Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAU GANTUNG JASADKU DI KAMAR ITU (Part 2)


Kinan bersama Mas Danan dan Mas Cahyo sampai pada Mbah Sarmi yang sudah tinggal di desa itu sejak lahir.

Cerita memilukan diceritakan mengenai seorang wanita bernama Nilam yang pernah tinggal di kos kinan.

*****
JEJAKMISTERI - Aku menghabiskan malam bersama dengan Santi di rumah Bude. Kami memutuskan untuk tidak masuk kulliah dulu hari ini untuk menenangkan diri sekaligus mencari tahu tentang permasalahan di kos semalam.

“Nduk, udah bangun? Sarapan dulu... temenya di ajak” Ucap Bude yang menyadari bahwa aku sudah terbangun.

“Santi masih tidur Bude, biar istirahat dulu saja... dia pasti masih trauma sama kejadian semalam.”

“Coba ceritakan sama bude, sebenernya ada apa sampai kalian lewat tengah malam maksa untuk tidur disini?” Aku memang belum menceritakan kepada bude tentang apa yang terjadi.

Semalam bude melihatku dan Santi datang dengan wajah yang pucat kelelahan sehingga bude menyuruh kami untuk segera beristirahat.

“Ini pertama kalinya Kinan melihat roh halus bude” Ucapku sambil mengusap-ngusap bahuku karena merinding setiap mengingat kejadian semalam.

Mendengar perkataanku bude menghentikan kegiatanya dan mengambil kursi untuk duduk di hadapanku.

“Roh halus? Kamu yakin?” Aku mengangguk dan menceritakan semua kejadian semalam pada bude. Mulai dari pemadaman listrik, kemunculan kaki manusia yang melangkah tanpa badan, sosok yang tergantung di kamar belakang, hingga Santi yang kesurupan oleh sosok menyerupai Kuntilanak itu.
Aku melihat ekspresi wajah bude yang ikut merinding mendengar ceritaku, namun ia mulai tenang saat ada yang membantu kami.

“Sekarang, mas-mas itu kemana?”
“Mereka membantu melapor ke Pak RT dan mencari tahu ke Ibu kos dulu.. mungkin habis ini aku mau nyusul mereka. Santi biar istirahat disini dulu boleh bude?”

“Iya udah nggak papa, kamu jangan buru-buru.. istirahat dulu saja.”
“Nggak bisa bude, aku harus ceritain ini semua.. takutnya bahaya juga buat anak-anak kos yang lain”

Memang benar, walaupun takut aku lebih khawatir dengan Mbak rini dan yang lain. Aku takut malam ini makhluk itu muncul lagi saat mereka bertiga ada di kos. Jam sebelas siang, aku berpamitan pada santi dan memintanya untuk beristirahat. Wajahnya masih terlihat pucat dan lemah.

“Hati-hati Kinan, kalau masalah di kos belum jelas jangan tidur disana” Ucap Santi.
Aku mengangguk dan menenangkan dia.

“Kamu berangkat naik apa Kinan?” Tanya Bude menghampiri kami.
“Dijemput Lintang Bude, biar ada yang nemenin” Ucapku.

Aku sudah pernah bercerita tentang Lintang kepada bude, jadi dia cukup tenang saat aku ada yang menemani. Kami janjian ketemu di salah satu mini market depan komplek agar ia tidak repot mencari jalan masuk ke rumah bude.

“Ya sudah... pokoknya ada apa-apa bilang bude ya, jangan sampai ibumu juga khawatir”

“Iya Bude, Kinan pamit”
Setelah berjalan kaki selama beberapa menit aku sudah melihat Lintang menunggu di depan mini market dengan motor bebek kebangganya.

“Sori, nunggu lama ya?” Ucapku.
“Nggak kok, santai aja.. itu yang tadi kamu ceritain beneran?” Tanya Lintang dengan wajah yang heran.

“Bener Tang, orang yang denger pasti nggak percaya. Ada sesuatu di rumah itu yang nggak beres” Jawabku.

“Kalau gitu pindah kos aja” Ucap Lintang.
“Rencananya begitu.. tapi kita cari tau dulu, takutnya salah langkah malah lebih bahaya” Balasku.

“Bener tuh, sekarang kita kemana dulu?”
“Ke kos dulu, temuin anak kos yang lain...”

Tanpa menunggu lama, Lintang menyerahkan helm kepadaku mengantarku kembali ke kos. Sepanjang perjalanan aku menceritakan tentang apa yang kulihat di kos kepada lintang, berkali-kali dia menyarankanku untuk pindah ke kos yang lebih aman.

Di depan kos aku melihat sudah terparkir motor vespa tua dan beberapa motor lainya. Dari jauh terlihat sudah ada beberapa orang di ruang tamu.

***

“Mbak Kinan, sudah sehat?” Tanya Mas Danan yang sudah sampai duluan disana.

“Sudah Mas, Santi masih nggak enak badan.. dia masih istirahat di rumah bude”
Aku memperhatikan sekitar. Bu Fitri, Pak RT dan teman-teman kos ternyata sudah berkumpul lebih dulu disana dan sepertinya sudah memulai perbincangan.

Mas Danan mempersilahkanku untuk duduk dan mendengar mengenai kesimpulan yang sudah mereka bahas. Bu Fitri membeli rumah ini dan menjadikanya kos-kosan baru sekitar tiga tahun dan selama ini belum pernah mendengar ada kejadian seperti ini.

Pak RT juga bercerita ia tidak mengetahui tentang sejarah rumah ini, ia berjanji akan mencari tahu tentang sejarah rumah ini pada warga yang lebih lama tinggal di sekitar sini.

“Sebenarnya bukan nggak ada kejadian bu..” Tiba-tiba Mbak rini berbicara seolah ingin menceritakan sesuatu.

“Maksud Mbak Rini? Sebelumnya pernah ada kejadian yang sama?”
Mbak rini bertatapan dengan Mbak Anggit sebelum memutuskan untuk bercerita.

“Semalem sebenarnya ada alasan kenapa tiba-tiba diajak keluar sama pacar saya. Dia baru bilang tadi pagi. Katanya waktu nelpon semalem, dia mendengar suara perempuan lain yang suaranya aneh seperti kadang menangis kadang menggeram” Cerita Mbak Anggit.

“Mati... ora ono sing oleh urip (mati... tidak ada yang boleh hidup). Pacar saya merinding mendengar suara itu dan memaksa untuk menjemput saya...”

Mendengar cerita itu seketika bulu kudukku berdiri, beruntuk pacar Mbak Anggit cepat tanggap dengan situasi semalam.

“Pernah ada yang datang ke rumah ini, seorang nenek. Saat itu hanya ada saya dan Ratna. Dia datang ke tempat ini katanya mau menemui cucunya yang bernama Nilam.

Namun karena di rumah ini tidak ada yang namanya Nilam akhirnya kita meminta nenek itu untuk pergi... dan malam setelahnya terdengar suara perempuan nangis dari kamar belakang.” Kami semua terdiam mendengar cerita itu. sebagian dari kami berpikir apakah kejadian itu ada hubunganya dengan kejadianku semalam.

“Kalau itu namanya Mbah Sarmi, dia memang sudah agak pikun.. tiap hari dia mencari anaknya yang bernama Nilam. Padahal kami warga desa tahu, bahwa Mbah Sarmi dan Almarhum suaminya tidak pernah punya anak.” Ucap Pak RT.

“Tapi Pak, Mbah Sarmi sudah lama tinggal di daerah sini? Apa dia tahu tentang rumah ini?” Tanya Mas Danan.

“Mungkin, tapi dia sudah mulai pikun.. saya saksi dia punya informasi yang cukup.” Tambah Pak RT.

Entah mengapa aku merasa harus menemui seseorang bernama Mbah Sarmi itu.
“Rumahnya jauh dari sini Pak?” Tanyaku.

“Paling seratus meter, rumahnya paling tua sendiri. Beliau tinggal sendiri. Tapi ada tetangga yang merawat mbah.” Jelas Pak RT.

Akupun mengajak Lintang untuk mengecek kesana. Mas Danan dan Mas Cahyo sepertinya memiliki firasat yang sama sehingga memutuskan untuk ikut.

Bu Fitri meminta maaf atas permasalahan yang terjadi di kosnya. Kami tahu semua ini bukan salah beliau tapi mau tidak mau kami harus mencari tempat yang aman dulu sebelum memutuskan melanjutkan tinggal di kos ini atau pindah.

“Bu Fitri.. tenang saja, setelah permasalahan ini selesai rumah ini akan kembali nyaman untuk ditinggali.” Ucap Mas Cahyo.

“Memang bisa mas? apa masnya sudah tahu masalahnya?” Tanya Bu Fitri.

“Penyebabnya belum tahu, tapi kami sudah tahu kalau makhluk yang tergantung di kamar belakang mati dengan tidak wajar. Kematianya ada hubunganya dengan santet...” Balas Mas Cahyo.

***

Aku dan Lintang menghampiri sebuah rumah tua di iringi suara mesin motor vespa tua yang suaranya terdengar hingga ujung jalan. Terlihat seorang wanita tua sedang sibuk membersihka halaman rumah dari daun-daun kering yang berserakan.

“Kulo nuwun..” (Permisi) Aku mencoba memanggil Mbok Sarmi dari depan halaman berharap ia akan menengokku.

“Nggih, sinten nggih..” (Iya, siapa ya?) Mbok Sarmi mendekati kami sambil mengamati wajah kami satu persatu.

“Saya kinan mbah, ini teman saya Lintang. Yang di belakang Mas Danan sama Mas Cahyo. Kami pengen ngobrol-ngobrol sama mbah” Ucapku.

Mbah Sarmi yang sudah cukup tua dan sedikit bungkuk terlihat bingung. Ia menoleh ke rumahnya dan kembali menatap kami.

“Tapi rumah mbah jelek, berantakan.., mbah juga nggak punya suguhan apa-apa” Balas Mbah Sarmi.

“Ora... ora mbah! Omahe Mbah Sarmi apik.. Enek pohon pisange” (Nggak.. nggak mbah, rumahnya Mbah Sarmi bagus. Ada pohon pisangnya) Tiba-tiba Mas Cahyo menimpal perbincanganku.

Aku tahu maksudnya agar Mbah Sarmi tidak merasa canggung.
“Yo wis, masuk nduk... mbah buatin minum ya” Ucapnya sambil memalingkan badan dan berjalan dengan tertatih.

“Saya bantuin mbah..” Ucap Mas Cahyo yang segera ikut nyelonong ke bagian belakang rumah sementara kami menunggu di teras rumah yang terdapat kursi bambu yang sudah cukup tua.

“Mbah Cuma ada teh, pisang.. dimakan ya” Ucap Mbah.

Entah mengapa aku merasa terharu melihat momen ini. sudah bertahun-tahun aku tinggal di ibukota, hampir seumur hidup tidak pernah ada satu orangpun yang menyambut orang asing sampai seperti ini.

“Mbah, mengko gentenan tak gawakke pisang seko kampungku. Uenak mbah..” (Mbah, nanti gantian aku bawakan pisang dari kampungku. Enak mbah) Ucap Mas Cahyo yang mencoba sok akrab dengan Mbok Sarmi sambil membuka kulit pisang yang disuguhkan.

Melihat tingkah Mas Cahyo, Mbah Sarmipun mulai tersenyum.
“Ngapunten, tolong teman saya dimaafin ya mbah... kelakuanya memang begitu. Kalau udah lihat pisang, matanya langsung hijau” Ucap Mas Danan.

Tiba-tiba suasana di rumah ini menjadi nyaman dengan keberadaan Mas Danan dan cahyo. Bahkan kami sempat lupa dengan tujuan kami kesini.

“Ngapunten Mbah Sarmi, sebenarnya ada yang ingin kami tanyakan..” Lintang mencoba membantu untuk membuka pembicaraan.

Namun bukanya menjawab, Mbah Sarmi malah berdiri dan masuk ke rumah meninggalkan kami. Kami menunggu cukup lama, namun Mbah Sarmi belum kunjung keluar juga.

Bukanya gelisah Mas Cahyo tiba-tiba malah meninggalkan kami dan mengambil sapu lidi di kebun dan melanjutkan pekerjaan Mbah Sarmi membersihkan rumput kering.

“Mas, gimana? Apa kita panggil aja?” Tanyaku pada Mas Danan dan Lintang.

“Nggak usah, Mbah Sarmi sudah mengerti maksud kita.. walaupun penampilanya begitu, sebenarnya mbah bukan orang biasa” Ucap Mas Danan.

Aku tidak mengerti apa yang dimaksud olehnya. Tapi memang cukup aneh melihat mereka berdua bisa cepat merasa akrab dengan Mbah Sarmi sebelum banyak berbicara.

Setelah beberapa lama akhirnya terdengar suara langkah kaki Mbah Sarmi dengan suara kaleng. Kamipun segera mengetahui bahwa Mbah Sarmi sedang mengambil sesuatu dari dalam rumah dan membawanya ke hadapan kami.

“Mbah tinggal di daerah sini hampir seumur hidup..” Mbah Sarmi mencoba untuk mulai bercerita.

“Mbah nggak bisa punya anak, tapi mbah beruntung bisa menikah dengan orang yang tepat dan tidak pernah mengeluh sampai akhir hayatnya..”

Mbah Sarmi mengeluarkan foto seorang pria tua yang terlihat sudah sangat lama.

“Setelah Mas Nur pergi duluan, Mbah kesepian. Walaupun warga disini sangat perhatian sama mbah. Tetap ada perasaan sepi yang tidak bisa tergantikan... sampai suatu saat, mbah ketemu seorang anak perempuan yang baik... namanya Nilam”

Mbah cerita saat itu Nilam lewat rumah mbah tiba-tiba masuk begitu saja. Katanya Nilam kangen sama almarhum neneknya dan jadi sering ngobrol sama Mbah Sarmi.

Dalam seminggu bisa tiga sampai empat kali mampir ke rumah Mbah Sarmi. Dia banyak bercerita soal temanya, kuliahnya, dan keluarganya. Saat itu Mbah sangat senang, karna ia jadi tidak kesepian lagi.

Tapi dibalik itu mbah juga tahu, ada masalah yang dialami oleh Nilam tentang keluarganya. Mereka tinggal di rumah yang saat ini menjadi kos yang kutinggali.

Ada seorang pria bernama Bira yang jatuh cinta dengan Nilam. Keluarga mereka cukup dekat sehingga Bira sering mampir ke rumah. Namun Nilam tidak memiliki perasaan yang sama dengan pria itu.

Nilam selalu berusaha menghindari pria itu, ia selalu ke rumah Mbah Sarmi setiap Bira mampir ke rumah Nilam. Pernah beberapa kali Nilam sampai menginap di rumah Mbah Sarmi agar tidak bertemu dengan Bira.

Akhirnya orang tua Nilam sadar bahwa anaknya berusaha menjauhi pria yang mendekatinya itu. Rasa sayang terhadap anaknya membuat ayah Nilam menghampiri keluarga Bira dan menegaskan bahwa Nilam tidak bersedia menjalin hubungan dengan anak mereka. Awalnya hal ini ditanggapi dengan biasa.
Sayangnya permasalahanya lebih rumit dari itu. Ada alasan mengapa keluarga itu mendekati keluarga Nilam dan menginginkan Nilam menikah dengan anaknya.

Setelahnya berbagai teror mulai mendatangi rumah itu. Ayah Nilam terkena penyakit gatal. Ibu Nilam yang sering menjadi depresi karna diperlihatkan sosok aneh, Hingga Nilam yang sering kehilangan kesadaran dan tiba-tiba tersadar di bawah pohon.

Seseorang yang merupakan keturunan kraton pernah cerita sama mbah bahwa keluarga Nilam sedang disantet. Orang itu pernah dimintai tolong oleh keluarga pria yang suka kepada Nilam untuk “ngerjain” keluarga Nilam namun ditolak olehnya.

Mbahpun panik dan menghampiri keluarga Nilam. Namun mbah juga tidak punya kemampuan sebesar itu untuk menangkal serangan yang diarahkan kepada keluarga Nilam. Apalagi saat bertemu orang tua Nilam, mbah melihat orang tua Nilam terlihat linglung.

Beruntung teman-teman kampus Nilam yang mengetahui keadaan Nilam tidak tinggal diam. Mereka mencari cara untuk membantu Nilam dengan bantuan pemuka agama, orang pintar, dan sesepuh yang mengerti masalah ini. Namun sekali lagi... masalah ini tidak semudah itu.

Keluarga sang pria begitu keras menginginkan Nilam menikah ternyata karena weton Nilam sesuai dengan syarat tumbal untuk pesugihan yang mereka jalani. Ketika mereka gagal, maka nyawa merekalah taruhanya.

Nilam dan teman-temanya merencanakan suatu hal untuk menyelamatkan Nilam. Orang tua Nilam diungsikan ke rumah keluarga terdekat dan rumah dikosongkan. Nilampun tinggal bersama teman-temanya.

Mereka mengetahui bahwa Bira masih sering ke rumah itu untuk mencari Nilam. Namun yang ditemui hanyalah rumah kosong. Mereka kira ini akan berjalan lancar, sampai suatu kebodohan dilakukan oleh Vera salah satu teman Nilam.

Vera jatuh cinta dengan Bira...

Vera menghubingi Bira dan memintanya bertemu di rumah Nilam pada waktu yang dijanjikan.
Bira sangat kecewa saat tidak menemukan Nilam bersama Vera. Namun Vera menahan Bira dan berusaha meyakinkan Bira bahwa Ia lebih bisa membuat Bira bahagia dibanding Nilam.

Vera berjanji akan memberikan apapun yang Bira mau agar Bira mau bersamanya dan melupakan Nilam. Mendengar ucapan Vera, Bira sebagai seorang laki-laki menerimanya dengan senang hati. Di rumah itu juga Bira meminta Vera untuk melayani nafsunya.

Vera sudah siap dengan itu, dan mengikuti semua keinginan Bira. Rumah yang seharusnya kosong itu, kini dipenuhi suara desahan sepasang manusia yang saling melampiaskan nafsunya.

Setelah vera memenuhi janjinya, kini giliran Bira. Ia akan melepaskan Nilam dengan baik-baik. Ia meminta Vera untuk mengajak Nilam ke hutan belakang kampus pada tanggal 5 mei untuk mengakhiri semua permasalahan ini.

Entah mengapa, Vera merasa tidak pantas menemui mereka langsung setelah apa yang ia lakukan bersama Bira. Iapun mengirimkan sebuah pesan dibalik foto mereka agar berkumpul di belakang kampus pada waktu yang dijanjikan.

Dan hari yang dijanjikanpun tiba...

Vera merasa tenang ketika akhirnya temanya bisa selamat, dan ia bisa mendapatkan pria yang dicintainya. Namun yang terjadi bukan seperti apa yang dijanjikan. Di hadapan Nilam, Vera dan teman-temanya, Bira mengeluarkan sebuah handycam dan memutar sebuah rekaman kejadian saat Bira dan Vera berhubungan badan.
Seketika Vera menangis sejadi-jadinya. Semua seperti sudah direncanakan oleh Bira. Saat itu juga Bira memberi ancaman pada Nilam.

Bila tidak ingin menuruti kemauanya Bira akan menyebarkan rekaman itu dan membuat Vera dan keluarganya malu.
Tidak ada pilihan lagi untuk mereka. Vera menangis memohon maaf kepada Nilam namun sepertinya Nilam juga sudah lelah dengan semua ini hingga menurut keinginan Bira.

Dan Nilam berjanji akan menemui Bira di rumah malam besoknya. Saat itu senyum puas terpampang di wajab Bira. Seolah sama sekali tidak peduli dengan Vera. Birapun meninggalkanya di hutan belakang kampus dengan tangisan penyesalanya.

Sesuai perjanjian mereka Bira datang pada malam hari ke rumah itu. Bira mengecek pintu rumah tidak terkunci. Ia masuk ke dalam, dan benar.. Nilam sudah ada disana.

Ia berdiri di ruang tengah menyambut kedatangan Bira dengan dandanan yang paling cantik yang pernah ia lakukan untuk dirinya. Bira terkesima melihat kecantikan Nilam dan sudah membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.
Bira mengunci pintu rumah dan mendekati Nilam.

Saat sudah di hadapan Nilam, Bira bersiap mencumbu bibir Nilam. Namun ia merasa ada yang aneh. Semakin lama wajah Nilam semakin pucat. Ia menyadari bahwa sedari tadi Nilam menyembunyikan lenganya di belakang.

Rupanya tepat saat kedatangan Bira ke rumah, Nilam segera mengiris pergelangan tanganya untuk mengakhiri hidupnya. Ia tidak sudi bila harus dimiliki oleh seseorang seperti Bira.

Tak beberapa lama tubuh Nilam terjatuh dan nafasnya menghilang bersama dengan kesadaranya. Bira merasa kesal dan panik melihat hal itu. Namun kekagumanya akan kecantikan Nilam belum memudar bahkan saat nyawa Nilam tidak lagi bersatu dengan jasadnya.

Seolah masih termakan oleh nafsu. Bira yang gelap mata menyetubuhi Jasad Nilam yang sudah tidak bernyawa. ia juga melampiaskan kekesalanya kepada Jasad Nilam. Sebuah penghinaan yang keji yang bisa diberikan ke jasad manusia.

Setelah sadar dengan apa yang dilakukanya, Bira bersusaha menghilangkan barang bukti dengan membersihkan bercak darah yang berceceran. Dan menggantung Jasad Nilam di kamar belakang dan meninggalkanya begitu saja tanpa ada satupun orang yang mengetahui tentang keadaan Nilam.

Vera keluar dari kampus dan menghilang setelah kejadian di hutan belakang kampus. Ia tidak berani menunjukkan wajahnya di hadapan teman-temanya lagi. Teman Vera yang lainya menganggap Nilam sudah bersama bira dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Berbulan-bulan rumah itu kosong dengan jasad Nilam yang masih tergantung. Warga sempat mencium bau busuk namun tidak menyangka bahwa itu adalah jasad manusia. Sampai akhirnya orang tua Nilam yang khawatir dengan keadaan Nilam, pulang dan menemukan Jasad Nilam tergantung di Kamar.

Orang tua Bira mengancam orang tua Nilam agar tidak melakukan otopsi karena mereka pasti bisa menemukan sisa-sisa perbuatan Bira di tubuhnya hingga akhirnya Nilam dikuburkan tanpa melibatkan warga di sekitar.

Tidak kuat dengan kenangan pahit itu Orang tua Nilampun menjual rumah itu. Mereka pindah ke luar pulau agar bisa merupakan kepedihan tentang Nilam dan menghindari serangan-serangan ilmu hitam yang pernah dikirimkan keluarga Bira.

Selang satu tahun tidak terdengar kabar dari Bira dan keluarganya. Beberapa orang pintar yang mengenalnya mendengar kabar bahwa mereka sekeluarga mati mengenaskan

Karena penyakit yang sesak nafas dan membuat kulitnya melepuh dan gatal hingga tidak ada orang yang ingin mendekatinya.
Kisah Nilam berhenti sampai disini hingga tidak ada yang mengetahui tentang kematianya...

*****

Aku mengambil tissue dari tasku dan mengusapan pada mata Mbah Sarmi yang sudah dibasahi oleh tetesan air mata.

“Berarti waktu itu Mbah Sarmi mampir ke rumah dan ketemu Mbak Rini untuk melihat Nilam ya?” Ucap Mas Danan.

“Iyo mas.. waktu itu Nilam nangis. Tapi mbah nggak bisa apa-apa selain mendoakan dan menengok dia” Jawab Mbah Sarmi.

“Mbah, jangan sedih ya mbah... kami akan cari cara supaya Nilam tenang. Nanti kami juga akan sering main kesini” Ucapku.

“Iya Mbah, di kosanku sepi... mending aku main kesini numpang ngopi” Tambah Lintang yang seketika menjadi simpatik setelah mendengar cerita Mbah Sarmi.

Sekarang sudah jelas, apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu. Namun kami belum mengerti, apa yang harus kami lakukan agar Nilam bisa tenang. Dan mengenai sosok lain selain Nilam apa akan ikut pergi setelah Nilam tenang?

“Uwis nan?” (Sudah Nan) Ucap Mas Cahyo.

“Uwis, jelas semua.. Mbah kami ijin pamit dulu ya, keburu malem. Nanti pasti kita mampir kesini lagi” Ucap Mas Danan.

“Iya mbah, Bawa pisang yang enak nanti” Tambah Mas Cahyo.

Kedua orang itu memang sedikit aneh. Tapi sepertinya aku sadar bahwa mereka sudah tahu apa yang akan mereka perbuat. Akupun pamit pada Mbah Sarmi dan berjanji akan sering main ke rumahnya sekedar untuk berbagi cerita denganya.

Nilam... semoga saja kami bisa menemukan cara yang terbaik untuk membuatmu tenang.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close