mendapati bahwa Mbah Kasiah benar-benar kelelahan.

Ia pun berinisiatif memanggil warga untuk mengevakuasi Susni dan Mbah Kasiah.
“Sudah kan, Tur?” Tanya Dirga.
“Sudah, pulang dulu kita. Besok pagi harus udah ketemu Eyang lagi,” Balas Guntur.
Baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba langkah Dirga terhenti.

“Kayaknya nggak usah nunggu besok pagi, Tur?” Ucap Dirga.
Benar, tak jauh dari pandangan mata mereka terlihat seorang nenek tua dengan tasbih terikat di tangannya, Nyai Jambrong.
“Eyang? Kenapa di sini?” Tanya Guntur.

Nyai Jambrong menatap Dirga dan Guntur dengan tatapan cemas namun ia terus berjalan mendekat. Wajah Nyai Jambrong menunjukkan seolah ada sesuatu yang benar-benar genting.
“Aku mendapatkan penglihatan tentang kematian mereka..” Ucap Nyai Jambrong.

“Mereka? Mereka siapa Nyai?” Tanya Dirga.
“Bocah ketek itu, Danan, dan Paklek…” Ucapan Nyai Jambrong saat itu membuat Dirga dan Guntur lemas.
“Nggak mungkin, Eyang! Firasat itu belum tentu benar!” Protes Guntur.

Tak lama berselang tiba-tiba mereka bertiga menyadari keberadaan sosok yang medekat. Dua ekor kera menanti mereka dari atap salah satu rumah di sana. Itu kliwon, dan salah satunya lagi seekor kera berwarna putih.
Mereka merasakan ada sesuatu yang aneh pada kera putih itu.

Mereka merasakan perasaan yang mereka kenali dari monyet putih itu.
“Aku ngerasain roh wanasura dari monyet putih itu,” Ucap Dirga ragu.
Guntur mengangguk. Kenyataan itu dan kedatangan kedua kera itu seolah membenarkan kabar yang diceritakan Nyai Jambrong.

Wanasura sudah tidak bersemayam lagi di tubuh Cahyo.

***

(Di Laut Selatan…)

Seorang pria berjubah dan bertopeng hitam berdiri di pinggir pantai dengan menggenggam tiga buah tusuk kode berwarna emas.

Ia menanggalkan pakaiannya dan menancapkan wayang wanara yang selalu ia bawa di punggungnya diantara pasir pantai dan menyelam ke dalam laut yang tak pernah tenang itu.

Cukup lama ia menyelam, sampai beberapa saat kemudian dirinya muncul di sebuah goa yang berbatasan langsung dengan laut.
Itu bukan goa biasa. Tidak sembarang orang bisa memasuki goa yang selalu tertutup ombak laut itu.

Pria itu masuk ke dalam hingga tak ada lagi cahaya matahari mampu mencapainya.
“Keluarlah!” Ucap orang itu sambil menancapkan ketiga tusuk konde itu di sebatang akar pohon yang menjalar dari atas goa itu.
Perlahan samar-samar muncul tiga roh manusia dari tusuk konde itu.

“Ki—kita masih hidup?”
Itu Danan, ia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi.
“Ini roh, kita dalam wujud roh?” jawab Cahyo.
Paklek yang juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi mencoba menilai keadaan saat melihat sosok pria bertopeng hitam itu.

“Ini perbuatanmu?” Tanya Paklek.
“cih…” Pria itu tidak menjawab dan bersiap meninggalkan goa itu lagi.
“Brengsek! Berani-beraninya kau!” Cahyo yang mulai teringat apa yang terjadi mulai kesal, namun Danan yang lebih berpikiran jernih pun menahannya.

“Kenapa kau menolong kami?” Tanya Danan tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan itu, Cahyo pun bingung.
“Menolong? Jangan bercanda!” Balasnya.
“Kau melepaskan kami dari situasi itu, apa maksudmu?” Tanya Paklek.

Pria bertopeng hitam itu terlihat benar-benar tidak ingin membalas pertanyaan-pertanyaan itu.
“Bencana besar akan dimulai, aku hanya berpihak pada yang terkuat. Tapi aku tahu, pada akhirnya mereka hanya ingin memangsa manusia. Suatu saat aku akan menjadi mangsa mereka..” ucapnya.

“Bencana? Bencana apa?” Tanya Paklek.
“Tidak usah bohong! Kau pasti sudah mendapat firasat tentang apa yang terjadi. Tentang kembali terjadinya perang ghaib terbesar di tanah ini.” Jawabnya.
Paklek merunduk, sepertinya ia memang sudah menyadari akan hal itu.

“Kalau kalian ingin memenangkan perang ini, kalian harus mendapatkan sekutu sebanyak mungkin. Bukan hanya pasukan kalian yang berisi bocah, nenek, dan kakek-kakek itu saja,” Ucapnya.
“Iya, nenek-nenek yang bisa ngebikin kamu babak belur,” timpal cahyo.

Pria bertopeng itu menoleh ke arah cahyo dengan wajah kesal.
“Terserah apa yang akan kalian lakukan! Kalian masih hidup saja sudah merupakan keajaiban. Bila benar-benar ingin menghentikan perang ini,

mungkin kalian membutuhkan bantuan dari berbagai alam atau bahkan berbagai zaman,” ucapnya.
Selesai berkata seperti itu pria bertopeng itu kembali meninggalkan goa dan menyelam ke dalam laut.
Cahyo ingin mengejar, namun belum sempat ia berjalan jauh, tubuhnya tertahan.

Mereka dalam sekejap menyadari bahwa roh mereka terikat dengan pusaka tusuk konde yang tertancap di goa itu.
“Paklek?” Aku mempertanyakan hal ini pada paklek.
“Benar ucapan orang itu, sebuah keajaiban kita masih bisa hidup dalam situasi itu.

Saat ini kita terbelenggu bersama pusaka ini, mungkin jika terlepas kita akan mati seketika.,” Jelas Paklek.
“Terus tubuh kita?” Tanya Cahyo.
“Rantai rogosukmo Paklek masih terhubung dengan raga.

Paklek merasakannya, Pria bertopeng itu juga mengamankan tubuh kita dan menanamkan pusaka agar tetap bertahan.” Ucap paklek.
Danan menghela nafas bingung menghadapi situasi ini.
“Pria bertopeng itu benar-benar membingungkan,” Ucap Danan.

“Setidaknya kita semua sudah melakukan langkah terakhir yang bisa kita lakukan. Beruntung Paklek langsung menyadari rencanamu, Nan,” Ucap Paklek.
Danan dan Cahyo mengangguk setuju. Sayangnya saat ini mereka bertiga terbelenggu dengan pusaka tusuk konde itu.

Kini mereka hanya bisa mempercayai rencana terakhir mereka dan berharap perlindungan dari Sang Pencipta yang mengatur takdir di alam ini.
***

Jagad baru saja memarkirkan mobil pick upnya di halaman rumah. Ada sesuatu melesat di dekatnya dan menancap di halaman rumahnya.

Ia melangkah dengan berhati-hati sampai akhirnya melihat benda itu. Sebuah benda yang sangat ia kenal. sebuah keris..

“Ini, Keris Ragasukma milik Danan?” Gumam Jagad Dalam hati.
Keris Ragasukma milik Danan menancap di sana.

Jagad mengambilnya dan saat itu ia segera menyadari bahwa sedang terjadi sesuatu yang darurat hingga Keris Ragasukma melesat menghampiri dirinya.
Keris itu menghampiri satu-satunya trah Sambara yang masih tersisa di sana. Jagad Putra Sambara.

Sementara di desa lembah keramat, sebuah keris dengan bilah warna hitam dan putih perak melesat dan menancap tepat di depan halaman rumah Mbah Jiwo.
Mbah Jiwo sudah merasakan kedatangannya.

Keris Sukmageni yang pernah mati dan dibangkitkan kembali oleh dirinya kini tertancap di hadapannya.
“Jadi sudah dimulai ya, Bimo?” Ucap Mbah Jiwo di hadapan keris Sukma geni itu.

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga akhir, mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

*****
Selanjutnya
close