Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUKMA GENI (Part 1)

Sebuah cerita pendek yang banyak ditanyakan oleh pembaca #jagadsegorodemit mengenai perjalanan seorang pemuda sebut saja namanya Bimo Sambara bersama nyai suratmi untuk mencari keberadaan Widarpa.


JEJAKMISTERI - Sebuah wabah aneh menyerang desa yang mencelakai ayah dari orang yang penting bagi Bimo. Rimbunya dedaunan menutupi jalan setapak menuju ke tengah pedalaman hutan yang diselimuti oleh kegelapan.

“Bimo, sini obornya..” Pinta Mas Bisma yang segera berjalan mendahuluiku masuk ke dalam semak dedaunan itu.

“Hati-hati mas, katanya makhluk itu bersarang di sini...” Aku mencoba memperingatkan Mas Bisma yang hanya dibalas dengan anggukan.

Kami berjalan dengan hati-hati melalui jalan menurun yang dipenuhi bebatuan yang cukup licin. Disekitar kami hanya terlihat pepohonan lebat dengan berbagai tanaman setinggi tubuh kami.

“Kuwi to tempate?” (Itu ya tempatnya?) Tanya Mas Bisma.

“Iyo ketoke mas, enek batu sing ditumpuk ing duwur lemah.” (Kayaknya bener mas... ada batu yang ditumpuk diatas tanah)

Tepat pada saat kami mendekati tumpukan batu itu suara tawa melengking terdengar menggema ke seluruh hutan.

“Hati-hati Mo.. dia disini!” Ucap Mas Bisma yang juga merasakan adanya sosok makhluk yang mendekat ke arah kami.

Jauh dari dalam kegelapan hutan samar-samar terlihat oleh kami sosok makhluk berwujud wanita dengan daster merah panjang yang sudah bercampur dengan darah.

Wajahnya terlihat tertawa namun tatapan matanya tak mampu berbohong, Ia berniat mencelakai kami.
Seketika itu juga lampu oborku mati dan suasana hutan terasa menjadi mencekam.

“Mbak, kami nggak berniat nyakitin...” Ucapku dengan polosnya.

Tak lama setelahnya tubuhku mendadak tidak bisa bergerak. Aku tidak lagi melihat sosok wanita itu dan segera menyadari bahwa sosok itu mencoba merasukiku.

Mas Bisma segera mendudukanku di tanah dan membacakan doa yang sering diajarkan pada kami untuk mengusir sosok itu dari tubuhku.

“Opo karepe kowe ning alas iki...” (Apa maumu di hutan ini?) Ucapku diluar kesadaranku, sementara Mas Bisma masih mencoba menolongku.

“Mbak, kami hanya ingin mencoba menenangkan mbaknya... biar mbak nggak usah gentayangan di desa lagi” Jawab Mas Bisma.

“Opo urusanmu? Aku ra bakal tenang nek uwong sing mateni aku durung mati!” (Apa urusanmu? Aku tidak akan tenang kalau yang membunuhku belum mati!) Balasnya.

“Wis tenango ya mbak.. orang itu sudah ditangkap polisi, biar dia dihukum sepantasnya... Mbaknya sing tenang, kalau begini seolah-olah mbaknya yang terhukum sama dendam” Balas Mas Bisma.

Roh wanita itu terdiam, sepertinya doa dan kata-kata Mas Bisma mulai diterima oleh makhluk itu.

“Aku ora nduwe sopo-sopo sing dongake aku!” (Aku tidak punya siapa-siapa yang mendoakan aku) Ucap roh itu melalui tubuhku.

Mas Bisma menarik nafas lega, ketika suatu roh sudah mulai menyampaikan kegelisahanya berarti kami selangkah lebih maju untuk bisa menenangkanya.

“Kami yang akan mendoakan, dan memakamkan kembali jasad mbak dengan layak” Jawab Mas Bisma. “Kami Janji”

Aku merasakan hawa tenang dari dalam tubuhku. Mas Bisma membacakan doa dengan lebih khusuk sementara aku mengikutinya dalam hati berharap roh ini bisa segera tenang dan keluar dari tubuhku.

“Sakdurunge aku lungo, aku njaluk gendang goreng sing anget“ (Sebelum aku pergi, aku minta pisang goreng yang hangat) Ucapku dengan suara menggeram.

Sontak Mas Bisma memukul kepalaku menanggapi keisenganku.

“Bisa-bisanya becanda di kondisi kaya begini” Balas Mas Bisma.

Aku tertawa, memang ucapan tadi hanya keisenganku saja saat sadar bahwa roh wanita itu sudah tenang dan meninggalkan tubuhku. Sayangnya, ternyata Mas Bisma tidak mudah dikelabuhi.

“Ngapunten mas.. biar nggak tegang” Balasku dengan santai.

Saat mengetahui suasana kembali tenang, aku kembali menyalakan oborku dan menghampiri tumpukan batu tadi. Di sinilah jasad makhluk itu dikuburkan oleh pembunuhnya.

Kami menyiramkan air dan menaburkan bunga pada tanah itu dan membacakan doa untuk menenangkan roh perempuan yang terkubur di tanah ini. Tak lupa kami meninggalkan penanda untuk menandai bahwa ada sebuah kuburan yang berada di tempat ini.

“Piye Bimo, kowe uwis iso nganggo keris pusaka kuwi?” (Gimana Bim? Kamu sudah bisa memakai keris pusaka itu?) Tanya Mas Bisma di tengah perjalanan pulang kami.

“Halah mbuh mas, diwariskan pusaka keris, tapi nggak boleh ternodai darah orang lain... terus fungsinya untuk apa?” Jawabku.

“Lha iya.. aneh juga, keris benda tajam kok nggak boleh kena darah. Apa namanya? keris Sukmageni?” Tanya Mas Bisma lagi.

“Iya mas... Mas Bisma sendiri gimana? Katanya mau diwariskan pusaka juga?” Tanyaku.

“Iyo.. tapi katanya dapetinya susah, makanya besok tak tinggal dulu agak lama... disuruh nemuin eyang dulu” Balas Mas Bisma.

“Iyo mas, hati-hati ya.. mudah-mudahan diajarin juga cara pakai pusakanya, biar nggak kaya aku” Balasku.

Sebelum kami kembali ke rumah, kami mampir ke rumah kepala desa untuk menginformasikan kejadian tadi. Setelah ini warga desa sudah tidak perlu takut lagi akan kemunculan sosok hantu wanita yang sering bergentayangan dan merasuki warga.

***

Pagi hari ini berlalu seperti pagi biasanya. Hanya saja kali ini aku mengayuh sepeda ontelku memboncengkan Mas Bisma ke stasiun untuk menemui eyang-eyang kami seperti yang dipetunjukan padanya.

“Matursuwun yo Mo, tak tinggal dulu. Kalau ada masalah jangan nekad, nunggu mas aja” Ucap Mas Bisma.

“Tenang Mas, aman...” balasku sambil membantu menaikan perlengkapan Mas Bisma ke dalam kereta.

Setelah keberangkatan Mas Bisma aku kembali ke desa sambil sesekali menikmati pemandangan sepanjang perjalanan.

“Mas Bimo! Sini!” Ucap seorang perempuan yang memanggilku dari dalam rumah tepat di dekat pintu masuk desa.

Dia adalah Asih, salah satu perempuan yang cukup dekat denganku. Mungkin Asih tidak secantik kembang desa yang lainya, namun entah mengapa aku merasa nyaman ketika dekat denganya.

“Ono opo dek...” (Ada apa dik?) Ucapku yang segera turun dari sepeda dan menghampirinya ke rumah.

“Ini mas, Coba dicicipin..” Ucap Asih sambil mengeluarkan semangkok kecil kolak pisang hangat yang baru saja ia masak.
Aku mengambil sendok dan menyeruput kolak pisang buatan Asih.

“Piye mas? Enak ra?” (Gimana mas? bisa nggak) Tanya Asih.

“Mbuh dek, belum kerasa.. coba semangkok lagi” Ucapku dengan wajah yang masi bingung. Asih kembali ke dapur dan membawa semangkuk lagi kolak pisang kepadaku.

“Ini mas? gimana? Enak gak.. takutnya nanti bapak nggak suka” Tanya Asih dengan wajah heran.

“Jelas nggak, Nggak enak kalau cuman makan satu mangkok.. sekarang baru enak” Jawabku sambil menghabiskan mangkok kedua yang disuguhkan Asih.

“Ealadalah mas... tak kiro tenanan” (Saya kira beneran mas) Ucap Asih dengan wajah yang merajuk.

“Lha lagian kamu aneh, udah tau masakanmu paling enak sekampung.. pakai minta pendapat segala” Ucapku.

Asih tersenyum malu mendengar perkataanku tadi. Wajahnya yang tersipu membuatnya terlihat manis, Jauh lebih manis dari Kolak pisang yang kumakan barusan.

“Masakanku enak, kan gurunya juga hebat...” Ucap Asih sambil melirik ke arah belakangku. Aku segera menoleh dan sosok itu kembali muncul di belakangku.

Sosok sorang wanita berumur dengan pakaian jawa sederhana yang sesekali menampakan wujudnya di sekitarku dengan paras yang Ayu.
Dia adalah Nyai Suratmi, roh leluhurku yang masih belum tenang. Ia mengikutiku bersamaan setelah aku diwariskan keris Sukmageni oleh Eyangku.

“Eh.. eyang, tumben tiba-tiba nongol” Ucapku yang cukup kaget dengan kehadiranya lagi.

“Asih, coba lihat tangan Bimo.. coba kamu yang bilangin, sudah dibilang suruh sabar masih aja nekad” Ucap Roh Nyai Suratmi pada Asih.

Dengan segera Asih mengecek tanganku yang memang sedari tadi kusembunyikan. Beberapa luka sayatan terlihat ditanganku yang memang sengaja kusayatkan dengan keris sukmageni.

“Ora.. iki ora popo, mung bagian dari latian kok” (Nggak.. ini nggak apa-apa, Cuma bagian dari latihan kok) Ucapku yang berusaha menyembunyikan luka ini dari Asih.

“Mas... ini luka apaan lagi? Kok serem?” tanya Asih dengan wajah khawatirnya. Ia menatapku dengan mata yang sayu.

Sungguh, aku lemah dengan hal seperti ini.

“Sudah dibilang, kekuatan Keris Sukmageni akan menitis saat sudah dibutuhkan. Walaupun darahmu sudah terpilih, bukan berarti kamu bisa menggunakan kekuatanya sebebas-bebasnya” Ucap Nyai Suratmi.

“Ya tapi kan Eyang, Bimo cuma takut kalau saat kekuatan keris ini dibutuhkan, ternyata Bimo belum bisa menggunakanya” Jawabku dengan sedikit gelisah.

“Mas Bimo, tenang aja... ikuti nasihat eyang. Lagipula Tuhan pasti memberikan permasalahan sepaket sama solusinya.

Kalau memang keris itu belum bisa digunakan, mungkin memang bukan keris itu yang menjadi jalan keluarnya” Ucap Asih.
Entah mengapa ucapan Asih kali ini bisa sedikit membuka pikiranku.

Namun hal itu tetap saja tidak bisa menampik kenyataan bahwa keris pusaka ini tidak ada gunanya.

“Yowis dik, tak pamit dulu.. dienteni bapak, dikon ngonceki kacang bar panen mau” (Yasudah dik, saya pamit dulu... ditunggu bapak, disuruh ngupasin kacang hasil panen tadi) Ucapku yang segera bergegas meninggalkan rumah Asih.

“Hati-hati mas...“ Ucap Asih yang mengantarku sampai depan rumahnya. Sesekali aku menengok ke belakang ke arah Asih yang menungguku pergi hingga tak terlihat dari pandanganya.

Sesampainya di rumah aku sudah disambut dengan sekumpulan tanaman kacang hasil panen kebun kami. Sebelum mendengar ocehan bapak aku segera mengambil posisi di salah satu sudut teras dan mulai memisahkan kacang dengan daunya dan mengupasnya seperti yang biasa kami lakukan setiap panen.

“Mo... Asih baik ya?” Ucap Nyai Suratmi yang muncul samar-samar di sekitarku.

“Iyo eyang, baik banget... nek karo aku cocok ora?” (Iya Eyang, baik banget... kalau sama aku cocok nggak?) Tanyaku.

“Cocok... Eyang juga suka sama Asih” Jawab Nyai Suratmi.

“Yo.. nanging yo kuwi, aku mung anak petani... de’e anak pedagang sukses, isin aku eyang” (YA.. tapi itu, aku Cuma anak petani.. dia anak pedagang sukses, malu aku eyang) Balasku.

“Heh.. ora ngono coro kerjane tresno” (Heh, nggak gitu cara kerjanya Cinta)

“Mau denger ceritanya eyang jaman muda dulu nggak?” Tawar Nyai Suratmi.

Aku menangguk, lagipula aku juga punya cukup banyak waktu sambil untuk mendengarkan kisah eyang.

“Dulu Eyang hidup di jaman kerajaan sebagai juru masak untuk prajurit. Sudah jelas saat itu eyang hanya kasta bawah diantara perempuan lainya.” Eyang Suratmi membuka ceritanya.

“Terus istimewanya apa eyang?” Tanyaku.

“Eyang kakungmu, Dayu.. dia sering main ke dapur, nyolong makanan... ngakunya prajurit kerajaan, eyang kasian.. jadinya ya eyang masakin.
Sampai ada suatu kejadian yang hampir membuat desa eyang diserang oleh salah seorang patih yang berkhianat.

Saat itu barulah eyang kakungmu itu ketahuan bahwa dia adalah salah satu patih besar kerajaan saat melindungi desa Eyang.
Disitulah eyang tau, selama ini dia mengaku sebagai prajurit agar bisa mendekati eyang yang hanya rakyat kecil biasa.

Yang pasti entah Dayu itu prajurit, patih, atau hanya petani biasapun. Eyang sudah senang dengan keberadaan Dayu disisi Eyang.”

Terlihat wajah Eyang Suratmi setengah tersenyum mengenang kejadian masa hidupnya dulu. Setelah mendengar cerita itu..

Wajar saja walaupun sudah berpindah alam Eyang Suratmi masih ingin mengetahui keadaan kekasihnya itu.

“Tenang Eyang, Bimo janji akan bantu Eyang nemuin Eyang Dayu..” Jawabku.

Eyang Suratmi tersenyum dan menoleh ke arahku.

“Bukan hanya itu yang ingin eyang sampaikan, dulu Dayu siap menerima Eyang dengan kondisi seperti itu.. ingat, cinta tidak mengenal kasta. Itu juga berlaku untuk kamu dan Asih” Jelas Eyang Suratmi.

“Iya Eyang, Sekarang Bimo ngerti. Setidaknya Bimo berusaha dulu untuk jadi pendamping yang lebih pantas buat Asih.” Jawabku.

Sekali lagi Eyang Suratmi tersenyum dan perlahan menghilang seperti biasanya.

Hampir seharian ini aku menghabiskan waktu dengan mengupas kacang sementara bapak masih merapikan sisa-sisa daun yang akan diambil tetangga untuk pakan ternak.
Saat maghrib tiba, aku bersiap membersihkan tanganku dan masuk ke dalam.

Namun tiba-tiba seseorang berlari menghampiri rumah kami dengan terburu-buru.

“Mas... Mas Bimo! Itu mas!” Ucap Bu Rukmi yang mencoba mengatur nafasnya.

“Kenapa Bu?” Tanya Bapak sementara aku kembali keluar menghampiri Bu Rukmi.

“Asih... Bapaknya Asih pulang dengan keadaan aneh” Ucap Bu Rukmi.

Aku dan bapak saling bertatapan dan segera masuk ke rumah, mengganti pakaian yang layak dan menghampiri rumah Asih.

“Asih.. Bapak kenapa sih?” Tanyaku sementara Bapak menghampiri Ayah Asih yang tergeletak lemas di kamarnya dengan beberapa warga desa yang menemaninya.

“Nggak tau mas, Bapak Pulang sendirian dengan keadaan begitu. Tiba-tiba Asih nemuin bapak tergeletak di depan rumah” Ucap Asih yang terlihat berusaha menahan air matanya.

“Sudah tenang, biar mas Bimo periksa” Ucapku berusaha menenangkan Asih.

Aku menghampiri bapak yang sedang memeriksa Ayah Asih bersama beberapa warga desa.

Disana terlihat seorang pria yang selama ini kukenal gagah dan sangat baik dengan warga desa tergeletak dengan tubuh yang lemat dan ujung-ujung jari yang menghitam.

“Gimana pak?” Tanyaku.

“Fisiknya nggak ada luka, hanya jarinya yang menghitam.. coba kamu yang periksa mo..” Perintah Bapak.

Aku memegang pergelangan tangan ayah Asih, dan membuka mata batinku untuk memastikan apa ada hal ghaib yang membuat ayah Asih hingga seperti ini.

Dengan penerawanganku, samar-samar terlihat kekuatan hitam yang merasuk ke tubuh Ayah Asih yang membuatnya menjadi seperti ini.

“Bimo nggak bisa mastiin pak, tapi sepertinya ada teluh yang menyerang Bapak Asih.” Jelasku pada Bapak.

“Terus gimana? Kamu bisa nolong?” Tanya Bapak.

“Bimo Coba dulu”

Satu persatu aku memijit jari Bapak Asih sambil membacakan doa-doa penyembuh yang diajarkan oleh eyang-eyang kami. perlahan satu persatu jari itu memutih seperti semula.

Awalnya aku cukup lega, namun rupanya tak berapa lama tangan itu kembali menghitam bersamaan dengan aliran kekuatan hitam yang merasuki tubuhnya.

“Tidak bisa Bimo... Teluh itu hanya bisa di hilangkan dengan menghentikan pengirimnya”

Samar-samar terdengar suara eyang suratmi dari belakangku. Sepertinya Asih juga menyadari kehadiranya.
Aku menghapus keringat yang menetes di dahiku setelah berkali-kali mencoba menyembuhkan Bapak Asiih.

“Maaf pak, Teluh ini tidak bisa dihilangkan kecuali pengirimnya dihentikan” Jelasku.

“Ya sudah, tidak usah memaksakan diri..” Ucap Bapak.

Tak lama setelahnya mata Bapak Asih terlihat melotot dan berteriak sekencang-kencangnya.

Sepertinya ia merasakan sakit yang berlebihan hingga mengguncang kesadaranya.

“Bapak...” Ucap Asih dengan suara yang payau.

Aku segera membacakan doa dan mencoba menenangkan Bapak Asih dan mencoba mengalirkan tenagaku untuk melindunginya dari ilmu hitam ini.

“Nggak bisa pak.. Bimo harus nyari sumbernya, Bimo ga tau apa yang akan terjadi setelah malam ini” Ucapku.

Tepat setelah kejadian itu terdengar suara seseorang berlari memasuki rumah Asih.

“Sih! Asih!” Teriak orang itu yang segera dihampiri oleh Asih.

“Ngapunten, maaf ya Asih.. kami nggak bisa nolongin bapakmu” Ucap seorang pria yang seumuran Bapak Asiih yang datang bersama beberapa temanya. Sepertinya mereka adalah teman-teman dari Bapak Asiih.

“Ini sebenernya ada apa to pak? Kenapa bapak bisa jadi begini?” Tanya Asih setelah mempersilakan mereka duduk.

“Ada Wabah di desa yang kami datangi, tapi menurut kami itu lebih seperti ilmu hitam daripada disebut wabah.“ Ucap salah seorang dari mereka.

“Saat mendengar mengenai wabah itu, kami memutuskan untuk kembali. Namun Bapakmu memaksa untuk tetap kesana dengan alasan ingin mengantarkan beberapa bahan makanan untuk menolong warga desa itu” Ceritanya lagi.

“Kami sudah melarangnya, tapi bapakmu malah menyuruh kami pulang dan masuk seorang diri ke desa itu. Beberapa hari kami menunggu di desa sebelah, namun tidak ada kabar kembalinya bapakmu sampai baru tadi ada yang menginfokan bahwa ia sudah pulang dengan kondisi seperti ini”

Asih merasa bingung harus berkata apa. Aku segera menghampirinya dan mengambil posisi disamping Asih.

“Ngapunten Pak, ada petunjuk mengenai asal wabah atau ilmu hitam itu” Tanyaku.

Orang-orang itu saling menatap sebelum akhirnya memutuskan untuk bercerita.

“Beberapa warga desa ada yang mendengar wabah di desa itu adalah perbuatan demit kakek tua..”

Mendengar ucapan pria itu Nyai Suratmi hadir di sebelahku dan seketika orang-orang di ruangan itu merasa merinding.

Aku segera berpikir apa mungkin demit kakek tua yang dimaksud ada hubunganya dengan seseorang yang dicari oleh Nyai Suratmi?

“Coba kamu tanyakan dimana lokasi desa itu?” Bisik Eyang Suratmi.
Aku mengangguk kecil dan melanjutkan perbincanganku.

“Memangnya desa itu dimana pak?“ Tanyaku.

“Mas Bimo mau kesana? Jangan mas, bahaya..” Potong Asih yang khawatir setelah mendengar cerita tadi.

“Betul mas, lebih baik jangan kesana dulu.. kita cari cara lain untuk mengobati Bapak Asiih” Sahut mereka.

Aku menoleh ke arah Bapak yang masih berusaha mencari cara mengobati Bapak Asiih yang terkulai tak berdaya. Seandainya aku tidak menghentikan sesuatu yang menyerangnya, apa mungkin Bapak Asiih bisa bertahan melewati malam ini?

“Nggak mas.. saya nggak akan gegabah, hanya mencari tahu asal penyakit itu dan mencari petunjuk.” Jawabku berusaha menenangkan Asih.
Melihat ketenanganku akhirnya mereka memutuskan untuk memberi tahu lokasi desa itu.

“Nama Desanya, Desa Randugiri lokasinya di dekat lembah.. sekitar satu jam dari sini” Balas mereka.
Aku berterima kasih dan saat itu juga aku segera berdiri menghampiri Bapak dan menceritakan hal tadi.

“Mo.. nunggu Bisma saja, bahaya kalau kamu sendirian” Ucap Bapak.

Aku menatap tubuh Bapak Asiih yang kian lemah dengan jari-jari yang menghitam.

“Bimo akan hati-hati pak, nanti kalau Mas Bisma datang disuruh nyusul saja... kondisi Bapak Asiih tidak bisa ditebak” Jawabku.

“Bapak tahu, kamu dan Bisma punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh bapak... tapi bapak juga nggak mau kalian celaka karena kelebihan kalian itu” Ucap bapak dengan wajah yang penuh kekhawatiran.

“Nggih Pak.. Bimo mengerti kok, Bimo akan menjaga diri baik-baik” Balasku yang segera mencium tangan bapak dan berpamitan.

“Mas bener mau kesana?” Tanya Asih dengan Khawatir.

“Tenang Asih, aku nggak sendirian.. Eyang Suratmi ikut kok, kalau aku kelewatan dia yang akan ngingetin” Balasku.
Mendengar ucapan itu Asih sedikit tenang, ia memintaku menunggu sebentar dan menyiapkan dari dapur perbekalan seadanya.

***

Malam semakin larut, dan aku masih mengayuh sepeda ontelku yang sudah dilengkapi dengan lampu dinamo yang sedikit bisa memberi penerangan di gelapnya malam.
Desa Randugiri, sebuah desa yang terbelah dengan aliran sungai dan lebatnya hutan tak jauh di belakangnya.

Suasana sepi terasa di desa ini. hampir tidak ada orang yang keluar rumah namun terlihat nyala lampu terlihat menyala di hampir di setiap rumah.

“Bimo, hampir semua rumah di desa ini terkena serangan ilmu hitam..” Ucap Nyai Suratmi.

“Iya Eyang, Bimo sadar...” Balasku yang masih memperhatikan sekitar sembari berjalan perlahan menuntun sepedaku.

Belum sempat aku melangkah lebih jauh. Samar-samar aku menyadari ada sosok yang memperhatikanku dari salah satu atap rumah.

Makhluk itu memiliki tubuh hitam dengan rambut yang hampir sepanjang tubuhnya dengan bulatan bola mata yang hampir keluar dari tempatnya.
yang menjijikkan, lidah dari makhluk itu menjulur panjang dan meneteskan liurnya di setiap tempat yang ia lewati.

Aku berfikir, mungkin saja makhluk itu yang menyebarkan teluh di desa ini.
Aku berhati-hati menapaki jalan sambil mengawasi makhluk itu. Sayangnya sepertinya makhluk itu berniat mencelakaiku dengan melompat ke bawah dan melemparkan liurnya.

Sepertinya liur itu yang ia gunakan untuk mengirimkan kutukanya.
Beruntung aku bisa melihatnya dan menghindar. Namun bila orang awam yang tidak bisa melihatnya, mungkin mereka tak mampu menghindarinya dan celaka dengan teluh dari makhluk ini.

Tak mau mengambil resiko, aku membacakan doa dan ayat suci untuk membakar makhluk itu hingga suara raungan terdengar ke seluruh desa. Makhluk itu kesakitan seperti terbakar dan menghilang dari hadapanku.

Warga yang mendengar raungan itu mengintip melalui jendela mencari tahu apa yang terjadi dan setelahnya cepat-cepat menutup kembali jendelanya saat mendengar suara aneh yang sepertinya tidak bisa mereka lihat wujudnya.
Ternyata kesialanku baru saja dimulai..

Kali ini tidak hanya satu, ada lebih dari sepuluh makhluk seperti tadi yang sudah bersiap di atas atap rumah untuk menyerangku.
Aku gentar dengan jumlah makhluk sebanyak itu, makhluk-makhluk itu merayap di atap dan dinding rumah seolah bersiap untuk mengeroyokku.

Aku sudah membayangkan apa yang terjadi apabila makhluk menjijikkan ini mengerubuti tubuhku.
Saat itu juga aku menjatuhkan sepedaku dan segera berlari mencari tempat perlindungan. Beberapa kali aku menggedor pintu rumah, namun tidak ada yang berani membukakan.

Malam seperti ini sama sekali tidak pernah bisa kubayangkan. Dikejar sekumpulan demit di desa yang baru saja kudatangi. Mungkin benar kata Asih, aku terlalu nekad.
Sepanjang aku berlari aku membacakan doa-doa berharap agar makhluk itu tidak bisa menyentuhku.

Beruntung saat makhluk itu hampir mendekat tiba-tiba seorang anak wanita keluar dari dalam rumah dan menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Dari tingginya aku mengira anak masih berumur belasan tahun.

“Kesini mas!” Ucap Anak Wanita itu.

Aku berlari masuk ke dalam rumah yang ternyata sudah terdapat beberapa tanaman dan benda-benda yang dibenci oleh makhluk seperti ini.
Secepat mungkin aku merogoh tas kainku, mengambil segenggam garam, membacakan doa, lalu menaburkanya ke pekarangan rumah ini.

“Ayo... tutup pintunya” Ucapku yang segera masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
Sesekali aku mengintip keluar dan menyaksikan makhluk-makhluk tadi tidak berniat mendekati rumah ini dengan pelindung sederhana yang kubuat disini.

“Terima kasih ya... nama kamu siapa? Kamu tinggal sama siapa disini?” Tanyaku pada anak perempuan itu.

“Saya Dini... saya tinggal sendiri” Ucapnya.

“Lah orang tua kamu dimana?” Tanyaku lagi.

“Sudah nggak ada...” Jawabnya.

Saat itu juga aku tertegun, bagaimana bisa anak ini hidup sendirian.
Saat keadaan sudah mulai aman Dini menceritakan mengenai orang tuanya yang meninggal karena serangan dari makhluk itu.

Namun sebelum bercerita lebih jauh tiba-tiba terlihat seseorang berjalan berhati-hati mendekati rumah ini.

“Dini.. kamu nggak papa?” Ucap seorang pria yang mengetuk rumah dini.

“Nggak papa kang !” Teriak Dini sambil membukakan pintu.

Aku sedikit memberikan anggukan menyambut kedatangan pria itu.

“Maaf mas, masnya datang dari mana ya?” Ucap pria itu yang sepertinya sudah akrab dengan Dini. Sepertinya ia sedikit curiga kepadaku.

“Eh iya, saya belum memperkenalkan diri... Saya Bimo dari desa yang nggak jauh dari sini. Ayah dari teman saya sakit setelah dari tempat ini.. saya datang untu mencari tahu sumber penyakit itu” Ucapku.
Dini menatap pria itu dan mengangguk seolah memberi isyarat.

“Saya Umar, salah satu pengurus desa ini... saya dan istri saya yang dipercaya untuk memantau kebutuhan Dini. mohon maaf, sebelumnya saya agak khawatir ada seseorang yang masuk ke rumah Dini” Jelasnya.

“Iya mas Umar, saya mengerti sekali kok. Tapi terima kasih, kalau tidak ada Dini mungkin saya sudah celaka oleh makhluk-makhluk itu” Jelasku.

“Panggil saja Kang Umar, saya asli jawa barat tapi sudah lama tinggal disini.

Berarti masnya bisa melihat makhluk itu juga?” Tanyanya memastikan.

Aku mengangguk. Dari pertanyaanya aku menyimpulkan bahwa ia juga bisa melihat makhluk itu.

“Kang Umar tahu mereka itu makhluk apa?” Tanyaku.

“Sudah duduk dulu saja, biar Dini buatkan minuman sambil saya ceritakan” Ucap Kang Umar.

Mendengar ucapanya aku mengambil posisi duduk yang nyaman sambil sesekali mengintip melalui jendela untuk memastikan keadaan di luar.

“Semua ini perbuatan demit kakek tua itu... tiba-tiba dia muncul di desa ini dengan demit-demit itu dan menyebarkan teluh. Hampir setiap rumah ada satu orang yang terkena penyakit aneh itu..” Jelas Kang Umar.

Aku menyeruput kopi yang diantarkan oleh dini. Hangatnya kopi ini sedikit membantu mengembalikan nafasku setelah kejar-kejaran dengan demit tadi.

“Berarti bukan demit-demit tadi sumber masalahnya?” Tanyaku.
Kang Umar menggeleng.

“Lantas apa tujuan dari demit kakek itu?” Tanyaku.

“Entah mas... tiba-tiba dia datang ke tengah-tengah keramaian desa. Berjalan dengan baju compang camping dan bau yang sangat menyengat. Sontak warga yang merasa terganggu segera mengusirnya, namun kakek itu mengaku bahwa ia adalah warga di desa ini. Merasa tidak ada yang mengenalnya, warga lanjut mengusir kakek itu dari desa dengan kasar.” Cerita Kang Umar.

“Memangnya kondisinya kakek itu separah itu Kang?” Tanyaku.

“Parah Mas, seolah dia baru kembali dari sebuah tempat yang jorok dan mengerikan” Jawab Kang Umar.

“Nah Ceritanya belum selesai, setelah kejadian itu malamnya saat semua warga sudah tertidur kakek itu datang lagi ke desa... warga mengetahuinya namun tidak peduli. Kakek itu berjalan ke sumur desa dan seolah menarik sesuatu dari dalam.

Saat itulah petaka dimulai... mendadak ada warga yang sakit dengan gejala yang aneh dimana jari-jarinya menghitam seolah tidak teraliri darah. Semakin hari korban semakin bertambah..

Saat saya mencoba mencari tahu, ternyata ini adalah ulah makhluk-makhluk suruhan demit kakek tua itu" Cerita kang Umar lagi.

Kini aku mengerti, berarti sumber utama permasalahan ini adalah demit kakek tua itu.

Sambil menikmati kopi hitam aku mengulik lebih dalam tentang jenis penyakit yang dialami warga dan dimana keberadaan demit kakek tua itu.
Di tengah perbincanganku dengan Kang Umar, samar-samar aku merasakan firasat yang sangat membuatku tidak nyaman.

Aku mencoba mencari tahu namun tidak dapat kupastikan.
Sampai saat malam semakin larut, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari salah satu rumah warga.

“Tolong! Tolong!”

Terdengar suara teriakan seorang perempuan di tengah desa. Aku dan kang Umar segera keluar dan melihat perempuan itu terduduk di tanah menyaksikan suaminya diseret oleh sesosok kakek tua ke dalam hutan.

Kami segera menghampiri wanita itu dan beberapa warga mengejar kakek tua itu.

“Kakek itu mau membunuh Mas Tri, suami saya... tolong mas!” Teriak wanita itu.

“Apa yang terjadi, bagaimana kakek itu bisa menyerang Mas Tri?” Tanya Kang Umar.

“Nggak tahu kang... dia hanya bilang ingin balas dendam, tapi kami tidak tahu dendam apa yang dimaksud” Jawab Wanita itu.

Saat memeriksa keadaan wanita itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam hutan.

Aku dan Kang Umar semakin panik. Kami menduga teriakan itu adalah suara dari warga yang menyusul kakek tua itu.
Tanpa berbicara sedikitpun Kang Umar segera menyusul ke dalam gelapnya hutan tempat asal suara itu.

“Kang Umar! Jangan Gegabah!” Teriakku, namun sama sekali tidak digubris olehnya.

“Dini, kamu diam di rumah... jangan keluar ya!” Perintahku pada Dini yang masih terlihat bingung.

Aku berlari menuju ke dalam hutan dan menyusul kang Umar yang berhenti tepat di bagian hutan dimana terdapat puing-puing bangunan dan sumur yang seolah sudah lama tidak didatangi.

“A...Apa ini Kang Umar? Pernah ada yang tinggal di tempat ini?” Tanyaku.

“Entah mas Bimo, saya juga pendatang... ini pertama kali saya masuk sedalam ini ke hutan” Jawab Kang Umar dengan wajah yang terlihat bingung.

“...mati”
Terdengar suara seseorang menggema lirih entah dari bagian mana dari hutan ini.
“...Harus Mati!!!”

Suara itu diikuti dengan teriakan seseorang yang terjatuh dari atas pohon.
Aku dan kang Umar yang melihat hal itu segera berlari menangkap pria yang jatuh itu. Beruntung tidak terjadi benturan pada tubuhnya,

Sayangnya kondisinya sama mengenaskanya dengan Bapak Asih dan warga yang terkena kutukan ini.

“Dia warga yang mengejar tadi” Ucap Kang Umar.

Tek.. tek... tek...

Samar-samar aku mendengar suara seperti kayu yang dipukul berirama seperti sebuah ritual.

Saat itu udara dingin semakin menusuk yang membuat semua bulu kuduku merinding.
Merasa akan terjadi sesuatu yang mengerikan aku segera berlari ke arah lokasi suara itu dan sesuatu yang mengerikan terlihat di hadapan mataku.

Sesosok kakek tua dengan kulit penuh borok dan baju compang camping sedan berdiri dan menari-nari ditengah-tengah puluhan makhluk yang tadi berhadapan denganku.

Tubuhku gemetar, dihadapanku seperti terlihat sebuah desa yang dihuni oleh sekumpulan setan yang sedang berkumpul seolah mempersiapkan sesuatu.

“Kang Umar... harus evakuasi warga desa! Makhluk sebanyak ini bisa membunuh seluruh warga desa dalam semalam” Ucapku.

Kang Umar tidak bisa berkata-kata, wajahnya pucat tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi malam ini.

“Itu Mas Tri... dia mau dibawa kemana?” Tanya Kang Umar dengan suara yang bergetar.

Melihat kondisi Mas Tri dalam bahaya, aku segera berlari mengejar makhluk itu namun tanpa disadari sosok kakek itu sudah berada dihadapanku dengan wajah hitam penuh bekas luka yang sudah membusuk.

“Ono uwong goblok sing golek mati...” (Ada orang goblok yang mencari mati) Ucap Sosok itu.
Tanpa kusadari tiba-tiba darah merah mengalir dari mata dan hidungku. Rasa sakit yang amat sangat terasa di seluruh tubuh.

“Mas..! Mas Bimo!” Kang Umar panik.

Di tengah kepanikanya ia mencoba membacakan doa-doa untuk mengusir makhluk ini. Sayangnya sepertinya ilmu kang Umar belum mampu untuk menolongku.
Ditengah rasa sakitku aku melihat Mas Tri sudah menghilang entah kemana.

Aku memaksakan diriku untuk membaca ayat suci untuk mengusir kakek tua ini sayangnya kekuatanya terlalu besar.
Dari wajahnya terlihat raut muka penuh dendam seolah sudah menumpuknya sekian lama.

Saat kesadaranku mulai hilang, tiba-tiba aku terjatuh ke tanah dan melihat seseorang menendang kakek tua itu hingga terpental.

“Mas Bisma?” ucapku yang samar-samar melihat sosok yang berdiri di hadapanku.

“Ini Bimo.. pulihkan dulu tubuhmu” Ucap suara seseorang yang menyerahakan sebotol air untuk kubacakan doa dan kuminum.
Itu bukan Mas Bisma, itu suara Jagad! Pasti Bapak yang memintanya datang kesini.

Aku membacakan mantra pemulih pada air yang dibawakan oleh Jagad dan meminumnya untuk membersihkan tubuhku dari kutukan makhluk itu.

“Siapa kamu Setan tua!” Ucap Jagad yang terlihat kesal.

Aku berdiri di sampingnya sembari mempersiapkan diri. Dengan keberadaan Jagad aku sedikit lebih percaya diri menghadapi kakek tua itu.

“Khekhekeh... kalian salah paham, Warga desa itu memang pantas mati! Merekalah yang memaksaku menjadi seperti ini” Jawabnya sambil menatap luka-luka ditubuhnya.

“Maksudmu apa kakek tua?!” Teriak kang Umar.

“Khekhekhe... Aku Mbah Rowo. Kakek tua yang kalian habisi dengan bengis setelah membunuh dan memperkosa anaku dengan biadab!!!” Jawabnya dengan penuh amarah.

Tunggu? Kakek ini warga desa Randugiri? Aku dan jagad segera menoleh ke kang Umar.

“Mbah Rowo? Aku pernah dengar ceritanya dia orang yang dituduh sebagai dukun yang ditangkap dan akhirnya dihabisi oleh warga desa yang emosi saat seorang bayi hilang dari desa” Jelas Kang Umar.

“Anakku tidak bersalah, kalian menggunakanya untuk melampiaskan nafsu kalian dan membunuhnya. Kalian juga membakar tubuhku dan membuang tubuhku di rawa yang dipenuhi ular... Sekarang aku akan membalas semua yang kalian lakukan!”

Jagad tak menunggu lama dan segera menyerang kakek itu dengan ilmunya.

“Apapun alasanmu, semua itu bukan alasan untuk mencabut nyawa seseorang!” Bantah Jagad.

“Katakan itu pada mereka yang menghabisi keluargaku” Balas Mbah Rowo.

Saat ini ilmu bela diri jagad masih jauh diatasku. Aku membantunya dengan membacakan amalan api yang kuharap bisa melemahkan Mbah Rowo itu.
Dengan bantuan mas jagad kami bisa melumpuhkan Mbah Rowo hingga terpental cukup jauh.

Seolah tidak mau berurusan dengan kami. Mbah rowo membaca sebuah mantra dan menghilang di kegelapan hutan bersama tubuh Mas Tri yang berada di tengah-tengah makhluk itu.

“Heh Jangan Kabur!” Teriak Mas Jagad.

Namun puluhan makhluk hitam segera berkerumun menyerang kami.

“Gimana bim.. orang itu dalam bahaya! Kita juga tidak tahu berapa orang yang sudah ia bawa ke alamnya” Teriak Jagad.

“Arrghh... aku bingung Gad” Teriakku yang benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Saat itu tiba-tiba hawa dingin terasa lagi di sekitarku dan terdengar suara bisikan.

“Biarkan Jagad mengejar kakek tua itu, Kamu yang menyelesaikan makhluk-makhluk ini.. itu kemungkinan terbaik”

Nyai Suratmi mencoba memberi petunjuk. Jagad yang juga mendengar itu segera berlari menuju tempat hilangnya Mbah Rowo.

“Bimo! Bertahan sampai aku kembali” Teriak Jagad.

Entah apa yang direncanakan Nyai Suratmi, Aku masih belum tahu cara mengalahkan makhluk ini sendirian.

Setidaknya aku harus menahanya sampai jagad kembali atau ada bantuan yang datang.

“Kang Umar! Pergi dari sini evakuasi warga desa sebisa mungkin” Teriakku.

“Mas Bimo bagaimana? Makhluk itu terlalu bahaya!” Ucapnya.

“Sudah tidak usah berdebat! Kita harus mengurangi korban sebanyak mungkin” Perintahku.
Tanpa banyak bicara lagi kang Umar yang sudah mengerti segera meninggalkanku ke arah desa.

“Eyang.. terus Bimo harus ngapain?” Tanyaku yang masih bingung setelah sok jagoan di depan Kang Umar.

Eyang suratmi menutup matanya seolah bermeditasi. Sekilas di dalam pikiranku terlihat ilmu-ilmu yang pernah eyang lihat dimasa ia hidup.

Eyang menunjukan salah satu ajian mungkin bisa meloloskanku dari situasi ini.

“Muksa Pangreksa”

Sebuah ajian memohon kekuatan perlindungan kepada sang pencipta untuk menjauhkan niat jahat dan kekuatan ghaib yang menyerang.

Seketika itu juga seluruh ingatan Eyang Suratmi akan mantra itu segera merasukiku dan segera kurapalkan untuk menghadang makhluk-makhluk ini agar tak mendekati desa.

Dengan mantra ini aku tidak takut lagi dengan kutukan yang di bawa oleh makhluk berbadan hitam ini sehingga aku bisa menghadapinya satu persatu.

Aku bertahan sebisa mungkin hanya bermodalkan ilmu bela diri dan amalan api yang menjadi andalanku untuk memusnahkan makhluk jahat seperti mereka.
Sayangnya jumlah mereka terlalu banyak...

Aku menyadari ada beberapa dari mereka yang lolos dan bersiap menyusulnya. Sayangnya hal itu mengakibatkanku tidak dapat berkonsentrasi sehingga makhluk itu berbalik mengeroyokku dan sebagian dari mereka berlari ke desa.

Tanpa ku sadari, di tengah pertarungn sebuah kayu runcing melayang dan menusuk bahuku. Itu adalah kayu yang digunakan mbah rowo untuk ritual tadi. Rupanya sosok makhluk ini cukup pintar untuk mencari cara untuk membunuhku.

Darah segar menetes dari luka itu bersamaan pandangan mataku yang semakin buram.
Aku mencoba melawan, namun banyaknya darah dari luka itu bahkan membuatku sulit untuk berdiri.

Merasa sudah diujung kemenangan, makhluk-makhluk hitam itu kembali mengumpulkan kayu-kayu runcing itu untuk membunuhku.

“Ini sudah akhir hayatku..“ Itulah yang terpikir saat ini.

Namun sebelum serangan mereka sampai ke hadapanku Nyai Suratmi berdiri di depanku.
Entah apa yang akan ia lakukan, yang kutahu selama ini Eyang tidak memiliki kemampuan bertarung. Untuk mempertahankan wujudnya agar terlihatpun sulit.

Dan benar, dengan berdiri di hadapanku kini Eyang suratmi menerima berbagai serangan dari makhluk-makhluk hitam itu.
Aku menjulurkan tangan mencoba menolongnya, namun luka ini terlalu dalam hingga sebaliknya aku malah memuntahkan darah dari mulutku.

Saat inilah hal aneh terjadi. Di tengah semua serangan itu tiba-tiba hujan menetes di hutan ini. samar-samar aku mendengar suara kakek yang terkekeh yang berpindah melompat-lompat dari berbagai penjuru hutan.

Suara itu semakin mendekat bersama tumbangnya makhluk-makhluk yang menyerang Eyang suratmi.
Entah apa yang terjadi saat itu. saat ini semua berubah menjadi gelap bersama hilangnya kesadaranku.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close