Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAU GANTUNG JASADKU DI KAMAR ITU (Part 1)


Wanita itu menatapku dari kamar belakang dengan penuh amarah. Terlihat seutas tali yang penuh dengan darah masih menggantung di lehernya..

*****
JEJAKMISTERI - Kota pelajar.. Siapa yang tidak tahu dimana aku berada saat mendengar sebutan itu. Sebuah kota yang katanya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.

Jargon itu memang bukan bualan semata. Baru sebentar aku tinggal di kota ini, sudah banyak sekali hal yang kukagumi.

Kinan Aina Sartika..

Aku membuka sebuah lembaran surat dimana namaku dengan jelas disana. Nama sebuah universitas ternama terpampang di ujung kanan atas lembaran itu. Seketika bibirku tersenyum kembali seperti saat beberapa hari lalu aku mendapatkan kabar ini.

Sebuah pemberitahuan bahwa aku diterima dengan beasiswa di universitas impianku di kota ini.

“Nduk.. sudah mau berangkat?” Tanya Bude yang tiba-tiba menghampiriku.

“Iya Bude, mau nyari kos dulu. Minggu depan sudah mulai kuliah.”

“Kinan, kamu kalau mau tinggal disini juga nggak papa. Kamar ini kan kosong, Lidya kerja di Jakarta. Paling dia baru pulang setahun sekali,” ucap Bude.

“Matur nuwun bude, Kinan seneng disini.. tapi kampus Kinan kan lumayan jauh juga. Nanti Kinan sering mampir kesini deh,” balasku.

“Ya sudah, terserah kamu saja, yang pasti kapanpun Kinan mau, tempat ini selalu terbuka buat Kinan. Pokoknya anggap saja rumah sendiri.”

Jujur, aku senang tinggal di rumah bude. Tapi dari rumah bude, aku butuh lebih dari setengah jam untuk sampai ke kampus.

“Iya Bude.. Ijin pinjem motornya sebentar ya”

“Iya, hati-hati ya nduk”

Akupun berpamitan dan segera meninggalkan rumah bude bermodalkan koran dan petunjuk dari beberapa orang mengenai tempat yang kira-kira sesuai dengan kriteriaku.

Aku terlalu semangat memulai hari ini. Dengan motor matic yang kupinjam dari bude, aku mengelilingi kota ini menikmati setiap pemandangan dari tempat-temat yang kulintasi.

Dari rumah Bude, aku melintasi jalan yang dikelilingi dinding-dinding keraton yang megah seolah menyimpan kenangan-kenangan dari budaya masa lalu negeri ini.

“Kulo nuwun bu, kos apa masih ada kamar kosong disini?”

Aku menghampiri sebuah rumah yang cukup besar, sesuai dengan alamat yang ditunjukkan pada halaman koran.

“Maaf ya mbak, kamarnya baru saja penuh kemarin”

“Njih, nggak papa bu.. Matur nuwun”

Beberapa tempat kuhampiri sesuai dengan catatan yang kupegang. Tak jarang aku menanyakan warga sekitar mengenai keberadaan tempat yang kos yang sekiranya masih kosong.

Namun hingga sore hari, aku masih belum mendapatkan kamar kos yang kosong. Kalaupun ada, harganya juga diluar budgetku. Menjelang maghrib aku memutuskan untuk kembali ke rumah bude dulu.

Mungkin besok aku akan lebih beruntung dan bisa menemukan tempat yang cocok.

Aku melaju motorku melalui jalur belakang kampus. Entah mengapa saat itu suasana terasa begitu sunyi. Langit yang mulai memerah membuat perasaanku mulai tidak tenang.

Aneh... saat melewati suatu daerah komplek rumah yang di dominasi dengan bentuk bangunan lama. Tiba-tiba mesin motorku berhenti. Beberapa kali aku menekan tombol starter untuk menyalakan mesin, namun sama sekali tidak ada tanda-tanda motor ini akan menyala.

Akupun mencoba memandang ke sekitar berharap ada bengkel motor yang terlihat dari jangkauan mataku, namun sayangnya tidak ada sama sekali. Dengan menahan keluh, aku mendorong motor sambil berharap ada bengkel yang tidak jauh dari tempatku berada saat ini.

Sayangnya, bukanya bengkel.. Hanya tenda angkringan yang ada di dekatku saat ini. Mungkin tidak buruk juga jika aku berhenti sejenak untuk mengisi perut sekaligus menuntaskan hausku.

“Kulo nuwun mas, permisi.. es teh satu ya..” Ucapku.

“Nggih mbak..”

Penjaga angkringan itu dengan sigap menyediakan es teh yang kupesan. Disamping itu, mataku juga sudah berbinar-binar melihat lengkapnya nasi kucing dan sate-satean pelengkap hidangan istimewa kampung di tempatnya.

“Motornya mogok mbak?” Ucap mas itu membuka pembicaraan.

“Iya mas, nggak tahu kenapa..” Balasku masih sambil sedikit mengunyah gorengan yang masih hangat.

“Saya bantu cek boleh mbak?”

“Masnya ngerti mesin?”

“Namanya cowo itu harus ngerti soal motor walaupun sedikit. Tapi ndak janji juga sih” Balasnya.
Aku menyerahkan kunci motorku padanya dan mas penjaga angkringan itu segera mengecek kondisi motorku.

Tak berapa lama, aku mendengar suara mesin motor yang menyala.

“Bisa nyala mas?” Ucapku yang segera keluar dengan wajah tersenyum.

“Nggak ada masalah apa-apa kok mbak. Tak starter langsung nyala” Jawabnya.

Mendadak aku jadi bingung. Tadi sudah beberapa kali aku mencoba menyalakan motorku namun sama sekali tidak berhasil. Penjaga angkringan itu segera mengembalikan kunciku dan masuk ke dalam lagi.

“Beneran mas, tadi nggak bisa nyala..” Ucapku.

“Biasanya kaya gitu gara-gara bensinya kecampur, atau businya udah waktunya ganti.. mending besok langsung di service,” ucapnya.

“Nggih mas, matur nuwun.. Terima kasih, saya sampe belum tau nama masnya siapa” Balasku.

“Wiro mbak, sudah tak tulis gede banget lho di depan.
‘Angkringan Mas Wiro’ lha kok masih ada aja yang nanya” Ucapnya.
Aku sedikit tertawa mendengar logatnya menceritakan nama angkringanya itu.

“Lha, nggak ngeh kok mas... saya Kinan mas, besok-besok pasti saya mampir lagi kesini” Balasku.

“Memangnya mbaknya ada acara apa to, sore-sore ke daerah sini?” Tanya Mas Wiro.

“Nyari kos mas.. udah seharian nyari masih belum dapet nih. Bingung juga”

Mendengar ceritaku Mas Wiro malah keluar dan melongo ke beberapa arah.

“Mbak.. kesini mbak” ucap Mas Wiro.
Aku keluar dari tenda angkringan itu sesuai ucapan Mas Wiro.

“Itu yang tingkat, kamar mandi dalem delapan ratus ribu. Itu yang halamanya luas ada parkiran mobil, Tujuh ratus ribu. Nah yang diujung sana, bangunan lama tiga ratus ribuan” Jelas Mas Wiro yang segera kembali lagi ke dalam.

“Lho, masnya kok bisa hafal?” Tanyaku.

“Lha anak-anak kos kan sering nongkrongnya disini. Coba aja minggu depan pas udah mulai kuliah. Jam segini pasti udah banyak yang nangkring sampai gelar tiker” Balasnya.

“Wah, pokoke aku terima kasih banget sama Mas Wiro. Udah benerin motorku, bantu nunjukin kos-kosan sampai ke harganya juga..” Balasku.

“Wis santai aja, tar kalau jadi pindah sini kita juga pasti sering ngobrol..”

Aku memperhatikan beberapa tempat yang ditunjukkan oleh Mas Wiro. Beberapa tempat yang diceritakan memang masih diatas budgetku, setidaknya aku tertarik dengan kos bangunan lama yang tadi ditunjukkan.

Entah kebetulan atau tidak, tapi tempat saat motorku mogok tadi ternyata tepat di depan kos bangunan lama yang ditunjukkan oleh Mas Wiro.

“Ya begini kondisinya mbak... masih bangunan lama” Jelas seseorang yang mengenalkan diri kepadaku dengan nama Bu Fitri.

Aku diajak untuk melihat kamar dan halaman sekeliling bangunan kos putri ini. Halamanya tampak asri, dan walau bangunan lama tempat ini cukup terawat.

“Yang kosong ada berapa kamar Bu?” Tanyaku.

“Disini ada enam kamar, tiga diantaranya masih kosong.”

Bu Fitri mengajakku melihat sendiri kamar yang masih tersedia. Ukuran kamarnya tidak jauh berbeda hanya posisinya saja. Lantai di seluruh rumah ini masih menggunakan tegel kuno berwarna abu ciri khas rumah jaman dulu.

Ada sebuah kasur, lemari, meja, dan kursi di setiap kamar. Aku cukup senang, karena tempat ini sedikit mengingatkanku akan rumah mbah di Jawa Timur.

Di Setiap kamar ada sebuah jendela yang sudah dipasang teralis. Sekilas tempat ini terlihat nyaman, hanya saja rumah ini tidak menggunakan plafon dan bila menatap ke atas, langsung sisi bawah genteng lah yang terlihat.

Beruntung dindingnya cukup tinggi sehingga menurutku masalah privasi masih cukup aman.
“Ini nggak bocor kan bu?” Tanyaku khawatir.

“Tenang mbak Kinan, sebelum jadi kos-kosan genteng yang bocor sudah saya perbaiki. Harusnya sih sudah aman” Jelas Bu Fitri.

Sepertinya kondisi kos ini cocok untukku. Selain harganya yang masih terjangkau, suasana asri tempat ini juga membuatku nyaman. Aku memilih kamar di ujung belakang yang berbatasan dengan halaman belakang.

Pertimbanganya agar suara kendaraan dari jalan tidak terlalu terdengar berisik.

“Saya pilih kamar yang belakang saja bu, minggu depan sudah bisa saya tempatin kan?”
Wajah Bu Fitri terlihat tersenyum.

“Bisa mbak.. anak-anak yang lain juga paling minggu depan sudah kembali”

“Ibu tinggal disini?” Tanyaku sambil menyiapkan beberapa lembar uang untuk melakukan pembayaran.

“Kamar ibu yang di depan sebelah kanan, tapi ibu jarang disini.. lebih banyak di rumah anak ibu di daerah Gamping. Kebetulan aja ada satu anak yang nggak pulang, Jadi ibu sengaja tidur disini buat nemenin. Ibu ambilin kwitansi dulu ya..”

Mendengar perkataan Bu Fitri aku jadi sedikit tenang. Sepertinya ia juga peduli dengan anak-anak kosnya.

Aku duduk di kasur sambil melihat ke seluruh sudut kamar sekedar memantapakan diriku untuk tinggal di kamar ini mulai minggu depan.

Dukk...

Di tengah lamunanku aku tersadar oleh sebuah benda yang terjatuh dari dinding kamar.
Sebuah bingkai foto...

Aku mengambilnya dan melihat ada foto sekumpulan mahasiswa, kurang lebih ada lima orang yang berfoto di halaman kampus yang mirip tempatku kuliah saat ini.

Tertulis di sudut kanan bawah foto nama kampusku, nama jurusan, dan tahun 1997. Saat memperhatikan foto itu, aku seperti merasa ada yang aneh. Seolah ada seseorang yang memperhatikanku di
tempat ini.

Akupun meletakkan foto itu di kasur dan kembali menunggu Bu Fitri. Namun ada sesuatu yang menurutku aneh.
Kursi...
Seingatku, tadi kursi itu berhadapan dengan meja. Namun sekarang kursi itu seolah sudah terputar dan menghadap ke arahku.

Apakah aku yang salah ingat? Tapi... hal ini membuatku merasa tidak nyaman seolah ada yang duduk di kursi itu dan memperhatikanku.

“Ini Kwitansinya Mbak Kinan..” Ucap Bu Fitri yang sudah selesai membuatkan kwitansi.

“Bu, saya jadinya di kamar yang di tengah saja..“ Aku yang masih merasa keanehan di kamar ini segera meminta untuk pindah ke kamar yang di tengah yang berbatasan langsung dengan kamar kos penghuni lainya.

Wajah Bu Fitri sedikit terlihat bingung, tapi sepertinya ia tidak mempersalahakan itu dan segera merubah nomor kamar yang ada di kwitansi yang ia bawa.

“Bu.. Rini pulang”

Terdengar suara seorang perempuan yang memasuki rumah menuju kamar yang berhadapan dengan yang akan aku tempati nanti.

“Nah, itu Rini.. anak kos yang ibu ceritain tadi. Mau kenalan?” Tawar Bu Fitri.

“Boleh bu..”

Bu Fitri mengajakku menghampiri kamar anak kos bernama Rini itu.
“Rini, kenalin ini Kinan. Mulai minggu depan dia kos disini juga” Ucap Bu Fitri.
Rini bergegas menghampiri kami keluar kamar dan menjulurkan tanganya.

“Kenalin, Aku Rini.. semester tiga. Jangan nunggu minggu depan donk, secepetnya aja biar aku ada temen” Ucap Mabk Rini yang ternyata begitu ramah. Melihat tingkahnya itu seketika senyumku terpancing.

“Namaku Kinan mbak, coba nanti aku tanya sama bude. Kalau bisa nanti aku pindah lebih cepet buat nemenin Mbak Rini” Balasku.

“Nah Gitu donk, ini nomor handphoneku.. kabar-kabar aja ya” Balasnya.

Kami bertukar nomor handphone di depan kamarnya. Mbak Rini memang sangat ramah, tapi ada satu hal yang membuatku merasa kurang nyaman. Aku mencium aroma melati dari kamar yang ia tempati...

“Kinan, bareng ga?”
Seorang mahasiswa menghampiriku dengan motor bebeknya. Namanya Lintang, salah satu teman sekelasku yang beberapa kali sekelompok denganku.

“Ya elah Lintang, kamu kan tau kosku Cuma di belakang kampus. Pake segala nawarin bareng” Balasku.

“Ya kan namanya usaha, kalau jalan kaki kan lima menit sampe. Kalau naik motorku bisa setengah jam”

“Lha kok malah tambah lama?”

“Ya mampir es degan dulu gitu. Baru nanti aku anterin pulang”

“Wah boleh juga tuh, tapi sori Lintang.. Aku udah ditungguin Santi di depan gerbang. Next time ya..” Balasku.

“Owalah... ya udah kabar-kabar aja ya”

Lintang melaju lagi gas motornya sambil mengangkat tanganya melambai ke arahku.

Tak jauh dari posisiku Santi teman kosku yang seangkatan sudah menungguku di gerbang sambil berbicara dengan temanya.

“Aduh sori, lama ya san?”

“Nggak Kinan, santai.. tadi kenapa nggak ikut bareng Lintang aja, nggak papa kali”

“Lagi pengen jalan kaki aja sama kamu, pengen ngobrol-ngobrol juga. Kan di kos cuma kita yang seangkatan,” balasku.

“Ooo, kirain gara-gara udah janji sama aku. Lain kali kalau diajak Lintang dan sudah terlanjur janji sama aku tinggal sms aja... kos kita kan deket, santai aja”

“Iya aman, makasi san..”
Santi adalah penghuni kos baru sama sepertiku. Kami satu angkatan namun beda jurusan. Saat ada jadwal kuliah yang berbarengan, biasanya kami selalu pulang bareng.

Sudah hampir dua bulan aku berkuliah dan kos di tempat Bu Fitri. Sampai sekarang kos ini diisi oleh lima orang. Mbak Rini yang kamarnya ada di depanku, Santi di sebelah kiriku dengan jendela mengarah ke jalan, Mbak Ratna yang berada di sebelah kananku, dan Mbak Anggit yang berada di sebelah Mbak Rini berbatasan langsung dengan dapur. Dan untuk kamar di belakang masih belum ada yang menempati hingga sekarang.

“Kinan, di dapur ada pie susu sikat aja. Anggit dikirimin sama ortunya dari bali” Teriak Mbak Rini sembari mengusap rambutnya dengan handuk setelah keluar dari kamar mandi.
“Iya Mbak Rini, segera meluncur nanti..” balasku.

Setelah sampai kos, biasa aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar mengerjakan secepat mungkin tugas yang baru saja diberikan. Setelahnya biasanya aku baru keluar mencari makan bersama yang lain.

“Kinan, ikut ga?” Terdengar suara Mbak Ratna dan Santi mengetuk pintuku.

“Mau kemana?” ucapku sambil membuka pintu.
“Ke Mas Wiro, makan sebentar” Jawab Santi..
“Ikut, sebentar... aku ambil dompet dulu.”

Benar kata Mas Wiro, setelah tinggal di kos ini pasti kami akan sering ngobrol ke angkringanya.
Ada beberapa orang yang sudah berada disana. Terlihat beberapa motor juga terparkir.

Namun yang paling mencolok adalah vespa tua yang terparkir diantara motor lainya.
“Mas Wiro, jahe susunya dua, teh panas satu ya...”

“Eh Mbak Kinan, nggih.. ditunggu ya tak siapin,” balas Mas Wiro.

Aku dan yang lain mengambil beberapa jenis nasi dan gorengan untuk kubawa ke tikar di trotoar samping tenda angkringan.

Sebenarnya lebih nyaman kalau bisa makan di kursi tepat di depan makanan, namun sudah ada dua orang disana yang sedang asik menikmati kopi hitamnya. Salah satunya masih mengenakan seragam kerja berlogo perusahaan pabrik gula.

“Lagi ada pangsit goreng nih, satenya juga masih lengkap” Ucap Santi sambil tersenyum membawa sepiring gorengan favorit kami.

“Coba agak malam dikit, pasti udah pada ludes..” tambahku.

Kami menikmati menu angkringan itu di tikar pinggir jalan dengan beratapkan langit. Sesuatu yang tidak pernah kualami saat seumur hidup tinggal di ibukota. Mungkin suatu saat nanti aku akan kangen momen-momen ini.

“Sudah Mas Wiro, berhitung ya...”
“Lah, kok buru-buru... baru jam sembilan lho ini.”
“Iya Mas, kalau kemaleman takut diculik tukang sayur..” Balasku iseng.

“Bisa aja mbak Kinan..”
Aku melihat kursi di dalam tenda sudah kosong. Vespa tua yang tadi terparkir juga tidak ada.

“Vespa tua tadi punya mas-mas yang dari ya?” Tanyaku basa-basi.
“Iya Mbak, kenapa to?”
“Nggak papa, semoga mereka banyak rejeki jadi bisa beli motor yang lebih layak” Balasku.

“Haha.. amin mbak, tapi bisa jadi motor itu punya kenangan tersendiri buat mereka” Ucap Mas Wiro sambil menyerahkan uang kembalian kepadaku.

Sesampainya di kos kami segera kembali ke kamar masing-masing. Namun baru saja aku menutup pintu, tiba-tiba seseorang mengetuk pintuku lagi. Itu Mbak Rini..

“Iya, kenapa Mbak Rini..”
Mbak Rini berdiri di depan pintuku dengan tatapan yang aneh. Ia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Malam ini kunci kamar, jangan keluar sampai besok pagi..” Ucap Mbak Rini dengan nada bicara yang tidak seperti biasanya.

“Memangnya ada apa mbak?” Tanyaku.
Namun bukanya menjawab ia malah melengos dan berjalan ke arah kamar Santi. Sepertinya ia berniat memberi informasi yang sama kepada Santi.

Karena memang tidak ada rencana untuk keluar, akupun memilih untuk tidak menghiraukanya dan kembali membereskan kasur untukku tidur.

Udara panas membangunkanku dari lelapnya tidur. Kipas angin yang biasa kugunakan untuk mengusir panas sepertinya tidak menyala. Akupun membuka mata dan menyadari lampu kamar ternyata padam.

Sebelumnya belum pernah ada pemadaman listrik di tempat ini, namun Bu Fitri pernah bilang kalau ia sudah mempersiapkan lilin di dapur apabila terjadi pemadaman.

Akupun memberanikan diri keluar bermodalkan cahaya dari handphone monochromeku.

Gelap.. aku tidak pernah menyangka rumah akan segelap ini saat tidak ada cahaya. Jendela rumah yang tertutup tirai menghalangi cahaya masuk dari luar.

Yang membuatku merasa tidak nyaman, aku merasa di tengah kegelapan ini ada banyak sosok yang memperhatikanku. Ingin rasanya aku mengarahkan cahaya Handphoneku ke beberapa sudut, namun nyaliku tidak cukup besar untuk itu.

Akhirnya aku tetap mengarahkan kakiku menuju rak lemari yang berada di dapur. Cukup sulit aku mencari keberadaan lilin yang disimpan oleh Bu Fitri. Aku ingin segera mencarinya dan segera membawanya ke kamar.

Entah mengapa aku tidak pernah merasa setakut ini saat mati lampu.
“Mbak.. Mbak Ratna, Mati lampu..” Aku mencoba memanggil mbak ratna yang kamarnya berbatasan dengan dapur.

Bukan tanpa alasan, tapi sekarang aku mulai ketakutan dengan udara dingin yang tiba-tiba meniup tengkuk leherku. Terdengar suara pintu kamar terbuka. Awalnya aku mulai merasa lega, akhirnya ada anak kos yang bangun juga. Dia pasti mencari lilin juga kesini.

Aku menoleh sebentar menyorotkan Handphoneku ke kamar pintu-pintu kamar memastikan siapa yang keluar. Namun anehnya tidak ada pintu kamar yang terbuka. Sampai akhirnya aku sadar, bahwa itu adalah suara pintu kamar belakang yang terbuka.

Seketika tubuhku panas dingin.. terlebih samar-samar aku melihat sesuatu berjalan dengan aneh meninggalkan kamar itu.

“S...Siapa?” Aku mencoba mencari tahu siapa yang keluar dari kamar itu.

Tidak ada jawaban, namun aku mendengar suara langkah kaki yang aneh mendekat ke tempat ini. Akupun bergegas kembali mencari lilin dari rak dapur yang akhirnya kutemukan bersama sebuah korek di sebelahnya.

Suara langkah kaki itu semakin mendekat, saat ini suara langkah kaki itu seolah ada di hadapanku. Namun tidak ada siapapun dihadapanku saat ini.

Akupun menyalakan korek untuk kusulutkan pada lilin untuk memperjelas penglihatanku.

Namun sebelum sempat menyulutkanya pada lilin, aku terperanjat dengan apa yang kulihat dengan api yang menyala dari korek yang kugenggam.

Langkah kaki...

Tidak ada seorangpun yang terlihat dihadapanku. Namun saat aku menoleh ke bawah, terlihat sepasang pergelangan kaki tanpa badan yang melangkah dan berdiri tepat di hadapanku.

Aku menutup mulut dan menahan tangisku.

“T...Tolong! Santi! Mbak Rini!” Teriakku sambil terisak. Namun kedua pergelangan kaki itu terus berjalan melewatiku menembus pintu belakang yang ada di dapur.

Aku menguatkan diriku untuk menyalakan lilin namun yang kurasakan malah semakin mengerikan. Akupun beberapa kali menggedor pintu Mbak Ratna dan Mbak Rini namun sama sekali tidak ada jawaban.

Sebaliknya dari arah kamar Santi malah terdengar suara wanita yang tertawa dengan aneh.

“San! Santi! Keluar san!!” teriakku sambil menggedor pintu kamarnya.

Namun Santi tidak menghiraukan suaraku dan malah tertawa dengan suara mengerikan. Suaranya persis seperti sosok makhluk yang sering diceritakan di cerita hantu yang kudengar.

Kuntilanak...

Aku tidak tahu apa yang harus ku perbuat. Bu Fitri sudah pasti tidak ada di rumah. Hanya kamar Mbak Anggit yang belum kucoba kuketuk.

Aku tidak berani kesana, karena kamarnya bersebelahan langung dengan kamar belakang yang saat ini pintunya berada di samping kiriku.

“Mbak... Mbak Anggit” Ucapku dengan suara yang bergetar.

Aku ingin segera masuk ke kamar, namun sepertinya semua ini masih akan terus berlanjut hingga akhirnya aku memberanikan diri melangkah ke kamar Mbak Anggit.

Namun semakin mendekat, tanpa sengaja aku malah memperhatikan kamar belakang yang pintunya terbuka dengan sendirinya. Ada sesuatu yang bergerak disana..

Ini... ini terlalu mengerikan.

Seorang wanita berdiri melayang di hadapanku. Wajahnya penuh amarah menatap dengan tajam. Sebuah tali penuh darah terikat di lehernya yang dengan cepat aku tahu dari mana asal darah itu.

Hampir seluruh wajahnya penuh dengan darah dari bekas luka yang keji.

Akupun jatuh terduduk dan menjatuhkan lilinku.

“T...tolong! Santi... Mbak Anggit!” Teriakku dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Aku berusaha untuk mundur, namun makhluk itu telah melihatku. Ia seperti mendekat ke arahku.

Sekuat tenaga aku mencoba berdiri dan berlari ke arah luar. Suara tawa Santi yang aneh masih terdengar setiap aku melewati kamarnya. Beruntung aku sempat mencapai pintu dan keluar dari rumah.

Namun suasana halaman rumah yang biasa membuatku tenang kini terlihat semakin mencekam.

Aku berlari sebisa mungkin menjauhkan diri dari rumah dan sepertinya kengerian rumah ini lebih dari apa yang barusan kualami.

Tak hanya wanita yang berada di kamar belakang. Dari jendela kamar Santi terlihat sosok kuntilanak yang memperhatikanku dari jendela.

Sesosok mata berwarna merah menatapku dari arah kamar Bu Fitri, dan lebih dari itu ada sosok pocong yang menjaga diantara beberapa sudut rumah.

Akupun berlari sejauh mungkin hingga ke jalan. Dari arah yang cukup jauh aku melihat seseorang seperti Mas Wiro yang sedang berjalan dengan dua orang lainya dengan membawa senter.

“Mas... Mas Wiro! Tolong” Teriakku sambil menghampirinya.

Aku tidak peduli dengan penampilanku yang berantakan dan bertelanjang kaki. Aku benar-benar takut dengan semua yang kualami.

“Mbak Kinan? Kenapa mbak Kinan?” Tanya Mas Wiro kaget.

“S...setan mas, di kos ada banyak setan” Jawabku dengan masih mencoba mengatur nafas.
Bukanya menjawab, Mas Wiro malah menoleh kepada kedua orang di sebelahnya yang tadi sempat bertemu denganku di angkringan.

“Asem jul, rumahnya yang itu to..” ucap salah seorang yang mengenakan seragam.

“Iyo, nggak kelihatan... semua rumah sini banyak yang masih bangunan lama” balas salah seorang yang masih mengenakan celana seragamnya namun sudah beganti dengan kaos dan mengalungkan sarung di bahunya. Aku tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan namun mereka memintaku untuk menunjukkan tempat aku melihat kejadian tadi.

Sampai dihalaman rumah, kedua pemuda itu menggelengkan kepala seolah tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

“Mbak Kinan, ada orang lagi di dalam?” Tanya salah seorang dari mereka.

Aku mengangguk.

“Santi mas, dia ketawa dari dalam kamar. ketawanya aneh, Kayak.. Kuntilanak” Ucapku.
Mas Wiro terlihat kaget mendengar ceritaku.

“Mbak Kinan, nama saya Danan ini teman saya Cahyo.. temenin saya ke dalam lagi ya, kita bantuin temen Mbak Kinan,” ucap seseorang yang mengaku bernama Danan itu.
Aku ingin menolak, sosok yang kulihat memperhatikanku dari tempat ini saja sudah membuatku sulit untuk berdiri.

“Mbok dibantu mbak, kasihan kalau temenku yang satu ini habis dikeroyokin massa karna masuk ke kos-kosan perempuan tanpa ijin,” ucap Mas Cahyo.

“Iyo mbak, kasihan mbak Santi.. kayaknya orang-orang ini mengerti masalah beginian” Ucap Mas Wiro.

Mendengar Mas Wiro berucap seperti itu. Akupun mengiyakan permintaan mereka untuk kembali masuk ke dalam.
Sekali lagi aku memasuki rumah yang sudah kutinggali beberapa bulan ini. Suasananya masih seperti tadi.

Aku menunjukkan kamar Santi yang masih terkunci dan terdengar suara tawa aneh itu lagi.

Mas Danan membacakan sebuah doa yang terdengar hingga ke seluruh penjuru rumah. Tak lama setelahnya suara tawa dari kamar Santi berubah menjadi geraman dan lambat laun menghilang.

Suara kunci terbuka terdengar dari kamar Santi, dari dalam terlihat Santi keluar dengan wajah yang pucat dan rambut yang berantakan. Ia segera memelukku dan menangis sejadi-jadinya.

“Jangan Kinan... jangan ngeliat ke dalam kamar” Ucap Santi melarangku habis-habisan untuk menoleh ke kamarnya.

Mas Danan terus membaca doanya dan menyisir satu persatu kamar hingga sampai di kamar belakang.

Aku tidak berani menatap ke arah sana, entah apa yang direncanakan oleh Mas Danan. Aku berusaha untuk tidak menghiraukanya, Namun sialnya pintu kamar Santi terbuka dengan sendirinya.

Dari dalam kamar Santi masih berdiri sosok wanita pucat berbaju putih lusuh menatap kami sambil tersenyum dan memainkan rambutnya. Aku menutup mulutku dan menahan tangisku melihat sosok mengerikan itu.

“Sudah, kita keluar sekarang...” Ucap Mas Danan yang segera menghampiri kami. Ia menatap sebentar sosok di dalam kamar Santi dan terus mengarahkan kami keluar.

“Piye nan? Gimana?” tanya Mas Cahyo.

“Cuman tinggal mereka berdua. Banyak setan kiriman juga.. kita urusin nanti, jangan bahas disini” Jawab Mas Danan.

Kamipun memutuskan untuk berkumpul di angkringan Mas Wiro yang seharusnya sudah bersiap untuk tutup.

“Mas bener nggak ada siapa-siapa lagi di rumah itu? soalnya tadi Mbak Rini sempat mengetuk pintu kamarku dan ngelarang saya untuk keluar dari kamar malam ini” Ucapku.

Mas Danan dan Mas Cahyo saling bertatapan.

“Nggak, sepertinya yang ngasi tahu itu bukan temanmu” Jawab Mas Danan.

“Iya Kinan, Mbak Rini tadi sore pergi bawa tas besar setelah kita pulang kayaknya nginep..” Ucap Santi.

“Mbak Anggit gimana? Tadi bukanya dia habis makan disini sama kita?” Tanyaku lagi.

Kali ini Mas Wiro yang menjawab.

“Tadi aku ngeliat dia dijemput sama cowo naik motor. Bisa jadi dia belum pulang”

Aku tidak mau bertanya lagi, sepertinya malam ini aku harus mengajak Santi menginap di rumah bude sebelum menceritakan kejadian malam ini pada Bu Fitri dan pak RT besok.

“Mas Danan, memangnya kalian nggak bisa membersihkan rumah itu?” Tanya Mas Wiro.

“Ora ngono mas.. setelah liat rumah tadi, sepertinya masalahnya terlalu dalam” Jawab Mas Cahyo.

“Mungkin setan-setan kirimanya bisa kami tangani dengan mencari benda-benda yang menjadi perantaranya, tapi lebih dari itu ada sosok yang tidak bisa kami usir begitu saja. Dia mati dengan tidak wajar dan pasti ingin menuntut balas” Tambah Mas Danan.

Aku cukup heran dengan ucapan mereka. Selama ini kami tinggal di rumah kos itu dengan tenang tanpa ada gangguan.

Ingin rasanya aku tidak percaya dengan ucapan mereka, namun kejadian tadi membuatku tidak bisa membantah apa yang mereka ceritakan.

“T...Tapi Mas Danan, selama ini kami tinggal di kos itu tenang-tenang saja. Tidak ada hal seperti ini,” ucap Santi yang sudah mulai tenang.

Mendengar pertanyaan itu Mas Danan mengeluarkan sebuah benda berupa lembaran foto yang pernah kulihat terbingkai di kamar belakang.

“Itu foto yang ada di kamar belakang mas?” Tanyaku. Mas Danan mengangguk. Ia mengangkat foto itu dan menunjukkan sebuah tulisan yang tertulis di belakang lembaran itu. Disana tertulis tanggal dan bulan yang bertepatan dengan hari ini.

“Kita akhiri semua setelah ini.. 5 Mei 1997, 22.00 di hutan belakang kampus”
-Vera

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

close