Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Maut di Perbatasan Langit (Part 1) - 2.910 MDPL

Perjalanan pendakian gunung Merapi yang dilakukan oleh empat sekawan berubah mencekam ketika jalur yang mereka lalui berbeda dengan yang seharusnya..


JEJAKMISTERI - Merapi, Salah satu gunung yang paling aktif di gugusan cincin api Nusantara. Sebuah kemegahan yang tidak akan pernah bisa dilupakan oleh siapapun yang berhasil menaklukanya.

Puncaknya tidak pernah gagal memanjakan pendaki dengan pemandangan permadani hijau yang berdampingan dengan berbagai gunung di sekitarnya.

2.910 Mdpl bukanlah perkara yang mudah untuk sepasang kaki yang ingin mengantarkan tuanya untuk menikmati keindahan yang disediakan oleh Yang Maha Pencipta untuk siapapun yang mampu melewati batas dirinya untuk mencapai salah satu puncak terindah di Pulau Jawa.

“Gua bakal naklukin Merapi dan memijakan kaki di puncak garuda” Ucapku pada Farel yang sedang asik menghabiskan semangkuk mi ayam di salah satu warung langganan kami di gang dekat kampus.

“Ngeliatin gambar kalender itu lagi lu? Udah sih, kalau mau kesana tinggal kesana.. Merapi bukan kayak gunung Everest atau Jaya Wijaya yang butuh ijin presiden buat muncak” Ucap Farel padaku yang masih terus menatap keindahan gunung Merapi di Kalender yang tergantung di salah satu sisi dinding warung itu.

“Nggak gitu Farel, yang penting bukan seberapa tinggi gunung yang lu daki, tapi seberapa besar hasrat yang kamu kejar untuk mencapai puncak gunung itu. Inget! Setiap perjalanan itu punya arti” Jelasku pada Farel yang hanya membalas dengan menatapku sekilas dan lanjut menyeruput kuah mie ayamnya.

Farel Wijaya, seorang mahasiswa fakultas teknik semester lima, sama denganku. Kami saling kenal sejak penerimaan mahasiswa baru. Dari situlah akhirnya kami akhirnya tinggal di kos-kosan yang sama dan hampir tidak ada hari yang kulewatkan tanpa melihat wajahnya.

“Woi.. cepetan, janjian jam tiga kan? Tiwi udah mau keluar kelas tuh” Teriak seseorang yang menghentikan sejenak motor vespa antiknya di warung bakso ini sekedar menjemput kita untuk ke kampus.

Kalau yang itu namanya Raka, Abiraka pradhana. Yang ini aku temuin di warnet tempatku dan Farel sering mengerjakan dan mencetak tugas. Dia mahasiswa yang bekerja sampingan sebagai operator warnet.

Bukan karena kekurangan uang, tapi motivasi Raka yang sebenarnya adalah agar ia bisa mengunduh film-film terbaru dan beberapa aset digital yang hasilnya jauh lebih menguntungkan dari gajinya sebagai operator warnet. Ingetin tuh.. namanya Raka. Jangan ditiru.

Aku dan Farel berboncengan dengan motor bebek tua yang kami beli patungan beberapa bulan lalu sekedar untuk mengirit biaya transportasi kami berdua, sementara Raka masih bangga dengan Vespa antiknya yang suaranya selalu bisa dikenali dari jarak lima ratus meter dari posisinya berada.
Tak Jauh dari tempat kami memarkirkan motor, terlihat seorang perempuan berambut panjang dengan kaos biru polos baru saja keluar dari kampus dengan memeluk beberapa buku tebal di dadanya.
“Tiwi! Disini!” Teriak kami yang memberi isyarat pada Tiwi untuk menyeberang. Iapun tersenyum dan melambai membalas panggilan kami.

Jalanan di depan kampus selalu macet setiap bubaran kelas. Jadi lebih efisien bila Tiwi yang menyeberang daripada kami yang harus memutar balik untuk menjemputnya.
Pratiwi Dwi Anandita, satu-satunya perempuan di geng kami. Yang paling cerewet, paling rese, tapi juga paling perhatian. Gua sendiri lupa mungut dia dimana. Seinget gua, waktu itu kita lagi makan di warung Mbok Nanik dan disitu gua sama Tia rebutan bakwan yang tinggal satu. Sampe ribut tuh satu warung.

Akhirnya Farel inisiatif beliin bakwan dari luar biar kita berhenti.

Sayangnya kita keburu diusir duluan waktu itu, dan karena sama-sama masih laper akhirnya kita ngabisin bakwan yang dibawa Farel sambil ngopi di gerobak kopi Mang Jajang.

Tapi di balik tingkah yang seenaknya entah mengapa aku merasa semua bebanku hilang setelah melihat tingkahnya yang menurutku cukup lucu.

Yah.. itu lah temen-temen gue yang sampai saat ini terus mewarnai kehidupan perkuliahanku di ibukota ini.

Siapa? Gua?

Haha... sampai lupa. Gua Galang, lengkapnya Galang Saputra. Mahasiswa Teknik Informatika semester lima yang tersesat di harapan akan mimpi-mimpinya. Keren ya? Yah.. intinya gua bocah halu. kalian sendiri juga udah baca kan di paragraf awal?

Dan ini adalah kisah perjalanku bersama teman-teman terbaik di masa kuliahku yang mungkin tidak akan pernah bisa kulupakan. Sebuah perjalanan menuju dua ribu sembilan ratus sepuluh meter diatas permukaan laut.

Puncak Merapi..

***

“Habis ngapain aja lu tadi?” Tanya Tiwi yang segera mengambil tempat di warkop tempat kami biasa menghabiskan waktu selesai jam kuliah.

“Biasa, makan siang dengan lauk khayalan halu si Galang” Jawab Farel sembil menolehkan wajahnya padaku.

“Dih halu, masih mending gua halu ke Merapi daripada elu halu pengen ketemu maria ozawa” Balasku,
“Yee namanya juga ngefans, ga boleh dilarang.” Balasnya lagi.

“Ya kalo ngefans sama yang wajar lah, ngefans sama artis bokep” tambah Raka sambil membawakan kopi hitam pesanan kami dan es jeruk minuman favorit Tiwi.

“Gorenganya habis?”Tanya Tiwi.
“Ada, masih digoreng.. nanti dianter” Jawab Raka.

“Pokoknya bakwan jatah gua!” Balas Tiwi sembari menatap wajah Raka dengan mata melotot..
“Yaelah tenang aja sih, jatah bakwan lu udah diamanin sama satpol PP. Ga bakal ada yang berani ngambil” Balasku yang selalu teringat akan tragedi rebutan bakwan yang menyebabkan kami diusir dari warung Mbok Nanik. Tiwipun tertawa mendengar jawaban dariku.

Entah, setiap berkumpul bersama mereka hampir tidak ada perbincangan yang membosankan. Selalu ada pembahasan yang membuat kami tertawa bahkan tanpa alasan yang jelas.

“Betewe, si Galang kan punya cita-cita muncak ke Merapi tuh. Kenapa nggak kita temenin aja? Masih sanggup lah kita kalau kesana” Ucap Tiwi.

“Ya bener sih, tadi gua juga udah bilang sama dia. Tapi dibales pakek hasrat lah, tujuanlah, artilah.. otomatis langsung jadi anak senja dia” Jawab Farel.

“Ya nggak gitu, kalau gua cuma kesana ikut open trip atau bayar pemandu kayaknya kurang lengkap. Kurang seru lah nikmatin alam sendirian? Tapi kalau emang kalian mau nemenin lain cerita” Jawabku yang memang mengharapkan perjalananku ke Merapi memiliki cerita sendiri yang bisa ku kenang hingga tua nanti.

“Masuk di akal sih alasanya. Tapi gua punya syarat!” Ucap Raka.

“Ape tuh?” tanyaku penasaran.

“Lu pada bantuin gua jualin tu aset download gua, biar pas kesana nggak kere-kere banget lah” Jawab Raka.

“Yeee elu, gampang itu... asal ada film baru dua ratus sampai tiga ratus ribu dapet lah kalau gua share ke anak-anak UKM” Balas Farel.

“Nah gitu donk, jadi berangkat kapan kita?” Tanya Raka yang wajahnya malah terlihat lebih semangat dariku.

“Ini kalian serius?” Tanyaku yang setengah percaya pada teman-temanku yang selama ini hanya meledek tentang obsesiku akan Merapi.

“Gua sih oke, tinggal tugas lu nyari alibi aja sama orang rumah.” Jawab Tiwi.

“Gua juga oke, soal orang rumah Tiwi biar kita mampir kesana aja mintain ijin bener-bener. Nggak baik kalau mau naik gunung tapi bohong sama orang tua” Tambah Farel.

“Setuju tuh gua, kalau emang nggak diijinin ya sudah nggak usah maksa” Ucap Raka sambil menerima sepiring gorengan hangat yang segera diletakkan di meja kami.

Seketika aku menjadi semangat. Sebenarnya aku tidak pernah menyangka teman-temanku yang super santai ini mau menemaniku untuk mendaki ke puncak Merapi yang menjadi obsesiku. Apalagi selama ini pembicaraanku tentang Merapi sering berbalik jadi ledekan dari mereka.

“Pokoknya emang bener-bener temen terbaik. Tenang aja, rute dan jadwal biar gua yang atur. Nanti gua cari referensi jalur yang paling mudah di daki” Ucapku dengan penuh semangat.

“Oke, berarti tinggal nentuin tanggal berangkatnya aja ya?” Ucap Farel.

Di perbincangan singkat itu kami memutuskan untuk berangkat di libur akhir semester yang jatuh tiga minggu dari sekarang. Waktu yang sangat cukup untuk mempersiapkan kebutuhan mendaki sekaligus untuk fokus menghadapi ujian akhir semester.

Obrolan simpang siur menemani sore kami saat itu, sepiring gorengan akhirnya habis berbarengan dengan kopi hitam yang kunikmati dengan candaan bersama mereka sebelum akhirnya Raka mengantar Tiwi pulang, aku dan Farel kembali ke kos.

***

Setumpuk kertas bertuliskan kisi-kisi materi ujuan kuletakkan di atas etalase kasir warnet tempat Raka bekerja. Aku dan Farel menghitung ulang jumlah lembaran yang kami print dan menyiapkan sejumlah uang.

“Nih Ka! Tiga puluh lima lembar ya!” ucapku sambil memanggil Raka yang masih asik dengan komputer servernya.

“Udah nggak usah, yang penting tinggalin aja filenya di komputer” Ucap Raka.

“Serius lu? Tar disuruh nombok sama bos lu baru tau rasa” Tambah Farel yang juga sudah menyiapkan uangnya.

“Serius, itu nanti filenya gua cetak masing sepuluh bendel terus gua jualin lagi ke anak jurusan lu juga udah untung banyak. Sering-sering aja nyetor kisi-kisi kesini”

Jelas Raka yang memang selalu pintar mencari celah untuk menambah pemasukanya.

“Emang licin ya otak lu, kayaknya kalau udah lulus nanti elu yang paling tajir diantara kita-kita. Thank you ya” Ucapku yang segera berpamitan dengan Raka disusul Farel yang masih sibuk Merapikan kertasnya.
Selama ujian semester kami mengurangi frekuensi untuk berkumpul dan lebih memilih untuk berkumpul dengan teman-teman satu jurusan untuk saling berbagi kisi-kisi dan catatan.

Tapi tepat saat tanggal ujian berakhir, kami menepati janji untuk mampir ke rumah Tiwi untuk meminta ijin mengajak Tiwi ikut dalam perjalanan.
“Kalian serius mau naik gunung? Memangnya sudah ada yang pernah naik gunung?” Tanya Ibu Tiwi.

“Hehe, belum ada sih bu. Makanya kita pilihnya gunung Merapi yang jalurnya sudah ada dan tidak terlalu tinggi” Jawab Raka.
“Bener bu, lagian kita nggak mendaki sendiri. Pas tanggal liburan pasti banyak pendaki lain” Tambahku.

Terlihat dari wajah Ibu Tiwi ada rasa khawatir akan perjalanan yang kami lakukan. Wajar saja, kami berempat adalah pendaki amatir yang baru pertama kali mendaki walau katanya Raka sudah pernah mendaki gunung Gede Pangrango, tapi itu sudah dulu sekali saat ia masih sekolah dan didampingi bersama pembina.

“Kak Tiwi, bukanya katanya gunung Merapi itu angker? Katanya ada desa ghaib juga disana?” Tanya Vanya adik Tiwi yang umurnya hanya berbeda beberapa tahun dari Tiwi.

“Kamu tau darimana Vanya? Kebanyakan nonton film horor tuh” Bantah Tiwi yang masih berusaha membujuk ibunya.
“Bener, dari film-film sama cerita di internet. Siapa tau beneran” Balas Vanya lagi.

“Sudah tenang aja, ada tiga orang cowo keren yang jagain kakakmu ini kok. Jadi tenang aja” Farel mencoba meyakinkan Vanya.
Mendengar penjelasan dari kami akhirnya Ibu Tiwi mengijinkan kami untuk mengajak anak perempuan tertuanya itu untuk ikut kami ke Merapi.

Memang keluarga Tiwi sudah percaya dengan kami bertiga. Tapi justru hal inilah yang menjadi beban tanggung jawab kami untuk menjaga putrinya itu.

“Ya sudah, pokoknya jangan pernah meremehkan alam. Pastiin sering-sering ngabarin ya” Titah Ibu pada kami.

Setelah berhasil mendapat ijin kami berempat segera pergi meninggalkan rumah Tiwi dan mencari kebutuhan pendakian perdana kami berempat. Tenda, tas carrier, sleeping bag hampir semua tersedia di sebuah toko rental yang kutemukan dari kenalanku yang seorang pendaki.

“Bis atau kereta?” Tanyaku pada ketiga temanku
“Bis, terminal deket dari kampus repot kalau jauh-jauh ke stasiun” jawab Raka dengan cepat yang segera disetujui oleh yang lainya.

Akupun sama sekali tidak keberatan dan segera mengajak mereka ke terminal untuk segera mengamankan jadwal keberangkatan kami.

***

Ada seorang perempuan, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Kami berada di tengah hutan yang tidak kukenali di malam hari. Ia mengenakan baju yang cukup kuno yang sebagian sudah robek. Terdengar suara tangisan dari dirinya, aku tak ingin mendekat namun kaki ini terus berjalan ke arahnya sampai Ia menoleh ke arahku.
Aku tidak akan pernah percaya apa yang kulihat saat ini.

Wanita itu menoleh kearahku dengan wajah yang pucat berhias bekas luka yang belum mengering dengan air mata darah mengalir di pipinya. Sialnya ia mulai menoleh dan melihatku, ada senyuman aneh di bibirnya.

Wanita itu mendekat sementara aku tak bisa mengendalikan tubuhku untuk menjauh. Aku menutup mataku berharap ini semua adalah mimpi dan mencoba menarik nafas sedalam-dalamnya.

Namun saat aku memutuskan untuk membuka mata, wajah mengerikan makhluk itu berada tepat di depan mataku dengan suara tawa yang aneh.

***

Suara alarm dari telepon genggamku terdengar meramaikan pagi yang tidak sedamai biasanya. Mimpi itu membuatku terbangun dengan seluruh keringat membasahi tubuhku.

Entah apakah ada maksud dari mimpi itu, namun aku mengingat dengan jelas perkataan sosok itu saat wajahnya tepat di hadapanku.

“Aku wis suwi ngenteni...” (Aku sudah menunggu lama)

Aku tidak mau terlalu memikirkaan apa yang terjadi di mimpiku semalam dan segera mandi untuk menjernihkan pikiranku sebelum bersiap berkumpul di terminal bus tempat kami janjian.

'Gua udah jalan ya..'

Terlihat pesan SMS muncul dengan nama pengirim Tiwi, sepertinya dia akan sampai duluan di terminal sebelum lainya. Aku segera bergegas agar bisa cepat sampai disana sebelum menerima oceha dari Tiwi yang mungkin akan menunggu sendiran di terminal.

“Ibu, Galang berangkat ya.. doain supaya lancar” Ucapku sambil buru-buru mencium tangan ibu.

“Sudah bilang bapak belum? Nggak sarapan?” Tanya ibu.

“Tenang, aman.. sudah disanguin juga. ini Galang nyomot tempe gorengnya aja, sudah ditunggu Tiwi di terminal” Jawabku sambil menggigit tempe goreng hangat yang sepertinya baru disajikan oleh ibu.

“Ya sudah hati-hati, sering-sering kasi kabar” Balas ibu.

Segera aku meninggalkan rumah dan jalan kaki menuju jalan besar untuk menghentikan angkutan umum menuju terminal.

Aku mencoba menelepon Farel yang masih di kos untuk memastikan apakah dia sudah berangkat namun tidak ada jawaban.

Mungkin dia masih kesal karena kutinggalkan di kos sendirian. Mau gimana lagi, sebagian perlengkapanku masih ada di rumah. Jadi mau tidak mau aku harus mengambil perlengkapanku dulu sebelum berangkat. Iye, gua udah di jalan.. cepetan jangan lelet, Raka juga udah jalan dari tadi.

Aku lega saat membaca balasan sms dari Farel, sebentar lagi kami akan memulai perjalanan yang memang sudah sangat kunantikan.

***

Tepat jam delapan pagi kami bertemu di terminal, kami memang memilih bus jam sembilan pagi agar bisa beristirahat cukup lama di Selo sebelum mulai mendaki saat subuh nanti.

“Lha Tiwi mana? Perasaan tadi dia yang sms duluan” Tanyaku.

Kami menoleh ke sekitar terminal namun belum berhasil menemukan sosok Tiwi sama sekali. Sms dan telepon kamipun belum direspon olehnya. Sampai sepuluh menit kemudian dari arah jalan terlihat Tiwi datang dengan menenteng plastik yang cukup besar.

“Dari mana aje lu, kirain udah sampe duluan” Sambut Farel.

“Udah nggak usah komplain, gua tau lu pada nggak sarapan.. nih nasi uduk gua beliin satu-satu, karetnya dua punya galang” Ucap Tiwi yang ternyata mencarikan sarapan untuk kami bertiga.

“Tiwi... gua terharu, lu bener-bener calon istri idaman” Raka menerima bungkusan nasi uduk buatanya dengan mata yang ‘sok’ berkaca-kaca.

“Enak aja calon istri,Tiwi tuh aset kita... kalau ada yang ngawinin dia repot kita” Balasku sambil mengambil nasi uduk karet dua jatahku yang selalu dihafal sama Tiwi, porsi nasi dobel.
Kami menikmati sarapan pagi kami di pinggir terminal dengan menu nasi uduk aroma asap bis kota.

Kalau bukan karna Tiwi, mungkin di bis nanti kami sudah berjuang melawan wabah kelaparan yang sering terjadi karna sarapan yang terlewatkan.

Sebuah bis Jurusan Solo sudah tiba tidak jauh dari tempat kami menunggu.

Aku menoleh ke arah jam tangan yang menunjukan pukul 09.30, terlambat tiga puluh menit dari jam keberangkatan. Hal ini memang sudah biasa terjadi, malah bisa jadi bis baru berangkat jam sebelas siang menunggu sang sopir menyelesaikan ‘Ritual’nya.

Memang resiko menaiki bis ekonomi salah satunya adalah kami memakan waktu cukup lama karena harus mampir ke banyak terminal di tiap kota untuk menaik dan menurunkan penumpang. Itu Artinya pedagang kaki lima akan keluar masuk bis setiap mereka berhenti.

Kami mendapat tempat duduk dekat pintu belakang. Aku duduk bersama Tiwi sementara Farel dan Raka di sebelah kanan kami terpisah jalur jalan.

Awalnya kami berebut soal siapa yang duduk dekat jendela, namun perseturuan itu cepat terselesaikan saat Raka bilang kita bergantian posisi duduk saat di pemberhentian makan.

Perjalanan di siang hari hampir tidak terasa dengan perbincangan-perbincangan kami yang hampir tidak pernah kehabisan bahan. Apalagi pemandangan saat melalui jalur pantura antar kota cukup mampu membuat kami merasa senang setelah bosan dengan pemandangan kota yang padat.

Setelah maghrib kami mulai memasuki jawa tengah. Kami sudah cukup lelah dengan berbagai perbincangan tanpa henti kami sempat tertidur beberapa saat.
Aku terbangun saat langit mulai gelap, lampu di dalam bispun menyala remang-remang.

Aku memperhatikan ketiga temanku yang juga tertidur dengan pulas, dan Tiwi yang tanpa sengaja menjatuhkan kepalanya di bahuku dengan wajahnya yang telihat manis saat tertidur. Dia bukan wanita pintar atau modis seperti yang menjadi idaman mahasiswa di kampus.

Tiwi hanyalah perempuan biasa, apa adanya, namun tawanya selalu memberi warna sendiri untukku, tidak.. untuk kami.
Aku melamun sepanjang perjalanan selama mereka tidur, tak jarang aku tertidur lagi dan kembali terbangun setiap roda bis menghantam lubang dan mengagetkanku.

Sekali aku terbangun, aku menoleh ke arah Raka yang duduk di dekat jendela ujung sebelah kananku. Entah perasaanku atau apa, seolah aku merasa ada yang aneh darinya.
Tangan Raka terlihat menggenggam erat di atas pahanya. Aku mencoba melihat wajahnya namun tertutup oleh Farel.

Gelapnya kondisi bus saat itu membuatku sulit melihat wajahnya. Akupun harus memajukan badanku untuk melihatnya.

“Raka” Panggilku berbisik namun ia tidak menoleh sama sekali.

Beberapa kali aku memanggilnya namun tidak ada jawaban darinya hingga aku mencondongkan badanku mencoba melihat wajahnya dengan lebih jelas.
Entah apa yang terjadi saat itu, keadaan Raka tidak seperti biasanya.

Matanya terlihat menatap ke satu tempat di atas langit-langit bis tanpa berkedip sedikitpun. Matanya terlihat panik dengan wajahnya yang memucat. Terlihat tetesan keringat di pelipisnya seolah ia ketakutan akan sesuatu.

Aku mencoba menoleh ke arah Raka melihat, namun tidak ada hal aneh yang kulihat disana selain tas-tas yang diletakan di bagasi kabin atas.
Khawatir denganya, aku segera menggeser Tiwi sedikit dan mencoba memanggil Raka.

Namun sekali lagi roda bis menginjak lubang dan membuatku hampir terjatuh. Secepat mungkin aku segera mencari pegangan untuk bertahan.

Saat sudah mendapatkan keseimbangan kembali, aku mencoba menghampiri Raka lagi namun kondisinya tidak seperti tadi. Kini Raka tengah tertidur dengan pulas dan menutupi wajahnya dengan jaket.

Apa yang terjadi dengan Raka?
Sekilas aku berfikir untuk membangunkan teman-temanku namun kuurungkan saat melihat mereka tidur dengan nyenyak sehingga aku memutuskan untuk menikmati pemandangan jalur hutan di luar jendela sambil mencoba untuk tidur lagi.

Sesuatu yang hangat menetes ke wajahku yang tengah tertidur, aku mengusapnya namun tetesan itu terus jatuh ke wajahku. Sebisa mungkin aku tidak ingin menghiraukanya.
“khi..khi..khi...” “Kraakkk”

Terdengar suara tawa yang aneh bersama suara benda yang tergeser atau patah. Bulu kuduku merinding, perasaan aneh mulai kurasakan karna suara itu terdengar dari arah atas tempatku duduk.

Dan benar saja, tepat saat aku melihat ke atas sosok makhluk berambut panjang merayap di langit-langit bis. Kepalanya menoleh ke bawah hingga memutar hampir seratus delapan puluh derajat menatap ke arahku dengan lidah yang menjulur meneteskan liurnya.

Tubuhnya terlihat kuruskering dengan baju putih terusan yang sudah robek dan kotor dengan bekas darah.

“Se...Setan! Setan! Pergi!” Aku mencoba berteriak namun suara yang terdengar dari mulutku hanya seperti bisikan.

Akupun menoleh ke arah Tiwi, Farel, dan Raka yang tertidur dengan menutupi wajahnya dengan jaket.

“Bangun Tiwi! Bangun!” aku berusaha menggeRakan badanya dan membuka jaket yang menutupi wajahnya namun yang terlihat adalah wajah pucat Tiwi dengan mata yang terbuka dan darah yang mengucur dari matanya.

“Tiwi!!!” Aku mencoba menyadarkan Tiwi namun tiba-tiba sesuatu yang dingin membasahi wajahku.

***

“Galang bangun! Lu kenapa?!” Terlihat Farel menggenggam sebotol air yang sepertinya ia gunakan untuk membasahi wajahku. Raka juga menghampiriku sepertinya coba menyadarkanku.

“Elu mimpi apaan Lang?” Tanya Tiwi.

“Eng..Enggak, nggak papa... sori” Ucapku yang merasa tidak perlu menceritakan mimpi burukku tadi, dan rupanya kami sudah sampai di tempat peristirahatan di Gringsing sebelum beberapa jam lagi sampai di tempat tujuan kami.

Tiwi mengambilkanku teh hangat sementara Farel dan Raka memesan mie instan untuk kami berempat.
“Jangan ngelamun.. nih minum dulu” Tiwi menyodorkan segelas teh padaku yang masih melamun memikirkan kejadian tadi.

Farel dan Raka bergabung di meja setelah menyelesaikan pesanan dan membawa kopi hangat di tangan mereka. Wajah Raka terlihat cukup lelah, sekarang aku hampir tidak bisa membedakan apakah Raka yang terlihat aneh itu adalah bagian dari mimpiku atau tidak.

Cukup singkat waktu istirahat kami sebelum akhirnya bis berangkat lagi. Kali ini kami berempat terjaga sepanjang perjalanan dan kembali memulai perbincangan tanpa ujung dengan sedikit menahan suara agar tidak mengganggu penumpang lainya.

Beruntung perjalanan setelah ini lancar dan kami tiba di Terminal Boyolali sebelum jam delapan malam.
Beberapa tukang ojek sudah mengerti tujuan kami dan menawarkan untuk mengantarkan kami ke Pos pendakitan Merapi jalur Selo.

Karena kami sangsi dengan keberadaan angkutan umum kesana, akhirnya kami memutuskan menggunakan jasa ojek hingga basecamp pendakian.
Udara dingin mulai terasa saat kami tiba di basecamp pendakian. Samar-samar aku melihat sebuah gunung yang disembunyikan oleh gelapnya malam.

Tidak salah lagi, itu adalah gunung yang selama ini hanya kulihat di gambar kalender warung, dan wallpaper komputer yang kupasang di komputer warnetnya Raka.
Ada cukup banyak orang yang sudah berkumpul disana, Beruntung tukang ojek tadi mengenalkan kami pada Mas Wanto, salah satu petugas disana untuk membantu memberikan arahan pada kami. Tapi berhubung hari sudah terlalu malam, kami memutuskan untuk bermalam dulu di basecamp dan mulai mendaki besok.
Menurut Mas Wanto, pendakian malam tidak direkomendasikan untuk pendaki awam seperti kami.

***

Malam terasa begitu singkat. Kelelahan kami sepanjang perjalanan membuat kami tertidur dengan sangat nyenyak walau hanya lesehan di sebuah ruangan besar bersama pendaki lainya.

Aku terbangun dengan hawa dingin saat matahari mulai manampakan wujudnya. Di Pagi kali ini aku tidak malas untuk membuka mata. Semua itu karena pemandangan gunung Merapi yang sedari tadi sudah mengintip dari sudut jendela.

Semangatku yang berapi-api membawa tubuh ini berlari keluar menyambut pesona 2.910 Meter diatas permukaan laut yang berdiri megah di hadapanku.

Entah berapa lama aku menghabiskan waktuku dengan tersenyum-senyum menikmati pemandangan ini sambil duduk di tangga teras. Sesekali aku menyapa warga lokal yang melintas dan dengan ramahnya menyapaku yang merupakan orang asing bagi mereka.
Sungguh suasana yang tidak akan pernah bisa kutemukan di Ibukota.

“Jangan ngelamun terus, nih gua bikinin kopi” Tiba-tiba Raka yang ternyata sudah bangun menghampiriku dengan membawakan segelas kopi di gelas plastik yang sepertinya ia beli di warung sebelah basecamp.

“Wah udah bangun? Kirain masih pada tidur.. Tengkyu Ka” Ucapku yang dengan senang hati menerima segelas kopi itu.

“Sudah bangun dari tadi sih, anak-anak juga udah tuh.. tapi heran juga gua, betah banget lu nangkring disini?” Tanya Raka.

“Ya.. lu coba aja, justru gua yang heran kalau lu kaga betah” Balasku.

“Mana coba, gua ikutan” Ucap Tiwi yang tiba-tiba duduk di sampingku, sepertinya ia sudah sempat mencuci mukanya sebelum kesini untuk menghilangkan wajah kantuknya.

Ternyata biar bagaimanapun sepertinya Tiwi tetaplah seorang perempuan yang tidak percaya diri memamerkan wajah bangun tidurnya.

Saat ini masing-masing dari kami menggenggam segelas kopi hangat yang dibelikan oleh Raka sambil beberapa kali kami menyapa warga desa dan pendaki yang baru turun sambil menyeruput kopi yang menghangatkan perut kami.

“Itu Merapi yang lu bangga-banggain Lang?” Tanya Farel.

“Iya, keren kan? Nggak setinggi Semeru ataupun Merbabu, tapi Merapi adalah gunung yang paling berpengaruh di pulau jawa.” Jawabku.

“Bener, keren Lang.. puncaknya pasti lebih keren” Tiwi sepertinya terlihat mulai semangat.

“Yang lebih keren sih kali ini gua naik gunung bareng kalian, belum ada momen seasik ini di hidup gua” Jawab Raka.
Aku senang obsesiku ternyata juga bisa dinikmati oleh ketiga teman-temanku.

Terlebih saat melihat wajah Tiwi begitu semangat menuju Puncak Merapi. Bisa jadi senyumnyalah yang nanti memberiku semangat saat kelelahan.
Setelah cukup puas memandangi tujuan kami hari ini, kamipun segera menyelesaikan ‘urusan pagi’ kami dan mengurus perijinan untuk mendaki. Nasi pecel yang dijual di warung makan dekat tempat kami bermalam menjadi modal kami untuk menaklukan gunung teraktif di pulau jawa ini.

“Ikuti jalur yang sudah terbentuk, ada petunjuk juga menuju pos-pos yang harus kalian lewati. Jangan sekali-kali mencoba keluar dari jalur. Kalau bingung, tunggu pendaki yang ada di belakang dan bergabung bersama mereka” Jelas pak Wanto memulai briefing singkatnya.

Ia menjelaskan bahwa jalur pendakian yang memakan waktu enam-sampai tujuh jam, dan pos yang harus kami lalui pos 1, pos 2, Watu Gajah, Pasar Bubrah hingga pendakian ke puncak Merapi. Aku sudah standbay dengan catatanku dan mencatat setiap pesan penting yang harus kami taati.

Setelah mengecek semua perlengkapan kamipun berangkat bersama para pendaki lain yang mulai berangkat. Saat ini aku mengambil posisi paling depan, dilanjutkan dengan Tiwi, Farel dan Raka di belakang.

Seharusnya dari basecamp selo menuju pos satu memakan waktu dua sampai tiga jam namun kami sepakat untuk menikmati perjalanan ini.
“Kalau ada yang capek bilang ya, kita break dulu” Ucapku.

“Belum lang, enak banget udaranya.. padahal siang bolong begini” Balas Tiwi yang tengah menikmati pemandangan perkebunan di perjalanan menuju pos satu.

Walau Tiwi berkata seperti itu, aku tetap menghentikan jalanku untuk sekedar menarik nafas sebentar sambil menikmati pemandangan.

“Kalau disini masih dekat dengan pemukiman ya Lang?” Tanya Farel.
“Emang kenapa Rel?” Tanya Raka yang tepat di belakangnya.

“Suara gamelanya bisa kedengeran sampe sini”
Mendengar perkataan Farel seketik aku dan Raka saling berpandangan.

“Ya udah ayo lanjut, kita belum apa-apa” Aku segera mengajak yang lain melanjutkan perjalanan sebelum Farel membahas lebih jauh apa yang didengarnya.

Sialnya ucapan Farel tadi merubah suasana pendakian siang ini menjadi sedikit aneh.
Semakin jauh kami berjalan pemandangan perkebunan berubah menjadi hutan dengan batu-batu besar yang menghiasi perjalanan kami.

Suasana rimbunnya pepohonan seolah menyembunyikan kesan misterius dari jalur yang kami tapaki. Tanpa terasa, jarak pendaki di depan kamipun semakin jauh hingga kami memutuskan untuk mengatur ritme perjalanan sendiri agar tidak lelah.

***

“Sing tak enteni wis teko...” (Yang kutunggu sudah datang)

***

Di tengah heningnya suasana hutan samar-samar aku mendengar suara wanita dengan tawa kecil dari sekitarku, aku menoleh ke segala penjuru namun tidak ada satupun wanita disini selain Tiwi.

“Kenapa Lang?“ Tanya Tiwi yang merespon reaksiku.

Aku menggeleng, mungkin suara tadi hanya perasaanku saja dan aku mencoba berpikir positif sambil membuka perbincangan kecil dengan yang lainya.

Tak lama setelahnya tanpa kami sadari terasa rintik-rintik hujan kecil mulai turun. Beruntung tidak ada tanda-tanda hujan bertambah deras sehingga kami mengurunkan niat kami untuk mengeluarkan raincoat.

***

“Galang, memangnya Merapi bisa berkabut sore-sore gini?” Tanya Farel tiba-tiba.

Aku melihat sekitar, sedari tadi kami hanya memperhatikan jalan tanpa sadar hutan disekitar kami diselimuti kabut tipis, padahal kami belum mendaki tertalu tinggi.

“Soal ini gua belum tau Rel, tapi mungkin aja..” Balasku yang sebenarnya saat itu juga merasakan keanehan.
Aku mempercepat langkahku berharap bisa menyusul pendaki yang sebelumnya berada di depan kami.

Namun usaha kami sia-sia tanpa menemukan siapapun yang berada di depan. Sebaliknya Tiwi dan Farel meminta break untuk sekedar menarik nafas.

Ada perasaan aneh yang menyelimutiku saat ini. keberadaan kabut-kabut ini seharusnya tidak muncul di siang hari.

Sementara Tiwi dan yang lain beristirahat aku mencoba mendaki batu besar menuju posisi yang lebih tinggi dan mencari keberadaan pendaki lain. Namun tidak ada sedikitpun suara selain kami saat ini.

***

“Kakak yang ini cantik...”
Aku terhenyak mendengar suara itu. Terdengar seperti suara anak kecil yang melintas. aku mencoba mencari wujud dari asal suara itu namun tidak ada satupun petunjuk.

“Kita punya temen lagi...”

“Jangan dulu.. nanti mereka pergi” Suara-suara itu terdengar di sekitarku seolah berlari lari mengelilingi kami. Aku memperhatikan setiap sudut hutan namun tidak ada satupun yang terlihat. Jelas ini sesuatu yang tidak beres.

Bulu kudukku merinding pada saat menatap salah satu pohon kering yang tersembunyi di salah satu sisi hutan, pohon itu tertutup oleh pohon yang lebih subur. Rasa penasaran yang muncul seolah memerintahkanku untuk melihat sisi pohon itu.

Tubuhku gemetar da mendadak lemas saat melihat sesuatu yang ada disana. Kepala anak kecil tanpa badan tergantung diantara dahan-dahan pohon kering itu tanpa kutemukan dimana badanya.

Rambut-rambutnya tergantung pada seutas tali sementara wajahnya penuh dengan luka dan bekas darah.

***

“Khihhihi.. dia melihat kesini tuh”

Saat itu juga jantungku berdegup kencang, makhluk itu sadar aku melihat keberadaanya dan dengan segera aku melompat dari batu tempatku berdiri dan menghampiri teman-temanku.

“Raka, Farel, Tiwi.. Kita lanjut! Jangan lama-lama disini” Teriakku.

“kok tiba-tiba? Ada apaan?” Tanya Farel yang mencoba melihat sekitar kami.

“Nggak ada, udah jalan aja.. biar cepet sampe ke camping ground” Balas Raka yang segera membantu Farel berdiri dari tempatnya Istirahat.

“Bantuin donk Lang” Tiwi menjulurkan tanganya dan memintaku untuk menarik tubuhnya. Aku segera membantunya berdiri dan mengenakan kembali tas Cariernya.

“Makasi lang” Balasnya dengan senyum manis sambil menatap mataku. Aku merasa wajahnya seolah terlihat semakin cantik saat itu. Walaupun sebenarnya cukup tumben aku melihat Tiwi bertingkah semanja ini mungkin saja karna ia sudah mulai lelah.

Perasaan merindingku tidak berubah sama sekali bahkan setelah meninggalkan tempat tadi, Apalagi saat menjelang sore kabut menjadi semakin tebal dan cukup mengganggu pandanganku.

Aneh.. sungguh aneh, semakin kami berjalan aku semakin mendengar suara samar-samar dari berbagai sudut kabut ini. Ada bayangan sekelebat dibalik kabut itu namun tidak berjalan di tanah. Sesuatu yang melayang seperti tersembunyi di belakang kabut itu.

Tidak.. aku tidak bisa menahan lagi, perasaanku sudah benar-benar tidak enak. Aku harus mengatakan ini pada yang lain. Apakah Raka dan Farel juga melihat hal ini atau ini hanya halusinasiku saja.

“Lang.. pelan-pelan lang, capek gua.. ini tas berat banget” Ucap Raka yang memanggilku duluan dengan suara yang mulai kelelahan.

“Lah, tumben biasa lu paling kuat” Tanyaku sambil menoleh ke belakang. Namun yang terlihat dimataku saat ini hampir tidak bisa kupercaya.

Sesuatu memeluk tas Raka dari atas dengan salah satu tangan yang berpegangan dengan erat ke pundak Raka. Itu adalah tangan anak kecil, yang lebih mengerikan, saat aku mendekat aku memastikan bahwa itu hanyalah tubuh jasad anak kecil yang sudah membusuk tanpa kepala.

Seolah mengetahuiku memandanginya, sosok yang menumpangi tubuh Raka itu mengangkat salah satu tanganya dan sebuah kepala tanpa bola mata tergantung di tanganya dan menatap ke arahku.
“Aku ikut...”
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close