Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Maut di Perbatasan Langit (Part 5 END) - Perbatasan langit

Di depan mata mereka berempat nyawa pendaki lain hilang dengan mengenaskan. Mereka sudah melakukan hal yang tidak mungkin dimaafkan..


JEJAKMISTERI - Aku dan Tiwi berlari menuju tenda. Dari jauh Raka dan Farel terlihat panik sambil memeriksa beberapa pendaki yang terlihat aneh.

“Raka kenapa mereka?” Tanyaku bingung.

“Nggak tahu Lang, awalnya gua manggil mereka buat minta tolong, tapi tiba-tiba ada beberapa pendaki yang tiba-tiba kayak begini,” jawab Raka.

Aku memperhatikan pendaki itu, matanya terlihat melotot dan terus menggeram.

“Kesurupan?” Tanya Tiwi.

“Kita nggak bisa mastiin, kita bawa masuk ke tenda yang aman dulu” Balasku.

Aku menoleh sekitar dan terlihat beberapa pendaki juga terlihat sibuk dengan teman-temanya yang juga mengalami hal yang sama.

“Khe..khe...khe... Tidak ada yang boleh pergi. Urusan itu harus dituntaskan disini” Terdengar pendaki yang coba ditolong oleh Farel berbicara dengan geraman yang mengerikan.

“Bawa masuk ke tenda sini saja mas!”

Salah seorang pendaki memanggil kami dan meminta kami membawa pendaki yang kesurupan itu ke dalam tenda. Ia terlihat berkeringat seolah sempat kewalahan menangani salah satu temanya yang bernasib sama.

“Pergi!!! Pergi dari sini!!!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari seseorang yang terjatuh terduduk keluar dari tendanya. Aku belum melihat dengan jelas, siapa orang itu. Tapi aku dapat memastikan itu tenda siapa.

“Itu tenda Mas Firman kan Lang?” Aku mengangguk mengiyakan.

“Kita kesana, tapi sebelumnya kita antarkan dulu orang ini ke teman-temanya”

Suasana malam itu terasa sangat mencekam. Pendaki yang kesurupan seringkali memberontak dan mencoba menyakiti mereka yang mencoba membantunya.

“Tolong Perban?! Obat merah! Ada yang luka!”

“Air! Minyak angin... tenda sini butuh air, ada yang punya?” Terdengar suara beberapa orang dari luar saling berteriak meminta bantuan peralatan yang mereka butuhkan.

“Tadi sampai ada yang manjat pohon terus menjatuhkan diri Lang..” Ucap Farel sambil meletakan salah satu pendaki yang kesurupan itu ke dalam tenda.

“Gila.. yang bener kamu?”

“Iya Mas... tadi teman saya berlaku seperti monyet,” tambah seorang pendaki pemilik tenda itu.

Aku menoleh pada Tiwi, kali ini aku benar-benar khawatir dengan keadaan Mas Firman dan teman-temanya yang berada di tenda tadi.

“Tiwi... kita ke tenda Mas Firman”
“Kita ikut! Disana sepertinya lebih darurat” Ucap Farel.

Kamipun meninggalkan tenda itu dan segera menuju tenda mas Firman. Di ruang tenda terdengar suara alunan doa-doa dan ayat suci yang dibacakan para pendaki untuk menenangkan teman-teman mereka yang dalam gangguan makhluk halus.

Itu Mas Sugih.. ia terlihat tersiksa dengan wajah penuh amarah dan mata yang melotot melihat ke dalam tenda. Di belakangnya ada Mas Ibnu yang mati-matian menahanya.

“Mas Ibnu! Mas Sugih kenapa?” Teriakku yang segera menghampirinya dan membantu menahan tubuh Mas Sugih.

“Sama seperti yang lainya Lang.. Kalian semua jangan mendekat ke tenda dulu, Firman lagi mencoba menghentikan makhluk itu...” Peringat Mas Ibnu.

Seketika kami menjaga jarak dari tenda itu, namun rasa ingin tahu membuat kami mencari posisi untuk mengintip apa yang terjadi di dalam tenda itu.

Mas Firman... ia menggenggam kembali sebuah pisau kecil seukuran telunjuk itu di tanganya dan terus memabaca sesuatu yang lebih seperti mantra dibanding sebuah doa. Dan di hadapanya itu... Aku benar-benar tidak menyangka akan melihat sosok itu lagi.

Makhluk berbentuk wanita yang melayang di tengah-tengah tenda dengan wajah penuh darah dan kulit yang melepuh.

“K...Kuntilanak itu mengejar kita?” Tanyaku.

“Dia mau balas dendam dengan perbuatan Mas Firman tadi?” Tanya Tiwi.

Raka dan Farel menatap kami seolah tidak mengerti apa yang kami tanyakan. Namun Mas Ibnu terlihat setengah ragu untuk menjawab kami.

“Makhluk itu menghadang kami tadi bukan tanpa alasan.. makanya Firman terpaksa mengusirnya dengan Jimatnya agar kita bisa pergi” Jawabnya.

“Apa? Alasan apa yang membuat makhluk itu menghadang kita?” Tanyaku.
Mas Ibnu menggeleng.

“Saya nggak tahu.. tapi kalau dia sampai bisa membawa sebanyak ini makhluk kesini, pastilah sesuatu yang tidak wajar” Ucapnya.

Tidak seperti tadi, kali ini Mas Firman terlihat kesakitan seperti ada sesuatu yang menyiksanya. Tak berapa lama terlihat darah bermuncratan dari mulut Mas Firman.

“Setan brengsek!” Keluh Mas Firman di hadapan kuntilanak yang terus tertawa itu.

Spontan aku mendekat dan bersiap mengeluarkan Mas Firman dari dalam tenda untuk menyelamatkanya, namun sepertinya Mas Firman belum mau menyerah, ia membaca mantranya lagi dan melemparkan pisau jimat miliknya ke sosok kuntilanak itu.

Kali ini benda itu menembus tubuh makhluk itu dan terbakar bersamanya.

Suara teriakan mengerikan dari makhluk itu menggema ke seluruh hutan hingga beberapa pendaki keluar memastikan apa yang terjadi.

Makhluk itu terlihat tersiksa dengan api yang membakarnya namun terus menatap tajam ke arah Mas Firman.

“Mampus kamu setan brengsek!” Umpat Mas Firman yang terlihat puas.

Akhirnya makhluk itu menghilang diikuti dengan sadarnya para pendaki yang kesurupan tadi. Mas Sugihpun juga perlahan mendapatkan kesadaranya.

“Buat api unggun! Kita kumpul di tengah”

Terdengar suara salah seorang pendaki berteriak dari luar, mungkin mereka ingin membahas permasalahan ini dengan semuanya.

“Jangan ceritakan kejadian di dalam tenda,” Ucap Mas Firman.

“Iya, jangan sampai yang lain ikut terlibat..” Tambah Mas Ibnu.

Aku mengerti maksud mereka, namun sepertinya dibalik hal itu aku merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka.

***

“Laporan kondisi teman-teman yang kena serangan?” Seseorang pendaki yang terlihat senior seperti memimpin pertemuan itu untuk memastikan apakah ada korban.

Aku menceritakan mengenai Tiwi yang ditarik ke tengah hutan dan akhirnya selamat. Mereka tidak bertannya lebih jauh dan menganggap kejadian itu memiliki sebab yang sama dengan yang terjadi pada mereka.

“Dua orang di tenda saya sudah sadar...”

“Satu orang di tenda saya luka ringan sudah dilakukan pertolongan pertama”

Satu persatu perwakilan tenda melaporkan kondisi saat ini. Beruntung tidakada satupun korban jiwa saat itu. namun raut wajah trauma terlihat di sebagian wajah pendaki itu.

“Apa ada yang melanggar pantangan, atau sesuatu yang memicu kemarahan penunggu disini?” Tanya orang itu lagi.

Semua saling menatap, namun tidak ada satupun yang berbicara seolah mereka memang tidak tahu penyebab mengapa makhluk-makhluk itu menyerang mereka.

Aku menatap ke arah Mas Ibnu dan Mas Sugih, dan mereka menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak merespon apapun. Akhirnya kejadian tadi dianggap sebagai “Teguran” dari penghuni hutan ini.

Kami saling memberi himbauan untuk menjaga sikap dan terus berdoa untuk melindungi diri dari makhluk tak kasat mata di sekitar kami.

“Galang... gua masih ngerasa nggak aman” Ucap Raka.

“Sama, pengen cepet-cepet pergi gua..” Tambah Farel.

Aku melihat kondisi Tiwi yang masih lemas dan basah dengan guyuran hujan. Di satu sisi sepertinya kamipun masih kelelahan.

“Gua ngikut kalian aja deh, mau tetep disini atau lanjutin perjalanan...” Jawabku yang sudah bingung dengan apa yang harus diperbuat.

Raka dan Farelpun melihat kondisi kami, dan sepertinya mereka juga butuh istirahat dengan semua yang baru terjadi.

“Kita prepare aja, istirahat dulu.. besok pagi langsung cabut” Ucap Raka.

Kami yang sudah kelelahan serentak setuju dengan keputusan itu. dengan segera kami saling bergantian mengganti dengan pakaian kering dan mengobati luka-luka kecil di tubuhku dan Tiwi.

Setelahnya sekali lagi kami kembali ke posisi tidur seperti tadi namun Raka terlihat tidak mengambil posisi tidur dan tetap duduk di tenda.

“Kenapa ka? Nggak tidur?” Tanyaku.

“Kalian Istirahat duluan saja.. perasaanku masih nggak enak, biar gua jaga dulu” Ucap Raka.

Aku dan Farel saling bertatapan seolah setuju dengan inisiatif Raka.

“Bener tuh Lang.. kita gantian jaga aja, barang-barang udah di prepare. Kalau ada kejadian yang sekiranya bahaya kita bisa segera pergi” Ucap Farel.

“Setuju.. Tengkyu Raka! Nanti kita gantian jaga.. bangunin aja nanti” Ucapku.

“Udah, sana istirahat.. Elu juga Wi, muka lu yang paling pucet.. jaga stamina kalian”

Kamipun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk istirahat dan segera mengambil posisi untuk tidur.

***

Entah mengapa kali ini tidurku tidak tenang, seringkali aku terbangun dengan hal-hal remeh seperti angin yang berhembus di mataku, udara yang semain dingin, dan suara serangga yang terdengar dekat sekali di luar tenda.

“Sreekk... Srekk.. srek.”

Samar-samar aku mendengar suara seperti sesuatu yang di seret. Tak hanya itu, kali ini aku mendengar suara tawa makhkluk seperti kuntilanak seolah melayang di sekitar tenda kami.

Aku teringat suara itu dan seketika aku dan Tiwi bangun secara bersamaan.

“Galang! Suara itu!” Teriak Tiwi.

Raka yang masih terbangun terlihat kaget dengan tingkah lakuku dan Tiwi.

“Raka itu makhluk yang lewat di tenda kami saat tersesat kemarin” Ucap Tiwi.

Tidak mungkin kami lupa, suara itu adalah suara makhluk mengerikan seperti manusia-manusia dengan tubuh yang busuk berjalan menyeret benda seperti jasad manusia.

“Kita pergi sekarang! Sebelum mereka mendekat!” Ucapku.

Kami segera membangunkan Farel dan segera mempersiapkan perlengkapan kami dengan cepat.

Tepat saat kami keluar, sudah terlihat makhluk-makhluk yang tidak asing itu mendekat ke arah camp kami.

“T-Toloong!” terdengar suara teriakan dari tenda Mas Fiman. Namun anehnya tidak ada satupun pendaki dari tenda lain yang bangun.

Aku berinisiatif mencoba menghampiri tenda Mas Firman namun tiba-tiba aku terhenti dengan sosok kuntilanak dengan sebelah wajahnya yang rusak melayang menghadangku.

“Kalian tidak usah ikut campur...” Ucapnya dengan wajah penuh amarah.

Saat itu juga ku terjatuh di tanah tak mampu menahan rasa takutku dengan apa yang terlihat di hadapanku. Kali ini makhluk yang muncul di hadapanku jelas berbeda dengan makhluk lainya seolah ia adalah salah satu penguasa ditempat ini.

“Kalian sudah ditandai oleh jin wanita itu, tapi kalau kalian masih menghalangi kami menghabisi manusia biadab itu... kalian juga akan bernasib sama..”

Suara itu terdengar sangat mengerikan saat itu.

Jin Wanita? Apa yang dimasud itu Wulan? Manusia biadab? Sebenarnya apa yang sudah dilakukan mereka bertiga hingga diincar oleh makhluk-makhluk ini.
Tak lama setelah ucapan makhluk itu tiba-tiba terlihat Mas Firman tertarik keluar tenda oleh sosok yang tidak kasat mata.

Tubuhnya terangkat melayang tinggi setinggi pohon. Raka, Farel dan Tiwi yang melihat kejadian itu seketika panik dan tidak tau harus berbuat apa. Mengerikanya lagi tubuh Mas Firman tiba-tiba jatuh dari ketinggian dan mengantam keras batu di bawahnya.

Aku menduga Mas Firman tidak mungkin selamat dengan kejadian itu. sialnya tak lama kemudian terdengar suara teriakan Mas Sugih dari dalam tenda disusul dengan teriakan dari tenda lain.

“Sudah! Hentikan..!” Teriakku.

Namun bukanya berhenti setan itu malah kembali menghampiriku dan menatap Tiwi hingga tubuhnya mulai melayang.

Aku tidak berpikir panjang lagi dan segera menangkap tubuh Tiwi dan membawanya pergi.

“Raka ! Farel ! kita pergi dari sini!” Teriakku.

“T...Tapi yang lain bagaimana?!” Tanya Raka yang bingung dan beberapa kali menoleh ke arah pendaki lain.

“Ini di luar kuasa kita... kita pasti mati jika tetap disini” Ucapku.

Tepat setelah aku selesai berbicara, tiba-tiba terlihat sosok maklhuk penyeret jenazah tadi mulai mendekat ke tenda Mas Firman. Sepertinya mereka bersiap mengambil jasad Mas Firman disana.

Melihat itu, tidak ada keraguan lagi di mata Raka dan Farel dan segera mengikutiku pergi meninggalkan tempat camp yang sudah bersimbah darah itu. Kami berlari secepat mungkin hanya dengan membawa ransel kami dan meninggalkan tenda kami disana.

Nyawa kami benar-benar tidak sebanding bila harus membela entah kesalahan apa yang mereka perbuat.

Kami berlari cukup jauh, suara teriakan terdengar semakin meronta dari arah tenda. Ingin rasanya aku menutup telinga untuk tidak mendengar suara mengerikan ini.

Sekali saat kami berhenti dengan kelelahan kami, rasa penasaran membuat kami menoleh kembali ke arah camp tempat asal suara teriakan yang masih terdengar saat ini..

Mengerikan.. dari jauh terlihat beberapa tubuh manusia melayang meronta mencoba memberontak dari cengkraman makhluk tak kasat mata disana.

Secara bergantian tubuh itu terbanting ke bawah hingga terlihat darah bermuncratan dari para pendaki yang sempat bertegur sapa dengan kami tadi. Seketika Tiwi memalingkan wajahnya tak mampu menahan kengerian yang terlihat di depan matanya.

Tak satupun dari kami bisa berkata-kata melihat kejadian itu, keberadaan kami yang bisa selamat sudah hal terbaik yang kami dapatkan saat ini.

“Kita doakan saja mereka, semoga takdir Tuhan saja yang berkehendak untuk mereka” Jawabku yang segera disusul dengan doa-doa yang kami bacakan untuk mereka.

***

Aku membuka kompasku memastikan jalur yang kami lewati tidak kembali ke arah tenda maupun desa ghaib kemarin.

Sayangnya, perjalanan kali ini tidak seperti sebelumnya.

Ingatan kami akan apa yang terjadi pada para pendaki membuat kami merenung sendiri hingga jarang sekali kami berbicara satu sama lain.

“Apa kita tidak bisa keluar dari tempat ini Lang?” Tanya Tiwi yang sepertinya sudah lelah dengan semua kejadian yang kami alami.

“Pasti bisa Wi, jangan pernah putus asa. Kita masih selamat hingga saat ini itu pasti karea Yang Maha Pencipta masih menyertai kita” Balasku sambil menepuk pundak Tiwi.

Tiba-tiba Farel berhenti dan wajahnya terlihat gusar.

“Atau jangan-jangan... sebenernya kita sudah mati?” Ucapan Farel membuat kami bertiga termenung. Tidak bisa kami pungkiri, ada kemungkinan ucapan Farel itu benar adanya.

“Kalo ngomong jangan aneh-aneh!” Raka memukul kepala Farel sekedar menegurnya untuk menjaga ucapanya.

“Tapi ada kemungkinan seperti itu kan? Kalian juga pasti sempet kepikiran” Balas Farel yang mulai kembali berjalan.

Aku melirik ke arah Raka, terlihat ia mencubit beberapa bagian tubuhnya dan meringis kesakitan. Sepertinya ia juga sedikit terbawa omongan Farel.

“Nape lu.. sok-sokan marahin Farel malah sendirinya yang begitu” ledekku pada Raka.

“Iya lang, bikin kepikiran aja tu bocah... kan kalau emang beneran kita ini roh, harusnya bisa terbang ya? Nggak capek-capek begini..”

Aku sedikit tertawa mendengar perkataan Raka. Tiwipun tiba-tiba melompat seolah mempraktekan cara untuk terbang.

“Ini lagi bocah satu.. emangya kalo bisa terbang mau terbang kemana?” Tanyaku pada Tiwi.

“Ke warung deket kampus, biasanya jam-jam segini udah mulai masak bakwan tuh disana” Ucap Tiwi.

“Gila lu Wi, sampe hafal jam-jam masak bakwanya...” Ucap Farel yang semakin terheran dengan fanatisme Tiwi akan Bakwan.

Entah berapa lama kami berjalan, namun samar-samar kami melihat langit tidak segelap sebelumnya seolah kami akan melihat matahari akan terbit dari salah satu sisi di hutan ini.

Jalur yang kami lewati perlahan berganti dari pepohonan menjadi jalur berbatu yang hanya ditumbuhi sedikit pohon. Seandainya pagi benar akan datang setelah ini, seharusnya pemandangan indah dapat terlihat dari bukit-bukit di sekitar tempat ini.

Suara berisik terdengar dari sebuah tempat di hadapan kami. Jalan yang kami lalui mencapai ke tempat berbatu tanpa adanya tanaman atau vegetasi yang tumbuh disana.

“Lang.. suaranya kayak di pasar” Tanya Tiwi.

Sekali lagi aku melihat keadaan sekitar, sepertinya aku mengetahui tempat ini. Ini adalah tempat yang banyak dibicarakan oleh para pendaki.

“Pasar Bubrah...” Jawabku.
Raka menoleh ke arahku. Semua orang yang pernah mendaki gunung pasti mengetahui tentang tempat ini.

“Berarti seharusnya nggak jauh lagi kita sampai di puncak merapi ya Lang?” tanya Raka.

Aku mengangguk dengan ragu. Seharusnya memang seperti itu, tapi suara berisik yang saat ini terus berada di sekitar kami membuatku kembali tidak yakin dengan keadaan ini.

“Gua tau lang lu mikirin apa” Ucap Tiwi.
“Maksud lu apa Wi?” Tanya Farel.
“Kalau memang ini pasar bubrah yang dimaksud, seharusnya ada pendaki lain yang ngecamp di tempat ini. Ini kan pos terakhir pendakian merapi” Jelas Tiwi.

Ucapan Tiwi benar, saat ini kami belum lolos dari bahaya jalur ghaib yang kami lewati. Saat ini suara berisik terdengar semakin jelas. Seketika kepalaku terasa pusing.

“I...itu apa Lang!” Ucap Farel yang terpaku dengan kejadian di sekitar kami.

Samar-samar terlihat bayangan keramaian orang dari jaman dulu lalu lalang di sekitar kami. Tak lama kemudian berubah menjadi pemandangan tenda-tenda yang terpasang di tempat ini.

“Bener Wi.. kita masih tersesat” Ucap Raka.
Pemandangan itu terus berganti-ganti hingga suatu ketika terlihat pemandangan dimana berbagai makhluk seperti pocong, jin, dan siluman berlalu lalang di sekitar kami seolah memang di sinilah tempat mereka.

“G...gimana nih lang? kita terus jalan?” Tanya Farel.

Aku menoleh ke belakang, semua yang terlihat di sekitar kami tidak ada yang benar-benar jelas. Satu yang aku pasti, berjalan kembalipun tidak akan merubah keadaan menjadi lebih baik.

“Kita lanjut, jangan berhenti baca doa. Manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan. Selama tidak ada niat jahat di hati kita, maka seharusnya kita tidak perlu takut dengan semua yang terlihat di tempat ini..” Ucapku.

Walaupun terdengar berani, sebenarnya seluruh tubuhku gemetar dan wajahku sepertinya mulai pucat melihat makhluk-makhluk dengan wajah yang mengerikan lalu lalang melewati kami.

Sepertinya Tiwi sadar akan hal ini dan tiba-tiba menggandeng tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Aku yang kaget segera menoleh ke arahnya, ia malah kembali menatapku dan tersenyum seolah berniat untuk menyemangatiku.

Apa yang akan dipikirkan Raka atau Farel saat melihat hal ini. Ia pasti akan meledekku habis-habisan. Tapi itu belum seberapa, yang lebih aku takutkan bila ada salah satu dari mereka yang cemburu hingga merusak persahabatan kami.

Namun perasaan khawatirku ternyata sirna dalam sekejap. Saat itu Raka meranggkul pundaku dan Farel merangkul pundak Tiwi seperti layaknya kita saat berjalan-jalan di tempat favorit kita.

“Tenang lang.. kali ini kita berempat. Bahkan Dosen killerpun berani gua kerjain kalau geng kita lengkap” Ucap Farel.

“Heh kualat lu... kalo gak lulus gua kirimin karangan bunga ntar” Balas Tiwi sekedar meledek”

“Itu sih namanya niat”

Kami berjalan melalui semua kengerian itu bersama dengan perbincangan-perbincangan yang membuat kami nyaman. Tak lupa dalam hati kami, kami selalu berdoa memohon perlindungan dari Yang Maha Pencipta.

Aku tersenyum, benar saja... kami berhasil melalui kerumunan makhluk itu dengan tenang tanpa mempedulikan kengerian wujud mereka.

Awalnya aku bersiap untuk bernafas lega, namun tiba-tiba di ujung pasar ghaib itu berdiri sosok-sosok wajah yang kukenal.

Tiga orang.. Pendaki..

“Lang, I...Itu Mas Firman? Mas Sugih? Dan Mas Ibnu?” Tanya Tiwi heran.

Tidak hanya Tiwi yang heran, aku yang sudah dengan jelas melihat kematian Mas Firman hanya melongo melihat sosok itu.

Terlebih ketiga sosok itu menatap kami dengan penuh amarah dan wajah yang sudah banjir dengan darah. Perasaan tenang kami bertiga seketika berubah menjadi kekhawatiran.

“M...Mas Firman?” Aku mencoba memanggil sosok yang berdiri di hadapan kami dengan wajah penuh amarah.

“Kalian juga harus mati!” Ucap Mas Firman dengan wajah bengis.

Entah datang dari mana, tiba-tiba Mas Firman dan kawan kawanya membawa sebilah pisah tebas dan berjalan menghampiri kami.

“M..mas tunggu mas! Maafkan kami mas! Kami nggak bisa berbuat apa-apa” Ucapku yang perlahan mundur berusaha menjauh dari mereka.

“Lang.. Lari lang, kita lari aja” Ucap Raka.
Belum sempat berlari tiba-tiba wajah Mas Ibnu yang penuh darah sudah berada di hadapan Raka.

Sialnya Mas Sugih sudah mendekat ke arah Tiwi dan Tiwipun mencoba menghidarinya. Sebuah sabetan pisau diarahkan ke arahku, aku menghindarinya hingga terjatuh. Namun sebenarnya aku lebih khawatir dengan Tiwi.

Beruntung Farel sudah berlari menghampiri Tiwi untuk menghentikan mas sugih. Aku tidak mengerti, seandainya mereka sudah mati bagaimana bisa mereka menggenggam pisau untuk mencoba membunuh kami.

Seketika aku lengah hingga pisau itu berhasil membesat lenganku hingga darah segar menetes di pasir di sekitar kami. Saat itu juga aku tidak ragu bahwa sosok mereka memang bisa melukai kami.

“Tiwi lari!” Teriak Farel.

Sayangnya tempat Tiwi berada saat ini di dominasi dengan tanjakan yang tidak memungkinkan ia untuk melarikan diri dengan cepat.

Saat Mas Sugih berhasil mementalkan Farel, Ia segera bersiap menebas Tiwi dengan rasa dendam yang begitu terlihat di wajahnya.

Tiwipun mencoba menghindar, namun dengan posisinya saat ini ia tidak dapat menjaga keseimbangan dan terpeleset.

Aku tercengang melihat kejadian itu. Tubuh Tiwi terjatuh dan terguling-guling terjatuh diantara bukit bukit batu yang ada di sekitar kami.

“Tiwi!!!!” Aku berteriak sekencang-kencangnya dan berlari kearahnya.

Tidak terlihat. Undakan-undakan batu di tempat Tiwi jatuh tertutup kabut tipis dan bebatuan-bebatuan.

“Tiwi jawab guee” Teriak Farel.

Sayangnya sama sekali tidak ada jawaban. Sialnya setan mas firman kembali mendekatiku dan mengangkat pisaunya seolah ingin menghabisiku. Pikiranku kalut... Penyesalanku akan Tiwi membuatku tidak lagi memikirkan apa yang terjadi di sekitarku.

“Jangan goblok Galang!” Tiba-tiba Raka mendorong tubuhku. Aku selamat, tapi serangan setan Mas Firman itu melukai bahu Raka. Jantungku semakin berdegup kencang dan merasa menyesal seandainya satu lagi temanku celaka.

“Raka! Farel! Lariii!!” Teriakku yang segera mengajak mereka berlari menjauhi ketiga makhluk itu.

“Tiwi?! Tiwi gimana Lang?” Teriak Farel.

Aku menghapus air mataku berusaha merelakan Tiwi yang tidak dapat kutemukan dimana tubuhnya. Saat ini kedua temankulah yang menjadi prioritasku. Aku menarik tubuh Farel dan memaksanya menjauh.

Raka yang lebih bisa berfikir jernih mengikutiku berlari mengikutiku menuju arah kembali arah hutan. Belum sempat melangkah lebih jauh, tiba-tiba terlihat sosok makhluk yang muncul dari dalam kabut. Aku mengetahui sosok yang membawa ransel itu.

Si Pendaki tanpa kepala…

Kami bertiga berhadapan langsung denganya, Raka dan Farel terlihat panik. Namun aku tahu sosok itu bukan sosok yang jahat. Makhluk itu melewati kami dan menghampiri wujud setan mas Firman dan teman-temanya.

Seketika Mas firman terpaku tidak dapat berkata apa-apa. Ia mencoba melampiaskan kemarahanya dengan mencoba menebaskan pisaunya itu ke makhluk tanpa kepala itu namun ia berkali-kali mengurunkan niatnya.

Kami bertiga hanya terpaku melihat kejadian itu. Apa hubunganya antara Pendaki tanpa kepala itu dengan Mas Firman dan yang lainya? Tanyaku dalam hati. Terlihat satu lagi sosok muncul dari dalam kabut. Kali ini bukan sosok mengerikan.

Hanya sosok kakek tua biasa yang mengenakan baju jawa biasa. Ia menoleh ke arah kami dan menghela nafas. Entah mengapa aku merasa bahwa kakek itu bukan orang jahat.

“Kek.. kakek siapa?” Tanyaku.
“Kalian diam dulu..“ Balas kakek itu tanpa alasan.

Ia berdiri tepat di sebelah pendaki tanpa kepala itu dan membacakan berbagai doa-doa yang cukup panjang. saat itu Mas Firman dan yang lain terlihat kebingungan. Terlihat amarah mereka sedikit mereda, tidak seseram sebelumnya.

“Mereka masih milikku” Tiba-tiba terdengar suara kakek yang lain muncul di belakang Mas Firman entah dari mana. Samar-samar aku mengingat sosok itu. Itu adalah sosok kakek yang aku lihat di hutan terlarang tempat dimana banyak jasad manusia tergantung.

Kakek itu hanya menghela nafas.

“Kita masih belum bisa menyelamatkan mereka le..” Ucap kakek itu pada roh pendaki tanpa kepala di sebelahnya. Aku tidak mengerti dengan apa yang ia maksud.

Namun saat itu muncul sosok hantu wanita yang mengancam kami di tenda tadi dan berbagai sosok demit alas yang mencengkram tubuh mas firman, mas sugih dan mas ibnu.

“Tidak... Lepaskan! Pergi kalian semua!” Teriak Mas Firman.

Kedua temanya juga ikut memberontak. Namun kekuatan mereka sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding berbagai sosok yang menariknya. Tak butuh waktu lama hingga sosok mereka bertiga terbawa oleh sosok-sosok mengerikan itu.

“A...apa yang terjadi mbah?” Tanyaku pada kakek yang menolong kami tadi barusan.

“Ketiga orang itu mengikat perjanjian dengan dukun setan penunggu hutan itu.. sudah bertahun-tahun belum ada yang bisa menyelamatkan mereka hingga sekarang” Jawabnya.

Aku bingung dengan semua ini, mengikat perjanjian? Bertahun-tahun?

“Mbah? Mereka baru meninggal tadi saat tubuhnya dijatuhkan oleh setan-setan itu!” Ucapku mencoba mencari penjelasan.

Kakek itu menggeleng.
“Yang kalian alami hanya perulangan yang terjadi pada ketiga kawanan itu. Mereka harus membayar apa yang mereka perbuat.” Jelasnya.

“Jadi dari awal mereka memang bukan manusia?” Tanya Raka. Kakek itu mengangguk.

“Kenapa mereka bisa ada disini? Kenapa mereka berusaha mencelakai kami?” Tanya Farel.

“Saat hidup, mereka mencari kesaktian di hutan itu dengan menumbalkan salah seorang temanya yang mereka perdaya untuk ikut dengan mereka.. Dia, dikorbankan oleh ketiga orang itu dengan menyerahkan kepalanya pada dukun setan itu” Kakek itu menatap kepada sosok pendaki tanpa kepala yang menolong kami.

“Maksud kakek, pendaki ini teman mereka?” Tanyaku.

Kakek itu mengangguk lagi. Ia menceritakan bahwa saat perjanjian sudah mencapai batasnya dukun hutan itu menagih nyawa mereka untuk menjadi pengikutnya di hutan itu. Rohnya hanya menjadi bulan-bulanan setan-setan yang berada disana.

“Lalu dia, yang kalian sebut pendaki tanpa kepala ini berkali kali mencoba menolong roh ketiga temanya itu, namun tidak pernah berhasil.” Jelasnya lagi.

“Tapi mbah di tempat kemah tadi ada banyak manusia, banyak pendaki yang mengalami nasib sama” Ucap Farel tidak percaya.

“Tidak ada manusia disana.. memang itulah yang terjadi pada roh penasaran. Mereka selalu ingin mengulang hidup mereka, menggambarkan seolah itu terjadi lagi pada mereka. Namun keberadaan demit alas di sekitar sini selalu membuat mereka berakhir tragis” Jelas kakek itu.

“Mohon maaf mbah, mbah ini siapa?” Tanyaku penasaran.

“Saya salah satu kuncen di salah satu desa, Panggil saja Mbah Dirwo.. ada pendaki yang menceritakan bahwa ia tersesat di desa ghaib, ia melihat ada pendaki lain yang masih ada disana dan ikut menikmati jamuan dari desa itu” Ucap Kakek yang ternyata bernama mbah Dirwo itu.

“Berarti mbah juru kunci merapi?” Tanya Farel namun ia membalas dengan gelengan.

“Saya tidak sehebat itu, saya hanya kuncen disalah satu desa disini.” Mbah Dirwo menghampiri ke arahku dan menemuiku.

“Kamu yang habis dari desa itu?” Tanyanya.

“I..iya mbah, sama teman saya Tiwi juga. Dia terjatuh di sekitar turunan batu itu” Jawabku yang sebenarnya sudah sangat khawatir dengan Tiwi.

“Benar.. Tiwi! Kita cari Tiwi!” Ucap Farel yang mulai kembali khawatir.

Namun belum sempat beranjak pergi tiba-tiba muncul seseorang wanita berjalan menghampiri kami dari arah belakang mbah dirwo.

“T..Tiwi?” Ucap Raka yang melihat sosok Tiwi yang berjalan ke arah kami.

Tiwi tersenyum walau dengan beberapa luka di dahi dan lenganya. Aku tahu dia, senyumnya itu tidak bisa membodohiku.

“Kamu Wulan kan?” Tanyaku sambil setengah tersenyum. Saat itu juga tubuh Tiwi terkulai lemah dan hampir jatuh di tanah namun kesadaranya mulai kembali.

Muncul dari belakangnya sosok perempuan yang selalu mencuri perhatianku.

“Wulan... kenapa?” Tanyaku.

“Kalau Tiwi sampai meninggal disini, Mas Galang pasti trauma untuk ke tempat ini.. itu artinya kita tidak bisa bertemu lagi” Ucapnya sambil mendekat ke arahku dan menatapku dengan polosnya. Entah kali ini aku benar-benar ingin memeluknya dan sangat berterima kasih karena telah menolong Tiwi, seorang Wanita yang penting bagiku.

Raka dan Farel segera membantu Tiwi sekaligus memandang dengan aneh saat aku memeluk Wulan. Terserah, saat ini Wulan menjadi sosok yang penting bagiku. Wulanpun tersenyum seolah kali ini merasa nyaman dengan pelukanku.

“Kamu ijinkan dia pergi dari desamu?” Ucap Mbah Dirwo.

Wulan melepaskan pelukanku dan mengangguk ke arah Mbah Dirwo. Terlihat mbah Dirwo terlihat lega, sepertinya berkat jawaban wulan itu dia tidak harus repot-repot menyelamatkanku dari alam aneh ini.

“Ya sudah, saya akan bantu kalian kembali... tapi buat mas dan mbaknya yang sempat tersesat di desa Wulan, ada konsekuensi yang harus kalian tanggung. Setidaknya itu jalan keluar terbaik” Ucap Mbah Dirwo.

“Nama saya Galang Mbah, ini teman saya Tiwi.. Konsekuensi apa yang harus kami tanggung mbah?” Tanyaku.
Belum sempat menjawab Wulan datang menghampiriku dan menyentuh pipiku.

“Seharusnya Mas Galang dan Tiwi sudah menjadi bagian dari desa Wulan. Tapi pasti kalian bisa terbiasa.. tidak usah takut, puncak gunung ini dijaga sama beberapa pakde Wulan” Ucap Wulan mencoba menenangkanku.

Aku masih tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan. Namun saat Mbah Dirwo membaca doa tiba-tiba kabut tipis di sekitar kami menghilang, beberapa tenda-tenda pendaki terlihat berdiri di tempat yang disebut dengan nama pasar bubrah ini.

“Lang... kita kembali lang! Kita selamat” Ucap Raka yang kali ini merasa yakin bahwa ini adalah alam manusia.

“Makasi ya Wulan, aku pasti akan kembali ke sini” Ucapku pada Wulan yang melangkah menjauh..

“Lu ngomong sama siapa Lang?” Tanya Farel bingung.

“Wulan, dia masih disini tuh...” Jawabku.
Farel melihat ke arah yang kutunjuk dan seperti tidak melihat apa-apa.

“Nggak ada siapa-siapa lang... Makhluk-makhluk tadi sudah hilang” Ucap Farel.
Seketika aku bingung. Aku masih melihat Wulan yang melangkah pergi membelakangiku.

Pendaki tanpa kepala itupun masih berada tak jauh dari kami.

“Sepertinya ini konsekwensinya lang... Saat ini kita bisa melihat ‘mereka’“ Ucap Tiwi yang sepertinya membaca situasi ini.

Mendengar ucapan Tiwi akupun panik. Benar saja, aku menoleh ke beberapa arah pepohonan dan terlihat makhluk hitam yang memandangi pendaki dari atas pohon. Satu sisi di dalam hutan juga terlihat beberapa roh melayang-layang diantara beberapa pohon.

Ini seperti tadi, hanya saja kali ini semua itu bersatu dengan apa yang terlihat di alam manusia.

“Lang.. lu nggak papa?” Tanya Raka.
Aku masih belum bisa menjawab, namun Mbah Dirwo datang menghampiriku dan mengajak Tiwi mendekat.

“Ada yang bilang ini musibah, ada yang bilang ini adalah anugrah.. semua ini bergantung pada kalian sendiri” Ucapnya memberi nasihat.

“Apa tidak ada cara untuk mengembalikan kemampuan ini mbah?” Tanyaku.

“Tidak ada, semua ini takdir... hanya ilmu ikhlas yang bisa membuat kalian menerima hal ini” Jawab Mbah Dirwo.
Aku dan Tiwi saat itu saling bertatapan. Kami tahu dengan jelas, hal ini harus kita terima sebagai bayaran atas keselamatan kami.

Tak lama setelahnya Mbah Dirwo kembali menuruni jalur pendakian dengan cepat tanpa alas kaki.

“Sekarang kita gimana ka? Istirahat dulu atau langsung turun?” Tanyaku. Raka dan Farel saling bertatapan.

“Turun? Yang bener aja? Itu puncak tinggal berapa meter... masih ada yang harus kita lakuin disini” Ucap Farel.

“Bener, ada mimpi temen kita yang harus dicapai.. udah ngalamin kejadian kayak tadi, masak mau balik gitu aja..” Tambah Raka.

Aku menatap mereka dengan bingung. Aku kira mereka merasa trauma dan enggan melanjutkan perjalanan ini. Tiwipun menoleh dan menatap ke arahku.

“Iya lang, tinggal sedikit lagi... Tunjukin donk ke kita tempat yang lu banggain. Tempat dimana kita bisa melihat berbagai gunung dari puncaknya, pepohonan di kaki gunung yang terlihat bagai permadani hijau...

Tunjukin ke gua mimpi yang selama ini lu ocehin ke kita” Ucap Tiwi.

Ucapan itu terucap bersama langit yang mulai terang. Wajah Tiwi terlihat begitu menenangkanku saat itu. Dengan waktu singkat, aku membalut luka di lenganku dengan perban dari P3K yang kami bawa.

Kami menitipkan ransel kami pada salah satu kelompok pendaki dan mengikuti pendaki lain untuk naik ke puncak. Kami melewati lahan tandus bebatuan dari pos pasar bubrah untuk mencapai titik puncak yang disebut sebagai puncak Garuda itu.

Semakin keatas, medan semakin berbahaya. Pasir dan kerikil tidak dapat menahan pijakan kami. Kami mulai mendaki dengan tangan ditemani dengan cahaya keemasan yang muncul dari arah timur.

“Lang! Bagus banget lang! Itu gunung apa?” Tanya Tiwi yang menghentikan langkahnya dan mengagumi pemandangan dari arah timur itu.

“Kalau di sebelah Timur, berarti itu gunung Lawu... di atas lu bakal liat pemandangan yang lebih keren” Jawabku.

Raka dan Farel saling menatap, ia mempercepat langkahnya seolah menjadi lebih semangat dibanding denganku. Tak butuh waktu lama hingga kami dapat melihat langit tanpa batas diatas kami.

“Sampe Lang! Kita Sampe !!!” Raka terlihat semangat saat kami berhasil mencapai puncak merapi tepat dibawah batu yang disebut sebagai puncak Garuda itu. Tempat pijakan tidak terlalu banyak saat harus berbagi dengan pendaki lain.

Namun posisi kami sudah sangat cukup untuk menikmati pemandangan menakjubkan yang dilukiskan oleh Yang Maha Pencipta.

“Lang itu Tiwi sampe speechless gitu” Ucap Farel.

“Pastilah siapa yang nggak speechles ngeliat pemandangan sekeren ini” Balasku.

“Kalau di sampingnya ada yang nemenin, dia pasti nggak bakal bisa lupa sama momen ini” Ucap Raka.

“Maksud lu ape?” tanyaku pada mereka.

“Yah, si bloon kaga peka banget... kalau ada yang mau lu omongin, lu omongin dah sekarang ke dia..” Ucap Raka.

Aku kaget menangkap maksud mereka.

“Heh, lu pada serius? Tar kalau sampe..” Belum sempat menyelesaiakan perkataanku mereka berdua segera menarikku dan mendorongku hingga menyenggol Tiwi.

“Eh.. sori wi, itu tuh pada norak” Ucapku.

Tiwi hanya menoleh sebentar dan kembali menikmati pemandangan di sekitarnya.

“Gila lang.. ini bagus banget! Lu gak boong” Ucapnya dengan senyum puas. Entah mengapa aku ingin terus melihat wajahnya yang terus tersenyum seperti itu.

“Sini gua kasi tau...”

Aku menggandeng Tiwi ke tempat yang sedikit lebih tinggi, ia tidak menolak sama sekali dan mengikutiku. Bersamaan dengan itu aku mengeluarkan kompasku dan sedikit mengintip ke arah mana kami menghadap.

“Kalau kita liat ke arah utara, kita bisa melihat megahnya gunung merbabu.. lebih tinggi dari merapi suatu saat gua pasti juga akan kesana..” Ucapku.

“Gua ikut” Ucap Tiwi sambil menarik lengan jaketku dan menatapku seperti anak kecil yang polos.

Aku hanya tersenyum dan menunjuk ke arah barat.

“Disana ada tiga gunung bersaudara Gunung Slamet, Sumbing, dan Sindoro yang membentuk barisan pegunungan yang megah...”

Aku terdiam sejenak, sebelum aku menceritakan keindahan pemandangan ini kepada Tiwi, sepertinya aku sendiri terlalu kagum dengan pemandangan disini.

“Bagus ya lang... indah banget” Ucap Tiwi.

“Masih ada satu lagi yang lebih indah wi.. yang ini sih benar-benar tak terbantahkan“ jawabku sambil terus memandang ke arah pegunungan di hadapanku.

“Mana lagi lang? masih ada lagi?” Tanya Tiwi Penasaran.

“Sini naik..” Aku mengajak Tiwi naik ke salah satu batu dihadapanku hingga kini ia sejajar denganku.

“Di arah mana?” Tanya Tiwi.

Aku menggenggam kedua telapak tangan Tiwi dan menatap wajahnya dengan penuh kagum.

“Di depan gua wi… nggak ada yang lebih indah dari apa yang ada di depan mata gua saat ini” Ucapku yang terus menatap mata Tiwi dan tak henti-hentinya mengaguminya.

“Eh..” Tiwi mulai terlihat bingung, namun sepertinya ia mengerti maksudku.

“Gua sayang sama elu Wi, mungkin gak kalau bocah halu kayak gua berada terus di samping lu?” Ucapku.

Tiwi tidak berkata apa-apa, tapi aku melihat matanya berkaca-kaca dengan senyuman yang tertahan.

“Masih banyak gunung yang pengen gua daki, tapi gua takut semuanya nggak akan seindah ini. Seindah pemandangan merapi dengan ada lu di hadapan gua..”

Gua mau lu ada di setiap mimpi-mimpi gua selanjutnya, di setiap indahnya pemandangan yang..

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba Tiwi meraih pipiku dan menyentuhkan bibirnya ke bibirku yang masih ingin terus mengucapkan kekagumanku akan dirinya.

Tangan Tiwi bergetar seolah menahan haru yang sudah sangat ingin ia lepaskan.

Aku memeluk pinggang Tiwi dan menutup mata.. Perasaan ini sungguh sulit untuk kugambarkan, sebuah kebahagiaan atas terbalasnya perasaan yang selama ini terpendam, kini terbalaskan di perbatasan langit sebuah gunung yang selalu menjadi mimpiku.

***

Setelah berhasil mengendalikan tangisnya, Tiwi melepaskan ciumanya dariku dan menatapku sambil menghapus air matanya.

“Galang bego!” Ucapnya sambil memukul dadaku.

“Lah kok bego...?”

“Bikin nangis anak orang..” Ucapnya dengan tingkah yang lucu.

Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, tapi tak lama terdengar sebuah langkah mendekat ke arah kami.
“Cieeee... Langsung lupa sama kita berdua,” goda Farel.

“Nggak ada yang lebih indah dari apa yang ada di depan mata gua saat ini..” Raka mencoba memparodikan apa yang kukatakan barusan.

“Jlebbb... cewe mana yang nggak baper anjir! Lu belajar ngegombal dari mana? Ajarin napa..”

Aku hanya tertawa bingung sambil menggaruk kepalaku.

“Nggak, mana bisa gua ngegombal..” Jawabku.
“Lha terus tadi apa?” Tanya Farel.

“Nggak Tahu Rel, muncul gitu aja waktu tadi gua ngeliat Tiwi..” Jawabku.

Tiwi menatapku lagi dengan senyum dan memelukku. Kali ini tanpa rasa canggung lagi. Sementara kedua temanku itu masih sibuk meledekku. Untuk Yang Maha Pencipta, Terima kasih atas semua anugerah yang kau berikan padaku saat ini. Biarkan aku terus menjaga mereka...

Menjaga PraTiwi Dwi Anandita ciptaanMu yang terindah ini.. Menjaga Abiraka Pradana dan Farel teman-teman berharga yang selalu ada di setiap saat aku membutuhkan mereka.

Dan menjaga megahnya alam Merapi Ciptaanmu yang membuatku semakin menghargai keberadaan mereka yang ada di sekitarku.

-TAMAT-
close