Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KURUSETRA (Part 2) - Jagal Mayat

Keris Ragasukma melesat ke satu-satunya trah Sambara yang Danan percaya.
Mantra leluhur pun dibacakan...


AMANAH PUSAKA

Manusia tidak pernah bisa menebak tentang takdir apa yang akan mereka jalani. Namun ketika mereka telah mengerti akan arti dari tujuan hidup mereka, tak ada satupun langkah yang akan mereka sesali.

Tiga roh terjebak dalam sebuah goa yang berbatasan dengan laut.

Suara deru ombak yang menghantam tebing menguasai suara di telinga kami bertiga.

“Arrghh! Sial! Seandainya tidak ada tusuk konde itu kita pasti sudah bisa kembali!” Keluh Cahyo kesal.

“Tapi kalau tidak ada ketiga tusuk konde itu, mungkin kita udah mati, Jul!” Jawabku sambil berusaha untuk tenang sementara Paklek masih terlihat bermeditasi.

Memang, saat ini hanya Pakleklah satu-satunya diantara kami yang bisa berhubungan dengan dunia luar.

Ilmu rogosukmo yang Paklek kuasai seolah memiliki rantai yang menghubungkan antara sukmanya dan tubuhnya.
Mungkin sebenarnya Paklek bisa saja kembali ke tubuhnya, namun ikatan dengan pusaka tusuk konde itu lebih kuat daripada ikatan sukma ke tubuhnya.

Cahyo yang sebelumnya terlihat panik dan kesal tiba-tiba terduduk dengan wajah yang cemas.

“Bagaimana keadaan Wanasura sekarang ya, Nan? Apa dia bisa bertahan di tubuh kera putih itu?” Ucap Cahyo.

Aku mengerti kegelisahanya, ini pertama kalinya Cahyo berpisah dalam waktu lama dengan Wanasura. Mereka memang jarang berkomunikasi dengan kata-kata, namun mereka saling mengerti kegelisahan masing-masing saat masih satu tubuh.

Mungkin terpisah dengan Wanasura seperti kehilangan satu bagian tubuh bagi Cahyo.
“Kita nggak akan pernah tahu, Jul. Yang aku tahu, kamu melakukan hal yang tepat ketika memutuskan memindahkan roh Wanasura saat itu,” Balasku.

Saat dalam pertarungan itu, aku menyadari ketika Cahyo menahan keris pria bertopeng itu tanpa kekuatan Wanasura. Saat itu, tak jauh dari kami ada Kliwon yang mengamati kami bersama seekor kera berwarna putih dari tempat yang tersembunyi.

Cahyo yang menyadari kedatangan mereka dalam sekejap memutuskan untuk memindahkan roh Wanasura ke kera putih itu.

“Aku sadar ketika kamu ngelempar keris ragasukma ke si topeng ireng itu. Kerismu langsung melesat menghilang dengan cepat,” ucap Cahyo.

“Iya, Jul. Baru kali ini aku merasa putus asa. Saat itu aku hanya memikirkan setidaknya ada sesuatu yang bisa kutinggalkan seandainya kita tidak selamat,”
“Memangnya keris Ragasukmamu kamu kirim ke siapa?”

“Mas Jagad… Kalau ada orang yang mungkin bisa menggunakan keris ragasukma selain aku, mungkin hanya keturunan Sambara yang tersisa, kalau bukan Paklek dan Mas Jagad,”
Cahyo mengangguk, sepertinya ia sependapat denganku.

“Ada alasan mengapa keris Ragasukma tidak diwariskan kepada keturunan Jagad, maupun ayah dan kakeknya,” ucap Paklek yang tiba-tiba menghentikan semedinya.

“Alasan? Alasan apa, Paklek?” Tanyaku.

“Paklek sadar saat Mbok Sar menceritakan tentang ‘Sambara penghancur pusaka’, Salah satu garis trah sambara yang bisa membuka potensi terkuat dari setiap pusaka hingga menghabiskan masa hidup pusaka tersebut.

Mungkin itu alasan tak ada satupun pusaka yang diwariskan ke Jagad,” Jelas Paklek.
Benar, Mbok Sar atau dia yang memiliki nama besar Kanjeng Sarwinah pernah menceritakan pada kami saat menghadapi Trah Biryasono dulu.

“Benar, Paklek. Tapi aku masih merasa bahwa ini pilihan yang tepat,” Balasku.

“Paklek juga setuju. Awalnya Paklek ingin melemparkan keris Sukmageni juga ke Jagad, tapi Paklek merasa ada yang lebih mengenal keris sukmageni lebih dari siapapun saat ini..”

“Siapa Paklek?” Tanya Cahyo.
“Ki Jiwo Setro, alias Mbah Jiwo. Dia yang menghidupkan lagi keris sukmageni, dan bila sudah waktunya keris itu mencapai potensi terhebatnya mungkin hanya dia yang bisa,” jelas Paklek.

Aku mengangguk setuju. Ratusan tahun keris sukmageni tidak pernah digunakan untuk bertarung. Tapi seorang Mbah Jiwo tak hanya menghidupkan lagi keris Sukmageni, ia juga memberikan bilah hitam pada keris itu walaupun yang aku tahu, pengorbanan untuk itu tidak sedikit.

“Kamu sendiri gimana, Jul? Wanasura dan Kliwon kamu arahkan kemana?” Tanyaku.
Cahyo menggeleng menanggapi pertanyaanku.
“Biar mereka sendiri yang mencari, aku percaya sama mereka. Tapi sepertinya aku bisa menebak mereka kan pergi kemana,” Balas Cahyo.
“Guntur dan Dirga?” Tebakku.

Cahyo mengangguk membalasku. Yah, pada akhirnya kami juga sepakat bahwa mungkin mereka semua bukanlah yang terkuat, namun merekalah yang sangat kami percaya untuk menitipkan kekuatan kami terlebih dahulu.

Masih di tengah kebingungan kami, tiba-tiba kami menyadari bahwa ombak yang sedari tadi terus menderu sudah sangat tenang sejak beberapa saat tadi.
“Ada yang mendekat…” Ucapku yang merasakan kejanggalan dalam situasi ini.
“Si topeng ireng itu?” Tanya Cahyo.

“Bukan, aneh.. aku nggak bisa ngerasain wujudnya..”
Paklek duduk bersemedi, sepertinya ia mencoba menerawang sosok yang mendekat ke tempat ini.

“Suara kereta kencana..” Cahyo menajamkan telinganya.

“Kereta kencana? Nggak mungkin di laut ada kereta kencana?” Bantahku.

Paklek tiba-tiba membuka matanya dan terlihat panik. Ia berdiri dengan wajahnya yang cemas.
“Nggak, nggak mungkin! Apa urusan beliau sampai kesini?!” Ucap Paklek.

***

JAGAL MAYAT

(Sudut pandang Jagad…)
Terkadang manusia bisa merasa sebagai makhluk yang paling hebat. Sebagai makhluk yang menguasai bumi ini, mereka sampai melupakan seberapa rapuhnya manusia di alam semesta ini.

Aku tengah memarkirkan mobil bakku di salah satu sisi bukit dimana kendaraan apapun tak lagi mampu memasuki wilayah ini. Ada satu tempat yang yang harus kudatangi di seberang hutan bukit ini.
Sebuah desa yang sudah ditinggalkan oleh seluruh penduduknya. Desa Lumbungpanir.

“Mas Jagad, akhirnya Mas Jagad sampai juga..”
Seorang pria paruh baya mengampiriku dari sebuah pos hutan yang terbuat dari bangunan bambu sederhana. Ia menghampiriku bersama sebuara perempuan, istrinya sendiri.

“Maaf, Pak. Bapak yang mengirimkan surat ini ke saya lewat supir pengantar sayur?” Tanyaku.
“Iya, Mas Jagad. Saya Nurdin dan ini teh Istri Saya Lela. Saya nggak tahu harus harus minta tolong ke siapa lagi,” balasnya.

Beberapa hari lalu seorang supir pengantar sayuran menghampiriku di pasar. Ia menyerahkan sepucuk surat yang katanya dititipkan oleh seseorang yang tinggal di sekitar bukit. Aku membacanya dan ternyata surat itu berisi permintaan tolong dari mereka.

“Kami dari desa Tugupanir, Mas. Desa yang paling dekat dengan desa Lumbungpanir. Waktu itu kami baru saja pulang menghantarkan makanan ke supir-supir penambang pasir. Dan saat itu…”

Bu Lela tertahan, ia seperti tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Pak Nurdin mengelus punggung Bu Lela dan menggantikan melanjutkan cerita itu.

“Saat itu, anak saya Entis bertingkah aneh, Mas. Dia seperti kesurupan. Matanya terus melotot, wajahnya pucat dan ia berjalan meninggalkan desa.

Kami melarangnya, namun Entis melawan. Dengan bantuan warga, akhirnya kami bisa membawa pulang Entis. Tapi itu tidak lama..”
Pak Nurdin menceritakan saat semakin malam perilaku Entis semakin tidak karuan.

Bahkan orang yang dipercaya mampu menangani hal gaib di desa pun kewalahan. Menurut mereka, tidak normal seorang perempuan memiliki tenaga sebesar itu.
Entis sudah diikat, namun ia melepaskan diri dengan tenaganya dan melukai warga desa yang mencoba menahannya.

Entis pun melarikan diri saat malam semakin larut. Ia mengarah ke desa di balik bukit. Desa yang konon ditinggalkan oleh warganya belasan tahun lalu.

“Entis mengarah ke desa Lumbungpanir. Langkahnya semakin cepat menuju desa terkutuk itu. Kami dan warga desa mencoba menyusul tapi kami semua terhenti seketika saat itu..” Jelas Bu Lela yang dilanjutkan oleh suaminya.

“Hutan bukit itu, Mas. Tiba-tiba kami di hadang sekumpulan jasad pocong yang berserakan di hutan. Mereka seperti baru saja digali dari makam-makamnya,” Jelas Pak Nurdin.
Aku merinding mendengar cerita itu.

Terlebih Pak Nurdin menceritakan bahwa pocong-pocong itu berusaha untuk bergerak layaknya akan kembali hidup.

“Tidak ada yang berani, Mas! Warga desa teh semuanya mundur. Kami ingin terus mengejar Entis, tapi warga desa melarang..” Tambah Pak Nurdin.

“Iya, Pak. Warga desa sudah benar. Nekad pergi menyusul Entis mungkin hanya akan menambah korban,” Balasku.
“Mas Jagad bisa menolong kami, kan?” Pinta Bu Lela.

“Saya akan mencoba semaksimal mungkin, Bu. Semoga saja memang Tuhan memilih saya untuk menyelesaikan masalah ini. Sekarang Pak Nurdin dan Bu Lela kembali ke desa ya, dan bantu saya dengan doa,” Ucapku. 

“Ba—baik, Mas. Terima kasih…”

Mereka berdua pun meninggalkanku dan berjalan menuju desanya. Walaupun desa Tugupanir adalah desa terdekat, setidaknya mereka masih harus berjalan beberapa kilometer untuk sampai ke sana. Semoga saja mereka bisa kembali dengan selamat.

Tidak ada yang salah dengan cerita mereka berdua. Baru berjalan beberapa langkah saja aku sudah merasakan hawa-hawa yang membuatku merasa merinding.
Di sekitarku hanya hutan-hutan yang tidak terlalu besar.

Tanamanya tidak terlalu rimbun, bahkan mungkin bila di siang hari aku masih bisa melihat desa-desa dari jalur yang kulewati ini. Tapi saat ini benar-benar berbeda.
Suara tangisan, teriakan, hingga suara tawa yang aneh terdengar di sekeliling hutan ini.

Tapi anehnya aku masih belum bisa memastikan wujud mereka yang ada di sini. Aku berusaha untuk tidak mempedulikan dan terus melangkah ke desa mati di balik bukit ini.
Tempat ini terasa seperti menyambutku..

Saat aku melangkah, kabut tebal mulai muncul menyelimutiku. Ada yang aneh dari kabut ini. Bau amis tercium dari kabut yang menutupi hutan bukit ini.
Dalam beberapa jam, aku pun melewati hutan itu tanpa ada halangan yang berarti dan mulai menuruni bukit.

Tapi firasatku benar-benar tidak enak. Saat menoleh ke belakang, tidak ada satupun sosok yang berada di hutan. Walau begitu aku merasakan dengan jelas seolah ada sekumpulan setan di hutan itu yang memandang dari atas bukit sana dan menertawaiku.

Tempat tujuanku saat ini ada tepat di depan mataku, Desa Lumbungpanir. Tapi saat ini, aku terhenti. Kali ini aku benar-benar tidak yakin dengan apa yang kulakukan. Biasanya ada Dirga yang menemaniku. Walaupun masih kecil, pemikirannya sangat bisa membantuku mengambil keputusan.

Tapi entah mengapa, sekarang aku ragu.
Aku melirik sedikit ke tas ransel yang kubawa. Ada keris Ragasukma yang Danan kirimkan padaku di sana. Aku masih belum mengerti maksud Danan, yang aku tahu ia juga dalam bahaya.

Saat menerima surat itu dalam hati aku merasa bahwa permintaan dari Pak Nurdin adalah jebakan untukku. Mungkin hal seperti ini juga yang terjadi pada Danan, Cahyo, dan Paklek yang tidak bisa kuhubungi sejak aku menerima keris ini.

Aku berpikir bila aku menghadapi jebakan ini, mungkin saja aku bisa mendapatkan jejak keberadaan mereka. Sayangnya tidak mungkin juga aku melibatkan Dirga dalam hal yang sudah jelas-jelas berbahaya seperti ini.
Desa Mati Lumbungpanir…

Bermacam-macam desas desus terdengar dari desa ini. Warga desa lain mengatakan bahwa desa ini terkena kutukan hingga banyak warga yang mati, ada pula yang mengatakan bahwa wabah menyerang desa ini.

Terlepas dari itu semua, aku tidak mendapatkan alasan untuk menjelaskan pocong-pocong yang berserakan di desa yang berada di hadapanku saat ini.
Tak hanya itu, masih ada beberapa orang di sana.

Aku tidak tahu siapa mereka, yang terlihat hanya dua orang yang menggali tanah dan menarik keluar mayat-mayat yang sudah dipocong di dalam tanah. Entah apa tujuan mereka, tapi sesuatu mulai sedikit jelas bahwa mereka adalah pengguna ilmu hitam.

Pocong-pocong yang mereka keluarkan dari tanah di desa itu mulai bergerak dan menggeliat. Beberapa mencoba untuk berdiri, tapi banyak bagian jasad mereka yang hanya tersisa tulang hingga mereka hanya bisa merayap di tanah atau pun hanya menggeliat.

“Bertahun-tahun kami menyembunyikan jasad kalian di tanah desa ini. Sebentar lagi akan kami bawakan darah yang akan mengembalikan tubuh kalian.. HAHAHAHA!”
Salah seorang penggali itu tertawa dan berteriak dengan keras.

Sepertinya ia memang sudah menanti untuk saat-saat ini. Seorang lagi membalas ucapan pria itu, namun sayangnya aku masih terlalu jauh dan tidak dapat mendengar pembicaraannya.

“Danan, Cahyo, Mas Bimo.. seandainya kalian ada dalam situasi ini apa yang kalian lakukan?” Tanyaku dalam hati.
Saat ini aku merasa seperti tikus yang berjalan ke dalam perangkap, umpan yang dipasang untukku adalah sesuatu yang tidak bisa kupilih.

Ini adalah satu-satunya cara untuk mengetahui keberadaan Danan dan yang lain.
“Sebaiknya kalian biarkan mereka mati dengan tenang,” Aku pun memutuskan untuk mendatangi mereka dan berdiri diantara jasad-jasad itu.

Kedua penggali itu pun berhenti menggali dan tersenyum lebar memyambut kedatanganku.
“Kami sudah capek-capek menggali, kau benar-benar tidak menghargai kerja keras kami.. Khekehehe,” jawabnya meledek.

Aku mengambil sebuah batu bundar pemberian Mbah Jiwo.

Ajian Watugeni kubacakan dan kulemparkan ke kumpulan jasad-jasad yang ingin dibangkitkan oleh mereka.

Blarrr! Blarrr! Blarrr!

“Aku sedang tidak ingin bercanda,” balasku tak ingin berkompromi.

Ajian Watugeniku menimbulkan ledakkan di desa yang tidak lagi memiliki bangunan yang utuh itu. Jasad dan kain-kain kafan yang membungkus makhluk-makhluk itu menggeliat dalam kobaran api.

“Berani-beraninya kau! Mereka adalah calon pasukan-pasukan Prabu Junoyo!!” balas penggali itu.
“Bukan urusanku!” balasku sembari melemparkan benda serupa ke arah mereka.
Blarrr!!!
Sebuah ledakan membakar kedua orang itu, namun seperti yang aku tahu, mereka bukan manusia biasa.

Dari kobaran api, mereka berlari sembari menyeret cangkulnya dan menghujamkan ke arahku.
Aku melompat dan menghindari setiap serangannya. Namun mereka bukan penggali kubur biasa, tenaganya begitu kuat hingga tanah dan bebatuan yang terkena cangkulnya hancur begitu saja.

“Darahmu sudah dinanti oleh tuan kami, sepertinya kami tidak harus membawamu hidup-hidup,” ucapnya.
Mereka berdua mengepungku dan memukulkan ujung cangkulnya sekuat tenaga.

Kekuatan hitam menyelimuti ujung cangkul mereka yang kurasa dengan sekejap bisa membelah tubuhku menjadi dua.
Trangg!!
Cangkul mereka beradu. Aku tak lagi ada diantara mereka.
“Alam manusia tidak cocok untuk makhluk keji seperti kalian,”

Aku pun muncul di belakang mereka dan memindahkan mereka satu persatu ke alam yang baru saja kutemukan. Alam gaib dimana roh-roh terkutuk dari masa lalu tersegel disana, bagian alam lain di bumi yang tak pernah tersentuh oleh cahaya.

“Brengsek! Dimana ini? Apa yang kau lakukan?!” Ucap seorang penggali.
“Gelap! Panas!! Apa ini semua??!” Seorang penggali lagi mulai merasa cemas.
Aku tidak heran dengan kepanikan mereka. Reaksi mereka sama seperti saat aku menemukan alam ini pertama kali.

Hanya kegelapan dan hawa panas yang dirasakan di alam terkutuk ini. Namun bukan itu yang terburuk.
“Ini alam leluhur Sambara, tempat kami mengurung makhluk terkutuk seperti kalian.

Berdoa saja kalian tidak menjadi mangsa dari musuh-musuh kami yang masih bertahan dari masa lalu,” balasku.

“Tu–tunggu! Jangan tinggalkan kami di tempat ini!”

“Suara? Suara apa itu?? Bawa kami pergi dari sini!”

Aku tidak mempedulikan mereka dan kembali ke dalam kegelapan.

Aku tidak bisa lama-lama berada di tempat ini. Suara tangisan yang tak berhenti, geraman hewan buas, dan suara langkah kaki tanpa wujud saling mengincar di alam ini.

“Arrrggh!! Tanganku! ada yang memakan tanganku!!”

“Pergi!! makhluk apa yang melilit tubuhku..”

Dari dalam kabut aku mendengar suara teriakan mereka berdua, namun aku tidak peduli. Mereka pantas berada di sana.

Uhukkk!!!

Tepat saat kembali ke alam manusia aku terjatuh. Melintasi alam itu membutuhkan tenaga yang tidak sedikit.

Namun dari apa yang kulakukan tadi setidaknya aku bisa memastikan bahwa alam itu bisa menjadi senjata pamungkas untuk menghadapi lawanku yang kuat.
Sosok-sosok pocong yang baru bangkit menyambutku saat kembali ke alam ini.

Walau tubuh mereka belum sempurna, tapi naluri mereka untuk membunuhku tidak surut.

“Aku memberikan pilihan untuk kalian mati sekarang dan mempertanggungjawabkan perbuatan kalian di akhirat,

atau kalian lebih berharap roh kalian berada di ‘dunia antara’ dan hanya menunggu tuan kalian mencoba terus membangkitkan dan memperbudak kalian,” ucapku sambil duduk bersila di tengah desa mati itu.

Suara gemeretak gigi dari tengkorak-tengkorak pocong itu terdengar, beberapa bersuara mengerikan seperi suara eluhan kerbau, namun belum ada satupun dari mereka yang mendekat ke arahku.

Di tengah desa itu aku melantunkan ayat-ayat suci untuk mengiringi mereka yang sudah sangat tersiksa saat terperangkap oleh masa. Satu demi satu dari mereka kesakitan dan terbakar.

Api itu tidak lebih sakit dari api neraka, namun setidaknya ayat-ayat suci yang mereka terima memberikan kesempatan pada mereka menerima hukuman dan pengampunan sebelum mereka sepenuhnya menjadi iblis.
Aku menarik nafas lega..

Sepertinya ayat-ayat yang aku bacakan tidak hanya menenangkan mereka, tapi juga membuatku merasa lebih tenang dan merasa lebih siap untuk memasuki desa ini lebih dalam.

“Tolong!! Tolongg!! Jangaan!!”

Kali ini aku mendengar suara dari salah satu bangunan yang paling bersar dan terlihat sangat tua di desa itu. Sebagian dari bangunan itu sudah termakan akar dan kayu-kayu yang menjadi dindingnya sudah hampir hancur tak mampu melawan usia.

Seketika aku mempercepat langkahku ke arah bangunan itu. Tapi sebelum aku sampai ke sana, aku melihat pemandangan yang membuatku kesal. Bangunan itu dikelilingi oleh makhluk-makhluk berbagai wujud yang berada di sana seolah tertarik akan sesuatu.

Saat semakin mendekat aku menyadari sesuatu. Ada makhluk kerdil bertubuh hitam menjilati sesuatu yang mengalir keluar dari rumah itu. Itu darah..
Ada sesuatu yang terjadi di dalam bangunan itu yang menyebabkan darah segar mengalir di sana.

“Hentikan! Sakitt!!” Suara seorang wanita terdengar dari sana. Mungkinkah itu Entis?
Aku mencoba tidak menghiraukan setan-setan alas yang mengerubungi rumah itu dan memasuki pelataran bangunan itu. Baru saja aku sampai di halaman itu perasaan mengerikan menekan tubuhku.

Aku merasakan hawa keberadaan beberapa makhluk di dalamnya dan aku yakin mereka bukan makhluk biasa.

Aku harap aku belum terlambat. Semoga saja aku masih bisa menyelamatkan Entis dan korban lainnya.

Sayangnya, harapanku pupus seketika…

Hanya Entis yang masih hidup di sana. itu pun kondisinya begitu mengenaskan. Tubuhnya digantung terbalik seolah siap untuk disembelih.

“To–tolong…” Suara Entis lemas. Wajahnya benar-benar pucat.

Trak!! Trakk!! Terdengar suara dari ruang lainnya.

Aku hendak menolong Entis, namun sebelum aku sempat menghampirinya terdengar suara langkah beberapa orang yang menghampiri ruangan ini. Ada seorang pria yang menenteng pisau daging dengan bertelanjang dada.

Di tangan satunya terdapat dua kepala manusia yang segera ia lempar ke salah satu ruangan yang mengalirkan darah.

“Brengsek!! apa yang kau lakukan!!” Teriakku. Orang itu hanya menolehku sejenak dan tidak mempedullikanku.

Ia kembali melanjutkan niatnya menghampiri Entis. Jelas aku tidak akan membiarkannya.
“Jangan berani-beraninya kau sentuh dia!” Ucapku yang segera menangkap tangan orang itu.

Tidak main-main orang itu segera menebaskan pisaunya ke arahku, aku menghindar dan seketika ruangan itu menjadi arena pertarungan kami. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut orang itu. Aku menduga dari gelagatnya sosok tukang jagal itu memang bisu.

Braaakkk!!! Sebuah pintu hancur begitu saja dengan pisau daging besar di tangannya. Aku membayangkan bila pisau itu mendarat di tubuhku sudah pasti tubuhku akan terbelah.

Baru saja aku mengeluarkan sebuah batu hitam untuk menyerang orang itu tiba-tiba sebuah keris melayang ke arahku.
Sraattt!!!
Aku menghindar, namun luka goresan terbentuk di lenganku.

“Cukup, aku masih membutuhkanmu. Urusan kita di desa ini sudah selesai. Biar aku yang mengurus orang ini,”

Seseorang kembali muncul dari dalam bangunan. Aku mengenal wajahnya. Dia adalah pria tua berambut panjang yang pernah menyerang desa dawuilir.

Sosok dari Trah Pakujagar yang mengincar Dirga.
Prabu Junoyo…
Hampir aku tidak mengenalinya. Kini rambutnya tersanggul dengan rapi dan pakaiannya benar-benar seperti orang yang berasal dari zaman kerajaan jaman dulu.

Tapi wajahnya terlihat lebih muda dibanding terakhir aku melihatnya.

“Tak kusangka kau cukup bodoh untuk datang ke tempat ini sendiri. Kukira aku bisa mencoba kekuatanku yang telah kembali pada kau dan teman-temanmu itu,” Ucap Prabu Junoyo.

“Tak mungkin aku menjerumuskan mereka, apalagi setelah tahu bahwa kau yang harus kuhadapi,” balasku.

Aku terlalu besar mulut. Jelas–jelas aku merasakan kekuatan Prabu Junoyo telah jauh berbeda dari sebelumnya.

“Kau beruntung sebagai orang pertama dari jaman ini yang akan merasakan kekuatanku yang sepenuhnya..”

“Terserah! Tapi jangan libatkan Entis! Biarkan dia pergi!” Ucapku.

Prabu Junoyo menoleh ke arah entis dan melesatkan kerisnya mengarah ke leher Entis.

“Hahaha… kalau dia kubunuh kau bisa apa?” Ucapnya.

Dia tidak main-main, entis yang tidak berdaya tidak berkutik saat keris dasasukma menembus leher dari perempuan tak berdosa itu.
“Tidak!! hentikan!!!” Teriakku.

Aku melemparkan ajian watugeni pada Prabu Junoyo, suara ledakan terjadi tapi seranganku seolah tidak berdampak apa-apa untuk Prabu Junoyo. Sebaliknya, kini darah segar mengalir dari leher entis yang akhirnya meregang nyawa dengan mata yang terbelalak.

“AAAaaarrghhhh!!!!”

Aku berteriak mengamuk sejadi-jadinya. Berbagai serangan kuhantamkan ke tubuh makhluk biadab itu. Sialnya, semua seranganku hanya menembus tubuhnya begitu saja. tak ada satupun seranganku yang mengenainya.

“Kau mengecewakanku..”

Bruakkkk! kekuatan hitam memancar dari tubuh Prabu Junoyo membuatku terpental begitu hingga menabrak tembok. Dalam waktu yang bersamaan bangunan tempat kami berada hancur dengan kekuatan itu.

Bangunan itu runtuh namun dengan sigap beberapa orang muncul dari reruntuhan itu bersama dengan Prabu Junoyo yang masih berdiri tegap.

Ada lebih dari lima orang anak buah dari Trah Pakujagar itu yang muncul. Salah satunya adalah sang tukang jagal.

“Kalian bereskan tempat lain, kita masih membutuhkan pasukan untuk ritual segoro getih!” Perintah Prabu Junoyo.
Aku berusaha untuk berdiri menghadapi makhluk itu. Kali ini aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.

Setelah tahu tak ada lagi yang bisa kuselamatkan di tempat ini, mungkin aku bisa memilih untuk melarikan diri. Tapi itu artinya, makhluk biadab ini akan berbuat seenaknya dan memakan lebih banyak korban lagi.

Aku mencoba kemungkinan dengan membacakan sebuah mantra untuk melintasi alam ghaib. Tingkatan alam dimana semua yang berada di alam manusia terlihat hitam dan putih. Kabut putih menutupi alam yang dihuni oleh makhluk-makhluk siluman.

Sayangnya dalam waktu yang tak terpaut lama aku merasakan sosok Prabu Junoyo juga berpindah ke alam ini. Aku terus berlari dan berpindah ke alam lain, namun sialnya Prabu Junoyo terus mengikutiku.

Sempat aku berpikir untuk membawa Prabu Junoyo ke Alam leluhur Sambara, tapi entah mengapa aku ragu. Bila ia mengetahui keberadaan alam itu, mungkin ia bisa melakukan sesuatu yang berbahaya disana. Apalagi aku tidak tahu kalau ternyata Prabu Junoyo juga mampu berpindah alam.

“Aku dikurung selama ratusan tahun di Siti Kawaruhan, kau pikir aku tidak mampu mengejarmu di alam alam seperti ini? Hahahahah” Aku benar-benar kewalahan, bahkan ilmu lintas alamku pun juga dimiliki olehnya.

“Cukup! tak kusangka aku akan menghadapi seorang pengecut!” ucapnya.

Terserah ia ingin berkata apa, namun aku berusaha untuk berpikir rasional. Selama aku masih hidup, aku masih bisa menemukan cara untuk mengalahkannya bersama yang lain.

“Bagaimana jika kau mati dengan senjata temanmu sendiri..” Tawa Prabu Junoyo.

“Sial…!”

Di alam yang dipenuhi kabut, sekumpulan roh gentayangan sedang menonton pertarungan berat sebelah ini. Sementara itu satu persatu pecahan keris dasasukma Dirga melayang-layang diudara dengan ujungnya yang mengarah kepadaku.
“Tenang saja, tidak akan kusia-siakan mayatmu,” ucapnya.

Dengan cepat pecahan-pecahan keris dasasukma melesat ke arahku. Aku menghindarinya dengan berhati-hati. Sialnya ia jauh lebih menguasai keris dasasukma dibanding Dirga.

“Mati…”
Keris-keris itu pun menerjangku secara bersamaan dengan kekuatan hitam yang menyelimutinya.
Blarrr!!

Ledakan asap hitam meliputi tubuhku.

Trang!! Trang!! Trangg!!!

Aku melesat menembus asap hitam itu dan menahan semua serangan keris itu dengan Keris Ragasukma di tanganku.

“Maaf Danan, kupinjam kerismu..” ucapku.

Dengan cepat aku berpindah melalui alam lain dan muncul di belakang Prabu Junoyo. Secepat mungkin aku menghujamkan keris Ragasukma, namun Prabu Junoyo menghindar dan memerintahkan keris dasasukma untuk menyerangku lagi.

Trang!!

Pertarungan sengit terjadi antara keris ragasukma dan keris dasasukma. Aku terus mencoba mencari celah untuk mengejar Prabu Junoyo, namun itu tidak semudah yang kukira.

“Tak kusangka kau bisa memberikan perlawanan,” Ucap Prabu Junoyo.

Benar, aku menyadari sesuatu.

Mungkin pukulanku tidak bisa menyentuh tubuhnya. Tapi dia menghindar dari serangan keris ragasukma. Apa itu artinya seranganku dengan keris ini bisa melukainya?

Di tengah pertarunganku, tiba-tiba terdengar suara petir yang menyambar dengan keras.

Padahal aku berada di alam yang berbeda, bagaimana suara petir itu bisa sampai ke tempat ini?
Wajah Prabu Junoyo berubah seketika. Ia memperhatikan arah suara petir itu berasal seolah memang petir itu ditujukan untuknya.

“Hahahaha!!!! Sudah saatnya! sudah saatnya aku membangkitkan Ratuku!!!” Teriak Prabu Junoyo tiba-tiba.

Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi tiba-tiba serangan makhluk itu terasa semakin tajam.

“Aku tidak punya waktu lagi untuk bermain-main!”

Seketika terjadi retakan di udara di alam ini, saat itu seketika aku kembali ke alam manusia. dan saat yang bersamaan, dari bayangan Prabu Junoyo muncul raksasa besar bertubuh hitam Kukunya sepanjang lengan manusia dengan taring yang begitu panjang.

“Buto Jagar, dia makananmu!”

Gila!! Dia menyembunyikan raksasa seperti ini di bayangannya. Sekuat apa makhluk yang sedang kami lawan ini?
Tanpa menunggu lama sebuah sapuan tangan mengincar tubuhku.

Aku berusaha melompat menghindar, namun tiba-tiba sosok itu muncul ke belakangku dan menghempaskanku begitu saja.

Aku terpental hingga menabrak sebuah pohon. Darah bermuncratan dari mulutku dan aku mulai kesulitan untuk bergerak.

“Takut? sebentar lagi ratusan makhluk seperti buto jagar akan bangkit. Dan itulah saatnya dimulai perang ghaib dari berbagai ras gaib dan manusia. Perang terbesar akan kembali terulang, dan kekuatan gaib akan meledak di padang itu.

Saatnya setan-setan yang mati di perang itu bangkit menuntut balas. Dan demi mereka, kami akan mengulang lagi Perang keramat padang Kurusetra!” Ucap Prabu Junoyo dengan semangat.

Tak kusangka ada makhluk gila yang ingin mengulang peperangan yang aku kira tidak pernah ada itu. Tanah jawa akan hancur dalam waktu singkat bila memang perang itu akan terulang lagi. Pasti ada cara untuk menghentikannya,

dan aku yakin Danan pasti punya maksud saat mengirimkan keris ini padaku.
“Sebelum mati, tidak ada salahnya aku mencoba hal itu..” ucapku yang hampir kehilangan harapan atas pertarungan ini.
Aku berpindah ke beberapa alam dan bersembunyi dari Buto Jagar dan Prabu Junoyo.

Jelas aku tahu dalam sekejap mereka akan menemukanku, tapi setidaknya aku memiliki sedikit waktu untuk membaca mantra itu…
..

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
--

Tepat saat aku menyelesaikan mantra itu seketika Buto Jagar sudah menyusulku. cakarnya dengan mudah menghantamku meski aku sudah mencoba menahannya. Sekali lagi aku terpental dan membuatku kembali tak berdaya.

Sial.. aku gagal.

Rupanya benar, mantra itu hanya dapat digunakan untuk mereka yang terpilih saja. Aku kecewa, sepertinya ini adalah akhir hayatku.

Aku pikir saat aku mati aku akan dijemput oleh bidadari malaikat yang cantik jelita.

Tapi siapa sangka, saat ini yang membawaku ke matian adalah raksasa hitam yang sangat buruk rupa.

“Dirga! Semoga kamu selamat..” Doaku yang seketika teringat akan Dirga.

Wajah Buto Jagar yang mengerikan itu mendekat memamerkan taring taringnya yang tajam.

Aku sudah bersiap bertahan dengan semua yang tersisa pada diriku walaupun aku tahu akan sia-sia. Tapi sebelum wajah itu mendekat tiba-tiba selendang hitam besar menutupi wajah makhluk itu bersama kemunculan sosok wanita yang berwajah mengerikan.

Walau mengerikan, sosok itu seperti mencoba untuk menolongku.

“Nyi? Nyi Sendang Rangu?” aku mencoba menebak siapa sosok itu. Ia pun menoleh dan saat semakin jauh dari buto jagar wajahnya kembali seperti yang kukenal.

“Kita pergi dari sini!” Perintah Nyi Sendang Rangu tiba-tiba.

Ada kekuatan yang mengalir ke tubuhku yang berasal dari Nyi Sendang Rangu. Seolah ia memberi isyarat agar aku menggunakan kekuatannya untuk berpindah alam.

Dengan segera aku membawa kami berdua berpindah ke alam manusia.

“Jagad! Kita ke alam lain! jangan ke tempat ini!” Tolak Nyi Sendang Rangu.

“Setidaknya aku bisa membawa jasad Entis kembali ke orang tuanya!” Ucapku yang sekuat tenaga berusaha untuk mencari keberadaan jasad entis di antara reruntuhan.

Tapi.. jasad itu tidak ada.

“GGGrrrorraaaaa!!!!”Terdengar suara amukan Buto Jagar yang mengikutiku.

“Jangan buat aku menyesal menyelamatkanmu!” Ancam Nyi Sendang Rangu yang sepertinya juga tidak yakin untuk melawan Buto Jagar dan tuannya Prabu Junoyo.

“Kita pergi!”

Aku menggenggam sebuah batu bertuliskan aksara kuno dan memasuki alam yang aku yakin Prabu Junoyo tidak akan mengejarku.
“Siti Kawaruhan..”
Tepat saat aku sampai ke tempat itu, aku terjatuh dan memuntahkan darah. Seluruh tenagaku sudah habis, dan luka di tubuhku juga cukup dalam.

“Mengapa di alam ini?” Nyi Sendang Rangu bingung.

“Ini adalah tempat Prabu Junoyo dikurung. Seharusnya ia berpikir dua kali untuk menyusulku kesini, terlebih saat ini ada Nyi Sendang Rangu..” Jelasku.

Aku mencoba mengatur nafasku dan menenangkan diri sebisaku. Keberadaan Nyi Sendang Rangu membuat tidak ada makhluk di alam ini yang berani mendekati kami. namun tetap saja, kegagalanku membuatku tak bisa berpikir dengan tenang.

“Nyi? Apa Nyi tahu apa yang terjadi pada Danan?” Tanyaku.

Nyi Sendang Rangu tidak menoleh ke arahku. Ia berkata seolah tidak yakin dengan jawabannya.

“Mereka mempercayakan bencana ini pada kalian,” ucap Nyi Sendang Rangu.

“Bukan itu yang saya tanyakan, Nyi!”

“Kalian kumpulkanlah kekuatan seperti yang dilakukan oleh Danan dan yang lainnya sebelum ini. Akan ada pertempuran besar yang mempertaruhkan nyawa banyak orang,” Balas Nyi Sendang Rangu.

“Nyi! Katakan saja! Danan sudah mati??!”

Tanyaku yang tak tahu bagaimana lagi harus mencari tentang keberadaan mereka.
Nyi Sendang Rangu menggeleng.

“Tidak tahu… Aku hanya tidak dapat merasakan lagi keberadaan mereka.”

Aku merasa Nyi Sendang Rangu masih tidak ingin menerima kenyataan ini. Tapi bila sosok makhluk seperti Nyi Sendang Rangu yang sudah memiliki ikatan dengan Danan tak bisa merasakan keberadaannya, bukankah itu adalah sebuah kesimpulan?

Tak ada kata-kata terucap diantara kami setelah itu. Aku hanya mengepalkan tanganku kesal tak mampu berbuat apa-apa dengan apa yang terjadi pada Danan.

Namun ditengah kekesalan kami, tiba-tiba Nyi Sendang Rangu bereaksi.

Ada sesuatu yang melayang ke arah kami. Sebuah selendang berwarna hijau..
“I–ini?”
Aku mengambil selendang itu dan Nyi Sendang Rangu segera mengenalinya.
“Selendang ini adalah sebuah pesan…” ucap Nyi Sendang Rangu.

“Pesan? Kita di Siti Kawaruhan, siapa yang bisa mengirim pesan kepada kita?”
Nyi Sendang Rangu berpikir sejenak dan memperhatikan selendang itu. Ia mengikatnya di pinggang dan menggerakkan jemarinya yang lentik dengan selendang itu.

“Menembus alam ini bukan hal yang sulit bagi beliau,” ucap Nyi Sendang Rangu yang segera mengambil posisi bermeditasi dengan selendang hijau menghiasi tubuhnya.

Aku mencoba menebak, siapa yang dimaksud oleh Nyi Sendang Rangu namun aku benar-benar tidak mendapat petunjuk apapun.

Dalam meditasinya Nyi Sendang Rangu tersenyum, air matanya menetes. Sepertinya pesan yang datang bukanlah hal yang buruk.

“Ini pesan dari laut selatan…” Ucap Nyi Sendang Rangu di tengah meditasinya.

Aku tidak berani mengganggunya dan hanya bisa menunggu apa yang akan Nyi Sendang Rangu katakan.

“Mereka belum mati. Danan, Cahyo, dan Paklek. Roh mereka selamat dan saat ini mereka berada dalam perlindungan laut selatan,”

Mendengar ucapan itu aku bernafas lega. Kini aku mengerti arti dari senyuman Nyi Sendang Rangu itu. Sesaat kemudian Nyi Sendang Rangu membuka mata dan melepas selendang hijau itu.

Angin berhembus menerbangkan selendang yang menghilang begitu saja dari pandangan kami.

“Saat Batara Kala memakan rembulan, perang itu akan dimulai. Dan Kitalah yang akan menghadapi merek..” ucap Nyi Sendang Rangu.

“Tanpa mereka bertiga?”

Nyi Sendang Rangu menggeleng.

“Mereka pasti akan kembali, saat ini mereka sedang menghimpun kekuatan untuk menghadapi makhluk-makhluk sekuat Prabu Junoyo dan Buto Jagar itu,” Jawabnya.

Aku masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Nyi Sendang Rangu.

Tapi kabar tentang mereka yang masih hidup saja sudah membuatku cukup tenang.
Sepertinya saat saat ini sudah saatnya aku mengetahui perkembangan Dirga.

***

(Sudut Pandang Danan…)

Kami kembali ke alam ini, tempat dimana ruang dan waktu tak berkuasa. Sebuah alam yang memiliki kesadaran nya sendiri yang siap memakan kewarasan siapa saja yang memasukinya.

Berbagai makhluk yang terjebak dari berbagai alam dan berbagai masa menjadi satu di tempat ini. Sebuah alam tempat dimana bangsa dedemit dan setan berasal. Jagad Segoro Demit…

Kami ke tempat ini bukan lagi melalui celah dimensi, bukan juga dengan ilmu lintas alam Mas Jagad. Tapi sebuah kereta kencana menghantarkan kami melalui jalur yang sama sekali tidak kami mengerti.

“Mengapa beliau mengantar kita ke alam ini?” Tanyaku pada Paklek.

“Paklek juga tidak tahu. Tapi kali ini keberadaan kita di tempat ini benar-benar berbahaya. Tak ada roh Wanasura, tidak ada keris ragasukma, dan tidak ada keris sukmageni..” Ucap Paklek.

“Sedikit lengah, kesadaran kita bisa direnggut oleh alam ini,” Tambah Cahyo.

Aku setuju dengan mereka. Tapi kami tidak punya pilihan lain. Sosok yang mengaku sebagai utusan laut selatan tiba-tiba menghampiri goa tempat roh kami terikat. Ia mendapat amanah untuk melepaskan roh kami, tapi bukan untuk kembali ke tubuh kami.

sosok itu diperintahkan untuk mengantar kami ke Jagad Segoro Demit tanpa penjelasan yang pasti. Aku, Paklek, dan Cahyo hanya bisa meraba-raba apa tujuannya melakukan ini.

“Kalau ingin memenangkan peperangan ini, kita membutuhkan bantuan dari berbagai zaman…” Gumam Cahyo.

Aku ingat kalimat itu. Itu adalah kalimat yang diucapkan oleh pria bertopeng itu sebelum meninggalkan kami. Tapi apa itu benar?
“Masuk akal.. Alam ini menghubungkan kita ke berbagai masa.

Terlebih saat ini kita dalam wujud roh. mungkin saja kita bisa lebih leluasa di alam ini,” jelas Paklek.

Langit hitam, pohon-pohon kering yang sudah menghitam, dan makhluk yang haus akan darah menghiasi pemandangan di sekitar kami.

Aku menatap sekitar dan benar-benar tidak menyangka akan kembali lagi ke alam ini.

“Minggir, Nan!” Teriak Cahyo yang menyadari kedatangan bola api yang mengincar kami.

Kami menghindar, namun bola api itu juga tidak sendiri.

Bila melihat dengan jelas, seperti ada kepala manusia yang terbakar di kobaran api yang mengejar kami itu.

“Banaspati? Bukan, makhluk ini memiliki kesadaran,” ucap Paklek.

Cahyo membacakan ajian penguat raga, sementara aku membacakan ajian pada kepalan tanganku.

Cahyo menendang sebuah batu yang dalam sekejap menghantam makhluk itu, dan ajian lebur saketi, sebuah pukulan jarak jauh memusnahkan satu makhluk yang lainnya.

“Lari!” Perintah Paklek.

Bukan kami yang tak mampu menghadapi makhluk itu,

namun dari jauh Paklek sudah menyadari pergerakan makhluk yang mengincar keberadaan kami.
Sialnya, kami lengah.
Saat kami sedang memikirkan apa yang akan kami lakukan di alam ini, setan-setan sudah berkerumun dan mengincar kami.

Kami tidak sadar keberadaan siluman ular sebesar pohon yang menghadang kami. Belum lagi pasukan raksasa dari berbagai ukuran sudah berlari mengejar kami dari jauh.

“Arrrgggh!! sial! Kalau sebanyak ini kita bisa nggak selamat!” Keluh Cahyo.

Sayangnya kami memang tidak melihat jalan keluar lagi dari tempat ini. Seluruh tempat sudah terkepung.

“Kalian itu roh! Kenapa tidak melayang saja??!”
Tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari sekitar kami. anehnya kami tidak bisa melihat wujud orang itu.

“Benar! ikutin Paklek!!” ucap Paklek.

Dengan cepat kami melayang setinggi-tingginya dan melesat menuju tempat kemana firasat Paklek menuntun kami.

Tidak jauh, tapi ada sebuah danau hitam dimana tidak ada setan yang bersarang di sana.

Kami Pun mendarat dan memastikan keadaan sekitar.
Aku cukup lega mengetahui kami berhasil lolos dari makhluk-makhluk itu. Benar juga, ini pertama kalinya kami masuk ke alam ini dalam tubuh roh.

“Mukamu kenapa to, Jul? kok ngeselin,” ucapku yang menyadari wajah Cahyo yang memandang kami dengan sinis.

“Apa nggak kesel? Kalian kan sudah tahu rasanya rogosukmo, mengambil wujud roh. Masa bisa melayang saja kalian nggak sadar!” Keluh Cahyo.

“Owalah, kirain apa to, Jul!” ucapku.
“Yo namanya lupa kan ndak inget to, Jul.. piye to?” Tambah Paklek.
Lagipula namanya saja sedang panik. Kami yang terbiasa berjalan dengan dua kaki tidak akan berpikiran untuk melarikan diri dengan melayang.

“Sebaiknya kalian juga jangan lama-lama di tempat ini juga. Hampir tidak ada tempat aman di alam ini…”
Suara itu terdengar lagi. Tapi kali ini sosok suara itu mulai menampakkan wujudnya dari balik bayangan kami.

Seorang pemuda dengan umur yang tidak jauh dari umurku. Entah mengapa aku seolah mengenalnya. Wajahnya benar-benar tidak asing seperti aku sudah mengenalnya begitu lama.

Dan yang lebih penting… Bagaimana pemuda itu bisa berada di Jagad Segoro Demit?

BERSAMBUNG

Terima kasih sudah bersedia membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata bagian yang menyinggung.

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close