Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUKMA GENI (Part 2 END)

Udara dingin merasuk ke dalam tubuhku bersama dengan luka yang telah menghabiskan begitu banyak darah. Hanya perbincangan aneh yang terdengar di telingaku saat ini.


JEJAKMISTERI - “Turun!” teriak Eyang Suratmi entah kepada siapa.
Sepertinya makhluk-makhluk tadi sudah tidak menyerang Eyang.

“Emoh!” seseorang menjawabnya, suaranya seperti seorang kakek-kakek yang bersembunyi dari Eyang Suratmi.

“Aku wis nggoleki kowe ngalor ngidul, teko-teko malah gelayutan koyo ketek!” (Aku sudah mencari kamu kesana kemari, datang-datang malah gelantungan kayak monyet!) Teriak Eyang Suratmi lagi.

“Pokoke Emoh!” (Pokoknya nggak mau) Balas makhluk itu lagi.

Di bayanganku saat itu yang terbayang hanya seorang kakek-kakek yang merajuk tidak berani menemui sosok Eyang Suratmi.

“Nek kowe ora gelem nemoni aku ora popo, aku uwis iso tenang weruh kowe saiki! Nanging kuwi putumu sekarat...” (Kalau kamu tidak mau menemuiku tidak apa, aku sudah bisa tenang setelah melihatmu... tapi itu cucumu sekarat) Teriak Eyang Suratmi dengan nada suara yang benar-benar serius.

Entah apa yang terjadi setelah itu, yang aku tau suara pertengkaran mereka masih terdengar sebelum akhirnya kesadaranku menghilang seutuhnya.

***

Hening.. itu yang kurasakan saat ini. Namun perasaan itu berubah sekejab ketika aku membuka mata. Seketika suara hening tadi mendadak berubah menjadi suara keramaian layaknya berada di sebuah kerumunan di siang hari.

Bukan... suara ramai ini bukan suara manusia. Aku tidak merasa berpindah dari tempatku tadi, namun tempat ini terlihat berbeda. Layaknya sebuah kampung yang dihuni oleh penduduk dari alam lain.

Mataku seolah kabur dengan penglihatan yang menyatu antara alam manusia dan alam tak kasat mata ini. Begitu juga pendengaranku yang sulit membedakan antara suara dari alam manusia dan suara dari alam lain.

“Bimo!!”

Seketika suara Jagad terdengar dengan lantang hingga sesuatu seolah menarikku.
Sekali lagi aku membuka mata, dan kali ini yang terlihat adalah Kang Umar, mas Jagad yang sepertinya sedang merawat lukaku di Rumah Dini.

“Akhirnya..” Ucap Jagad yang terlihat khawatir seolah sedaritadi mencoba memulihkanku.

“Gad.. ini dimana? Eyang dimana? Warga Desa?” Tanyaku yang sangat bingung dengan kondisi saat ini.

“Sudah, kita harus tinggalkan desa ini dulu secepatnya...“ Ucap Mas Jagad yang ternyata sudah membereskan semua barang-barang kami.

“Maksudmu gimana? Warga desa kenapa?” Tanyaku.

“Ini sudah diluar kemampuan kita” Jawab Jagad yang seolah tidak mau menjawabku lebih lanjut.

Aku memaksakan diriku untuk berdiri menghampiri Jagad sembari menahan luka di bahuku untuk meminta penjelasan, namun tanpa sempat berbicara sepatah katapun Jagad malah menarikku menatap ke arah luar jendela dan menyaksikan apa yang terjadi disana.

Tidak seperti keadaan desa sebelumnya, kini banyak warga yang bergelimpangan di jalan dengan tubuh menghitam dan memuntahkan berbagai macam benda. Di sekitarnya terlihat makhluk hitam utusan Mbah Rowo yang mengantarkan semua penyakit itu pada mereka.

“Kita harus tolong mereka Jagad! Walaupun hanya satu nyawa kita harus tolong mereka!” Teriakku memaksa. Namun Kang Umar dan Jagad malah menarik tubuhku dan membawaku keluar melalui pintu belakang rumah.

“Sebagian warga berhasil di evakuasi sama Kang Umar di desa sebelah, keluarga Kang Umar dan Dini juga ada disana... yang bisa kita lakukan sekarang hanya mundur..” Jelas Jagad.

Tepat saat meninggalkan desa tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh Mbah Rowo yang merasa puas dengan semua yang ia lakukan. Aku terbakar emosi saat melihat kejadian itu dimana Mbah Rowo berdiri diatas warga desa yang bergelimpangan di jalan-jalan desa.

Sesekali terlihat Mbah Rowo menginjak kepala warga, dan meludahi orang-orang yang menyiksa dan membunuh keluarganya itu.
Kami menjauh sejauh mungkin dari kegilaan itu, namun samar-samar aku melihat Kang Umar menangis dan meneteskan air mata.

“Tenang kang.. kita akan cari bantuan, akan kita selamatkan mereka” kali ini aku yang mencoba menenangkan Kang Umar, namun tangisan Kang Umar itu seolah menandakan bahwa ia mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui.

“Tidak mas, tidak ada lain waktu... seluruh warga desa yang terkena teluh Mbah Rowo akan mati saat matahari terbit” Balas Kang Umar yang terus berusaha menahan tangisnya namun gagal.
Sontak saat itu juga aku berhenti.

“Maksud Kang Umar, kita sudah tidak mungkin menyelamatkan warga desa itu ?” Tanyaku.

“Ini memang pilihan berat Bimo, tapi ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini” Ucap Jagad.

Tidak ada yang salah dalam ucapan Jagad. Tujuan utamanya adalah keselamatan kami dan warga yang masih bisa diselamatkan. Tapi perasaanku tidak bisa berbohong. Ada sesuatu yang mengganjal, yang tidak membiarkanku meninggalkan warga desa mati disana.

Aku menatap Jagad dan Kang Umar.
“Bimo kamu jangan gila!” Teriak Jagad yang sudah membaca maksudku.

“Ada satu cara gad, seandainya ini berhasil aku bisa menyelamatkan mereka semua” Ucapku.

“Apa maksudmu? Nggak akan aku biarkan kamu bertaruh sendiri” Balas Jagad.

Aku mengambil sebuah benda dari tas kainku. Sebuah benda yang terlilit kain lusuh untuk menjaganya dari benturan.

“Keris Sukma Geni?” Tanya Jagad.
Aku mengangguk.

“Kalau keris ini memang memiliki takdir tersendiri hingga di wariskan kepadaku, harusnya sekaranglah saatnya... tidak ada artinya pusaka ini diturunkan kepadaku apabila tidak untuk menolong mereka yang membutuhkan kekuatanya..“ Ucapku dengan menggenggam keras pusaka warisan keluargaku itu.

“Baik, aku temani..” Ucap Jagad.

Aku menahan Jagad yang berusaha mendekat ke arahku. Jelas aku ragu untuk bisa menggunakan kekuatan keris ini. Saat ini keselamatan Jagad dan umar jangan sampai dipertaruhkan.

“Tidak mas, antarkan Kang Umar dan cari bantuan... itu cara terbaik saat ini” Ucapku.

Melihat kebulatan tekadku kang Jagad seolah mengerti. Namun aku merasakan bahwa Jagad memiliki rencana lain.
Kamipun berpisah dan aku kembali ke Desa Randugiri yang sudah seperti desa mati dan dihiasi dengan suara-suara warga yang kesakitan.

“Mas... tolong mas...” Suara itu terdengar dari seorang laki-laki tua yang tergeletak di pelataran rumahnya. Tubuhnya membentuk corak aneh seperti membusuk di beberapa bagian saja. Matanya yang menguning menatapku dengan memelas.

Aku mendekat dan membacakan doa untuk memulihkan keadaanya. Namun sama seperti bapak asih, kutukan ini tidak akan pulih sampai aku bisa mengalahkan Mbah Rowo yang merupakan empu dari teluh ini.

“Ngapunten yo pak, akan saya selesaikan ini semua...” Ucapku yang segera berdiri dengan berat hati meninggalkan pria yang masih merasa kesakitan itu.

Aku menelusuri kampung dan terhenti di sebuah rumah tua yang sudah hancur. Sebuah rumah dengan tembok anyaman bambu dengan pondasi bambu yang sudah lama rusak.
Ada perasaan yang mengerikan saat aku melewati rumah ini.

Aku mencoba mengintip ke pintu bangunan yang tidak tertutup itu. Ada sedikit cahaya dari lampu minyak yang menerangi ruangan di bangunan itu.

“T...Tolong” Suara memelas terdengar dari dalam bangunan itu. Awalnya aku menduga itu adalah suara korban serupa dari warga desa. Namun ternyata aku salah.
Tepat di dalam ruangan itu terlihat sosok salah seorang roh warga desa yang menjadi rebutan diantara makhluk-makhluk hitam.

Mereka menggigiti tubuh roh itu, mencakar, dan menarik memperebutkan roh itu seolah akan terbagi menjadi beberapa bagian.
Entah apa yang terjadi disana, seolah roh itu adalah tumbal yang diberikan kepada makhluk itu untuk diperlakukan seenaknya oleh setan-setan itu.

Aku tidak lagi mampu menahan amarahku. Saat itu juga aku membacakan ajian Muksa Pangreksa, melindungi diriku dari niat jahat dari makhluk ini dan membacakan amalan api untuk membakar habis makhluk-makhluk di dalam bangunan itu.

Sayangnya di tengah seranganku sudah muncul seseorang yang merupakan asal-muasal dari semua petaka ini.
Mbah Rowo.. Ia keluar dengan membawa kepala salah seorang warga desa yang rohnya sedang dipermainkan oleh setan-setan tadi.

Menyambut kedatanganku, ia melemparkan kepala itu ke arahku hingga menggelinding tepat di depan kakiku.
Saat menoleh ke bawah, aku terjatuh... kepala itu tidak dalam kondisi utuh. Matanya sudah bolong dengan bekas darah yang sudah mengering terlihat dari setuap lubangnya.

“Biadab kau!” Teriakku.

“Biadab? Dia yang telah memperkosa satu-satunya anakku yang tidak bersalah...” Ucap Mbah Rowo.

“Lalu, kamu puas dengan melakukan hal ini?” Tanyaku.

“Kau sudah tahu jawabanya, tidak akan ada yang terpuaskan oleh dendam...“ Ucap Mbah Rowo dengan tertawa, ia sudah termakan oleh nafsunya dan menjual jiwanya pada setan.

Aku sudah tidak mau berpanjang lebar lagi, berkali-kali aku membacakan amalan api, mencoba menenangkan makhluk-makhluk di sekitarku satu demi satu, entah tanpa tahu apa itu semua akan berarti.

Mbah Rowo hanya terus tertawa terkekeh melihatku yang masuk ke dalam bangunan tua itu sementara setan-setan suruhanya berkali-kali mencoba menyerangku entah dengan cakaran, gigitan, hingga berkali kali kekuatan hitam memberikan rasa panas di kulitku.

Tanpa sadar aku sudah tidak lagi dapat merasakan apapun dari kakiku yang telah menghitam, tak sedikit darah menetes dari luka-luka yang ada di tubuhku. Namun aku tidak pernah berhenti memohon perlindungan pada Yang Maha Pencipta atas semua hal yang aku terima ini.

Apapun yang terjadi pada diriku aku sudah tidak peduli, aku hanya berkali-kali membacakan mantra pembakar yang sekiranya bisa mengurangi jumlah makhluk-makhluk ini.

Saat itu yang terdengar di desa Randugiri hanyalah bacaan doa dan ayat-ayat suci yang terus kulantunkan untuk mengusir setan-setan ini.
Sampai di akhir kesadaranku aku mencoba kemungkinan terakhir untuk menggoreskan jariku pada keris pusaka sukmageni yang diwariskan kepadaku.

Kali ini aku merasakan ada sebuah kekuatan aneh yang mengalir ke keris ini. Sebuah rasa hangat seolah menyatu dengan genggamanku. Aku pikir ini akan berhasil, namun tidak... aku terjatuh dengan tubuh yang sudah dipenuhi oleh kutukan dari makhluk ini.

“Bocah brengsek! Apa yang sudah kamu lakukan?!” Ucap Mbah Rowo yang terlihat heran dengan keadaan sekitar. Sesuatu membuatnya terlihat begitu kesal..

Aku tidak sadar dengan apa yang terjadi. Rupanya dari ratusan doa dan ayat suci yang aku lafalkan hingga kondisiku seperti ini, semua itu berhasil menghabisi dan mengusir seluruh sosok setan pengikut Mbah Rowo yang sebelumnya memenuhi desa ini.

“Sedikit lagi...” Ucapku yang memaksakan diri untuk berdiri menghadapi satu-satunya musuh yang terlihat di hadapanku.

“Kau sudah pasti mati, aku tidak punya waktu meladenimu” Ucap Mbah Rowo yang lebih memilih meninggalkan bangunan dan keluar ke arah belakang dibanding melawanku.

“Jangan Kabur !” Teriakku

“Tanpa bertarungpun kalian tetap akan mati saat matahari terbit” Ucap Mbah Rowo.

“Tidak akan kubiarkan! Kali ini tidak akan kubiarkan” Ucapku yang sudah muak dengan semua kelemahanku.

Seandainya hidupku harus padam setidaknya ada api yang tidak akan kubiarkan padam.
Api dalam sukma yang terus memperjuangkan kebajikan, Api dalam sukma yang terus menuntun ke jalan yang lurus, dan api yang akan membakar dendam dan membawa ketenangan di dalam sukma..” Ucapku yang seolah memahami sesuatu dari hangatnya keris sukma geni yang berada di genggamanku.

Tepat saat aku membulatkan tekad, tetesan darahku di keris sukmageni menyala, aku menyentuhnya dan tubuhku seperti terbakar oleh api yang terasa hangat.
Saat itu juga semua kutukan dan luka yang disebabkan oleh setan-setan tadi musnah.

Tidak hanya itu amarahkupun perlahan mereda. Api ini tidak terasa panas, sebaliknya bagian tubuhku yang terbakar terasa begitu hangat.

“Inikah kekuatan keris sukmageni?” Pikirku saat itu.

Menyadari hal itu aku segera menghampiri sosok kepala seseorang yang dijadikan tumbal oleh Mbah Rowo.

Aku melakukan hal serupa dengan meneteskan darahku yang menyala di bilah keris sukma geni dengan harap api ini mampu memutus ilmu hitam yang dirapalkan dengan perantara tumbal ini.

Tepat sesuai dugaanku, kepala dari seseorang yang dijadikan tumbal ini adalah kunci perjanjian antara Mbah Rowo dan setan-setan yang mengikutinya saat ini.

Terbukti tepat saat kepala tumbal itu terbakar, sosok roh yang menjadi bulan-bulanan setan itu dikelilingi oleh api dan tidak lagi bisa didekati oleh setan-setan itu.
Aku menyadari suara-suara warga desa yang kesakitan di seluruh penjuru desa perlahan mulai hilang.

Semoga saja dengan terputusnya perjanjian Mbah Rowo dengan makhluk hitam itu, warga desa benar-benar bisa terlepas dari teluh yang disebarkan oleh Mbah Rowo.
Menyadari kondisi tubuhku yang mulai pulih aku memutuskan untuk mengejar Mbah Rowo sebelum ia berbuat yang lebih jauh lagi.

Sekali lagi aku berlari ke dalam hutan itu. Hutan dimana terdapan sisa-sisa bangunan desa yang tidak terawat yang sebelumnya dihuni oleh setan-setan pengikut Mbah Rowo.

Mbah Rowo terlihat berdiri di tengah bangunan itu seolah terburu-buru menyiapakan sesuatu di baskom tanah liat di hadapanya. Bau kemenyan dan kembang yang bertaburan menghiasi ritual yang ia lakukan.

Aku bersiap menghentikan ritual apapun yang ia lakukan. Entah apapun itu pasti ia memiliki niat jahat di setiap mantra yang ia bacakan.
Sayangnya saat aku mendekat Mbah Rowo segera mengambil tumpukan kembang di hadapanya dan memakanya.

Saat itu juga seseuatu seperti merasuki tubuhku dan menghentikan gerakanku.
Sekali lagi Mbah Rowo membacakan mantra dan memakan kembang yang ada di hadapanya. Kini sama seperti sebelumnya darah kembali mengucur dari mataku dan hidungku.

Rasa sakit kembali menjalar ke seluruh tubuhku, namun tepat sebelum kehilangan kesadaran terdengar suara yang membisik ke telingaku.

“Tahan sedikit lagi Bimo...” Itu adalah suara Nyai Suratmi yang tiba-tiba muncul dari belakangku.

“Kerahkan semua ilmu yang telah kau pelajari, bukan soal mantra atau ajian.. tapi soal keyakinanmu akan perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan Kemampuanmu untuk menahan setiap cobaan yang dipercayakan kepadamu” Mendengar ucapan itu aku tidak lagi menggantungkan nyawaku pada ilmu yang kupelajari. Hanya doa dan doa yang kupanjatkan kepada Yang Maha Pencipta pelindung dari semua makhluklah tempatku menggantungkan nyawaku saat ini.

Perlahan demi perlahan, seperti yang diucapkan Eyang Suratmi rasa sakit inipun menghilang. Terlihat setiap ritual yang dilakukan oleh Mbah Rowo tidak berhasil menorehkan sedikitpun lagi luka di tubuhku. Sesuatu telah terjadi..

Sebelum aku mencari tahu, tak jauh dari hadapan Mbah Rowo terjatuh sesosok makhluk besar.
Seekor ular besar raksasa yang telah terpotong menjadi beberapa bagian dengan mengenaskan. Terlihat tubuhnya dihiasi dengan perhiasan kerajaan dan pakaian yang mewah.

“Nyi... Nyi Rundolo!” Ucap Mbah Rowo panik.

“khe...khe... khe.... Demit coro didadeke sesembahan, opo Gusti isih kurang perkasa” (Demit lemah dijadikan sesembahan, apa Tuhan masih kurang perkasa) Ucap sosok dengan suara seperti kakek tua yang berusaha mengambil jarak cukup jauh dari tempat ini. Namun aku bisa memastikan bahwa dialah yang menghabisi sosok siluman ular besar yang menjadi asal muasal kekuatan hitam Mbah Rowo.

Mbah Rowo menghardik semua benda ritualnya dan menghampiri sosok siluman yang sudah tidak bergerak itu.

“Nyi.. Nyi Rundolo! Kenapa jadi seperti ini?! Kau sudah berjanji memberikan ilmu untuk membalaskan dendamku!” Ucapnya dengan penuh amarah.

“Khekhekeh... Ngomong karo bangkai kewan, ono sing luwih edan seko aku yo mi?” (Bicara dengan bangkai hewan, ada yang lebih gila dari aku ya mi) Ucap demit kakek tua yang mencoba meledek Mbah Rowo.

“Ini tidak adil! Harus ada yang membalaskan dendamku ke seluruh warga desa!”

Kali ini Mbah Rowo menangis dengan putus asa, walaupun sudah membunuh orang yang menghabisi anaknya dendamnya masih belum terpuaskan. Iapun menoleh ke arah bangkai ular besar itu dan merencanakan sesuatu.

“Aku tidak peduli! Aku akan menjual jiwaku pada siapapun yang bisa membantu membalaskan dendamku”

Tepat setelah ucapanya itu tiba-tiba Mbah Rowo kembali menghilang ke dalam kegelapan hutan mencoba untuk melarikan diri.

Aku mencoba mengejarnya namun tiba-tiba Mbah Rowo terpental oleh sesuatu dari kegelapan hutan.

“Enak wae arep kabur!” (enak saja mau kabur)
Aku tahu, itu adalah suara Jagad. Kali ini ia muncul dari sebuah tempat yang terhubung dengan alam roh bersama seseorang yang ia papah.

“Jagad! Itu Mas Tri kan? kamu berhasil nolong dia?” Ucapku merasa senang.

“Aku yo nggak mau kalah dari kamu, sebelumnya aku gagal mencari keberadaan Mas Tri yang akan jadi tumbal cadangan Mbah Rowo... tapi saat melihat kamu nggak nyerah ya aku malu sendiri” Jelas Jagad.

“Sudah Mbah Rowo.. kamu sudah tidak ada harapan. Menyerah saja” Ucap Jagad.
Kali ini tidak ada perlawanan sama sekali dari Mbah Rowo, iya tidak mengumpat seperti sebelumnya. Kali ini ia hanya menangis dan terus menangis.

Kami tidak melakukan apapun, namun lambat laun tubuh Mbah Rowo seperti kehilangan kekuatan hingga untuk berdiripun terlihat sulit.

“Bimo, kamu tahu bahwa ada sosok manusia yang tubuhnya telah benar-benar mati, namun sesuatu dari dalam rohnya membuatnya tetap hidup dengan bantuan dari setan-setan yang memanfaatkanya?” Ucap Nyai suratmi.

Aku menggeleng, namun aku mengerti kejadian mengerikan yang dialami Mbah Rowo inilah yang dimaksud oleh Nyai Suratmi.

Dengan mata kepalaku, aku dan Jagad menyaksikan sendiri bagaimana seorang Mbah Rowo yang hampir membuatku dan Jagad hampir mati berkali-kali tubuhnya mengurus hingga hanya tulang di tubuhnya yang terlihat. Matanya terus melotot seolah tidak terima dengan apa yang telah terjadi.

Satu yang kutahu dibalik semua proses kematianya, Mbah Rowo merasakan kesakitan yang amat sangat namun tubuhnya sudah sama sekali tidak dapat menampung rasa sakit yang ia terima dari perbuatan yang iya lakukan sendiri.

Itu hanya yang terlihat, kita tidak pernah tau seberapa besar bayaran yang harus dia terima setelah perbuatanya kepada warga desa.

***

Tak lama setelahnya cahaya matahari mulai masuk dari tengah-tengah celah pepohonan. Jagad terduduk di tanah berusaha mengatur nafasnya sementara dari jauh terdengar suara langkah kaki dan seseorang yang memanggilku.

“Mas Bimo! Mas Jagad! Warga desa selamat!” Itu adalah suara Kang Umar yang tersengal-sengal yang berlari secepat mungkin untuk memberi tahu keadaanya kepada kami.

Sayangnya, aku tidak memiliki tenaga lagi untuk menjawab dan memilih untuk jatuh terbaring di dinginya rerumputan hutan yang seketika menjadi indah dengan sinaran cahaya mentari pagi ini.

“Cucu eyang memang hebat.. istirahatlah! Masih ada satu perjalanan lagi”

Suara Eyang Suratmi terdengar mengantarkanku ke tidur lelap di pagi yang indah itu.

***

“Mas Bimo mau kemana to? Baru saja sembuh..” Ucap Asih yang menghadangku di dekat pintu masuk gerbang desa.

“Hehe... mau menapaki jalan menjadi pendekar” jawabku setengah iseng sekedar untuk tidak membuat Asih khawatir.

“Ya sudah, jadi pendekarnya jangan lama-lama.. nanti yang ngicipin masakan Asih siapa?” Balasnya.

“Tenang Asih, kakanda cuma mau beli telenan di depan desa. Yang di rumah pecah... Perginya nanti siang naik pit ontel.. capek kalau jalan kaki”

Ledekku pada asih yang sudah terlalu mendramatisir kepergianku.
Aku memang sudah pamit sama bapak untuk pergi sehari semalam sesuai petunjuk Nyai Suratmi dan karena kepergianku tidak selama mas Bisma, bapak dengan santainya memberiku ijin.

“Eadalah... yowis sebelum pergi mampir rumah asih dulu. Asih masak sayur asem” Balas Asih.
Jelas aku mengiyakan perkataan asih, tidak ada perjalanan yang lebih penting daripada mampir ke rumah asih untuk mencicipi masakanya.

Setidaknya seandainya terjadi apa-apa selama perjalananku, aku tidak akan menyesal telah melewatkan masakan Asih.

***

Tepat saat matahari bersinar di atas kepala, dan perut sudah kenyang terisi sayur asem buatan asih aku segera berpamitan dan mengayuh sepedaku menuju sebuah tempat yang ditunjukkan oleh Nyai Suratmi.
Sebuah tempat yang bernama.. Delik Kulon.

Entah mengapa dinamakan seperti itu, mungkin karena tempatnya sedikit tersembunyi.
Tempat ini berlokasi di antara empat penjuru hutan dengan empat jenis tumbuhan yang berbeda. Tempat yang asri, namun aku menebak bahwa di malam hari tempat ini akan berubah menjadi mencekam.

Di bawah rimbunya dedaunan samar-samar aku melihat bayangan Nyai Suratmi yang tengah menunggu dan memandang ke beberapa arah.

“Dia disini eyang...?” Tanyaku.
Yang kumaksud adalah suami Eyang Suratmi yang selama ini ia cari. Eyangpun mengangguk mengiyakan.

“Dia belum mau bertemu eyang?” Tanyaku lagi.
Eyang menggeleng.

“Tapi eyang mengerti, kami sudah ratusan tahun tidak bertemu mungkin kami sama-sama malu, atau mungkin...”

“Mungkin apa eyang?” Tanyaku yang menegaskan keraguan Eyang Suratmi namun eyang hanya menggeleng.

“Sudah sudah... ini adalah perjalanan terakhir eyang. Eyang tidak mau merepotkan cucu-cucu eyang lebih lama lagi” ucap Uyang suratmi.
Aku melihat ke mata Eyang Suratmi. Itu adalah tatapan mata yang ikhlas.

Ia tahu dengan jelas alasan kekasihnya itu tidak ingin menemuinya. Namun tetap saja.. pasti masih ada yang mengganjal di hatinya.

“Mungkin ini adalah tugas terakhirmu... tolong tangkap Eyang Dayu dan bawa kesini” Ucap Eyang Suratmi.

Aku sedikit tertawa mendengar permintaan Eyang Suratmi. Sebuah permintaan yang aneh dari seorang istri, seolah suaminya adalah anak nakal yang harus dijewer dan dimarahi olehnya. Namun aku tahu... ini bukanlah perkara mudah.

“Serahkan padaku eyang...” Ucapku.

Eyang Suratmi tersenyum. ”Jangan remehkan eyang leluhurmu itu, biar bagaimanapun dia juga seorang patih”
Aku sedikit menenangkan sukmaku berusaha berkonsentrasi mendengar suara-suara di sekitarku.

Sedikit-sedikit aku mulai mengenali suara pepohonan dan pergerakan hewan hutan hingga aku menyadari ada pergerakan aneh yang sedikit menggores batas alam di hutan itu.

“Disitu!” Aku segera berlari ke arah salah satu pohon besar. Sesosok bayangan terlihat bergegas meninggalkan tempat yang aku tuju. Sangat cepat...
Aku mengulang hal serupa dan terus mengejar ke arah bayangan itu, namun semuanya nihil.

“Tidak mudah kan?” ledek Eyang Suratmi.

“Akan lebih mudah kalau saya bisa bergerak selincah kera eyang” Jawabku.

“Terus kamu menyerah?” Tanya Eyang Suratmi.
Aku tidak menjawab dan terus mencari cara untuk mengejar bayangan itu hingga nafasku hampir habis.

“Eyang Dayu! Kenapa harus kabur! Nanti Eyang Dayu yang akan menyesal kalau Eyang Suratmi sudah tenang!” Teriakku mencoba bernegosiasi.

Tidak ada sedikitpun jawaban yang ku dengar, namum dari jauh aku melihat sosok bayangan kakek itu juga sedang menahan bimbang dengan perilakunya.

“Kakekmu itu dikutuk oleh sebuah Ajian yang membuatnya berubah menjadi demit, saat kutukan itu kumat dia tidak mengenali orang dekatnya dan bisa mencelakainya” Jelas Nyai Suratmi.

“Jadi itu alasan Eyang meninggalkan keluarganya?” Tanyaku.
Eyang Suratmi mengangguk.

“Tapi perjalanan denganmu membuka mata eyang bahwa tidak sekalipun Eyang Dayu meninggalkan keluarganya..
Eyang tersadar saat setan anak buah Mbah Rowo mencoba menyakiti eyang, Eyang Dayu muncul tiba-tiba untuk menolong eyang...
Dan satu lagi...
Kakakmu Bisma, telah berhasil mendapatkan kekuatan dari pusaka yang diwariskan kepadanya.. Keris Ragasukma.
Eyangmu menghabiskan hidupnya untuk menciptakan mantra leluhur untuk melindungi keturunan-keturunanya. Kata Eyang Dayu :
Jangan sampai hanya kebodohan dan kegilaanku saja yang kuturunkan pada cucu-cucuku. Biar mereka tahu bahwa leluhur mereka bukan Cuma kakek gila yang doyan makan...”

Eyang Suratmi menceritakan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Di balik tingkah laku Eyang Dayu yang seenaknya, Eyang Suratmi masih sangat mengaguminya dari hati yang terdalam.

“Eyang... Bimo nggak mau nyerah” Ucapku.

Tanpa menunggu respon dari Eyang Suratmi aku segera mengambil sepeda ontelku dan meninggalkan Eyang Suratmi di tempat itu bersama Eyang Dayu yang masih enggan untuk mendekatinya.

Saat itu langit memerah dengan begitu indah seolah menggambarkan kisah Eyang Suratmi dan Eyang Dayu yang tidak cerah namun juga tidak kelam.
Di hati mereka masing-masing mereka mengetahui betapa indahnya perasaan kekasihnya itu tanpa ragu sedikitpun.

Saat ini aku hanya perlu mengisi sedikit rasa yang memang sudah sangat kuat itu agar tidak ada penyesalan diantara mereka berdua.

“Eyang.. aku kembali!” Teriakku.

Entah sudah pukul berapa saat itu, namun bulan purnama bersinar dengan terang di tengah-tengah Delik Kulon yang merupakan titik pertemuan dari keempat hutan.

“Apa itu Bimo?” Tanya Eyang Suratmi yang bingung dengan bungkusan kain besar yang kubawa.

Aku berlari ke dalam hutan, bukan untuk mengejar Eyang Dayu melainkan untuk mencari beberapa kayu kering yang kukumpulkan di tengah tanah yang lapang.
Dengan sedikit tersenyum aku membangun sebuah perapian dengan panci yag barusan kuambil dari rumah.

“Sayur asem eyang... buatanya Asih, ini resep eyang kan?” Ucapku yang mulai menghangatkan sayuran buatan asih itu.
Aku mengipaskan masakan asih agar tercium hingga ke seluruh penjuru hutan. Samar-samar aku melihat bayangan dayu yang melirik ke arah masakan ini.

“Heh kamu tau kan Bimo, demit nggak makan ginian?” Ucap Eyang Suratmi.

“Demit biasa emang nggak eyang, kalau demit yang satu itu siapa tau kan?” Ucapku sambil sedikit tertawa.

Entah aku tidak tahu ini akan berhasil atau tidak, namun malam itu aku habiskan dengan menikmati sayur asem buatan Asih tentunya dengan resep turun-temurun dari Eyang Suratmi sambil sesekali meledek Eyang Dayu yang malu-malu tapi terlihat sangat ingin menghampiri tempat ini.

Sayangnya sampai aku kenyang Eyang Dayupun tetap pada pendirianya. Aku dan Eyang Suratmi sudah pasrah. Setidaknya perbincangan kami berdua tadi sudah cukup bisa mengobati rindu Eyang Suratmi pada Eyang Dayu.

Tanpa membereskan sisa makananku akupun memilih untuk tidur dibawah sinar rembulan dan berselimutkan kisah indah dari leluhurku ini.

"Klang..."
Terdengar samar-samar suara panci yang tersenggol, di tengah kantukku aku memaksakan untuk membuka mata. Entah ini ilusi atau bukan.

Jauh dihadapanku terlihat sepasang laki-laki dan perempuan. Aku tahu bahwa yang perempuan adalah Eyang Suratmi. Namun disebelahnya bukanlah demit kakek tua, melainkan seorang patih yang gagah mengenakan kalung emas khas prajurit yang sebelumnya selalu dikenakan Eyang Suratmi.

Tidak ada tangis dan tawa disana, hanya gerak gerik konyol seorang pria yang selalu dibalas dengan tawa manis Eyang Suratmi.
Ah... seandainya aku bisa memilih kisah cinta. Mungkin kisah cinta merekalah yang ingin kualami.

***

Aku terbangun di dengan dinginya pagi yang berkabut di Delik Kulon. Sosok Eyang Suratmi tidak lagi berada di sekitarku. Keberadaanya sudah tidak lagi terasa terikat denganku seperti sebelumnya.

Hanya pusaka kalung emas prajurit kerajaanlah yang berada di sampingku saat terbangun.
Bibirku menyimpulkan sebuah senyum sambil membacakan doa untuk menghantarkan kepergian Eyang Suratmi yang sepertinya telah memenuhi tujuanya.

Sepanjang perjalanan aku mengayuh sepeda ontelku berusaha untuk terus mengingat kejadian semalam. Di satu sisi aku penasaran, apakah aku bisa bertemu dengan Eyang Dayu lagi?

Apakah benar pusaka yang diwariskan ke Mas Bisma bisa menghubungkanku dengan leluhur-leluhurku yang sangat kukagumi ini?

Mungkin perjalananku masih cukup panjang. Toh saat ini aku hanya seorang anak yang bahkan masih ketakutan menghadapi roh-roh penasaran yang mengancam orang terdekatku..

“Mas Bimo! Kalau naik sepeda jangan ngelamun!” Teriak seorang wanita yang menyambutku dari depan rumahnya saat memasuki desa.
Itu Asih.. sekali lagi ia berhasil memecahkan lamunanku dan menggantinya dengan pagi yang berwarna.

Entah roh apa yang merasukiku saat itu. dinginya udara pagi membuatku berpikir pendek, namun aku tidak pernah menyesali perkataanku saat itu.

“Asih... Aku boleh jadi suamimu?”

-TAMAT-

*****
Sebelumnya
close