Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Maut di Perbatasan Langit (Part 4) - Penari di tengah Hujan

Makhluk berwujud wanita pucat itu menghadang jalan kami, itu jelas mengerikan.. Namun cara Mas Firman mengusirnya tak kalah mengerikan..

Entah, kami merasa ini akan menjadi awal sebuah musibah

JEJAKMISTERI - Sudah cukup jauh kami berjalan menyusuri kabut untuk menjauhi desa. Ada rasa yang mengganjal setiap megingat kesedihan Wulan saat aku meninggalkanya.

Entah apa yang akan terjadi denganya saat ini, apakah benar ia bisa melepaskan kepergianku?

“Masih mikirin Wulan ya?” Ucap Tiwi memecahkan lamunanku.

“Mau jujur apa enggak?” Balasku iseng.

“Udah nggak usah di jawab, udah tau jawabanya...”

“Yee... sok tau, lagi mikirin kamu tau”

Aku mencoba menggiring pemikiran tentang Tiwi akan Wulan. Semoga saja dia tidak berpikir kalau aku jatuh hati pada Wulan, walaupun sebenarnya kejadian tadi benar-benar membekas untukku.

“Nggak usah gombal, nggak mempan sama gua..”

Akupun tertawa sambil mengacak-acak rambut Tiwi untuk membalas omonganya.
“Ya udah kalau belum mempan, nanti dicoba lagi” Balasku.

Mas Firman dan yang lain mendengar perbincangan kami sambil berjalan di depan.

Mereka lebih pengalaman dalam mendaki dariku, jadi seharusnya mereka mampu untuk mencari jalur yang benar.

“Wah.. ada yang cinlok nih” Ledek mas Firman sambil menoleh ke arah kami.

“Ng..nggak gitu mas, ni si Galang aja yang kesurupan demit hidung belang” Bantah Tiwi.

“Haha.. iya juga nggak papa kok, kalau suka lebih baik langsung ngomong kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi sama kita kedepanya kan? Jangan sampai nyesel” Tambah Mas Sugih.

“Ya tapi nggak sama Tiwi juga Mas Sugih, sekarang aja jatah bakwan saya di warung udah sisa dikit gara-gara dia.. gimana kalau sampai pacaran” Balasku lagi

Dengan spontan Tiwi langsung mencubit pinggangku hingga wajahku terlihat kesakitan.

“Udah jalan aja yang bener, nggak usah banyak ngoceh”

Aku menggaruk kepalaku yang heran dengan tingkah Tiwi, walaupun begitu aku memang suka dengan wajah jutek Tiwi yang memang cukup lucu.

Lambat laun kami merasa kabut semakin menipis, jalur yang kami lewati mulai terlihat jelas dengan bebatuan besar yang mulai terlihat lebih banyak dari sebelumnya, tapi tetap saja kami masih merasa ada sesuatu yang memperhatikan kami dari jauh.

“Masnya sebelum ke desa tadi ngelewatin hutan juga?” Tanyaku mencoba membuka percakapan dengan mas firman.
“Iya mas.. ngeri banget disana, masnya juga?” Balasnya dengan mengenyitkan dahinya.

Aku mengangguk dan berjalan sedikit mendekat ke arah mereka.

“Iya, kalau nggak ada hantu pendaki tadi mungkin saya sama Tiwi sudah kenapa-kenapa disana” Balasku.

“Mas Firman dan yang lain, bisa keluar dari hutan itu karna ngikutin hantu pendaki itu juga?” Tanya Tiwi.

Mas Firman tidak langsung menjawab. Ia malah saling bertatapan dengan kedua temanya itu.
“Nggak, kita nggak ketemu hantu pendaki sama sekali” Jawab Mas Ibnu.

“Terus gimana caranya bisa keluar dari hutan itu?” Tiwi terlihat penasaran.

“Ya... kebetulan aja, kita ketemu jalan yang aman dan sampai ke desa tadi” Jawab Mas Firman.

Entah mengapa aku merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka bertiga. Walau begitu, aku tidak ingin berfikir lebih jauh.

Setidaknya dengan keberadaan mereka, kami lebih aman melanjutkan perjalanan.

Perjalanan di malam hari termasuk cukup berat untukku. Padahal sebenarnya medanya tidak terlalu sulit. Aku khawatir lampu senterku tidak cukup hingga kami mencapai tempat yang aman.

“Sssst...”

Mas Firman yang berjalan di depat tiba-tiba berhenti dan meminta kami untuk tenang. Aku penasaran dengan apa yang ada di depan kami dan perlahan menyusul ke depan.

Sekali lagi... sekali lagi makhluk itu muncul di hadapan kami. Kali ini sosok perempuan berbaju putih lusuh dengan wajah yang pucat menghadang kami di tengah jalan. Tubuhku merinding melihat sosoknya yang setengah melayang memperhatikan kami dari depan sana.

Mungkin sosok ini yang banyak orang sebut dengan nama... Kuntilanak.

“Man, Kuntilanak itu... gimana?” Tanya Mas Ibnu.

“Tenang dulu, jangan panik” Jawab Mas Firman sambil merogoh sesuatu dari tas kecilnya.

Hebat, mereka bahkan tidak panik saat melihat sesosok kuntilanak di depan mereka. Akupun penasaran apa yang akan mereka lakukan dengan situasi seperti ini.

Tidak kusangka, Mas Firman mengeluarkan pisau kecil seukuran jari telunjuk dengan gagang kayu berukiran kuno dan membacakan sesuatu pada benda itu. Saat selesai melakukan ritualnya, Mas Firman melemparkan benda itu dan menancap tepat ke tanah tempat kuntilanak itu melayang.

Seketika kulit makhluk itu terihat melepuh dan kesakitan. Ia menatap ke arah kami dengan tatapan penuh amarah, namun sesuatu yang dilempar Mas Firman terus membuatnya kesakitan dan perlahan membuatnya menghilang dari hadapan kami.

“Mas... itu apaan? Jimat?” Tanyaku.

“Ya.. kurang lebih begitu. Udah lanjut aja jangan sampe tu setan balik lagi..” Ucap mas Firman yang mengambil kembali pisau kecil miliknya itu dan kembali melanjutkan perjalanan.

Entah, walaupun kuntilanak itu sudah hilang aku masih merasakan masih ada yang mengganjal.

“Galang.. perasaan gua nggak enak” ucap Tiwi berbisik kepadaku.
Aku menebak kalau Tiwi juga merasa sesuatu yang janggal dengan jimat dan sesuatu dari kelompok mas Firman ini.

“Sama Wi.. semoga aja cuma perasaan aja, yang penting kita tetep hati-hati”

Jauh dari dalam hutan aku mendengar suara teriakan wanita yang terdengar marah. Entah mengapa aku menduga bahwa itu adalah suara kuntilanak tadi.

Suara itu terdengar menjauh dan mendekat seolah tanpa arah.

Mas Firmanpun sepertinya segera menyadarinya dan menoleh ke beberapa bagian hutan. Ia tidak berkata apa-apa dan tiba-tiba mempercepat langkahnya.

Mas Sugih dan Mas Ibnu merespon Mas firman dan segera mengikuti kecepatanya.

Kamipun melangkah dengan lebih cepat sambil menahan rasa lelah kami.
Setelah cukup jauh, akhirnya suara teriakan itupun menghilang. Aku berharap semoga saja makhluk itu tidak mengikuti kami.

Di tengah rasa lelah kami, tiba-tiba terlihat dari salah satu sisi kabut sebuah cahaya yang sepertinya berasal dari api unggun.
“Mas Firman! Itu api unggun bukan?” Tanyaku.
Mas Firman sepertinya sudah menyadari hal itu juga dan merubah arah jalur kami ke api itu.

“Bener, api unggun... ada beberapa tenda disana! Kita selamat” Ucap Mas Sugih yang raut mukanya seketika berubah senang.
Kami mempercepat langkah kami menelusuri sisi hutan hingga akhirnya melihat beberapa tenda sudah berdiri disana.

Sebuah api unggun yang cukup besar menyala dengan terang di tengah-tengahnya.

Pandangan mataku mengitari seluruh tenda-tenda yang berdiri di sana terlihat dari salah satu sisi dua orang yang wajahnya tidak asing terlihat berlari ke arah kami.

“Galang, Tiwi! Alhamdulilah panas dingin gua mikirin kalian ilang” Terlihat wajah Raka yang cemas berubah lebih tenang setelah melihat kami.

“Kalian nggak papa kan? Untung benar kata pendaki-pendaki itu supaya menunggu kalian disini” Tambah Farel dengan raut wajah yang sama.

“Iya nggak papa.. berarti kalian nungguin semaleman disini?” balasku sambil mengikuti Raka menuju tenda yang sudah mereka dirikan.

“Semaleman?” Raka bertatap muka dengan Farel. Wajahya menunjukan ekspresi bingung.

“Kita disini baru beberapa jam Lang. Pas kalian terpisah, akhirnya kami ketemu pendaki-pendaki ini dan memutuskan ngecamp disini saat waktu mulai malam” Jelas Raka.

Kali ini aku yang bertatapan dengan Tiwi.

Hal aneh apalagi ini? Aku ingat dengan jelas saat bermalam di tenda bersama Tiwi hingga akhirnya lolos dari desa ghaib.

“Nggak mungkin Ka.. habis terpisah itu gua sama Galang udah sempet ngecamp semalem, tadi aja malah hampir nginep lagi di desa sebelum kesini” Bantah Tiwi yang juga tidak percaya.

“Desa? Desa apaan Wi? Nggak ada desa disini” Farel membantah dengan wajah yang bingung.

Tiwi menoleh ke arahku seolah memintaku menjelaskan apa yang terjadi.

“Ya sudah, kita taro tas dulu dan beres-beres... nanti gua ceritain apa yang gua sama Tiwi alamin sekaligus nyapa beberapa pendaki disini”

Aku menutup perbincangan agar setidaknya kami bisa beristirahat dulu sejenak sebelum siap menceritakan kejadian yang sepertinya cukup panjang untuk kuceritakan pada Raka dan Farel.

Beberapa pendaki yang sedang beristirahat menikmati kopi menyapa kami dengan ramah sementara kami berusaha membalasnya dengan wajah yang sangat lelah.

“Udah kalian istirahat dulu aja, gua bikinin teh panas.. tadi juga ada pendaki yang masak nasi, nanti kita nimbrung aja” Ucap Raka.

“Tengkyu ya Ka... gua beres-beres sebentar” Ucapku sambil meletakkan tas ransel di sebelah tas mereka.

“Akhirnya ya Lang.. kita selamat juga, capek gua sama kejadian-kejadian tadi.” Ucap Tiwi setengah mengeluh sekaligus menghela nafas dengan lega.

“Iya.. sekarang gua Cuma mau rebahan sebentar terus cari yang anget-anget”

Kali ini aku melepas sepatu, jaket dan peralatan hikingku. Walaupun sedikit dingin aku merasa lega seolah terbebas dari beban. Aku membaringkan tubuhku di tenda hijau tua milik rental yang ternyata cukup besar.

Mungkin sepertinya tenda ini cukup untuk kami berempat bila bisa mengatur posisi dibanding harus membuka tenda lagi.

Aku menutup mata sebentar sekedar untuk menghilangkan rasa lelahku sementara Tiwi masih sibuk dengan perlengkapanya sendiri.

Sesekali aku membuka mata, tanpa sengaja aku melihat Tiwi hanya mengenakan tanktop hitam sambil menyiapkan kaos baru yang akan ia kenakan. Sekilas terlihat bentuk tubuhnya menyerupai model-model yang kulihat di majalah-majalah otomotif

“Astaga Tiwi.. bilang donk kalau mau ganti baju, kan gua bisa keluar dulu..” Ucapku kaget dan segera membalikkan badan.

“Eh.. Sori lang, gua kira lu tidur..” Wajah Tiwi terlihat memerah dan segera buru-buru mengenakan kaosnya.

Saat memastikan Tiwi sudah mengenakan kaosnya aku memilih untuk keluar dan menghampiri Raka dan Farel yang sudah membuatkan kami teh panas di gelas dari tutup termos.

“Muka lu kenapa lang.. merah gitu” Tanya Farel.

Aku mencoba mengecek wajahku, sayangnya tidak ada cermin yang bisa menunjukkan wajahku saat ini. jangan sampai Raka dan Farel tahu kejadian tadi. Mereka pasti akan meledekku habis-habisan.

“Nggak tahu, kedinginan kali..” Jawabku singkat.

Aku mengambil gelas berisikan teh hangat itu dan duduk persis di sisi api unggun dengan mengambil jarak dari beberapa pendaki lainya.

“Pasti ada kejadian aneh lagi ya Lang” Ucap Raka yang ikut duduk di dekatku.

“Banyak, udah kaya mimpi.. gua hampir ngerasa gak bisa balik” Jawabku.

“Jangan ngomong gitu, kalau gua nggak ketemu lu kagak tau bakal gimana gua semalem” ucap Tiwi yang baru saja keluar dan duduk di sampingku sembari mencari kehangatan dari api unggun.

Malam itu kami habiskan dengan menceritakan tentang hal yang aku alami bersama Tiwi. Awalnya mereka sedikit meledek saat mengetahui kami sempat bermalam berdua, namun ekspresi mereka berubah saat aku bercerita tentang sosok mengerikan yang melewati tenda kami di malam hari, hingga tersesat di hutan dan berakhir di desa ghaib.
Aku tidak menceritakan sama sekali tentang Wulan kepada mereka. Aku sangat berharap semoga saja kisah tentang Wulan bisa tertinggal disana tanpa harus kuceritakan kepada siapapun.

“Pendaki yang dateng bareng kita tadi juga tersesat di desa ghaib.. mungkin besok sebelum ngelanjutin perjalanan kita samperin dulu mereka untuk sekedar pamit.” Ajaku pada Tiwi.

Tiwi mengangguk dan menyeruput tehnya. Sebenarnya dibanding rasa legaku saat sampai disini, sesuatu yang membuatku lebih tenang adalah melihat Tiwi sudah berada di tempat yang aman.

Setelah selesai menceritakan kejadian yang kami alami, kami mulai kembali ngobrol ngalor ngidul seperti biasa. Sumpah, keberadaan mereka berdua adalah obat paling ampuh untuk kami yang hampir trauma dengan kejadian yang kami alami.

“Tenda jadul kayak begitu masih ada yang make ya Ka?” Di tengah santainya pembicaraan kami tiba-tiba Tiwi mengomentari tenda yang digunakan oleh mas firman dan kawan-kawanya yang memang terlihat model lama yang harus dibangun secara manual.

Cukup lebih merepotkan dibanding tenda lipat yang kami gunakan.
“Mungkin mereka memang benar-benar pengen mendalami camping yang sebenarnya Wi, ga kaya kita yang nyari yang serba praktis” Balas Farel.

Nasi dan telur dadar. Itulah menu kami malam ini dengan nasi yang kami dapat dari pendaki lain dan menggoreng telur menggunakan kompor portable yang kami bawa.

Semoga saja besok kami sudah bisa sampai puncak dan turun dengan selamat sehingga perbekalan kami cukup hingga sampai di basecamp.

***

Malampun semakin larut. Kali ini aku berharap bisa istirahat dengan pulas tanpa ada gangguan dari makhluk-makhluk seperti kemarin.

Api unggun perlahan mulai meredup, kami sempat menawarkan Tiwi untuk mendirikan tenda terpisah namun ia menolak dengan alasan takut terjadi hal-hal mengerikan lagi.

Akhirnya kamipun masuk ke tenda dan mengambil posisi untuk tidur dengan posisi Tiwi di ujung dibatasi dengan tas, walaupun sebenarnya aku percaya tidak ada salah satupun yang dari kami yang berniat tidak baik pada Tiwi.

Tak butuh lama untuk Tiwi hingga tertidur. Aku sedikit melamun memikirkan beberapa kejadian yang kualami, mungkin apabila ada yang celaka diantara kami pasti akulah yang paling bersalah.

“Udah Lang, nggak usah banyak dipikirin.. banyak doa aja biar perjalanan kita besok lancar” ucap Farel sambil memejamkan matanya.

“Iya Rel, bener...” Balasku yang juga segera menutup mata untuk melepaskan lelahku.

***

Suara rintik hujan terdengar di sekitar tenda kami. Di tengah tidurku samar-samar aku mendengar suara dari tempat Tiwi seolah sedang melakukan sesuatu. Aku merasa seperti ia bergerak mendekat ke arahku.

Merasa penasaran akupun mencoba membuka mata dan tiba-tiba wajah Tiwi sudah ada diatasku sambil tersenyum, ia terlihat mengenakan kaos ketatnya dan mentapku seolah ingin memelukku.

Saat mengetahui aku terbangun, ia meletakkan telunjukknya di depan bibirnya seolah memintaku untuk tidak berisik.

“T...Tiwi! Lu ngapain?” Tanyaku yang masih tidak tahu harus berbuat apa.

Tiwi tersenyum manis dengan sesekali menggodaku dengan tatapan matanya.

“Bukan Tiwi... Aku Wulan” Aku tidak mengerti dengan apa yang Tiwi ucapkan, jelas ia adalah Tiwi. Tapi sepertinya saat aku melihat senyumanya seketika aku teringat senyuman Wulan saat ia menari menggodaku di panggung.

***

“Galang! Bangun Lang!!! Raka Bangun!”

Terdengar suara Farel sambil menggoyangkan tubuhku.

Seketika aku tersadar, sosok Tiwi yang sebelumnya berada di atasku menghilang seolah kejadian tadi hanya mimpi.

Aku mengecek posisi Tiwi dan ia masih tertidur dengan posisi sama persis seperti saat tadi.

“Apaan itu lang.. ucap Farel dengan wajah yang menengadah ke sekitar tenda dimana berbagai siluet bayangan terlihat melayang di sekitar tenda kami.

Raka yang baru saja terbangun terperanjat saat mengetahui keadaan ini. Cahaya redup dari api unggun diluar membuat bayangan sosok itu terlihat semakin jelas.

Siluet sosok wanita melayang di sekitar kami, terkadang benda seperti bola api juga terlihat melintas diikuti dengan keberadaan makhluk besar dengan cakar yang panjang.

“Ini yang lu ceritain lang?” Tanya Farel.

Aku menggeleng dengan keringat dingin mengucur deras dari tengkukku.

“Bukan.. bukan seperti ini, mereka berbeda” Ucapku.

Mendengar suara kami Tiwipun terbangun, seketika juga wajahnya terlihat pucat dan mendekat ke arah kami.

“Tenang dulu Tiwi, sekarang kita nggak cuma berdua.. nggak usah takut” ucapku mencoba menenangkanya walaupun tidak tahu apakah ucapanku akan berguna untuknya. Tak lama setelahnya rintik hujan turun membasahi sekitar tenda kami persis seperti mimpiku tadi.

Api unggunpun padam dengan perlahan dan menyisakan kegelapan di sekeliling kami.

“Nyalain senter Ka?” Tanya Farel.

“Jangan dulu, kita liat yang lain dulu aja...” Balas Raka.

Kami menunggu cukup lama. Tanpa ada cahaya dari luar, bayangan-bayangan tadi tidak lagi terlihat. Namun entah bagaimana aku seperti masih merasakan keberadaan mereka dari sini.

“kita cek kondisi di luar.. sambil memberi kode lampu ke tendapendaki lain” ajak Raka sambil menyiapkan senter dan bersiap keluar.

Aku bersiap mengikuti Raka dan membantunya membuka retsleting pintu tenda.

Mengerikan... tempat kami bermalam saat ini tidak lagi seperti bagian hutan yang kosong dengan pepohonan melainkan sebuah tempat yang ramai dengan keberadaan berbagai makhluk halus yang berlalu-lalang.

“Kita harus gimana Lang? Apa kita bakal selamat kalau hanya diam di tenda?” Tanya Farel dengan wajah yang semakin pucat.

Aku menggeleng, beberapa makhluk di sekitar kami seolah mengelilingi tenda satu persatu seolah mencari sesuatu.

“Nggak ada satupun tenda di luar yang buka, apa mereka nggak sadar?” Tanya Raka.

Rintik hujan semakin deras, bersamaan dengan itu kami melihat sosok bayangan hitam seorang perempuan menatap ke tenda kami.

Seketika suasana menjadi sangat mencekam, makhluk itu seolah mengincar kami.
Suara kilatan petir terdengar menggelegar menunjukan sosok makhluk berwajah pucat yang mendekat perlahan ke arah kami.

Melihat Tiwi dan teman-temanku, kupikir aku harus keluar dan menghadapi makhluk ini entah apa resiko yang akan terjadi.

Aku menggenggam keras tanganku, membaca doa sebisaku dan mengumpulkan keberanian untuk keluar.

Namun tepat sebelum aku berdiri, suara petir sekali lagi menggelegar bersamaan dengan suara sesuatu yang terseret.

“Galaaaang!! Toloong!!!” terdengar suara Tiwi seperti terseret dengan cepat keluar dari tenda.

“Tiwi!” Raka berniat menangkapnya namun Tiwi terseret dengan cepat.

Seketika kami bertiga menyusul keluar tenda dan aneh... aneh sekali. Sosok Tiwi sudah tidak terlihat bersamaan dengan sosok yang bergentayangan di sekitar tenda kami.

Hanya rintikan hujan yang tersisa tanpa memberikan petunjuk kemana Tiwi pergi.

Aku segera kembali kedalam tenda mengambil lampu senter dan perlengkapanku. Raka yang melihatku spontan saja menahanku.

“Mau kemana lang? Bahaya pergi sendiri!” Tahan Raka.

“Gua nggak bisa ninggalin Tiwi!” Ucapku. Aku merasa kali ini wajahku telihat emosi.

“Lu nggak liat, makhluk apa aja tadi.. kita cari pertolongan lang, jangan gegabah” Farel terlihat khawatir denganku namun sepertinya aku tidak peduli.

“Oke kalau lu maksa.. kita cari bareng, jangan sampai ada yang terpisah lagi diantara kita” Ucap Raka tanpa melepaskan tanganya dari lenganku.

Untuk kali ini aku setuju, tubuhku sudah bergetar membayangkan apa yang akan terjadi pada Tiwi di luar sana bersama makhluk-makhluk itu.

Satu hal yang kujanjikan dalam hati, saat aku berhasil menemukan Tiwi lagi, tidak akan lagi kubiarkan dia terpisah atau celaka lebih jauh dari ini.

***

Di tengah rintik hujan kami menyusuri hutan dan pepohonan sekitar tenda. Sesekali kami berlari kecil setiap melihat ada pergerakan yang terkadang hanyalah serangg hutan.

“Tiwi!!!” Teriak Raka.

“Kalau denger suara kita balas Wi!!” Teria Farel menyusul.

Sayangnya tidak ada satupun balasan dari gelapnya hutan di sekitar kami. Tubuhku tak berhenti bergetar merasa kesal karena tidak dapat menjaga Tiwi setelah sampai di tempat ini.

Berkali-kali kami mengelilingi hutan di sekitar namun hanya jurang dan jalur yang tidak kami kenal yang kami temui.

“Nggak bisa, kita nggak bisa begini Lang.. kita harus cari bantuan” Ucap Raka.

Aku tidak dapat berpikir jernih. Tidak ada yang salah dari ucapan Raka, namun aku pasti akan gelisah bila hanya harus menunggu.

“Kalian cari bantuan, gua cari petunjuk di sekitar sini..” Jawabku.

“Jangan nekad Lang” ucap Farel.

“Nggak, gua ga bakal jauh-jauh. Nyalain penerangan di dalam tenda supaya terlihat dari jauh” Balasku. Farel dan Raka yang sangat kawatirpun saling menoleh menyepakati keputusan itu dan segera meninggalkanku.

Tanpa mengulur waktu akupun mencoba mencari ke hutan sekitar berharap menemukan petunjuk disini. Aku hampir putus asa, hujanpun semakin deras membasahi tubuhku saat ini.

Mungkin bila saat ini aku menangis tidak akan ada satupun yang menyadarinya dengan seluruh air hujan yang sudah memenuhi seluruh wajahku ini.

“Tiwi... lu harus selamat” harapku dalam hati.

***

Perlahan cahaya kilatan petir menerangi sekitar hutan disusul dengan suara menggelegar. Sekilas terlihat sosok seseorang berdiri cukup jauh di tengah-tengah hutan di hadapanku.

Aku mengarahkan senterku kesana, di antara pepohonan yang tinggi seseorang berdiri terpatung di tengah derasnya hujan.

“T..Tiwi...?” Aku berusaha memastikan apakah seseorang yang berdiri disana memanglah Tiwi.

Dengan mempercepat langkah, aku menghampiri sosok itu dan semakin jelas bahwa wanita yang berdiri di tengah hujan itu adalah Tiwi.
“Lang... dingin lang”

Tiwi terlihat kedinginan memeluk bahunya di tengah derasnya hujan yang mengguyur kami.

“Astaga Tiwi.. kenapa lu malah hujan-hujanan disini?” Ucapku sambil mencopot jaketku dan bersiap memasangkanya pada bahu Tiwi.

Namun yang terjadi benar-benar sesuatu yang tak pernah kupukirkan. Seketika Tiwi menyandarkan tubuhnya kedadaku.

“Dingin lang... peluk gua” ucap Tiwi. Aku mulai tidak tahu harus berbuat apa. Yang kutahu saat ini Tiwi kedinginan dan sebisa mungkin aku ingin membuatnya hangat.

Saat ini tubuh Tiwi berada di pelukanku, sekilas aku melihat senyuman di bibirnya seolah merasa nyaman.

Ia membalas pelukanku dengan melingkarkan tanganya di pinggangku. Ini kedua kalinya aku bisa sedekat ini dengan Tiwi setelah di tenda kemarin. Ingin rasanya menghentikan waktu hingga aku bisa memeluknya lebih lama.

Namun akal sehatku menghentikanku untuk segera mengajak kembali ke dalam tenda.

“Wi, kita balik ke tenda.. yang lain pasti khawatir” Ucapku.

Tiwi tidak melepas pelukanku, sebaliknya ia hanya menggeleng dangan wajah yang masih menempel di dadaku.

“Nggak mau, gua mau begini terus” Ucap Tiwi dengan nada yang manja yang jarang sekali kudengar.

Raut muka bingung terpampang di wajahku, namun sekali lagi akal sehatku membuatku melepas pelukanku dari Tiwi.

“Sudah Wi, kita kembali...“ Ucapku sambil menarik tangan Tiwi. Namun sayangnya Tiwi tetap bertahan di tempat dan tidak mau meninggalkan tempat itu.

Aku kembali menoleh ke arah Tiwi. Kali ini wajahnya terlihat kesal, jauh berbeda dari biasanya.

“Kenapa lang? bukanya kamu suka sama Tiwi?” Ucapnya.

“Maksud lu apa sih Wi?”

Tiwi melepaskan jaketku dan menjatuhkanya ke tanah. Tak hanya itu, tingkah lakunya semakin aneh.

Ia mulai memasang senyum yang menggoda ke arahku dan memegangi bagian bawah kaos yang ia kenakan.

“Tadi kamu suka kan ngeliat aku seperti ini...” Tiwi menanggalkan bajunya hingga hanya meninggalkan tanktop hitam yang menutupi tubuhnya dan celana jeans ketat yang ia kenakan.

“E...Elu gila Wi!!” Ucapku yang jelas merasa aneh dengan tingkah laku Tiwi.

Tidak menjawab ucapanku, Tiwi malah semakin tersenyum dan menatapku dengan senyuman manjanya.

“Tuh kan.. kamu suka, muka kamu sampe merah lho” Ucap Tiwi yang mendekat ke arahku sambil menyentuh hidungku.

Memang tidak dapat kupungkiri, aku mengagumi bentuk tubuh Tiwi dalam pakaian ini. Tidak munafik, aku adalah pria normal yang pasti tergoda dengan hal ini. Apalagi ini adalah Tiwi, sosok perempuan yang selalu kusayangi dalam diam.

Aku tak dapat berkata apa-apa saat Tiwi menempelkan tubuhnya padaku dan meletakkan kedua tanganya di pipiku. Aku seperti terhipnotis tidak bisa memalingkan diri dari wajah cantiknya yang tidak pernah kuakui bahwa aku selalu memikirkan wajah itu.

Tanpa terasa di tengah derasnya hujan Tiwi mulai berjinjit dan menempelkan bibirnya ke bibirku. Hujan saat itu hampir tidak terasa saat bibir kami saling bertautan.

Tangan Tiwi kembali melingkar di pinggangku dengan tanganku yang mulai membalas pelukanya dengan mengusap rambut Tiwi sembari terus menikmati rintikan hujan itu. Saat aku membuka mata aku melihat tubuh Tiwi yang terlihat kedinginan dengan pakaian yang ia kenakan.

Aku melepas pelukanya dan memintanya mengenakan kembali pakaianya, anehnya ia malah menolak dan mundur.

“Nggak.. nggak mau, Mas Galang suka sama Tiwi yang seperti ini kan?” Ucapnya.

Entah mengapa aku mulai tersadar mulai ada yang aneh dari cara Tiwi berbicara.

“Tiwi? K..kamu bukan Tiwi?” aku mencoba memastikan dengan hati-hati siapa sosok yang ada di hadapanku saat ini.

“Akhirnya mas sadar..” Ucapnya sambil tersenyum.

“Ini Wulan mas..” Ucapan itu membuatku bingung. Namun aku ingat sekali senyuman yang dilemparkan kepadaku itu. Itu adalah senyuman Wulan yang sama sekali tidak bisa kulupakan.

“Wulan!? Kamu apakan Tiwi?” Tanyaku.

“Wanita ini kan yang mas Galang suka? Mulai saat ini Wulan mau jadi Tiwi biar Mas Galang terus merhatiin Wulan” Ucapnya dengan bangga.
Saat itu seketika air mata menetes di mataku. Karena ketertarikan Wulan padaku, ia sampai tega merasuki Tiwi yang sudah pasti akan membahayakan nyawanya.

“Sudah Wulan hentikan... kasihan Tiwi” Ucapku.
Mendengar ucapanku wajah Wulan berubah mulai kehilangan senyumnya.

“Kenapa mas? Wulan sudah seperti yang Mas Galang mau.. kalau mas Galang nggak mau tinggal disini, Wulan bisa ikut Mas Galang” Ucapnya.

“Nggak... nggak bisa Wulan. Iya, aku mencintai Tiwi.. tapi Tiwi dengan seluruh kelebihan dan kekuranganya.

Sikap bawelnya, rusuhnya, rakusnya, dan tingkah lucunya yang nggak bisa aku lupain” Balasku.

Wajah Wulan terlihat kecewa, seolah mulai terlihat marah.

“Dia nggak mencintai mas Galang! dengan adanya Wulan, Tiwi bisa jadi milik mas Galang” Wulan masih mencoba membujukku.

Aku menggeleng dan mencoba menjelaskan bagaimana perasaanku sebenarnya.

“Mas nggak peduli...“ mataku mulai berkaca-kaca.

“Mas nggak peduli apa Tiwi juga sayang sama mas atau nggak, Melihat Tiwi senang, melihat Tiwi bawel, melihat dia nggak sakit, mas udah seneng. Mas memang selalu berharap semoga seseorang yang mendampinginya adalah orang yang memang pantas”

Kali ini mata Wulan ikut berkaca-kaca namun sepertinya emosinya mulai tersulut. Ia mulai menangis dan menatapku dengan kesal.

“Kalau mas nggak mau sama Wulan.. lebih baik perempuan ini juga mati” Seketika aku panik dan segera mendekat ke arahnya. Spontan aku memeluk tubuh Tiwi.

“Jangan Wulan, jangan! Mas mohon.. jangan sakiti Tiwi” Ucapku dengan tubuh yang gemetar takut dengan apa yang akan dilakukan Wulan pada Tiwi.

Seketika tubuh Tiwi terkulai lemas dan terlihat sosok Wulan berdiri tak jauh dariku. Ia masih mengenakan pakaian penari, namun sedikit lebih lusuh dan riasan yang terlihat lebih dewasa.

Suara gamelan kembali terdengar, di belakangnya berdatangan sosok-sosok makhluk halus penunggu hutan ini yang seolah bersiap menunggu perintah Wulan.

Aku menatap sekitar hutan ini, berbagai pocong, roh gentayangan dan beberapa hewan berwujud aneh sudah menatap kami dengan wajah yang mengerikan.

Seketika mata Tiwi yang sedang tidak sadar terbuka dan melotot dengan mengerikan. Tubuhnya seolah bergetar kesakitan menahan sesuatu.

“Hentikan Wulan, Jangan sakiti Tiwi..” Ucapku.

“Sudah terlambat mas, mereka akan merasuki tubuh Tiwi hingga ia tidak lagi bisa bernafas” Ucapnya dengan wajah penuh dendam.

Aku menangis sejadi-jadinya sambil memeluk Tiwi yang tak terlihat tersiksa.

“Baik... baik Wulan, mas ikuti maumu.. tapi tolong jangan sakiti Tiwi”

Tak ada pilihan lain, aku tak ingin Tiwi menderita lebih dari ini. Saat itu juga raut wajah Wulan berubah drastis.

“Bener Mas mau sama Wulan?” Ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk, kali ini tidak akan kubiarkan lagi ada yang terluka karena keputusanku.

Wulan menjulurkan tanganya memintaku menghampirinya. Akupun membaringkan Tiwi di tanah dan menyelimutinya dengan jaketku dan segera menghampiri Wulan.

Saat itu juga Wulan memelukku sambil tersenyum seperti seorang anak kecil yang mendapatkan apa yang diinginkanya.

Aku melihat tubuh Tiwi mulai tenang dan sosok makhluk di sekitar Wulan mulai menjauh. Melihat hal itu Akupun membalas pelukanya berharap semoga ini adalah pilihan yang terbaik.

***

Cukup lama Wulan memelukku, namun lambat laun ekspersinya berubah dan melepaskan tubuhku.

“I..ini nggak sama” Ucapnya.
“Ini nggak sama seperti saat mas Galang meluk Wulan kemarin, ini nggak sama seperti saat tadi mas meluk Tiwi tadi..”

Aku tidak mengerti dengan apa yang ia maksud.

“Mas nggak sayang sama Wulan?” Tanyanya.
“M...mas sayang..” jawabku.

Wulan menggeleng, wajahnya terlihat sedih.
“Ini nggak adil..” Ucapnya.

Aku mulai mengerti apa yang ia maksud. Rupanya ia merasakan rasa yang berbeda saat aku menjadi miliknya dengan paksaan.

Kali ini ia kembali menangis, makhluk di sekitar kami kembali muncul seolah bersiap melampiaskan emosinya. Namun dengan sigap aku segera mendekati Wulan dan menyentuh kedua pipinya dan mengusap air matanya.

“Wulan.. apa kamu tahu? Sebelum mas mulai mencintai Tiwi.. Mas sudah lebih dahulu mencintai tempat ini. Dua ribu sembilan ratus sepuluh meter diatas permukaan laut... Merapi” Ucapku.

Wajah Wulan terlihat bingung.

“Tapi wulan tahu? Saat ini mas semakin mencintai tempat ini walaupun setelah semua kejadian yang mas alami.
Semua itu karena ternyata di gunung Merapi ini ada kamu...
Mas nggak akan pernah bisa lupa indahnya tarian Wulan di desa kemarin yang semakin membuat Mas tidak bisa melupakan tempat ini..” Wulan mengusap air matanya kembali.

“Satu hal yang mas nggak bisa pungkiri. Mas akan selalu mencintai Merapi. Gunung Merapi tempat dimana Wulan tinggal.. dan apapun yang terjadi mas pasti akan terus kembali ke sini” Mata Wulan berkaca-kaca seolah menangkap maksudku.

“Mas janji akan terus kembali ke tempat ini?” Tanya Wulan. Aku mengangguk dan kali ini wajah Wulan tersenyum walau dengan matanya yang masih berkata-kata.

“Kalau begitu Wulan akan terus ngejaga tempat ini, supaya Mas Galang nggak bosen untuk kesini” kali ini senyum Wulan terlihat tulus.

“Terima kasih ya Wulan, saat ini Wulan seperti Merapi buat mas Galang yang punya tempat spesial di hati mas galang dan nggak akan pernah mas galang lupain”

Perasaanku membawaku untuk mendekat ke wajah Wulan dan mengecup keningnya. Seketika Wulan memelukku dan menangis dengan terisak namun sepertinya kali ini ia bisa menerima perasaanku sepenuhnya.

Hujan mulai berhenti, Wulanpun melepaskanku dan menghilang perlahan. Ia mengatakan bahwa setiap aku kembali ke merapi, aku akan selalu menemukanya dimanapun ia berada.

“Mas Galang hati-hati.. pendaki di desa tadi sudah dikutuk oleh merapi. Jaga jarak dari mereka”

Terdengar suara Wulan samar-samar menghilang di kegelapan malam. Aku tidak mengerti maksudnya, namun dari hal aneh yang kurasakan, sepertinya aku akan mengikuti saran Wulan.

Aku menghampiri Tiwi memakaikan bajunya dan jaketku dan membangunkanya perlahan. Wajahnya terlihat bingung dengan apa yang terjadi.

“I...ini dimana lang?” Tanya Tiwi Bingung.

“Nggak jauh dari tenda, gua ceritain nanti.. yang penting kita balik ke tenda dulu” jawabku.

Tiwi berdiri dan memegangi kepalanya. Walaupun begitu, ia tetap berjalan mengikuti arahanku.

“Tadi gua kesurupan ya?” Tanya Tiwi.

Aku mengangguk, namun aku tidak menjelaskan lebih panjang hingga akhirnya tiba lagi di tenda tempat kami seharusnya beristirahat.

Akhirnya kami melihat keberadaan Raka dan Farel yang sedari tadi tidak kunjung menyusul kami.

Ada yang aneh disana. bukanya meminta pertolongan, sebaliknya Raka dan Farel malah terlihat mencoba memberikan pertolongan pada beberapa pendaki yang ada disana.

“Wi, ada yang nggak beres disana... ayo cepetan” Ajakku pada Tiwi.

Tiwi mengangguk, namun sebentar ia berhenti dan menahan tanganku seolah ingin mengatakan sesuatu.

“Lang.. gua inget semua... Gua inget semua yang terjadi waktu kesurupan tadi. Semuanya... sampai ke setiap kata yang lu omongin..” Ucap tiwi sambil setengah tersenyum.

Seketika wajahku merah padam, belum pernah aku merasa semalu ini hingga tidak tahu caranya untuk bertingkah.

“Galang!! Cepet kesini! Darurat!” Panggil Raka dari arah tenda.

“Iya! Gua kesana!” Tiwi menjawab panggilan Raka lebih dulu dan berlari meninggalkanku di tengah rasa canggungku.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close