Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Maut di Perbatasan Langit (Part 2) - Bayangan di balik kabut

Sayup-sayup suara gamelan menemani perjalanan Galang menyusuri jalur pendakian yang tertutup kabut dengan bau busuk di sekitar mereka...


JEJAKMISTERI - Tiwi terpaku melihat sosok yang berada diatas tas Raka. Farelpun seketika terlihat panik hingga terjatuh di tanah.

“I...itu apa lang?” Teriak Farel.
Raka yang melihat kepanikan kami merasa bingung dengan apa yang kami maksud.

“Apa? Ada apaan?” Raka membalas tanpa sadar dengan adanya makhluk yang mengikutinya.

“Anak kecil, ada tubuh anak kecil tanpa kepala! tubuhnya sudah membusuk.. dia naik di tas lu Ka!” Teriakku.

Raka mulai panik mendengar perkataanku. Iapun mulai menoleh ke belakang tepat ke arah yang kutunjuk. Tepat saat ia menoleh, makhluk itu mengangkat tanganya dan mendekatkan wajahnya dari kepala yang terpisah itu ke wajah Raka yang tengah menoleh ke pundaknya.

“Aku ikut ya kak...” Sontak wajah Raka berubah pucat pasi. Ia segera melepas ikatan ranselnya dan buru-buru menjatuhkan tasnya itu.

“S..setan! Pergi!” Selepasnya dari tubuh Raka makhluk itu berdiri dan menyodorkan kepalanya ke hadapan kami. Itu terlalu mengerikan.

Kepala makhluk itu seperti sudah membusuk tanpa mata yang mengisi rongga matanya, sementara.. mulutnya tersenyum menghadap kami.

“Kenapa? Aku cuma mau ikut” Mendengar ucapan itu Farel segera mencari kesempatan menarik tas Raka yang sebelumnya dinaiki makhluk itu dan segera memberikanya kepada Raka.

“Lari! Pergi kita pergi dari sini!” Ucap Farel yang memaksa kita pergi sambil memastikan menoleh ke belakang memastikan makhluk itu tidak mengikuti kami.

Sayangnya hampir setiap arah yang ingin kami lalui mulai tertutup kabut dan aku masih melihat bayangan berbagai sosok yang memperhatikan kami dari dalam kabut ini.

“Kesana! Ada jalan!” Tiwi menunjukkan sebuah jalan yang jelas dan tidak tertutup kabut.

Kami berlari secepat mungkin mengikuti jalan setapak yang sepertinya memang merupakan jalur yang benar untuk kami lewati. Tidak ada perbincangan di antara kami selain arahan untuk terus berlari sambil mengawasi arah belakang. Kami berhenti ketika terlihat sebuah pendopo kayu berada di depan kami.

“Itu ada pos! pasti ada orang disana!” Ucap Farel setengah mengatur nafasnya.

“Ya udah cepet, kayaknya kita udah nggak diikutin lagi” Jawabku yang segera mengarahkan mereka untuk segera melangkah ke pos.

Kami tiba di sebuah pendopo dengan ukuran cukup besar dengan papan kayu bertulisan pos satu. Anehnya kami tidak menemukan satupun pendaki yang beristirahat disini.

“Nggak ada siapa-siapa Lang?” Tanya Farel.

“Nggak, Nggak ada” Balasku yang masih mencoba merasa aneh dan mencari keberadaan orang lain selain kami.

“Capek, istirahat bentar” Ucap Tiwi yang segera meletakan tasnya di pos dan menyenderkan badanya di tasnya.

“Mungkin pos satu ini masih terlalu dekat, jadi nggak ada yang istirahat. Nanti di pos dua mungkin kita sudah mulai ketemu pendaki lain” Ucap Raka yang juga sudah meletakan badanya di sebelah Tiwi.

Sebenarnya kami merasa cukup aneh. Sudah cukup lama kami berjalan namun saat ini baru sampai pos satu, walaupun kami berjalan dengan santai harusnya perjalanan kami tidak selama ini.

“Yang tadi nemplok di tas Raka itu apa ya?” Tanya Farel.

“Udah Rel nggak usah di bahas, Tabu bahas begitu di tempatnya. Gua juga udah males ngingetnya.” Ucap Raka yang mencoba menahan rasa merindingnya.

“Udah nggak usah diinget lagi, banyakin baca doa aja. Lagian enak banget udaranya disini, kayaknya gua bisa ketiduran nih” Tambah Tiwi terlihat sudah nyaman dengan posisinya dan menikmati pemandangan di sekitar kami.

Akupun tidak mau ketinggalan dan meletakan ranselku untuk sekedar menikmati suasana di pos satu saat ini. Sayangnya kabut tipis masih menemani istirahat kami, walaupun tidak setebal tadi kabut ini cukup mengganggu kami menikmati pemandangan yang seharusnya terlihat jelas dari tempat ini.
Di tengah istirahat kami sayup-sayup aku mendengar suara gending dan tembang yang dinyayikan oleh suara seorang perempuan.
Saat itu juga tiba-tiba serentak kami semua terduduk secara bersamaan.

“Kita jalan sekarang aja yuk” Farel membuka pembicaraan yang sebenarnya maksudnya sudah kami mengerti.

***

“Lang, apa kita berbuat salah ya? atau ada pantangan yang kita langgar?” Tanya Raka yang menyusulku untuk berdiskusi.
Aku mengerti maksudnya, kejadian yang dialami Raka tadi biasanya hanya terjadi saat pendaki berbuat tidak sopan dan melanggar pantangan.
Tetapi seingatku kami tidak melakukan perbuatan yang sekiranya dilarang.

“Seharusnya nggak Ka, gua juga percaya sama kalian kok. Sedari tadi kita juga belum ada yang buang air sembarangan, teriak-teriak, apalagi ngomong kotor” Jawabku.

“Terus kenapa setan bocah itu bisa ngeganggu kita ya?” Tanya Raka yang sepertinya masih shock.
Aku tahu maksudnya, mungkin ia berusaha mencari tahu agar kejadian tadi tidak terulang lagi setelah ini.

Sayangnya, tidak mungkin aku menceritakan apa yang aku lihat saat kita sempat break sebentar tadi sebelum ada setan bocah yang menaiki tas Raka.

“Gua nggak tahu Ka, jaga sikap saja sama sering-sering baca doa. Selama kita nggak ngeganggu harusnya mereka juga nggak ngeganggu” Balasku.

“Iya, bener lang. tapi sebenernya gua udah mulai ngerasa aneh waktu Farel ngomong denger suara gamelan. Kayak ada sesuatu yang menyambut kita” Ucapan Raka kali ini membuatku berpikir. Mungkin saja itu benar, tapi suara itu didengar Farel saat masih di awal pendakian dan masih ada pendaki lain di depan kami.

Gerimis menemai perjalanan kami menuju pos dua, jalur yang kami lewati saat ini lebih berbahaya dari sebelumnya, terdapat jurang di sekitar kami sehingga kami harus memperhatikan langkah kami dengan lebih berhati-hati.

“Break!” Teriak Farel dari belakang.
Kamipun sebera berhenti sekedar untuk minum dan mengumpulkan nafas.

“Tiwi, minum dulu jangan sampai hilang fokus” Aku mencoba mengingatkan Tiwi karena hanya dia yang tidak mengambil botol minum dari tasnya.

“Tiwi.. Woi!”
Tiwi tidak merespon, sekilas aku meliihat tatapanya kosong dan hanya menggenggam ranselnya. Aku dan Farelpun saling bertatapan. Dengan inisiatifnya, Farel menghampiri Tiwi dan menepuknya.

“Tiwi!“
Seketika Tiwi terlihat seperti kaget namun ia mulai menatap ke arah kami.

“Eh, Iya.. break ya?”
Tiwi buru-buru meletakan tasnya dan mengambil air minum dan segera meminumnya.

“Lu ngelamun?“ Tanya Raka.

“Di gunung gini jangan ngelamun Wi, bahaya” Ucapku.

“Iya, Sori-sori... nggak sadar gua” Balas Tiwi dengan raut wajah yang menurutku masih sedikit linglung.

“Ya udah, nanti kita sambil ngobrol dikit aja biar nggak ada yang ngelamun” Tambah Farel.

Kami setuju dengan ucapan Farel. Setelah melanjutkan perjalanan dengan Raka yang memimpin di depan, kami sedikit ngobrol perbincangan-perbincangan singkat mengenai kejadian-kejadian di perkuliahan. Tapi tetap saja, Tiwi hanya membalas perkataan kami seadanya.

***

Cukup lama perjalanan kami ditemani gerimis kecil yang membuat udara semakin dingin. Kami menyusuri satu persatu jalan yang semakin licin. Jalur ini cukup berbahaya dengan adanya jurang di sekitar kami.

Raka yang berjalan di paling depan selalu menunjukan kepada kami tempat memijakan kaki yang aman untuk di lalui. sampai akhirnya tiba-tiba Raka berhenti.

“Kenapa ka?” Tanyaku.
“Bau busuk..“ Jawab Raka sambil mencari asal bau itu.

Benar, sedari tadi aku merasa mencium bau aneh namun aku memang tidak mau menghiraukanya dan berusaha untuk berfikir positif.

“Farel tuh belum mandi dari kemaren” Ucap Tiwi sambil menutup hidungnya dan menjauhi Farel.

“Enak aja! Gua emang nggak mandi, tapi baunya nggak gini” Balas farel sambil mencoba mencium tubuhnya.

“Eh serius lu nggak mandi dari kemaren? Pantes aja kita sial terus” Tambahku.

“Yee nggak ada hubunganya, udah jalan terus aja ka, siapa tahu di depan baunya hilang” Ucap Farel.
Kami setuju dengan perkataan Farel, namun ternyata perkiraan kami salah. Semakin kami berjalan, bau busuk ini malah semakin menyengat.

“Rel baunya tambah parah, jauhan dikit sana..“ Ucapku iseng.

“Jiah!! Tega banget lu pada.. kalau gua diculik demit gimana? Ikhlas lu?!”
Sontak aku mengambil slayerku dan melemparnya ke arah wajah Farel.

“Heh.. hati-hati kalau ngomong, lagi di gunung nih” Ucapku memperingatkan.

“Sori-sori, lunya pada sih yang mulai becanda” Balasnya.
Kami menutup hidung kami dengan masker buff yang sudah terpasang di leher kami masing-masing namun tetap saja tidak dapat menghalangi bau ini.

“Gila.. hampir ga tahan gua, baunya parah” Ucapku yang disetujui tanpa kata oleh yang lainya.
Kami berjalan sedikit cepat, namun tiba-tiba Raka terhenti lagi saat sampai di sebuah jalur pepohonan yang cukup luas.

Rumput dan semak disini tidak terlalu tinggi dan pohon-pohonya terlihat lebih rapi. Tapi.. Raka berhenti dengan tingkah yang aneh.
“Kenapa lagi ka? Cepetan bau banget nih” Ucap Farel.

Raka tidak menjawab dan hanya terpaku di depan kami. Aku yang merasakan perasaan tidak enak segera menghampirinya untuk memastikan.
Wajah Raka terlihat pucat, ia berusaha menarikku dan memperlihatkan apa yang dilihatnya tanpa ingin menunjuk dengan tanganya.

Tak jauh dari tempat kami berdiri terlihat sesosok kain lusuh yang penuh noda tanah menggeliat dengan aneh tepat di tengah jalan yang akan kami lalui. Aku tahu melihatnya dengan jelas, perlahan makhluk di hadapan kami menoleh dan menunjukan wajah busuknya yang penuh belatung.

“P..pocong! Itu pocong” Tidak seperti Raka yang dapat menahan diri, kali ini benar-benar ketakutan dan memberi tahu yang lain akan apa yang kami lihat.

Sialnya saat aku menoleh ke arah Farel yang berada di belakang aku menemukan sumber bau busuk yang mengganggu penciuman kami sedari tadi.
Saat hutan ini mulai tertutup kabut lagi, terlihat di sekitar kami pocong-pocong sedang menatap kami dari seluruh penjuru hutan.

Seketika jantungku berdegup kencang dan tubuhku semakin lemas. Belum pernah aku melihat pemandangan semengerikan ini sebelumnya.

“Galang... apa-apaan ini lang?” Wajah Farel terlihat begitu pucat.

Bau busuk itu kini semakin menyengat, terlalu menyengat soalah ada tak jauh dari kami. Dan benar saja, saat aku menoleh untuk mencari jalan untuk pergi tiba-tiba wajah salah satu dari mereka sudah berada tepat di hadapanku.

Aku berteriak dan terjatuh. Rasanya saat itu aku mual dan ingin muntah di tempat. Farel segera mengangkatku untuk berdiri menjauh dari sosok itu.

“Lari Lang! Lari! Jangan diem aja!” Teriak Farel yang sudah sangat ketakutan.

Kami melihat sebuah jalur yang tidak dipenuhi oleh sekumpulan pocong itu. Tanpa berpikir panjang kamipun segera menuju ke arah jalan itu menjauhi sosok-sosok yang berbau busuk itu.

Aku memastikan teman-temanku sudah berlari dan mengikuti mereka dari belakang. Kami benar-benar memacu nafas kami untuk menyusuri pepohonan-pepohonan hutan dari jalur yang kami lalui ini.

Pikirku, semoga saja jalur ini masih menghubungkan ke pos selanjutnya. Aku merasa sedikit yakin karena jalur ini masih berbentuk jalan seperti masih sering di lewati.

Semakin jauh kami berlari perlahan kabut terlihat semakin tebal, namun rasa panik dan bau busuk yang masih menyengat memaksa kami untuk terus maju walaupun tebalnya kabut ini mulai menutupi pandanganku. Saat ini hanya tas Tiwi saja yang terlihat di hadapanku.

Bau busuk tadi mulai tidak tercium, nafaskupun mulai habis, mungkin kita bisa beristirahat sebentar untuk mengumpulkan nafas.

“Break! Gaeess break dulu!” Teriakku sambil memangkukan tanganku ke paha sembari menarik nafas sedalam dalamnya.

Baru sejenak aku berhenti, tiba-tiba sosok ketiga temanku sudah menghilang dari pandangan. Aku memaksa kakiku untuk berjalan lagi menyusul mereka namun ketiga temanku tidak terlihat lagi di hadapanku.

“Tiwi! Raka! Farel!” Teriakku namun tidak ada balasan dari mereka.

Aku mempercepat langkahku namun hanya pepohonan yang tertutup kabut yang terlihat di sekitarku.

“Raka! Dimana kalian!!” Teriakku lagi, namun sama seperti tadi tidak ada balasan dari mereka.

Jantung ini berdegup semakin kencang. Tersesat di tengah hutan merapi jelas bukan hal yang sepele. Akupun memutuskan untuk terus berjalan mengikuti jalur berharap akan menemukan mereka bertiga yang mungkin sadar kalau aku sudah tertinggal.

Tidak ada, sepanjang aku berjalan tidak ada tanda ketiga temanku akan terlihat. Akupun berusaha untuk tenang dan mengatur nafasku. Yang kubaca dari petunjuk pendakian, semakin kita panik semakin sulit kita menemukan jalan keluar.

Sayangnya tanpa sadar langitpun mulai gelap kabutpun tidak kunjung menipis. Aku membersiapkan penerangan yang kupasang di kepalaku dan masih berteriak berusaha mereka akan menemukanku sampai akhirnya akupun merasa lelah.

Aku berhenti dan bersandar pada salah satu pohon di hutan untuk menarik nafas dan minum. Saat ini berbagai pikiran buruk merasuk di kepalaku, bagaimana jika aku benar-benar tersesat dan tidak ditemukan?

Di tengah kerisauanku perlahan aku mendengar suara gending gamelan dari sekitar kabut yang ada di sekelilingku. Suaranya tidak seperti gamelan sebuah acara, suaranya seperti bergantian mengelilingiku dari berbagai sisi.

Sekali lagi aku merasa merinding dengan situasi ini, namun aku tidak sepanik tadi dan hanya berharap tidak ada makhluk-makhluk yang menampakkan diri lagi di sekitarku.
Sialnya, samar-samar aku merasakan ada sesuatu yang memperhatikanku dari dalam kabut.

“Raka! Gilang!” Teriakku mencoba memastikan apakah makhluk itu adalah teman-temanku namun sama sekali tidak ada balasan.
Sebaliknya dari dalam kabut semakin terlihat sosok dengan kaki telanjang yang membuat gerakan seolah menari di dalam kabut.

Aku memperhatikan gerakanya yang gemulai berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Saat kabut semakin menipis sosok itu terlihat semakin jelas, seorang wanita yang menari dengan baju Jawa mengikuti alunan gamelan yang mengalun di sekitarku.

Anehnya baju dan selendangnya terlihat lusuh dan terkoyak.
Aku mengetahui sosok wanita itu, samar-samar aku memastikan bahwa sosok itu adalah sosok wanita pucat yang datang di mimpiku. Namun kali ini wajahnya tidak pucat dan tidak ada bekas luka seperti di mimpi.

Cantik... bahkan dalam balutan pakaian lusuh itu.
Tarian wanita itu terhenti dengan senyuman yang mengarah ke arahku. Aku cukup terkesima, sayangnya seketika dengan berhentinya tarian itu perasaan mengerikan kembali menyelimuti tubuhku.

Walaupun tak dapat melihatnya, aku merasakan ada berbagai sosok di belakang wanita itu.
Sosok besar bermata merah, makhluk yang bergelantungan di pohon, hingga sosok menyerupai manusia yang melayang di antara pohon-pohon hutan.

Tanpa berpikir panjang aku berlari meninggalkan tempat itu, berlari tanpa arah lagi di tengah gelapnya malam. Tanpa sadar sekali hujan mulai turun dan menghapus kabut di sekitarku.

Cukup lama aku berlari di tengah hujan ini hingga aku memastikan sosok-sosok tadi tidak mengikuti, tapi kali ini aku terhenti dengan suara lain. Suara tangisan seorang perempuan.
Suara tangisan yang bercampur dengan hujan itu terus terdengar sepanjang aku berjalan.

Akupun terpaku pada sosok perempuan yang berdiri tersender di bawah pohon dengan menatap ke arahku.
Tangisnya perlahan mereda dan aku merasa mengenal bayangan bentuk tubuh itu.

“Tiwi?” Tanyaku dengan ragu. Namun seketika wajahnya yang menunduk menatap ke arahku.

“Galang?“ Sosok itu segera mengusap matanya dan menghampiriku. Syukurlah sosok itu benar Tiwi.

“Raka dan Farel kemana?” Tanyaku.

“Nggak tau lang, tiba-tiba mereka menghilang di dalam kabut pas gua susul sudah nggak ada” Jelasnya.

Kejadian yang Tiwi alami sepertinya tidak jauh berbeda dengan yang aku alami, namun saat ini aku lebih khawatir dengan tubuh Tiwi yang basah kuyup.

“Kita pasang tenda dulu disini, ganti baju yang kering daripada lu sakit” Ucapku.
“Disini aman Lang?” Tanya Tiwi.

“Nggak tau Wi, kita nggak tau dimana tempat aman saat ini.. yang penting kita tunggu hujan reda dulu baru lanjut nyari yang lain” Balasku.
Tiwi mengangguk, kali ini wajahnya terlihat ketakutan tidak seperti Tiwi yang tegar seperti biasanya.

Kami berdua memilih mendirikan tenda di bawah sebuah pohon yang cukup rindang berharap pohon ini bisa mengurangi tetesan hujan yang akan jatuh ke tenda. Mungkin bukan tempat yang bagus, tapi setidaknya cukup untuk kami menunggu hujan reda.

“Sana ganti baju dulu di dalam, pastiin semuanya kering” Suruhku pada Tiwi sementara aku menunggu di luar.
Sementara Tiwi berganti baju, aku mencoba mengitari tenda memastikan keadaan sekitar sedikit meraba-raba akan ke arah mana kita pergi nanti.

“Galang udah!” Panggil Tiwi dari dalam tenda.
Aku melihat Tiwi di dalam tenda sudah berganti dengan kaos putih dan celana pendek. Benar-benar pemandangan yang tidak biasa yang membuatku terpaku setelah semua kejadian tadi.

“Kenapa lang?” Tanya Tiwi yang mungkin heran melihatku melamun.
“Celana panjang lu mana? Pake celana gituan sih cari penyakit!” Ucapku berusaha mengingatkan Tiwi.

“Agak basah lang, tar gua masuk sleeping bag biar gak kedinginan. Tenang aja” Balas Tiwi.

Mendengar ucapanya aku hanya menggeleng dan mulai mengganti baju di dalam tenda dengan meminta Tiwi berbalik arah. Akupun mengikuti ucapan Tiwi untuk menggunakan sleeping bag untuk menghangatkan tubuh.

***

“Sori ya Wi, gua nggak tahu perjalananya bakal jadi begini..” Ucapku yang merasa bersalah atas kejadian yang kami alami tad.

“Nggak usah dipikirin dulu lang, yang penting gimana caranya kita semua bisa selamat..” Balas Tiwi.

Tiwipun mengambil beberapa makanan ringan dari tasnya dan memberikanya padaku.

“Lu pasti nggak makan kan dari tadi? Nih.. jangan sampe malah lu yang sekarat” Ucap Tiwi yang memberikan sebungkus wafer coklat untukku.

Benar juga, sedari berangkat aku belum sedikitpun mengisi perutku barang sedikitpun. Kejadian tadi benar-benar membuatku lupa untuk mengisi perutku.
“Tengkyu Wi.. lu kalo mau tidur nggak papa, gua jagain”

“Nggak lang, gua nggak ngantuk. Kita ngobrol-ngobrol aja biar nggak kedinginan”
Kami masing-masing duduk bersebelahan bersandar pada tas carier kami yang kering karena terlindung oleh raincoat sambil menikmati suasana hujan di dalam tenda.

Aku menyalakan lampu dari senter kecilku untuk menerangi sisi dalam tenda sambil berbincang perbincangan kecil.
“Keren juga ni tenda, nggak ada yang bocor” Ucapku random mencari bahan pembicaraan di malam itu.

“Wajar lah, udah sewa mahal-mahal kalau sampai bocor kita suruh ganti profesi aja jangan jadi rental Tenda”

“Terus jadi apa? Rental Pe Es gitu?”
“Kebagusan, rental dingdong aja.. yang pake koin, terus kiosnya bocor kalo ujan”
“Buset, ketahuan banget umur lu”

Aku sedikit tertawa, sepertinya dengan kehadiran Tiwi rasa tegangku tadi mulai sedikit berkurang. Aku melihat tangan Tiwi sedikit gemetar kedinginan. Sebuah korek api gas kuambil dari dalam tas. Aku mengambil kedua tangan Tiwi dan menyalakan api dari korek itu.

Setidaknya api kecil itu sedikit berhasil menghangatkan tangan kami yang saling bertumpuk sekaligus semakin menerangi sisi dalam tenda ini.

“Enak lang.. hangat” Ucap Tiwi sambil semakin mendekatkan tubuhnya ke arahku dan menyenderkan tubuhnya.

Saat itu jantungku berdegup tak beraturan. Belum pernah aku merasa segrogi ini saat berdekatan dengan Tiwi.
Dingin? Tidak.. tidak itu saja.. kali ini justru perasaan panas dingin yang kurasakan saat Tiwi berada sedekat ini padaku.

Ia juga seperti menikmati suasana di dalam tenda dengan penerangan seadanya yang menurutku malah terkesan romantis. Apakah salah bila jatuh cinta pada sahabat sendiri?

Tiba-tiba pemikiran itu muncul di kepalaku disusul dengan berbagai pikiran berandai-andai yang membuatku seolah ingin tersenyum sendiri. Apa Tiwi hanya terbawa suasana atau mungkin dia juga memendam rasa.

Entahlah, yang pasti aku tidak ingin merusak persahabatan kami berempat hanya karena hal seperti ini. Mungkin yang terbaik saat ini adalah menikmati momen yang mungkin tidak akan terulang ini sebaik-baiknya.

Tapi.. Tiwi, kamu cantik, siapapun yang berhasil menaklukan hatimu, pasti dia adalah orang yang beruntung. Seandainyapun aku bisa berharap, semoga orang itu adalah salah satu dari kami bertiga.. Aku, Raka, atau Farel.

***

Aku yang tak sengaja tertidur terbangun dengan suara petir yang menggelegar. Sepertinya aku tertidur sebentar. Tiwi yang bersandar dibahuku juga ikut terbangun dengan suara itu..

“Sori lang, malah jadi betah gua” Ucap Tiwi sambil mengucek matanya.

“Yaelah, santai aja kali” (“Kalaupun mau di lanjutin juga nggak papa kok..“) Sayangnya kalimat kedua itu hanya terucap dalam hati tanpa mampu untuk keluar dari mulutku.

Samar-samar aku merasakan suara hujan mulai mereda dan hanya tersisa suara gemuruh guntur yang perlahan juga mulai menghilang. Kamipun membereskan barang-barang kami yang berada di tenda dan berniat mengecek kondisi di luar.

Dengan berhati-hati aku membuka retsleting pintu tenda dan ternyata hujan memang sudah mulai berhenti, sayangnya kabut tipis mulai kembali mengelilingi sekitar kami.

Tiwipun ikut mengintip ke arah luar dan segera menyilangkan tanganya karena merasa kedinginan dengan hawa di luar.

“Srreeek... Srreeeekkkk”
Terdengar suara seperti benda di seret tak jauh dari tenda kami tepat setelah hujan benar-benar berhenti.

“Suara apa itu lang?” Tanya Tiwi sambil berbisik.
“Ssst.. nggak tahu Wi, perasaanku nggak enak” Jawabku sambil mencoba menengadahkan kepalaku ke arah luar.

“Sreeek... Sreeekkk”

Suara itu terdengar lagi tak jauh dari sebelah tenda kami. Tiwi mengambil senter dan menodongkanya ke arah suara itu. Sial... sungguh mengerikan. Sekali lagi kami melihat suatu hal yang seharusnya tidak bisa kami lihat.

“Tiwi! Matiin senternya!” ucapku memberi isyarat pada Tiwi.
Tiwi yang juga melihat hal itu segera mematikan senternya. Wajahnya seketika pucat dan tubuhnya gemetar.

Tepat sesudah hujan berhenti tiba-tiba di sekitar tenda kami muncul orang-orang dengan tubuh yang tidak utuh dan wajah yang penuh borok berjalan menuju satu tempat dengan menyeret beberapa makhluk seperti manusia dengan tubuh yang sudah membiru.

Beberapa dari mereka membawa obor seolah memang membutuhkanya untuk menerangi jalan.
“A..Apa lagi itu lang?” Suara Tiwi terdengar bergetar.

“Ga tau wi! Cepet masuk... semoga mereka nggak sadar dengan keberadaan kita” Balasku yang segera kembali menutup pintu tenda.

Tiwi terihat meringkuk ketakutan dengan senter yang tergenggam erat di tanganya. Secara refleks aku memeluknya dengan harapan bisa mengurangi rasa takutnya walaupun dalam hati akupun merasakan hal yang sama.

“T...takut lang...“ Tiwi menangis berusaha menutupi matanya dengan pundakku dan aku memeluknya dengan lebih erat.

Srekk... srekk... srekk...

Suara itu terdengar semakin mendekat. Cahaya obor yang dibawa makhluk itu menunjukan bayangan makhluk-makhluk yang mendekat ke arah tenda kami. Tiwi semakin menangis namun aku mencoba menutup mulutnya agar tidak menimbulkan suara.

Terlihat bayangan-bayangan dari sisi tenda kami saat makhluk-makhluk itu berjalan ke satu arah dengan menyeret sesuatu seperti jasad manusia. Sayangnya bukanya segera menghilang makhluk itu malah berdatangan semakin banyak.

Kami menunggu dalam ketakutan, berharap kami bisa selamat dari hal ini. Cukup lama sampai akhirnya makhluk-makhluk itu mulai berkurang. Kami merasa cukup lega saat tahu ini semua akan berakhir, tapi sayangnya setelah kepergian makhluk itu terlihat bayangan sesosok makhluk berwujud wanita melayang di hadapan tenda kami.
Cahaya obor dari makhluk terakhir yang melintasi tenda kami perlahan meredup dengan kepergianya.

Namun sosok bayangan wanita itu masih terlihat melayang dan menatap tenda kami. Tidak ada yang dapat kami lakukan selain membaca doa dalam hati kami berharap Yang Maha Kuasa memberi kami perlindungan dari makhluk-makhluk yang berniat jahat di sekitar kami.

Di tengah doa kami tanpa sadar tiba-tiba terlihat cahaya matahari muncul dari arah timur dan sosok makhluk-makhluk itupun menghilang.

“Lang? Sudah pagi?” Tanya Tiwi.
“I..iya Wi, aneh... perasaan tadi kita cuma ketiduran sebentar” jawabku yang merasa kebingungan.

“Aneh.. bener-bener aneh. Tapi setidaknya kalau ada cahaya matahari kita lebih aman dan bisa nyari yang lain” Tambah Tiwi.

“Bener, tapi kita harus tetap hati-hati.. sebelumnya pocong dan anak kecil yang naikin Raka juga munculnya sebelum malam” Balasku lagi.

Tiwi hanya menangguk dan segera membereskan barang-barangnya. Kami memastikan sebentar keluar tenda dan benar cahaya matahari sudah menyinari tenda kami. Saat merasa aman kamipun segera keluar dan menginjakan kaki kami di rumput yang masih basah di seketar tenda.

“Mmmmmhhh!! Udaranya enak banget lang!” Tiwi keluar masih dengan pakaianya semalam dan segera merenggangkan tubuhnya ke hadapan sinar matahari yang menyelamatkan kami dari malam mencekam tadi.

Ternyata hutan tempat kami bermalam tadi tak jauh dari sebuah jurang yang menunjukan pemandangan permadani hijau dengan cahaya matahari yang muncul dari salah satu sudutnya.

Tapi sejujurnya.. bukan hanya cahaya matahari pagi itu saja yang membuatku nyaman saat ini. Sosok seseorang yang menatapku sambil membelakangi matahari itu sangat jauh lebih indah dengan senyumanya yang berhasil mewarnai pagiku saat ini.

“Ayo keluar lang! kelamaan di tenda nggak baik buat kesehatan mental” Teriak Tiwi. (“Nggak juga, kalau di tendanya sama lu bakal bagus banget buat kesehatan mental gua”) Kata-kata itu ingin sekali kuucapkan di hadapanya, namun aku memilih untuk diam dan hanya tersenyum sambil menghampirinya.

“Galang... nggak ada yang salah dari mimpi lu untuk mendaki gunung ini. Semua yang lu ceritain tentang keindahan gunung ini benar adanya apalagi setelah melihat suasana pagi di tempat ini.” Ucap Tiwi sambil menatap kearah pemandangan di depan kami.

“Hanya saja, kita masih harus mencari tau apa hal yang menyebabkan kita mengalami kejadian-kejadian ini” Aku mengangguk setuju. Sebenarnya masih ada yang kupikirkan semenjak kemarin. mungkin aku bisa membicarakanya pada Tiwi.

“Sebenarnya gua ada suatu hal yang bikin gua kepikiran wi..” Ucapku.

“Kenapa lang?”
“Semenjak Farel mendengar suara gamelan di perjalanan di pos satu, kita mulai ngerasain hal-hal aneh kan?” Ucapku.

“Terus?”

“Gua ngerasa, setelah itu.. apalagi setelah jalur yang kita lewati berkabut, kita seperti benar berjalan di jalur pendakian.. tapi disisi alam lain...“
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close