Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Maut di Perbatasan Langit (Part 3) - Desa Ghaib Alas Merapi

Kabut yang turun memisahkan aku & Tiwi dari yang lainya.

Suara gamelan memandu kami menuju hutan terlarang dan mempertemukan kami denggan sosok

Pendaki tanpa kepala..


JEJAKMISTERI - Udara pagi yang dingin menemaniku dan Tiwi di jalur pendakian yang aneh ini. Kami masih khawatir dengan keadaan Raka dan Galang yang terpisah dari Tiwi. Semoga saja mereka tidak merasakan kejadian yang sama seperti yang kami alami semalam.

Aku dan Tiwi memutuskan untuk mengisi perut dulu dengan memasak mie instan dengan kompor portable yang kami bawa. Kami baru tahu, ternyata membutuhkan waktu lama untuk memasak mie instan dengan kompor ini dan udara dingin di daerah pegunungan seperti ini.

Untungnya kami cukup sabar menunggu hingga aroma mie instan menggugah indra penciumanku.

“Sumpah lang! Ini mie instan terenak yang pernah gua makan!” Ucap Tiwi dengan wajah yang berbinar-binar.

“Enakan mana sama bakwan hasil rebutan sama gua?” Tanyaku dengan sedikit canda.

“Enakan ini, serius...” jawab Tiwi dengan terus memasukan mie yang masih setengah panas itu ke mulutnya.

Aku memperhatikan wajah Tiwi yang terlihat seperti benar-benar kelaparan menikmati sarapan pagi ini, sampai akhirnya aku menyeruput mi instanku yang baru matang.

“Kita ke arah mana ya lang?” Tanya Tiwi.

“Gua bawa kompas sih, tapi nggak tau cara makenya kalau di gunung begini... kita tetep harus cari jalan setapak” Jawabku.

“Buka aja kompasnya, paling nggak bisa jadi patokan kita supaya nggak balik lagi ke jalur sebelumnya” Balas Tiwi.

Benar juga, walaupun tidak bisa menunjukan arah, kompasku bisa digunakan untuk menandai agar kami tidak berputar-putar di jalur yang sama. Aku mencoba mengingat jalur yang kulewati kemarin dan memilih menuju sebaliknya yang terlihat menanjak.

“Wi, kalau kita sudah ketemu Raka dan Farel apa kita turun aja? Nggak usah maksain ke puncak..” Ucapku. Tiwi hanya terdiam, wajahnya terlihat berfikir.

“Kita memang ngalamin hal-hal aneh Lang, tapi sejauh ini tidak ada dari kita yang terluka kan? Gua juga sering denger banyak pendaki ngalamin hal-hal aneh. Kita lihat kondisinya dulu aja, kalau masih memungkinkan gua masih mau ngeliat puncaknya.”

Omongan Tiwi ada benarnya, memang kondisiku dan Tiwi masih tidak kurang suatu apapun namun bagaimana dengan Raka dan Farel? Selain itu aku masih merasakan perasaan tidak enak dari perjalanan ini.

“Intinya kita jangan memaksakan diri, keadaan kita yang tersesat saat ini juga pasti membuat Raka dan Farel khawatir” Ucapku yang segera disetujui oleh Tiwi.

Sebenarnya perjalanan pagi ini masih terasa aneh olehku. Tidak ada suara binatang ataupun serangga hutan seperti yang biasa terdengar, hanya suara langkah kaki dan suara angin yang terhembus ke telinga yang ada saat ini.

Jalur ini tidak seperti yang diceritakan oleh pendaki-pendaki ataupun yang ada di artikel berita. Berbagai jenis pohon tumbuh di sekitar kami dengan jalur menanjak.

Luasnya dataran di tempat ini tidak menujukkan bahwa ini merupakan jalur pendakian pada umumnya. Tapi sebisa mungkin aku tidak ingin membuat Tiwi Panik dan tetap berusaha mencari cara untuk keluar kembali ke jalur pendakian.

“Betewe Lang, kamu kan terobsesi sama Merapi, kenapa kamu nggak masuk UKM Mapala aja?” Tanya Tiwi.

Sebuah pertanyaan yang wajar, seharusnya bergabung dengan mapala memang aku bisa jadi lebih mudah untuk mencapai tempat ini.

“Awalnya memang kepikiran kesana Wi, tapi gua takut sama acara penerimaanya.. tahu sendiri Mapala di kampus kita sekejam apa”
“Separah itu?”

“Gua pernah nonton dokumentasinya, acara penerimaanya di kaki gunung terus kayak diospek lagi disana, ada jerit malam sama senior-senior yang sudah siap mencaci maki” Balasku lagi.

“Dan lu mundur karna itu?” Tanya Tiwi lagi.

“Sebenernya mereka ga salah, mereka ngajarin disiplin dan melatih mental supaya bisa survive di alam. Tapi ya guanya aja yang ngerasa nggak sreg.” Jawabku lagi.

“Padahal katanya cewe-cewe yang join mapala juga cakep-cakep lho.. nggak nyesel?” balas Tiwi dengan sedikit menggoda.

“Nggak.. kan ada elu“ Jawabku spontan.

Tiwipun menoleh ke arahku seolah mengharapkan penjelasan dari perkataanku barusan. Tidak ada niat apa-apa, tapi memang semenjak ada Tiwi di kelompok kami, aku hampir tidak ada niat untuk ngecenging perempuan lain.

“Iya, kan ada elu yang merhatiin kita... buat gua sementara itu aja cukup” Tiwi tidak membalas perkataanku, namun sepertinya aku sedikit melihatnya tersenyum.

Matahari terlihat semakin meninggi, udarapun tidak sedingin tadi namun perasaan yang sama seperti kemarin kembali kurasakan. Aku mulai mengenali pertanda ini. Kabut yang semakin menebal dan suara gamelan yang sayup-sayup terdengar entah dari mana.

“Tiwi..“ Tiwi berhenti dan menoleh ke arahku.

“Jangan jauh-jauh, jangan sampai kita terpisah.. firasatku nggak enak lagi” Jelasku.

“Kabut ini ya?” Tanyanya.
Aku mengangguk dan Tiwipun mendekat ke arahku.

Tak berapa lama setelahnya angin mulai berhembus tenang membawa kabut itu semakin turun dan semakin tebal. Aku menyadari jarak pandang kamipun semakin lama semakin sempit. Kami tidak lagi bisa melihat posisi pohon yang berada jauh dari tempat kami berada.

Tiwi berinisiatif menggandeng tanganku agar tidak terpisah. Kini kami benar-benar berhati-hati, Kabut ini mungkin adalah kabut yang sama dengan yang membuatku terpisah dari yang lainya.

“Galang.. apa nggak bahaya kita terus jalan di kabut setebal ini?” Tanya Tiwi.

“Kita hati-hati aja, kalau semakin bahaya kita putuskan nanti.. lagipula kemanapun arah kita hanya kabut ini yang terlihat” Jawabku yang sebenarnya juga ingin segera pergi dari situasi ini.

Di tengah-tengah perjalanan kami, tanpa sadar kami sampai di satu tempat yang menyerupai hutan dengan sebagian pohon yang sudah kering. Aku tidak dapat melihat ujung pohon di hutan ini dengan jelas di dalam kabut setebal ini. Kami berjalan perlahan...

Suara gamelan masih terdengar mengiringi kami...
Sangat dapat kupastikan, ada hal mengerikan di hutan ini yang membuat bulu kuduku berdiri hingga tubuhku tak berhenti merinding.

Akhirnya perasaan itu terjawab saat samar-samar aku melihat bayangan dari dalam kabut berwujud seperti manusia tergantung dan berayun hampir di setiap pohon di hutan ini.

Aku ingin memastikan apakah itu manusia atau bukan, namun tunggu...

Tubuh yang menggantung itu tidak memiliki kepala...

Akupun memutuskan untuk tidak mencari tahu lebih lanjut dan mencoba fokus untuk mencari jalan keluar dan menggenggam tangan Tiwi dengan lebih Erat.

“Nggak usah diliatin ya Wi, kita cepet-cepet cari jalan keluar dari hutan ini aja” Ucapku setengah berbisik pada Tiwi.

“Gua ngikutin lu aja Lang, gua nggak berani liat ke atas...” Balas Tiwi yang terus merunduk sambil menggenggam tanganku.

Jantungku berdegup kencang namun aku berusaha tetap tegar agar Tiwi tidak lebih panik. Tapi tetap saja, siapa yang bisa tenang saat berada di tengah hutan yang berselimut kabut dengan berbagai sosok mengerikan tergantung di atas pohon, ditemani dengan suara gamelan yang mendayu perlahan.
Tangan Tiwi tiba-tiba menggenggam dengan sangat erat, aku merasakan tanganya gemetar tidak karuan hingga akhirnya akupun memutuskan untuk berhenti memastikan keadaanya.

“K...kepala lang...” Tiwi berusaha menahan rasa takutnya, akupun masih meraba apa maksudnya.

“Di sekitar kita... banyak kepala yang merhatiin kita” Rupanya niat Tiwi berjalan menunduk tanpa mau melihat sosok yang berada diatas, justru berakhir dengan dirinya yang berpapasan dengan sebuah kepala yang menggelinding tepat di bawah kakinya dan menatapnya.

“Tenang Wi, kita bakal keluar dari tempat ini...” Ucapku berusaha meyakinkan dia.

Ingin sekali aku berlari di tengah kabut ini, namun keputusan yang tergesa-gesa pasti akan membawa kami ke keadaan yang lebih buruk lagi. Ada yang memperhatikan kami...

Jauh dari dalam hutan aku melihat seperti sosok laki-laki berjanggut memperhatikan kami dari kedalaman hutan. sepertinya itu adalah manusia, sama seperti kami.
Dia berjalan mendekat, awalnya aku berpikir mungkin orang ini bisa membantu kami pergi dari hutan ini.

Sayangnya hal yang aneh terjadi.
“Lang... aneh, kepala-kepala itu kelihatan ketakutan” Ucap Tiwi yang sudah berhasil menahan rasa takutnya.

“Bener Wi, tubuh yang tergantung di atas seperti memberi reaksi yang aneh” Tambahku.

Kami mulai ragu untuk mendekati orang itu, tapi jika bukan dia apa ada lagi yang bisa membantu kami keluar dari tempat ini?

Sebenarnya aku berniat mengambil resiko untuk menghampirinya, namun Tiwi menarik tubuhku sekuat tenaga.

“Jangan lang..“

“Mungkin orang itu bisa nolong kita wi...”
“Kita pergi aja, kita coba cari jalan keluar sendiri... ayo lang, sebelum dia makin dekat” Ucap Tiwi setengah memohon.

Awalnya aku tidak berniat mendengarkan ucapan Tiwi, namun sebelum aku melangkah tiba-tiba terlihat aku mendengar langkah kaki dari arah sebaliknya. Spontan aku menoleh dan terlihat sosok lain disana yang berjalan dengan memanggul sebuah tas carrier besar.

“Tiwi.. itu! ada pendaki lain!” Ucapku pada Tiwi. Tiwi melongokan wajahnya ke arah tempatku menunjuk.

“Iya Lang, itu pendaki” balasnya dengan senyuman lega.

Kamipun segera mempercepat langkah kami untuk mengejar orang itu. semakin lama terlihat semakin jelas sebuah tas carier besar berwarna oranye yang dibawa oleh orang itu terus berjalan melalui jalur yang sepertinya sangat dikenalnya.

Tidak seperti tadi, kini kami seperti mulai keluar dari hutan dan kembali ke jalan setapak yang berbentuk seolah sering di lalui.

“Mas!“ Teriakku mencoba memanggil orang itu namun ia terus berjalan seolah tidak mendengarkanku.

Ia terus berjalan dengan semakin cepat, menaiki jalan yang beberapa kali dihalangi jalan bebatuan. Pohon-pohon tinggi yang tadi mendominasi sekitar kami perlahan tidak lagi terlihat dan berganti dengan jalan bebatuan.

Aku mulai melihat kembali jurang-jurang di sisi jalan yang kami lewati. Sosok kakek berjanggut panjang yang sebelumnya menghampiri kamipun sudah tidak terlihat.

“Mas.. berhenti mas!” ucapku.

“Iya Mas Tolong berhenti, kita ikut sampai pos terdekat” Tambah Tiwi.

Seolah mulai bereaksi terhadap panggilanku pendaki itupun berhenti. Aku cukup lega dan sejenak menarik nafas dan berjalan dengan sedikit lebih santai setelah cukup lelah mengejarnya tadi.

“Maaf mas, mau merepotkan... sepertinya kami tersesat” Ucapku yang sudah semakin dekat dengan pendaki itu.
Anehnya sebelum mencapainya, pendaki itu berjalan lagi, dan kali ini berjalan lebih cepat.

Aku dan Tiwi berpandangan sebelum akhirnya mempercepat langkah kami untuk menyusulnya. Sampai suatu ketika pendaki itu menembus sebuah semak yang cukup lebat.

Aneh... kami mengikuti jalan yang sama denganya. Namun tepat saat kami melewati semak itu pendaki itu tidak terlihat lagi oleh kami.

“Lang, pendaki itu hilang?”

“Gua yakin arahnya kesini Wi.. nggak mungkin bisa hilang secepat itu.” Jawabku yakin.

“Coba lihat itu lang.. itu kayak desa bukan sih?” Tanya Tiwi sambi menunjuk pada sebuah tempat yang terlihat berdiri beberapa bangunan.

“eh iya.. ada rumah-rumahnya, tapi kayaknya jadul banget bangunanya” Balasku.

Aku tidak pernah menyangka bahwa ternyata ada desa di jalur pendakian merapi ini. Sebuah desa dengan bangunan rumah-rumah yang terpisah oleh lahan kebun dan terlihat masih sangat asri. Hampir tidak ada kabel listrik bersliweran disana.

“Gua nggak pernah tau ada desa tertinggal di merapi, tapi setidaknya mereka harusnya bisa memberitahu kita arah untuk ke jalur yang benar kan Wi?” Aku meminta pendapat pada Tiwi.

“Iya lang, sekalian kita ngisi air kita...” Ucap Tiwi sambil memamerkan botol minumnya yang airnya hanya tinggal seperempat.

Kami berjalan melewati sebuah jalur rerumputan yang memisahkan desa ini dengan tempat kami berada tadi.

Namun sebelum sempat masuk ke desa, samar-samar aku merasakan ada seseorang seolah berdiri jauh di belakang kami.

Aku menoleh ke belakang sekedar untuk memastikan, Tiwipun spontan melakukan hal yang sama saat melihat reaksiku. Saat itu kami melihat hal yang sama.

Di perbatasan hutan tempat kami melihat berbagai sosok dibalik kabut, berdiri seorang pendaki menggunakan tas carier oranye besar menghadap ke arah kami.

Kini kami tahu mengapa ia tidak penah menengok saat kami panggil karena sekarang kami bisa melihat pendaki itu dengan jelas. Ia masih berdiri menghadap ke arah kami dengan memegangi tali ransel dipundaknya, namun.. tanpa ada kepala yang menempel di lehernya.

Anehnya, aku tidak merasa takut saat mengetahui kenyataan ini. Mungkin karna di satu sisi, keberadaanya menyelamatkan kami dari dalam hutan mengerikan itu.

Sebenarnya aku masih penasaran, apakah pendaki itu memang bergentayangan di sekitar hutan ini? atau ia memang bermaksud ingin membantu kami keluar dari hutan dan menjauhi sosok kakek berjanggut itu?

Yang pasti aku merasa terselamatkan dengan kehadiranya.

***

Sebuah desa yang jauh dari kesan modern berada di hadapan kami. Gapura desanyapun terbentuk sederhana dari bambu yang sebenarnya terlihat mulai rapuh.

Walau sudah memutuskan untuk masuk ke desa itu, entah mengapa tubuh kami masih merasa ragu untuk melangkah.

“Kira-kira ada pendaki lain yang istirahat disini nggak wi?” tanyaku.

“Semoga aja ada lang, kalau ketemu kita ikutin terus aja..“ Balasnya.

Kami memasuki desa yang terasa sangat sepi, padahal kami merasa ada warga yang melihat kami dari dalam rumah dan mengintip lewat jendela-jendela.

Ada juga warga yang sedang menggarap kebunya, kami berniat menghampirinya namun tidak jadi karena takut mengganggu pekerjaanya.

“Disana agak rame lang, kayaknya balai desanya disana” Ucap Tiwi.
Aku menatap ke arah yang ditunjuk Tiwi, dan memang ada beberapa warga yang berkumpul di sana.

Tetapi ternyata tak hanya itu, ada beberapa tas ransel carier pendaki juga yang diletakan di teras-teras rumah sekitar sana.

“Ada pendaki lain Wi, ayo cepetan kesana” Ucapku sambil sedikit tersenyum.

Benar saja, terdapat beberapa pendaki yang sedang beristirahat di rumah singgah disana. Terlihat juga ada beberapa warga yang sedang ngobrol dengan mereka.

“Permisi mas, pak..” Ucapku yang berusaha dengan sopan menyapa mereka yang ada di sana.

“Eh, nggih monggo mas..” Jawab seorang bapak yang sepertinya merupakan warga desa ini.

“Wahh.. masnya pasti nyasar juga ya?” Tanya salah satu pendaki yang beristirahat disana.

“I..Iya mas, beruntung banget bisa ketemu tempat ini, nama saya Galang.. ini teman saya Tiwi”

“Iya, Saya Tiwi... mohon maaf kalau boleh kami mau numpang istirahat juga” Tambah Tiwi.

“Pasti boleh donk, desa ini memang sering jadi tempat istirahat pendaki.. makanya kami punya beberapa rumah-rumah singgah, tapi ya mohon maaf seadanya” Jawab bapak itu.

“Saya Suryadi, perangkat desa sini... nanti biar saya minta orang untuk bersihkan dulu rumah yang di sebelah. Di tunggu sebentar ya..”

Aku dan Tiwi tersenyum singkat merasa lega, setidaknya kami bisa istirahat sebentar dengan aman.

“Terima kasih ya pak, maaf merepotkan” Ucap Tiwi.
Saat kepergian Pak Suryadi, kami segera mengampiri tiga orang pendaki yang sedang beristirahat.

Mereka seperti sudah cukup lama di desa ini terlihat dari pakaianya yang tengah mengenakan kaos dan celana pendek sambil menikmati segelas kopi hitam.

“Maaf mas, rencananya masnya mau ke puncak atau ke arah kembali?” Tanyaku.

“Saya sih masih mau ke puncak mas. lha masnya?” balas seorang pendaki yang berambut panjang hingga sebahu.

“Sebenarnya tujuan kami juga ke puncak, tapi setelah kejadian sepanjang perjalanan tadi kami memutusan untuk mengikuti pendaki lain saja supaya tidak tersesat” Jawabku.

“Iya mas, kita ijin barengan ya saat berangkat nanti” Tambah Tiwi.

“Oh iya.. nggak masalah, tapi kami agak santai ya...“ tambah salah seorang dari mereka.

Kami berkenalan dengan ketiga orang itu dan sedikit nimbrung dengan obrolan mereka.

“Ini yang gondrong namanya Sugih, yang tiduran di belakang namanya Ibnu, kalau saya panggil saja Firman... kalian Cuma berdua?”

“Kami berempat mas firman, ada dua orang lagi laki-laki namanya Raka sama Farel... kami terpisah setelah pos satu tadi” Jelas Tiwi.

“Iya mas, mungkin sambil perjalanan muncak nanti semoga kami bisa ketemu” Tambahku.

“Amin.. kalau nggak ketemu nanti saya minta tolong temen-teman di basecamp untuk ngebantu nyari” Balas mas firman.

Cukup lama kami mengobrol sembari melepas lelah hingga Pak Suryadi datang kembali ke tempat kami.

“Mas Galang, Mbak Tiwi.. rumahnya sudah dirapikan, sebaiknya kalian menginap disini dulu saja jadi besok bisa berangkat dengan kondisi tubuh yang baik” Ucap Pak Suryadi.

“Iya mas, istirahat dulu saja.. kita berangkat besok pagi aja, sebenernya sih kami agak betah disini” Ucap Mas Sugih sambil menyenggol mas Firman.

Sepertinya dari ekspresi mereka, ada pengalaman menarik di desa ini yang membuat mereka betah.

Aku menoleh ke arah Tiwi, sepertinya ia tidak keberatan namun aku masih memikirkan soal Raka dan Farel.

“Terima kasih pak, tapi kami belum bisa memutuskan.. nanti akan saya kabari” Balasku.

Pak Suryadipun mengerti dengan keadaan kami dan segera mengantarkan kami ke salah satu rumah yang tak jauh dari balai desa. Ada dua kamar di bangunan kayu ini dan dapur kotor di belakang.

Namun seperti yang kuduga, sepertinya kamar mandinya terpisah dari rumah ini seperti pada rumah-rumah jaman dulu.
Kami masuk ke dalam dan meletakan tas kami di tikar yang telah di gelar di ruang tengah.

Aku melihat sebuah lampu minyak yang terpasang di dinding ruangan ini. sepertinya kalaupun menginap, lampu inilah yang akan menjadi penerangan selama malam nanti.

“Monggo mas, diminum dulu” Seorang perempuan yang sedikit lebih muda dariku mengantarkan dua gelas teh hangat dalam sebuah nampan kayu. Aku memperhatikan wajahnya yang seolah tidak asing.

“Ini Wulan, nanti kalau butuh apa-apa panggil Wulan saja ya... rumahnya di sebelah persis” Ucap Pak Suryadi.

Wulanpun mengangguk dengan anggun, senyumnya terlihat manis menyambut tanganku yang mengajaknya bersalaman.

“Galang.. ijin ngerepotin ya Wulan” Ucapku.

“Iya, nggak papa mas.. nggak usah segan-segan manggil Wulan” Entah mengapa ia seolah terlihat begitu senang dengan kedatangan kami.

“Saya Tiwi, Terima kasih ya Wulan” Lanjut Tiwi yang juga memperkenalkan diri.

Wulan menyambut tangan Tiwi, namun sepertinya aku merasa aneh saat melihat ekspresi senyuman Wulan yang berubah sedikit sinis saat melihat Tiwi. Entahlah.. mungkin hanya perasaanku saja.

“Ya sudah, kami tinggal dulu ya.. selamat istirahat” Ucap Pak Suryadi.

Akupun mengantar mereka berdua meninggalkan rumah singgah namun beberapa kali Wulan menoleh ke arahku sambil tersenyum.

“Nggak nyangka ada cewek manis juga ya di desa begini” Ucapku iseng pada Tiwi yang sedang merapikan barang-barang kami yang berantakan di tas.

“Terus? Mau di bawa pulang?” balas Tiwi dengan wajah sedikit tertekuk.

“Yakali bisa, siapa tau jodoh..”

“Gih sana, nikmatin LDR jakarta merapi” Balasnya lagi.

Entah mengapa balasanya terdegar suntuk begitu, Hal itu membuatku malah jadi semakin ingin menggodanya.

“Yee, jadi jutek gitu.. nggak lah becanda, susah buat move on dari cewe perhatian kayak elu” Balasku sambil memainkan rambut Tiwi.

Seketika saat itu juga wajah jutek Tiwi berubah.

“Bawel! Ganti baju sana.. keringet lu bau” balasnya lagi sembari melempar handuk yang sudah dikeluarkan dari tasku.

“Sabar napa, nyeruput dulu...“ Balasku yang memilih untuk santai menyeruput teh hangat itu sebentar.

***

Sebuah bangunan yang hanya tertutup kayu seukuran bahu terlihat di belakang rumah. Ada sumur timba disana, namun sepertinya kendi besar yang berada di sebelahnya sudah terisi air.

Karena memang tidak berniat untuk mandi, akupun mencuci muka dan membersihan diri seadanya dengan air dari Tempayan besar di sebelah sumur.

Seandainya udara tidak sedingin ini, mungkin aku bisa berubah pikiran untuk menyegarkan diri dengan air yang sangat jernih ini. sayangnya, nyaliku tidak sebesar itu untuk menahan hawa dingin di tempat ini.

Saat selesai dengan urusanku aku bersiap kembali ke dalam untuk menyuruh Tiwi gantian membersihkan diri. Sebelum masuk, tanpa sengaja aku melihat ke rumah sebelah yang katanya merupakan rumah tempat tinggal Wulan.

Dari jendela dapur yang terbuka terlihat Wulan yang baru memasuki dapur dan meletakan beberapa peralatan. Tanpa sadar aku memperhatikanya cukup lama, hanya seorang perempuan dengan pakaian daster sederhana dan rambut hitam panjang ternyata bisa mengalihkan perhatianku.

Jantungku berdegup kencang saat Wulan menyadariku dan melemparkan senyumanya yang manis dari balik jendela dapurnya.

Aku yang sedikit malu segera buru-buru kembali ke dalam rumah untuk membantu Tiwi.

“Kenapa lu senyum-senyum sendiri?” Tanya Tiwi yang heran melihat kelakuanku.
“Nggak Wi, nggak ada apa-apa” Jawabku.
“Alesan, kayak gua nggak kenal lu aja” Balas Tiwi.

Akupun gantian membereskan barang-barangku sementara Tiwi bersih-bersih dan mengganti baju. Ia mencoba menggantung baju basahnya di teras belakang berharap bisa sedikit lebih kering agar lebih ringan untuk dibawa.

Tidak banyak perbincangan setelahnya, sepertinya aku tertidur di ruang tengah bersandarkan tas carierku yang sebagian isinya sedang kukeluarkan. Tiwi yang juga sudah kelelahan sepertinya juga ikut tertidur.

***

Sayup-sayup terdengar suara gamelan membangungkan tidurku. Kali ini tidak seperti tadi, suaranya terdengar dekat seolah berada di sekitarku.
Aku mencoba membuka pintu dan mencari asal suara itu.

Beberapa warga terlihat melihat pendopo balai desa dari jauh menyaksikan sekelompok pemain gamelan yang sepertinya bersiap untuk pertunjukan. Tak jauh dari tempatku, Mas Sugih juga berdiri menonton dari jauh.

“Mau ada acara mas?” Tanyaku.

“Kayaknya iya, jarang-jarang nih bisa nonton begini” Balasnya.

Benar apa kata mas Sugih, pertunjukan ini pasti menarik. Sayangnya aku masih khawatir dengan keadaan Raka dan Farel. Berhubung langit masih terang mungkin sekarang waktu yang tepat untuk mencari mereka.

“Tiwi, bangun...” Aku sedikit menggoyangkan tubuh Tiwi sambil melihat muka tidurnya yang sangat lucu.

“Kalau mau berangkat, sekarang aja.. mumpung masih terang” Ucapku.

Tiwi yang terbangun berusaha mencerna omonganku sambil mengucek-ngucek matanya. Ia berusaha melihat jamnya, namun ia mencopotnya dan menaruhnya ke dalam tas.

“Iya sekarang aja, yuk siap-siap..” Balas Tiwi.

Kami mencuci muka dan mulai siap-siap memasukkan kembali barang-barang ke dalam tas.

“Bawa kertas sama pulpen kan? Nanti kita minta digambarin petunjuk arahnya aja...” Ucapku.
Tiwi hanya mengangguk, sepertinya tidurnya masih belum cukup.

***

Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Aku segera berdiri dan membukakanya. Rupanya Pak Suryadi datang dengan membawakan singkong goreng untuk kami.

“Lho pada siap-siap? Mau kemana?” Tanya Pak Suryadi.

“Kita mau lanjut pak, mumpung masih terang... teman-teman kami masih belum ketemu.” Balasku.

“Sudah menginap dulu saja, nanti malam ada acara lho..” Bujuk Pak Suryadi.

“Mohon maaf pak, kita terima kasih sekali.. Tapi kami benar-benar khawatir dengan kedua teman kami” Tambah Tiwi.

“Ya tapi setidaknya kalian tidak meninggalkan desa ini malam-malam... bahaya” ucap Pak Suryadi yang masih terus berusaha menahan kami.

“Malam? Ini kan masih siang pak?” Tanyaku heran.

“Siang dari mana? Lihat saja sendiri...” Ucap Pak Suryadi yang memindahkan tubuhnya dari pintu.

Benar... sungguh aneh. Perasaan, baru beberapa menit tadi aku keluar langit masih cerah seperti masih siang. Bagaimana bisa sekarang tiba-tiba sudah malam.
Aku bertatapan dengan Tiwi tapi kami sepertinya belum siap mengambil kesimpulan apa-apa.

Namun bila langit sudah gelap, terlalu beresiko untuk kami melanjutkan perjalanan.

“Baik pak, kami istirahat disini dulu saja... terima kasih ya pak” Ucap Tiwi yang dibalas dengan senyum senang Pak Suryadi.

“Nah gitu, nanti ikut nonton panggung di depan ya.. pasti rame” Ucap Pak Suryadi.
Kami menangguk dan mengantar Pak Suryadi keluar.

“Serius Wi, tadi masih siang... makanya gua bangunin” Ucapku pada Tiwi.

“Iye... gua juga ngerasa aneh. Ya udah lah, nggak usah dipusingin.” Balas Tiwi yang sepertinya masih sedikit mengantuk.

***

Suara gamelan mulai mengalun lebih keras menandakan pertunjukan akan segera di mulai.
“Nonton nyuk..” Ajakku pada Tiwi.

“Duluan aja, tar gua nyusul.. mau cuci muka dulu” Balas Tiwi.

“Jangan molor lagi...”
“Iya, tenang aja... gua juga mau nonton kok”
Akupun keluar lebih dulu menuju pendopo balai desa yang sudah cukup ramai dipenuhi warga desa.

Terilhat Mas Firman dan teman-temanya sudah mengambil posisi terbaik di tempat depan panggung.
Sebuah pemintasan kampung sederhana dipentaskan oleh pemain gamelan yang sepertinya berasal dari warga desa.

Suara sinden yang merdu melantunkan tembang yang benar-benar merubah suasana malam ini menjadi semakin nyaman.
Tak pernah kusangka aku bisa menikmati pertunjukan seperti ini.

Panggung tanpa pengeras suara dan hanya diterangi dari obor-obor kayu dan beberapa lampu minyak antik yang digantung di beberapa sisi panggung.

“Mas Galang, katanya yang seru habis ini nih..” Kata Mas Sugih.
“Ada apa habis ini?” Tanyaku penasaran.

“Tunggu saja... makin sabar makin seru” Jawabnya.
Suara gamelan berhenti. Beberapa lampu minyak di pinggir panggung sengaja ditutupi hingga cahaya di tengah panggung yang paling terang diantara lainya.

Perlahan terdengar suara demung dan saron instrumen gamelan mulai dipukul dengan lembut. Suara itu menciptakan suasana lembut namun terdengar misterius. Dari sisi panggung terlihat siluet bayangan seorang perempuan yang anggun meliak liuk dengan selendang di tanganya.

Menakjubkan, aku tahu ini belum dimulai. Namun aku terlalu bersemangat menanti apa yang akan keluar dari sana.
Saat musik gamelan mulai lengkap dan mulai menaikan ritmenya, muncul sesosok penari mengenakan pakaian kemben jawa berwarna hijau yang dengan gemulai memainkan selendang yang diikat di pinggangnya layaknya sayap bidadari.
Cantik... sangat cantik.

Pakaian yang ia kenakan menunjukan keindahan lekuk pinggangnya dan warna kulit bahunya yang indah. Setiap gerakanya membuat jantungku terus berdebar.
Aku memperhatikan wajah cantiknya dan tak pernah berhenti terkesima. Hingga akhirnya penari itu menoleh ke arahku.

Tidak seperti sebelumnya kini ia tersenyum, dan itu menambah kecantikanya berlipat-lipat.
Jelas, aku kenal senyuman itu.. penari itu adalah Wulan. Aku tak pernah menyangka Ia akan terlihat secantik bidadari.

Jantungku berdegup kencang, perasaan panas dingin muncul setiap Ia menatapku dan meliukkan tubuhnya seolah tarian itu ditujukan untukku.

“Seneng ya liat gituan!” Tiba-tiba tangan Tiwi muncul meraup wajahku yang tengah mengagumi tarian Wulan.

“Seneng lah Wi, Seni ini namanya..” Ucapku memberi alasan.
Sepertinya Tiwi juga senang melihat acara ini, ia juga terkesima meliah gelak tari Wulan yang membuat seluruh warga terpana. Namun setelah keberadaan Tiwi, Wulan seperti terlihat berbeda seolah senyumnya kembali tertahan.

Semua bertepuk tangan saat tarian Wulan selesai. Sebuah pertunjukan sederhana yang ternyata bisa terasa seistimewa ini.

Beberapa sinden sudah bersiap untuk melanjutkan acara sementara aku mulai melihat Tiwi mengusap tanganya seperti kedinginan.

“Jaket lu di mana?” Tanyaku.

“Di rumah, masih basah...” Jawabnya.
Spontan aku melepas jaketku dan menyerahkanya pada Tiwi.

“Nih pake dulu, gua ambilin sekalian ke kamar mandi” Ucapku.

Aku berdiri meninggalkan Tiwi dan berjalan menuju rumah.

Dengan membawa lampu minyak di ruang tengah untuk mencari jaket Tiwi yang sepertinya masih tergantung di belakang.

Terlihat jaket abu-abu milik Tiwi tergantung, aku mengecek sisi dalamnya sudah kering. Sepertinya bisa digunakan oleh Tiwi.

“Mas Galang..” Terdengar suara perempuan memanggilku dari tempat yang tidak begitu jauh. Aku menoleh ke arah rumah di sampingku, dan benar dugaanku, itu adalah suara Wulan.

“W...Wulan, kok kamu ada di sini?” Tanyaku.

Bukan kedatanganya saja yang membuatku kaget. Namun Wulan menemuiku masih dengan pakaian lengkap saat ia menari tadi dengan riasan yang sama sekali belum berubah.

“Rumah Wulan kan di sebelah, pas mau pulang eh malah ngeliat mas Galang disini” Jawabnya dengan senyum yang lucu.

“Iya sih, tapi kok masih pake pakaian pentas tadi..?” Tanyaku yang mulai salah tingkah meliihat kecantikan yang hanya dapat kulihat di panggung tadi kini ada di depan mataku.

“Emang kenapa mas Galang? Kirain Wulan Cantik kalau pake baju begini” Tanyanya sambil memutar-mutarkan tubuhnya hingga selendang dan beberapa bagian bajunya beterbangan dan terlihat mengesankan.

“C..Cantik Wulan.. Cantik banget kok, Mas aja sampe nggak rela kedip” Jawabku yang memang tidak bisa berbohong melihat Kecantikan Wulan.

“Yang bener mas?” Wulan semakin mendekat kearahku, semakin dekat dengan memamerkan ornamen-ornamen bajunya yang berkilau indah, namun menurutku itu tetap tidak seindah kulit putih bahunya yang terlihat semakin indah dengan jarak sedekat ini.

“Mas Galang suka liat Wulan begini?” Tanyanya dengan tatapan yang menggoda dengan wajah yang menatap mengengadah ke wajahku yang sedikit lebih tinggi darinya.

Jantungku semakin berdegup dengan kencang, tubuh Wulan sekarang sedekat rangkulan tanganku. Ingin rasanya aku memeluk dirinya yang cantik bak bidadari.

Apalagi wangi tubuh Wulan benar-benar membuatku nyaman.

“Ih muka Mas Galang merah..” Ucap Wulan.
Aku sedikit malu karena tidak bisa menahan kekagumanku,

“Iya Wulan, udah nggak usah ngeledekin.. ini aja gak bisa berhenti degdegan” Jawabku jujur.

“Masak sih? Coba Wulan dengerin” Tanpa ancang-ancang tiba-tiba Wulan menempelkan telinganya ke dadaku. Sosok wanita cantik yang sedari tadi membuatku kagum kini berada di dadaku. Tanpa sadar kedua tanganku memeluk tubuhnya.

Bentuk tubuhnya yang indah membuatku tak ingin melepaskan tubuhnya.

Bukanya marah, ternyata Wulan malah membalas pelukanku. Tanganya yang indah kini melingkar di pinggangku. Beberapa saat aku menikmati kenyamanan itu tanpa bereaksi sedikitpun.

***

“Mas.. mas Galang mau sama Wulan?” Tiba-tiba Wulan mengatakan kalimat itu dengan wajah yang malu-malu. Suaranya benar-benar membuatku tidak bisa berpikir panjang.
Kedua tangan Wulan menyentuh pipiku hingga tatapan mata kami saling berpandangan.

Matanya yang jernih dengan bibir kecilnya yang merah kini hanya berada satu jengkal dari wajahku.

Namun saat itu aku mulai merasakan sesuatu yang aneh berada di dekatku. Sesuatu seperti menatapku dari suatu tempat.

“Kenapa Mas Galang?” Tanya Wulan yang heran dengan eksperesiku.

Aku tidak menjawab, dan terus menoleh ke arah sekitar hingga akhirnya di satu sisi jauh di belakang Wulan terlihat sosok yang kukenal. Tas oranye dengan jaket cokelat muda..

Si Pendaki Tanpa kepala...

Entah mengapa ia ada disana, seolah ia ingin menyampaikan sesuatu.

“Mas Galang, kenapa?” Tanya Wulan sambil menoleh ke arah sekitar juga.

“Ng..nggak papa..” Jawabku

Setelah melihat sosok pendaki itu tiba-tiba aku teringat sosok yang kulihat di mimpiku sebelum berangkat, aku juga teringat sosok penari yang diikuti oleh berbagai jenis setan.

Aku melihat Wulan, entah mengapa aku merasa ada kemiripan di wajah mereka. Apa ini yang membuatku merasa tidak asing dengan wajah Wulan.

“Galang! Dimana lu!” Suara Tiwi terdengar dari dalam rumah.

Wajah Wulan terlihat cemberut, namun sepertinya ia ingin menyembunyikanya dari hadapanku.

“Kita lanjut nanti lagi ya mas Galang” Ucap Wulan yang segera buru-buru meninggalkanku dan masuk ke dalam rumahnya.

Sepeninggal Wulan, samar-samar aku melihat si pendaki tanpa kepala berjalan ke salah satu arah di sudut desa.

“Ngapain lu Lang?” Tanya Tiwi.

Aku cukup bingung menjawab pertanyaan Tiwi, tidak mungkin aku menjawab sesuai kejadian tadi.

Tiwi pasti akan memarahiku habis-habisan bila mengetahui hal tadi.

“Pendaki tadi muncul lagi wi, dia jalan ke arah sana.. ucapku sambil menunjuk ke salah satu arah perbatasan desa dan hutan” Jawabku.

“Sama, aku juga diliatin... kayaknya dia mau memberi tahu sesuatu” Belum sempat berpikir panjang, dari belakang rumah singgah yang ditempati Mas Firman dan kawan kawanya tiba-tiba mulai ramai.

Lampu rumahnya menyala dan terlihat sedang buru-buru. Kamipun menghampiri kesana dan menanyakan apa yang terjadi.

“Mas Firman, ada apa? Kok buru-buru?” Tanyaku. Mas Firman segera memegang bahuku dan menatapku dengan wajah pucat.

“Beresin barang-barang kita pergi dari sini!” Ucap mas firman.

“Jelasin dulu ada apaan mas?” tanyaku.

“Liat sendiri ke dekat panggung!” Perintahnya.

Aku dan Tiwi segera berjalan ke balai desa dan mengintip dari sisi-sisi rumah.

Kali ini tidak hanya warga desa saja yang menonton pementasan itu. Saat ini di berbagai sudut desa sudah berkumpul sosok menyerupai pocong menyaksikan pementasan dari atap rumah.

Siluman ular berbadan manusia yang melilit di tiang-tiang rumah. Hingga makhluk seperti manusia kurus yang bergerombol di dekat panggung dengan merayap.

“I...itu apa?” Tanyaku pada Mas Firman.

“Mana kami tahu, Pementasan ini sepertinya memang untuk memanggil meraka..” Ucap Mas Firman.

“Lang, Gua pernah denger tentang desa ghaib di merapi.. jangan-jangan..” wajah Tiwi mulai terlihat pucat.

“SSssst.. sudah jangan mikir aneh-aneh lagi” Potongku.

Tanpa bertanya lebih banyak, aku dan Tiwi segera berlari kerumah dan membereskan tas kami.

Aku berfikir, apabila desa ini benar desa ghaib apakah Wulan juga salah satu dari mereka?

Dari halaman belakang rumah singgah kami diam-diam meninggalkan desa yang sebagian penduduknya sedang fokus menyaksikan pementasan yang berubah mengerikan itu.

“Kita ke arah mana ?” Tanya ibnu pada teman-temanya.

“Nggak tahu, gak mungkin juga balik ke hutan tadi” jawab Mas Sugih.

Melihat mereka semakin bingung, aku menginat arah pendaki tanpa kepala tadi pergi dan segera memeriksa ke tempat itu.

Benar.. ada jalan disana.

Akupun menceritakan secara singkat kejadian saat kami bisa lolos dari hutan itu dan kemunculan pendaki tanpa kepala itu lagi barusan. Mungkin saja ia mencoba memberi petunjuk untuk kami agar selamat dari tempat ini.

Tanpa berpikir panjang kami mengikuti jalan setapak dihadapan kami dan meninggalkan desa itu dan masuk lagi ke jalur yang kami tidak ketahui dimana ujungnya.

“Mas Galang...”

Terdengar suara Wulan dari jauh di belakang kami. Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Kali ini wajahnya terlihat sedih.

“Mas Galang mau pergi?” Tanyanya.

Aku berjalan mendekatinya, dasar Wulan.. bahkan wajah sedihnya saat ini tetap tidak dapat menutupi kecantikanya.

“Wulan, Ini bukan tempat untuk Mas Galang. Masih ada orang-orang yang menunggu mas Galang di rumah.. Maafin mas ya Wulan” Jawabku.

Wulan terlihat menitikkan air mata. Sebuah pemandangan yang membuatku lemah.

Akupun menguatkan diri dan berpaling meninggalkan Wulan. Kami berjalan secepat mungkin meninggalkan desa.

Begitu banyak keinginanku untuk menoleh ke arah Wulan, namun aku berusaha menahanya. Walau sekilas, rasa yang di tinggalkan Wulan di hati ini bisa saja menghentikan langkahku untuk terus berada di desa itu.

Beruntung saat ini tangan Tiwi menggenggam keras di lenganku seolah mengingatkan bahwa ada teman-teman yang khawatir denganku.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close