Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KERIS BENGGOLO IRENG (Part 7 END) - Iblis Kembar

Desa Windualit..
Keanehan terjadi di desa Windualit sejak pagi dini hari. Cuaca berubah tak menentu, angin bertiup dengan kencang berbaur dengan hujan deras yang mengguyur seluruh desa dan hutan.


JEJAKMISTERI - “Paklek, sebelumnya desa ini belum pernah mengalami cuaca seperti ini sebelumnya, pohon-pohon di sekitar hutan yang mengelilingi desa ini menghalangi angin lembah untuk sampai kedesa” Cerita Pak Sardi yang menemani Paklek memperhatikan cuaca di luar rumah.

“Benar Pak Sardi, saya juga merasa ada sesuatu yang mempengaruhi cuaca saat ini” Paklek juga setuju dengan ucapan Pak Sardi dari berbagai hal aneh yang juga ia rasakan.

Memang sedari pagi Pak Sardi dan Paklek memutuskan untuk menjaga mbah suroto berdua karena merasakan firasat yang tidak beres. Pak Sardipun mengutus murid-murid mengajinya untuk melakukan pengajian guna menangkal niat jahat dari pengikut sosok penghuni Keris Benggolo Abang.

Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menunggu Danan, Cahyo, dan lainya menemukan cara untuk menghentikan bencana ini.

“Bapak, Paklek... ini sekar bawain makanan. Mudah-mudahan cukup sampai nanti malam” Ucap Sekar yang buru-buru masuk ke dalam rumah dengan kondisi baju yang setengah basah walau sudah memakai payung.

“Terima kasih Nak Sekar, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang” Ucap Paklek.

“Benar, Kali ini masakanya spesial. Katanya sayur lodeh buatan istri saya paling juara” Ucap Pak Sardi juga semangat dengan menu yang dibawakan sekar.

“Ya paklek, makan duluan saja. Biar saya mengantar sekar pulang dulu, disini tidak aman.”

“Nggak Usah pak, sekar bisa pulang sendiri kok.. Bapak temani Paklek makan saja” Ucap Sekar yang segera pamit tanpa mau merepotkan ayahnya itu.

Setelah Sekar pulang Pak Sardi menyiapkan peralatn makan sementara Paklek memanggil Mbah Suroto yang sedang berusaha menenangkan diri dengan bermeditasi seperti yang baru-baru ini diajarkan Paklek.

“Mbah, Kita makan dulu.. Sekar nganterin sayur lodeh” Panggil Paklek dengan suara pelan agar tidak mengagetkan Mbah Suroto.
Mbah Suroto menghela nafasnya dan membuka mata, ia segera menyusul paklek dan Pak Sardi di tikar yang di gelar di ruang tengah dengan rantang dan sayur lodeh yang sudah tersaji.

Tak banyak berbincang, mereka yang memang sudah kelaparan semenjak tadi segera menyerbu sayur lodeh dengan lauk tempe goreng yang dibawakan oleh sekar. Hujan deras yang mengguyur di luar rumah seolah mereda sesaat setiap kami menikmati makanan itu.

“Mbah Suroto, kenapa? Kok melamun?” Tanya Pak Sardi yang melihat Mbah Suroto menghentikan makanya sejenak.

“S..saya tidak pernah menyangka akan bisa menikmati makan bersama seperti ini lagi” Ucapnya dengan setengah haru.

“Bahkan ketika saya kembali ke keluarga sayapun belum tentu mereka bisa menerima saya”
Paklek dan Pak Sardi saling bertatapan dan sama-sama mengerti keadaan Mbah Suroto.

“Mbah, percaya pada kami. Keluarga mbah pasti akan memaafkan mbah kalau mengerti perjuangan mbah suroto hingga seperti ini” Ucap Pak Sardi.

“Sekarang makan yang kenyang dulu paklek, hari ini perjuangan kita akan lebih berat.. kalau kata panjul, tidak ada halangan yang tidak bisa dilewati selama perut kita kenyang” Tambah Paklek.
Mendengar ucapan itu Pak Sardi dan Mbah Suroto tersenyum.

“Kalau soal ini saya setuju sama cahyo, sepertinya kalau dekat dia selalu saja ada tingkah yang bikin kita tertawa ya?” Sahut Pak Sardi sambil melanjutkan makanya.

“Benar, saya juga belajar dari dia, walaupun sebenarnya masa lalunya cukup kelam dia berusaha untuk terus maju dan sebisa mungkin membantu orang-orang disekitarnya” Tambah Paklek.

“Sepertinya setelah ini saya harus sering ngobrol sama Cahyo ya supaya bisa tegar seperti dia” Ucap Mbah Suroto.

Perbincangan yang dimulai dengan bergunjing soal Cahyo dilanjutkan dengan obrolan kecil tentang rasa sayur lodeh buatan ibu sekar yang ternyata sempat dicicipi oleh pejabat pemerintahan saat mampir ke desa ini.

Untuk sesaat derasnya hujan di luar seperti tidak terasa terkalahkan oleh nikmatnya kuah sayur lodeh dari ibu sekar.
Saat hari menjelang sore hujan tidak cukup reda, sesekali Pak Sardi membacakan doa untuk menghalau rasa gelisahnya.

Mereka tahu ada bahaya yang akan sedang terjadi saat ini. Tak lama kemudian firasat mereka itu terjawab.
Paklek dan Pak Sardi secara bersamaan merasakan ada sosok yang mendekat ke rumah singgah tempat bereka berada.

Melalui jendela mereka mencari keberadaan sosok itu namun tidak ada satupun manusia atau makhluk yang nampak hingga tiba-tiba seluruh lampu di rumah singgah mati secara mendadak bersama dengan terbukanya pintu rumah dengan terbanting keras.

Angin kencang membawa masuk derasnya hujan hingga masuk ke rumah, jendela-jendelapun ikut terbuka dengan keras menyusul kencangnya angin yang masuk ke rumah.
Tapi bukan itu masalah utamanya...

Dari pintu yang berkali-kali terbanting ke dinding terlihat di luar sosok makhluk berambut panjang tertawa dengan aneh di tengah derasnya hujan. Pak Sardi dan Paklek tahu dengan jelas bahwa Ia bukanlah manusia.

“Khi khi khheekhe...” Suara tawanya terdengar aneh.

“Ndoro, wis wancine tangi... Khekehakkhe” (Tuan, sudah waktunya bangun)
Kata-kata itu terdengar dengan jelas walau di tengah hujan. Tak mau mengambil resiko, paklek segera membacakan doa dan berlari keluar untuk mengusir makhluk itu.

Paklek dan Pak Sardi sudah tahu, Ndoro siapa yang di maksud oleh makhluk itu.
Paklek Keluar menerjang sosok makhluk kurus berambut panjang itu sambil mencabut Keris Sukmageni dari sarungnya. Tapi tepat beberapa langkah sebelum mencapai makhluk itu Paklek Terhenti.

Ia terhenti saat menyadari seluruh penjuru desa sudah dipenuhi oleh makhluk makhluk serupa yang melayang menatap rumah ini dari atas.

Paklek mengetahui rencana mereka untuk membangkitkan sosok di dalam tubuh Mbah Saroto itu dan segera kembali ke dalam rumah untuk menghampiri Mbah Saroto.

“Apa yang terjadi Paklek?” Tanya Mbah Sardi.

“Mereka semua disini, Ratusan dari mereka...“ Jawab Paklek yang segera berlari menghampiri kamar Mah Saroto. Namun terlambat, Saat ini Mbah Saroto tengah berjalan di atas langit-langit rumah dengan mata yang memutih dan keris benggolo abang yang tiba-tiba tergenggam di tanganya.

“Pak Sardi! Pergi dari sini!” Teriak paklek yang merasakan bahaya besar.
Belum sempat menoleh kembali, wajah Mbah Suroto yang berubah mengerikan seketika berada tepat di depan wajah Paklek.

Sontak Paklek Melompat menjauh dan memanggil Geni Baraloka yang selama ini mampu mengembalikan kesadaran Mbah Suroto.
Sebelum api itu sempurna Mbah Suroto menghunuskan kerisnya ke tubuh paklek namun berhasil dihindari dan ditahan dengan keris sukmageni milik paklek.

Pertarungan sengit terjadi di ruangan sempit itu.
Bukan seperti pertarungan antar dua manusia, ini pertarungan aneh dimana mbah suroto bisa berada di mana saja. Melompat, berjalan di dinding, hingga hinggap di langit-langit rumah.

“Mencampuri urusan kami artinya mati...” Ucap sosok yang merasuki mbah suroto.
Berkali-kali mbah suroto melihat ke arah luar sepertinya berharap ada sosok yang masuk ke rumah ini, namun rupanya Pak Sardi menahan sosok yang berada di luar dengan membacakan doa-doa dan ayat suci bersama murid-murid pengajianya yang sebenarnya sudah siaga semenjak Mbah Suroto dipindahkan ke rumah ini.

Melihat hal itu mbah suroto segera menerjang keluar dan bersiap menghunuskan Kerisnya ke tubuh Pak Sardi, namun aku berhasil menahanya hingga kami berdua terpental di tanah berbatu di depan rumah singgah.

Hujan yang deras mewarnai pertarungan kami sementara roh pengikut sosok penghuni Keris benggolo abang sudah siap mendekat dan masuk ke pertarungan kami.
Paklek tahu keris itu masih menyimpan kekuatan yang lebih besar, saat ini sesuatu masih mengikatnya.

Ia memutuskan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan kembali memanggil Geni baraloka secara sempurna.
Awalnya Paklek mulai tenang saat Bara api muncul di tanganya namun tiba-tiba rintik hujan deras yang membasahi desa windualit berubah menjadi hitam

dan melenyapkan Geni Baraloka milik paklek.
Terlihat dengan jelas kepanikan di wajah Paklek dan Pak Sardi saat mengetahui ilmu andalan Paklek itu tidah bisa lagi menjadi jalan keluar permasalahan mereka.

“Wis wancine Ndoro... Ndoro agung sampun ngenteni” (Sudah waktunya tuan, Tuan Agung sudah menunggu) ucap makhluk yang kami lihat di depan pintu tadi.
Mbah Suroto Tertawa lagi dengan aneh. Ia mengangkat tanganya dan menujuk ke arah

Pak Sardi yang masih sibuk mengarahkan murid-muridnya. Seketika ratusan makhluk itu mengikuti arah tangan Mbah Suroto dan satu persatu merasuki Pak Sardi.

“Sardi!” Paklek segera menghampiri Pak Sardi yang tubuhnya dimasuki ratusan sosok makhluk yang tak henti-henti merasuki tubuhnya yang mulai terlihat membiru.

“Pak! Pak Sardi !” Beberapa murid Pak Sardi berlari menerobos hujan dan menghampiri pah sardi yang terkapar di tanah.

Paklek membacakan ajian muksa pangreksa dan mengusir sosok makhluk yang merasuk ke tubuh Pak Sardi. Namun setiap makhluk dikeluarkan, makhluk lain kembali masuk ke dalam tubuh Pak Sardi hingga Pak Sardi sulit untuk bernafas.

Terlihat dari mulutnya Pak Sardi ia tidak berhenti membaca doa dan melafalkan Ayat-ayat suci.

“Bawa Sardi masuk ke dalam!” perintah paklek pada murid-murid Pak Sardi yang segera direspon dengan cepat oleh mereka.

Paklek berfikir hanya geni baralokalah yang bisa menyelamatkan Pak Sardi namun mereka harus berlindung dari hujan yang dibawa oleh ratusan makhluk ini.
Setelah Pak Sardi masuk ke dalam rumah paklek tidak langsung menghampirinya namun berlari sekuat tenaga ke arah Mbah Suroto.

“Maafkan saya Mbah Suroto..”
Paklek berlari dengan keris sukma geni yang bilah hitamnya mengeluarkan asap berwarna hitam.

Sekuat tenaga paklek menghujamkan keris itu ke arah mbah suroto namun keris benggolo ireng menahan serangan itu hingga menimbulkan benturan kekuatan yang bahkan membuat rintikan hujan menghilang dari sekitar mereka.

Sialnya benturan kekuatan itu berdampak pada paklek dan membuatnya memuntahkan cairan merah dari tubuhnya. Paklek tidak menyerah dan terus mencari cara untuk menyerang mbah suroto walaupun berkali kali gagal dan menambah luka di tubuhnya.

Berkali kali paklek menggunakan darahnya untuk menghidupkan kekuatan bilah putih untuk memulihkan dirinya namun tetap kalah cepat dengan serangan Mbah suroto hingga beberapa rusuknya patah. Namun dari ratusan serangan yang dipaksakan oleh paklek, akhirnya ada satu serangan dari bilah hitam keris sukmageni yang membentuk goresan di dada mbah suroto.
Sayangnya kesempatan itu harus dibayar mahal dengan menerima serangan dari keris benggolo abang yang seketika terselimuti kekuatan hitam dan melemparkan paklek hingga tidak berdaya.
Seolah tidak ingin membuang waktu, Mbah Suroto yang dirasuki sosok penunggu keris itu pergi secepat mungkin meninggalkan desa windualit.
Dengan sisa tenaganya paklek merangkak menuju tempat Pak Sardi dibaringkan.

Ia melihat Pak Sardi tidak menyerah dengan ratusan roh yang merasukinya. Murid-murid Pak Sardi membantu paklek untuk mendekati Pak Sardi.

“Sardi jaga desamu!” Ucap Paklek dengan suara yang hampir hilang sementara tanganya memanggil geni baraloka yang segera membakar tubuh Pak Sardi.

Seketika roh yang merasuki Pak Sardi keluar dan pergi meninggalkan desa saat mendengar ayat-ayat suci yang dibacakan oleh murid-murid Pak Sardi.
Tepat saat itu juga hujan berhenti dan Pak Sardi kembali tersadar, namun sayangnya ia mendapati paklek yang penuh luka dengan bajunya yang penuh noda darah berbaring tak sadarkan diri di sebelahnya. ia tidak mampu menemukan denyut nadi dari tubuh paklek.

“Panggil sekar! Bawa obat-obatan” perintah Pak Sardi pada salah satu muridnya yang segera berlari menuju rumah sekar.
Sekar datang dan segera mengobati paklek, sementara Pak Sardi membacakan amalan penyembuh untuk memulihkan paklek, namun tidak ada perubahan hingga tiba-tiba Pak Sardi mengingat sisa-sisa geni baraloka milik paklek yang ada di Alas Mayit.
Ia membaca doa dan memanggil api itu hingga muncul di telapak tanganya.

Secara perlahan Pak Sardi membakarkan api yang sudah mengecil itu ke jantung paklek. Beberapa luka yang disebabkan oleh keris benggolo abang mulai menutup hal ini seolah memberi harapan untuk keselamatan paklek. Namun harapan itu tidak berlangsung lama.

Denyut nadi Paklek tidak kembali, jantungnya tidak kembali berdetak.

“Pak, gimana paklek pak?” ucap sekar yang masih menangis.
Pak Sardi terlihat bingung untuk menjawab pertanyaan sekar.

Biar bagaimanapun ia hanyalah manusia biasa yang tidak mungkin untuk menghidupkan seseorang yang sudah meninggal.
Sesaat sebelum Pak Sardi memutuskan untuk menutup wajah paklek, tiba-tiba keris sukmageni bergetar seolah merespon sesuatu.

Hal itu mengingatkan Pak Sardi akan sesuatu.
“Sekar, kamu pernah cerita kalau Paklek mempunyai ilmu ragasukma kan?” Tanya Pak Sardi. Sekar mengangguk.

Saat itu juga Pak Sardi segera berlari keluar rumah dan terlihat di depanya residu sisa-sia keberadaan sukma paklek yang sepertinya mencoba mengejar Mbah Suroto dalam wujud sukma.
Saat itu juga ia tersenyum dan kembali mengecek detak jantung paklek.

Memang cukup senyap, namun secara halus perlahan mulai terdengar detakan dari tubuh yang kekuatan fisik dan batinya terkuras habis itu.

“Sekar Hubungi Danan dan Cahyo... ceritakan semua kejadian ini” Perintah Pak Sardi pada sekar.

***

Desa Lembah Keramat...

Tepat di sebuah gerbang desa Mas Jagad memarkirkan mobilnya di hadapan sebuah warung kopi yang tidak jauh dari gerbang masuk desa. Aku segera turun dengan terburu-buru dan segera mencari selokan untuk melampiaskan mualku selama perjalanan.

“Lha kenapa nan? Mabok?” Tanya Mas Jagad dengan tawanya yang setengah meledek.

“Assem Mas Jagad, iya emang buru-buru tapi nyetirnya jangan kesurupan gitu to..” Jawabku yang merasa dikerjai oleh mas jagad.

“Haha.. kan darurat, disinilah skill seorang supir harus digunakan” Balasnya yang merasa puas melihatku yang hampir pingsan. Untung saja itu mas Jagad, seandainya Cahyo yang iseng pasti sudah kulempar sandal dari sini.

“Yowis cari yang anget-anget dulu aja, rumah Mbah Jiwo harusnya ada di desa ini” Lanjut mas jagad.

Kami berdua memutuskan untuk mampir ke sebuah warung makan dan memesan minuman hangat untuk memulihkan rasa mualku sambil menikmati beberapa gorengan yang tersaji di meja.

“Bu, kalau rumah mbah jiwo jauh nggak dari sini?” Tanya mas jagad pada ibu penjaga warung yang mengantarkan teh hangat untukku dan kopi hitam untuk mas jagad.

“Oh… mboten, nggak mas.. itu di ujung desa yang halamanya paling besar, tapi kalau kesana jangan malam-malam ya” jawab ibu itu.

“Lha kalau malam kenapa bu?” Tanyaku.

“Katanya sering ada yang melihat sosok makhluk halus di halaman rumah mbah jiwo” Jawabnya.

Aku dan Mas Jagad saling bertatapan. Kami jadi semakin bertanya-tanya sebenarnya orang seperti apa yang palek minta untuk kami temui ini?
Sebuah rumah dengan pekarangan yang cukup besar terpampang di hadapan kami.

Mas Jaga memarkirkan mobilnya di bawah salah satu pohon dan segera memasuki rumah kayu yang cukup besar, sepertinya ini adalah rumah terbesar di desa ini.

Benar kata ibu warung itu, banyak sosok tak kasat mata yang menghuni halaman ini namun sepertinya mereka tidak berniat jahat. Aku cukup lega saat mengetahui hal ini.

“Kulo nuwun...” (Permisi)

Beberapa kami kami mengetuk pintu rumah itu namun tidak ada yang menyahut hingga perlahan muncul seorang pria berumur dari arah sumur timba di halaman menghampiri kami.

“Maaf mas, mencari siapa?” Tanya orang itu.

“Ngapunten, maaf pak.. saya mencari mbah jiwo” Jawabku dengan sopan.

“Saya Mbah Jiwo, ada keperluan apa mas-mas ini mencari saya?” Ucapnya yang ternyata adalah orang yang kami cari. Aku menoleh pada mas jagad karna sedikit heran,

panggilanya mbah jiwo namun dari penampilanya sepertinya umurnya ternyata tidak terpaut terlalu jauh dari paklek.

“Saya Danan Mbah, ini Mas Jagad... kami dapat info tentang mbah jiwo dari Paklek” Ucapku.

“Danan? Paklek?” Mbah Jiwo terlihat berfikir.

“Jangan-jangan kamu Dananjaya yang pernah diceritakan Dimas dan Rumi? yang Keponakanya Paklek Bimo itu?” Ucap Mbah Jiwo yang ternyata mengenal Dimas dan Rumi juga.

“I..iya mbah, mbah kenal Dimas juga?” Tanyaku.

“Wah... berarti tamu istimewa ini, ayo masuk kita ngobrol di dalam” Ucap Mbah Jiwo yang seketika berubah ramah saat mengetahui tentangku.

“Mohon maaf, saya agak hati-hati saat ada tamu tak dikenal yang datang ke sini.. beberapa orang masih kemari untuk mencari pusaka dan mencari pesugihan di lembah keramat” Akhirnya aku cukup lega saat mengetahui maksud dari respon mbah jiwo terhadap kedatangan kami.

Terlihat Mas Jagad terkagum-kagum saat mengetahui isi rumah itu dimana terlihat berbagai pusaka terpajang di dinding rumahnya.
Mbah Jiwo menyambut kami dengan mengeluarkan beberapa toples makanan dan minuman hangat.

Ia bercerita mengenai kedatangan Dimas dan Rumi yang terikat takdir dengan tragedi di lembah keramat belakang desa ini. Bahkan Mbah jiwo pernah membantu Paklek yang tidak bisa keluar dari hutan karena ribuan ular mengerubuti tubuhnya atas perintah penunggu lembah itu.

“Dimas cerita, Mas Danan yang dulu membatu menyelamatkan adiknya rumi.” Cerita Mbah jiwo dengan semangat. Kami senang mendengar cerita mbah jiwo, namun mas jagad mencolek pinggangku mengingatkan untuk menyampaikan tujuan sebenarnya kami kemari.

“Mohon maaf Mbah jiwo, sebenarnya kami ingin bertemu mbah jiwo karena ada sesuatu yang darurat” Balasku memotong cerita mbah Jiwo.

Bersamaan dengan itu Mas Jagad mengeluarkan patahan warangka atau tutup keris yang kami temukan di pabrik tahu kemarin dan membukanya di hadapan mbah jiwo. Saat itu juga wajah mbah jiwo berubah menjadi serius.

“Sebuah warangka, berumur ratusan tahun.. jelaskan apa yang terjadi” Ucap Mbah Jiwo.

Saat itu kami menceritakan mengenai kejadian yang kami alami di alas mayit dan cerita tentang keberadaan tiga keris kembar yang mulai bangkit dan memakan banyak korban.

Mbah jiwopun sempat kaget saat mendengar nama keris benggolo ireng dan keris benggolo abang yang kami temukan di alas mayit.

“Yang kalian hadapi itu bukan perkara mudah, dan sebenarnya kalian tidak harus bertanggung jawab atas kejadian itu” Ucap Mbah Jiwo yang sedikit kasihan melihat kami.

“Tapi kami tidak bisa tinggal diam mbah, ada seorang perempuan yang keluarganya mati karena keris itu dan terus mencari korban lainya, ada juga seorang ayah yang rela mengasingkan diri ke alas mayit untuk menyelamatkan keluarganya... lambat laun orang terdekat kita yang akan menjadi korban keris itu juga” Jawabku.

“Kami dipercayakan kemampuan ini oleh Yang Maha Pencipta bukan untuk menghindari masalah-masalah ini mbah. Setidaknya ada sesuatu yang harus kami perbuat” Tambah Mas Jagad.
Mbah Jiwo menghela nafas berusaha mencoba mengerti pemikiran kami.

“Yah saya tidak heran, saya cukup mengenal bimo sebagai orang yang mau berkorban bahkan untuk orang yang tidak ia kenal dan ternyata masih ada orang-orang yang seperti dia” Ucap Mbah Jiwo.

Kamipun menceritakan mengenai asal usul warangka ini yang dulunya pernah menyegel keris benggolo ireng juga tentang paklek yang meminta kami menemui mbah jiwo untuk menanyakan perihal pusaka ini.

Mbah Jiwopun menjelaskan bahwa dulunya ia adalah empu pembuat pusaka, bahkan tabuh waturingin yang digunakan oleh mbah rusmanpun sempat disimpan olehnya. Ternyata dunia ini tidak sebesar yang kukira atau malah takdir yang menghubungkan kami semua.

Dari cerita itu kami mengerti bahwa Mbah jiwo mungkin bisa membantu kami mengembalikan kemampuan dari warangka ini.

“Ini memang takdir...” Ucap Mbah Jiwo.

Kami tidak mengerti dengan apa yang ia maksud, namun Mbah jiwo masuk ke dalam rumahnya dan mengeluarkan sebuah benda yang ia simpan dalam sebuah peti kayu. Mbah Jiwo meniup debu di kotak itu dan membukanya.

Sebuah keris dengan bentuk ukiran yang persis dengan Keris Benggolo Abang yang pernah kami lihat namun terlihat kosong tanpa adanya kekuatan apapun bahkan bilahnya terlihat tidak terawat.

“Ini yang ketiga.. yang tadi kalian sebut dengan nama Keris Benggolo Lanang”

Mendengar nama itu seketika aku dan mas jagad segera mengambil posisi waspada. Kami sudah mengetahui kekuatan kedua keris kembar lainya dan keris ini adalah salah satu dari keris kembar itu.

“Tidak usah takut, dulu leluhurku membuat warangka itu menggunakan aliran kekuatan dari keris benggolo lanang yang belum dikuasai iblis seperti dua lainya.. setelah itu keris ini sudah tidak memiliki kemampuan lagi” Jelasnya.

“Lalu Mbah Jiwo, apa mbah jiwo bisa memulihkan warangka ini?” tanya mas jagad.
Mbah Jiwo menggeleng dan seketika kami mulai merasa bingung.

“Tapi aku bisa membuat kembali warangka yang sama, namun aku butuh bantuan” Lanjut Mbah Jiwo.

Mbah Jiwo menceritakan kekuatan Keris Benggolo Lanang ditahan oleh sosok panglima yang mengorbankan dirinya untuk menahan kemampuan keris ini.

sebuah benda diletakan di sebuah tempat di alam ghaib untuk mengikat kekuatan keris benggolo lanang. Setelah ratusan tahun keris inipun mati dan benda itu sudah bisa diambil.

“Harus ada orang yang bisa menarik pusaka yang terikat dengan benda ini” Ucap Mbah Jiwo.

Aku dan Mas Jagad mencoba memikirkan siapa seseorang yang memiliki kemampuan menarik pusaka dan memang tidak ada satupun yang kami kenal. Namun sepertinya mas jagad menemukan sesuatu.

“Mbah diantara kami tidak ada satupun yang bisa menarik pusaka, tapi jika saya mengikuti aliran tenaga pusaka itu dan masuk ke alam ghaib apa saya bisa mengambil benda itu?” Tanya Mas Jagad.

“Itu mungkin, tapi sangat berbahaya...” jawab mbah jiwo.

Memang benar, aku pernah merasakan berada di alam sana selama beberapa saat dan itu benar-benar mengerikan.

“Tidak apa mbah, saya punya cara sendiri untuk kembali dengan selamat” Ucap Mas Jagad dengan percaya diri namun sepertinya itu karena tidak ada pilihan untuk kami selain mengambil resiko ini.
Setelah berdebat cukup lama akhirnya mbah jiwo menyetujui rencana kami.

Aku akan membantu melepaskan sukma mas jagad agar ia bisa mengikut aliran kekuatan keris benggolo lanang.

“Benda yang harus kamu cari adalah bongkahan emas putih yang berada di hutan yang rimbun, saat sampai di hutan itu tidak sulit untuk menemukanya” Jelas Mbah Jiwo.

Tepat setelah mendengar arahan mbah jiwo mas jagad menggenggam keris benggolo lanang sementara aku menahan tubuh mas jagad agar jiwanya tetap stabil saat sukmanya mencari benda yang dimaksud oleh mbah jiwo.

Aku melihat semua yang dilihat oleh sukma Mas Jagad. Keris itu memasukan sukma mas jagad ke alam pertama dimana hanya hutan dan kabut yang terlihat di sekitar mas jagad. Kehadiranya memancing berbagai makhluk untuk mendekat ke arahnya namun tujuan mas jagad bukanlah disana.

Keris benggolo lanang terlihat memiliki aura yang mengarakan kami ke alam kedua, sebuah tempat yang tidak berwarna. Sebuah hutan lebat namun hanya warna hitam dan putih yang ada di alam ini.

Semakin banyak makhluk yang berada di tempat ini, mereka terlalu berisik dengan kehadiran mas jagad.
Aku merasakan mas jagad dalam bahaya, berbagai makhluk mencoba menyergap dirinya di hutan itu namun samar-samar aku mendengar mas jagad

Membaca sebuah mantra yang membuat dirinya seolah melesat dengan cepat ke arah yang ingin ia tuju. Sayangnya bersamaan dengan itu hubunganku dengan sukma mas jagad terlepas dan kembali ke kesadarnku.
“Apa yang terjadi?” Tanya mbah jiwo.

“Mas jagad bertarung sendirian, kemampuanku tidak mampu mengimbanginya” ucapku yang sedikit merasa kagum. Mungkin di pertarungan di alam manusia aku dan cahyo lebih unggul dari mas jagad namun soal bertahan hidup di dimensi lain mas jagad jauh lebih mampu.

Hampir beberapa jam kami menunggu mas jagad, bahkan aku dan mbah jiwo sudah menghabiskan beberapa gelas kopi.
Saat hari semakin malam tiba-tiba Mas Jagad mendapatkan kembali kesadaranya dan melompat ke belakang jauh dari tempatnya duduk bersila.

Kami mencoba mendekat namun Mas Jagad menahan kami.

“Awas! Jangan kesini dulu!” Ucap mas jagad dengan tangan yang seolah menggenggam sesuatu.
Tanganya seperti membentuk sebuah gerakan hingga akhirnya sesuatu yang tidak diketahui darimana asalnya jatuh tepat dihadapan mas jagad.

“Mbah Jiwo, Lempengan emas ini yang di maksud?” Tanya Mas Jagad.

“Benar, tidak salah lagi! Kalian memang hebat!” Ucap Mbah Jiwo dengan sumringah.

“Kini giliran aku dan pertarunganku, kalian tunggulah... besok pagi benda ini sudah bisa kalian bawa!” Ucap Mbah Jiwo.

“Secepat itu? Mbah bisa membuatnya dalam waktu semalam?” Tanyaku yang masih kurang percaya dengan ucapanya.

“Ki Jiwo Setro belum pernah gagal dalam menyelesaikan pusaka.. istirahatlah besok pertarungan kalian akan lebih mengerikan” Ucapnya.

Mendengar kebanggaanya itu aku jadi merasa sedikit tenang. Mas Jagad sudah terlalu kelelahan ia sudah terbaring di tikar berusaha mengembalikan tenaganya.
Tidak ada lagi yang dapat kami lakukan selain menunggu, namun aku khawatir dengan Cahyo yang sendirian pergi ke desa Indira tempat pemilik keris benggolo ireng itu berada. Mungkin aku harus mencoba mengeceknya.

*****

Dengan bantuan keris Rogosukmo aku memisahkan sukma dari tubuhku dan melayang menghampiri sebuah tempat dimana aku merasakan sukma milik cahyo. Saat semakin mendekat aku merasakan ada yang aneh seolah sukma cahyo perlahan melemah seperti dalam sebuah pertempuran.

Benar saja, aku tiba di sebuah desa yang dikelilingi oleh berbagai roh dan setan pengikut keris benggolo ireng. Sebuah keris melayang menghabisi nyawa warga desa seolah menghisap kekuatan dari setiap manusia yang dibunuhnya.

Aku mencari keberadaan Cahyo, tubuhnya terlihat terluka dengan bekas tusukan keris dan sosok manusia dengan wajah mengerikan dan kulit yang seperti terbakar terlihat menyerang cahyo dengan beringas. Itu bukan manusia... makhluk itu sudah sepenuhnya menjadi setan.

Dari perbincangan mereka, aku mendengar makhluk itu bernama Songgokolo
Perasaan dilema menghampiri diriku dimana aku harus menolong cahyo atau warga desa, namun sebelum aku memutuskan tiba-tiba aku mendengar suara nenek yang melintas dengan cepat.

“Minggir bocah, biar aku yang mengajari bocah ketek itu!” Ucap sosok yang melewati sukmaku tanpa memandangku sedikitpun. Aku memperhatikan wujudnya, itu adalah nyai jambrong.

Dengan kecepatan yang sulit kuikuti, ia segera menerjang sosok setan yang menyerang cahyo hingga membuatnya terpental.
Melihat hal itu aku sedikit tenang. Kali ini aku fokus menahan serangan dari keris benggolo ireng yang mencoba menyerang warga desa.

Berkali-kali benturan kekuatan terjadi antara kedua keris ini. Tanpa ada seseorang yang mengendalikanya saja keris ini sudah sekuat ini, bagaimana bila keris ini dikuasai sepenuhnya?

Sosok yang bertarung dengan cahyopun akhirnya kewalahan dan memanggil kerisnya. Saat ini aku masih harus bertarung dengan setan-setan pengikut Songgokolo agar tidak ada lagi korban jiwa di desa ini.

Beruntung pertarungan mereka berakhir sebelum aku kehabisan tenaga. Namun ternyata itu bukan akhir yang baik, sepertinya songgokolo pergi menghampiri sesuatu yang bisa membuatnya bangkit sepenuhnya. Setelah ini, semua akan menjadi bertambah gawat.

Dalam sekejap tiba-tiba sukmaku kembali ke ragaku. Tenagaku benar-benar terkuras saat pertarungan dalam wujud sukma tadi. Beruntung ikatanku dengan keris ragasukma membuatku dapat kembali dengan utuh.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menenangkan pikiranku. Sebenarnya aku berniat menghubungi cahyo, namun niat itu kuurunkan karna sepertinya ia masih harus mengurus banyak hal disana.

Mungkin saat ini Istirahat adalah hal yang paling baik. Setidaknya saat kami menghadapi Songgokolo lagi kami bisa bertarung dalam kondisi yang sempurna.

***

Ada sebuah warung kopi di pinggir jalan yang berbatasan langsung dengan sebuah jurang di pinggir jalan. Di sekitarnya pemandangn yang mengagumkan dari beberapa bukit dan gunung memanjakan mata pengunjung yang mampir kesana.

Sepeda motor Vespa tua terparkir disana menandakan Cahyo sudah lebih dulu sampai disana sesuai dengan waktu pertemuan yang kami sepakati.

Seharusnya Abah dan Dirga juga ada disini, namun perjalanan dari desanya ke tempat ini memakan waktu yang cukup lama sehingga kami harus menghadapi ini lebih dulu.

“Indira tidak ikut?” Tanyaku yang segera mengambil tempat duduk di depan Cahyo sementara Mas Jagad masih memeriksa mobilnya.

“Nggak, terlalu berbahaya untuk dia. Di desa Wadirejo ada Guntur, murid Nyai Jambrong yang menjaganya.” Jawab Cahyo.

“Terus kalau sendirian kenapa di motormu helmnya ada dua?” Tanyaku sekedar memastikan.

“Sudah nan, mendingan nggak usah di tanya...”

“Maksud kamu gimana? Memang siapa yang ikut?”

Cahyo tidak menjawab dan hanya menghela nafas, namun tak berapa lama terdengar suara dari pinggir jurang yang berbatasan dengan warung ini.

Dari jurang itu terlihat ada seseorang yang berusaha memanjat dengan cepat ke arah warung ini, langkahnya yang menyibakan semak dan pepohonan terdengar semakin cepat.

“Bocah Ketek ora sopan! Uwong tuwo jatuh ora ditulungi!!” (Anak monyet nggak sopan! Orang tua jatuh tidak ditolongin) Ucap sosok nenek tua yang wajahnya tidak asing.

“Kan Aku wis ngomong nyai, ojo lingguh ning kono.. bahaya. Lah giliran tibo aku sing disalahi” (Kan aku sudah ngomong nyai, jangan duduk disana.. bahaya, lah giliran jatuh aku yang disalahkan) Balas Cahyo dengan tenang seolah sudah malas berdebat.

Seketika aku membayangkan apa saja yang terjadi selama perjalanan saat cahyo menbonceng nyai jambrong hingga tiba di tempat ini.

“Jul, kowe mboncengi Nyai Jambrong to?” (Jul Kamu boncengin Nyai Jambrong ya?) Ucapku setengah tersenyum.

“Ora usah takon-takon! Tak sampluk raimu mengko!” (Nggak usah tanya-tanya! Tak lempar mukamu nanti) Jawabnya emosi dan sudah pasti membuatku sulit menahan tawa.

“Nyai, apa kabar?” Tanyaku dengan sopan.

“Pikiren dewe!” (Pikir Sendiri) Jawabnya ketus.

“wong tibo ditakokke kabar” (Orang jatuh ditanyain kabar) Aku masih tersenyum melihat situasi ini. Dia adalah nyai jambrong, salah satu orang tersakti yang berpengaruh besar dalam tragedi terbukanya gerbang Jagad segoro demit dulu.

Sang pengguna ilmu rawarontek dan penguasa aliran ilmu hitam yang sudah menghabisi banyak nyawa kini terlihat bertingkah konyol di hadapan kami.

“Haha.. ngapunten nyai, sudah pesen belum? Saya pesankan sekalian” Tanyaku.

“Ra usah, kuwi lho piring numpuk akeh sakmono kuwi mbok pikir sopo sing ngentekno” (Nggak usah, itu lho porong sebanyak itu kamu pikir siapa yang ngabisin) Ucap Cahyo.

“Nyai Jambrong?” tanyaku.

“Ora, demit alas wadirejo!” Jawab Cahyo kesal. Bersamaan dengan itu sebuah sendal jepit kumal mendarat tepat di kepala cahyo.

“Sopo sing mbok omong Demit?! Ngomong meneh!” (Siapa yang kamu bilang demit? Bilang lagi?) Ucap nyai jambrong.

“Ora mbah, mau ono demit lewat langsung tak bacakan doa biar tenang... wis aman mbah, wis lungguh meneh” (Nggak mbah, tadi ada demit lewat langsung saya basakan doa biar tenang, sudah aman mbah, sudah duduk lagi) Balas Cahyo mencari alasan.

Mendengar keramaian di warung Mas Jagad ikut masuk setelah memesan nasi rames dan kopi kepada penjaga warung.

“Ternyata bener ya, kalau ada Cahyo pasti rame” Ucap Mas Jagad yang juga secara sopan segera memperkenalkan diri ke Nyai Jambrong.

“Saya Jagad Nyai, terima kasih lho sudah mau repot-repot ikut sampai kesini” Ucap Mas Jagad.

“Nah Kuwi, untung masih ono uwong sing rodo sopan... ora koyo bocah ketek kuwi” (Nah itu, untung masih ada orang yang agak sopan, jangan seperti bocah monyet itu) Ucap nyai Jambrong.

“Nih kiwi, inting misih ini iwing sing ridi sipin...” Bisik Cahyo sambil meminyingkan bibirnya meledek ucapan nyai jambrong namun terhenti saat nyai jambrong memelototinya.

Kejadian pagi ini di warung cukup berhasil menghilangkan rasa tegangku setelah melihat tingkah konyol cahyo dan nyai jambrong. Kamipun segera mengisi perut kami dan melanjutkan perjalanan ke desa tujuan kami. desa dimana Yarto, Paklik indira tinggal.

*****

Secepat mungkin kami menghampiri desa yang ditunjukan oleh Indira. Namun saat sapai di lokasi desa ini terlalu sepi seolah sudah ditinggalkan oleh warganya. Memang Indira sudah menghubungi Paklik Yarto mengenai keadaan ini, namun kami tidak menyangka desa akan dengan mudah dikosongkan seperti ini.
Kami berpencar dan berkeliling mencari siapapun yang bisa kami temui di desa ini namun hanya rumah-rumah kosong yang kami temui. Aku tidak merasakan hal aneh dari desa ini, namun tidak dengan nyai jambrong. Ia seperti merasakan sesuatu dan mulai memanjat ke atap-atap rumah seolah mencari keberadaan sesuatu.

“Ngomongi aku bocah ketek, tapi sendirinya sing luwih koyo ketek” (ngatain aku bocah monyet tapi sepertinya lebih mirip monyet) Bisik cahyo yang masih kesal dengan nyai jambrong.
Aku sedikit tertawa, namun kali ini aku sengaja memutus ledekanya mengingat saat ini kita harus lebih fokus.

Tidak ada yang terjadi di desa ini hingga maghrib menjelang, Nyai Jambrong pun akhirnya hanya duduk terdiam di salah satu atap rumah seolah sedang menerawang sesuatu.

“Bersiap-siaplah, semua akan dimulai saat matahari terbenam” Ucap Nyai Jambrong yang wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya.
Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui arti dari peringtan nyai jambro.

Tepat saat langit mulai menghitam dan tidak ada cahaya matahari lagi di desa ini seketika kami merasakan perasaan yang membuat kami gelisah.
Berbeda dari sebelumnya tiba-tiba dari setiap rumah terlihat sosok yang memandang kami dari setiap jendela.

Sudah pasti mereka bukan manusia, tapi kenapa kami tidak bisa merasakan kehadiran sosok-sosok ini siang tadi?

“Danan, ini sudah keterlaluan. Sepertinya nyai jambrong juga sudah sadar akan hal ini”Ucap Cahyo

“Apa maksudmu?”
“Semua warga desa ini sudah mati.. kita terlambat”

Sontak aku memperhatikan sekitar dan benar sosok roh yang memandang kami dari dalam rumah sepertinya memang roh warga desa. Mas Jagadpun segera mendekati kami.

“Tahan emosi kalian, makhluk itu masih ada disini.. di alam sisi lain desa ini, kalau kalian siap aku bisa menarik mereka saat ini juga” Ucap Mas Jagad yang sepertinya menahan emosinya.

“Tarik Mas! Kita selesaikan semuanya sekarang!” Ucap Cahyo dengan geram.

Mengetahui apa yang akan dilakukan mas Jagad, nyai jambrong segera melompat turun dan menghampiri kami. Mas Jagad membacakan doa yang cukup panjang hingga samar-samar terlihat sosok yang sedang bertarung.

Tepat saat menyelesaikan doanya benturan energi beradu dan menggetarkan bangunan di sekitar kami.
Songgokolo sedang bertarung dengan seorang manusia, bukan Paklik Yarto, Orang itu terlihat lebih muda namun tubuhnya sudah babak belur seolah setengah mati menahan Songgokolo dengan berbagai pusaka yang ia kenakan.
Pedang pendek, kalung jimat dan beberapa cincin pusaka memberinya kekuatan untuk bertahan dari berbagai serangan Songgokolo.

“Akhirnya kalian tiba!” Ucap Orang itu yang hampir sekarat.
Mendengarnya berbicara, kami segera menghampiri orang itu dan mencoba membaca situasi ini.

“Nyai Jambrong, kau disisi yang salah!” Ucap Songgokolo yang mengetahui keberadaan nyai jambrong.

“Khehkehkehe... aku tak peduli, bocah-bocah ini lebih menarik dari kacung-kacungmu” Jawabnya sambil tertawa terkekeh.
Pria yang bertarung dengan songgokolo itu adalah Yardi putra Paklik Yarto yang sebelumnya kehilangan kewarasan karena perang santet antara Paklik Yarto dan Paklik Sumar. Namun saat ayahnya mati dibunuh oleh songgokolo ia mendapatkan kesadaranya kembali dan mencoba menahan Songgokolo dengan semua pusaka yang dimiliki keluarganya.

“Sudah jangan memaksakan diri, biar kami yang melanjutkan” Ucapku namun ia tidak mengindahkan perkataanku dan kembali berdiri dengan menyeret badanya menghampiri Songgokolo.

“Sisanya kuserahkan pada kalian, balaskan dendam bapak!” Ucap Yardi yang membacakan sebuah mantra. Seketika pusakanya diselimuti kekuatan hitam dan Yardi mengarahkanya kepada Songgokolo.

Tidak ada rasa gentar sedikitpun dari wajah setan yang semakin menghitam itu. Ia hanya mencabut keris dan bersiap meladeni serangan Yardi.

“Itu ilmu hitam, hentikan Yardi! Melawan setan dengan ilmu hitam memang sudah tujuan mereka!” Teriak cahyo yang tidak diindahkan oleh Yardi yang sudah terbakar api dendam.
Belum sempat pusaka Yardi menyentuh songgokolo seketika satu sosok melesat ke arah mereka.

Sekilas aku melihat dengan jelas bahwa itu adalah mbah suroto dalam pengaruh keris benggolo abang.
Dalam hitungan detik Mbah suroto menjambak Yardi hingga kehilangan keseimbangan dan menyayatkan keris ke lehernya hingga terputus.

Kami tidak sanggup bertindak apapun melihat kejadian itu, hanya tubuh Yardi yang sudah terpisah dari kepalanya lah yang sekarang berada di hadapan kami.

“kheheea... Songgokolo, kita selesaikan dulu mereka” Ucap Mbah Suroto yang sudah kesetanan.

Kini mimpi buruk benar-benar terjadi.. Darmijo Ayah Indira yang sudah menjadi titisan keris benggolo ireng sudah berkumpul bersama sosok yang merasuki keris benggolo abang.

“Gondokolo.. panggil yang lain!” Perintah songgokolo yang segera dituruti oleh sosok yang mendiami mbah suroto.
Tak butuh waktu lama hingga berbagai sosok mengepung desa ini. aku tidak bisa melupakan sosok pocong dengan kain kafan yang penuh darah yang sempat merasuki dirga.

Terlihat juga sosok dukun nenek tua yang mencoba membunuh indira. Berbagai sosok yang merayap di atap rumah-rumah dan roh yang bergentayangan di sekitar desa.
Seketika tubuhku bergetar, kami harus melawan semua sosok ini.

Ini sama saja kami ber empat melawan satu kerajaan demit. Ini bukan sesuatu yang bisa diatasi oleh manusia pikirku.

“Kenapa bocah? Sekarang kalian gentar?” Tanya Nyai Jambrong.
Aku tidak bisa membantah perkataan Nyai Jambrong.

Tidak ada satupun cara yang bisa kupikirkan untuk mengalahkan makhluk-makhluk ini.
Di tengah kebingunganku tanpa kusadari punggungku terasa panas dan saat aku menoleh terlihat sosok pocong itu sudah di belakangku mencoba merasukiku sama seperti dirga dulu.

Aku membacakan mantra pelindung untuk menghindari kami semua dari setiap kutukan makhluk-makhluk ini, sayangnya sosok pocong ini terlalu kuat sesuatu membelenggunya dan membuatnya begitu terikat pada kedua makhluk itu.

“Bocah! Panggil monyetmu! Jangan diam saja!” Teriak nyai Jambrong.
Kali ini cahyo tidak membalas ucapan nyai jambrong dan segera memanggil wanasura. Terlihat dari wajahnya juga terlihat panik. Terdengar suara auman binatang buas yang merasuk ke tubuh Cahyo.

Sepertinya Wanasura juga merasa gelisah.
Cahyo segera maju menerjang ke arah songgokolo dan tanpa adanya perkataan apapun nyai jambrong segera mengikutinya. Sebuah pukulan dilayangkan namun dengan mudah dipentalkan oleh songgokolo.

Nyai jambrong menyusulnya dan melontarkan tendangan ciri khasnya namun Gondokolo yang menguasai tubuh mbah suroto menahanya.
Mas Jagad tak henti-hentinya membacakan doa dan ayat suci untuk menjauhkan roh-roh di sekitar kami.

Namun sepertinya ia juga kewalahan dengn sosok demit yang mulai mengincarnya.
Aku mencoba memasuki pertarungan cahyo dengan membacakan doa pada kepalan tanganku dan melontarkan ajial lebur saketi sebuah pukulan jarak jauh ke arah mbah suroto namun serangan itu dengan mudah ditahanya. Sebaliknya kini ia mengincarku dengan keris benggolo abang yang ada di genggamanya.
Beruntung aku sempat menarik keris rogosukmoku dan menahan serangan mengerikan dari keris berbilah merah itu hingga suara dentuman menggema ke seluruh desa. Walapun aku bisa menahan semua serangan mbah suroto namun pertarungan ini jelas berat sebelah. Aku bahkan tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan ilmuku.

Di tengah pertarungan aku memperhatikan sebuah bekas luka hitam di dada mbah suroto, luka itu tidak mengering dan terus meneteskan darah tanpa henti.

Sayangnya di tengah situasi itu aku lengah dan berbagai roh disekitar mencoba merasuki tubuhku hingga Gondokolo berhasil mendaratkan keris benggolo abang ke salah satu lenganku.

Mas jagad yang menyadariku terluka segera menarikku yang sedang berusaha mempertahankan kesadaran dari makhuk-makhluk yang mencoba merasukiku.
Belum sempat memulihkan diri tiba-tiba cahyo terpental dan jatuh tak jauh di tempatku berada.

“Bocah, setan-setan itu tidak menyerang dengan kehendaknya.. dukun-dukun itu yang mengendalikan!” Teriak nyai jambrong yang mencoba menjaga jarak hingga cahyo bersiap kembali menyerang.

Kami mengetahui posisi dukun-dukun yang mengendalikan makhluk itu, mereka berada di keempat penjuru desa ini tapi kami tidak mungkin meninggalkan pertarungan ini untuk mengejar mereka.

Cahyo mencoba berdiri lagi namun ia merasakan keanehan saat roh wanasura tidak lagi merasuki dirinya.

“Wanasura?! Apa yang terjadi?” Teriak cahyo bingung.

Suara mengerang terdengar dengan keras. Sepertinya sosok roh wanasura berusaha bertahan dari pengaruh kekuata hitam yang mencoba mengambil alih kesadaranya.

Melihat celah itu songgokolo menghampiri cahyo dan menghujamkan keris hitam di tanganya. Aku yang melihat hal itu segera berlari dan menahan keris itu dengan keris rogosukmo di tanganku.

Sayangnya serangan itu terlalu kuat dan membuat kami terpental dengan keras hingga tak mampu lagi menahan darah yang keluar dari mulut kami.
Mas Jagad bersiap menahan songgokolo untuk menyerang kami dengan lebih jauh namun nyai jambrong menendangnya hingga terpental.

“Apa ini nyai?” Tanya Mas Jagad.

“Jangan goblok, kamu tidak punya pusaka maupun roh yang bisa menahan songgokolo. Satu serangan saja kamu mati!” Jelas nyai jambrong yang segera menggantikan mas jagad menyerang songgokolo namun sepertinya kesabaran kedua setan itu sudah habis.

Saat mencoba menolong kami Gondokolo melemparkan kerisnya dan tepat menusuk punggung nyai jambrong. Songgokolo segera memanfaatkan kejadian itu dan menggenggam wajah nyai jambrong, mengangkatnya dan membantingnya hingga cairan merah keluar dari mulutnya.

“Nyai!” Aku mencoba berdiri namun cukup sulit untuk mencapai tempatnya.
Nyai Jambrong menjadi bulan-bulanan kedua setan itu, ia setengah mati menahan setiap serangan yang diarahkan keadanya.

“Mati, dia bisa mati Danan!” Teriak cahyo yang juga berusaha kembali berdiri.

Saat kesadaranya mulai hilang, samar-samar terlihat kekuatan hitam yang muncul dari tubuh nyai jambrong. Aku tahu dengan jelas, itu adalah ilmu hitam yang sudah tidak ingin ia gunakan lagi, ilmu itu sudah pasti bisa menyelamatkanya dari serangan itu.

Yang terjadi benar-benar membuatku kaget. Nyai jambrong malah menguatkan ikatan benda yang menyerupai tasbih di tanganya dan menahan kekuatan itu untuk keluar. Niatnya untuk memohon pengampunan ternyata lebih berarti dibanding nyawanya.

Seolah menjawab semua niatnya tiba-tiba terdengar suara dari pengeras suara masjid di desa ini. suara ayat-ayat suci yang dilantunkan ke seluruh desa oleh suara yang aku kenal.
“I..ini suara abah?” Tanyaku.
“Benar, Ini suara abah! Tidak salah lagi” Jawab mas jagad.

Saat itu juga Songgokolo dan Gondokolo merasa terganggu dan segera melepaskan nyai jambrong mencari asal suara itu. Tak hanya itu seluruh makhluk di sekitar desa ini juga seolah terlepas dari ikatan kedua setan itu.

“Ada yang mengalahkan dukun itu!” Ucap Cahyo.

Sekilas aku melihat sosok keris yang beterbangan di keempat sudut desa. Tak lama setelahnya kami melihan sosok anak laki-laki yang berlari ke arah kami.

“Maaf kami terlambat!”
Itu dirga, sepertinya dia sudah benar-benar menguasai kemampuan kerisnya.

“Keren Dirga! Dari tadi aku sudah kesal sama dukun-dukun itu!” Ucap Cahyo.

“Seranganku hanya bisa menghentikan ritual mereka, roh-roh ini akan dalam kendalinya lagi bila kekuatanu habis” Jelas Dirga.

Benar ucapan dirga, kami tidak punya banyak waktu saat roh itu kembali mengganggu pertarungan kami kesempatan menang kami akan semakin kecil. Namun wanasura masih belum bisa mengendalikan dirinya.

Di tengah keraguanku tiba-tiba hujan turun dengan deras. Tak ada awan yang menutupi langit desa ini dan tidak ada angin yang datang bersama huja itu.

“Wanasura! Apa yang terjadi” ucap cahyo yang heran dengan wanasura yang tiba-tiba terdiam.

Aku menoleh pada nyai jambrong terlihat kekuatan hitam menguap dari dalam dirinya saat terguyur hujan ini. Dan yang lebih mengagetkan lagi, sosok ratusan roh yang sudah tidak dikendalikan oleh dukun pengikut songgokolo perlahan menghilang satu persatu.

“Cahyo, apa Wanasura sudah tenang?” Tanyaku.

Cahyo mengangguk dan menoleh ke arahku seolah menanyakan maksudku.

“Nyi sendang rangu, tenangnya air hujan ini sudah pasti kiriman Nyi sendang rangu” Ucapku yang menikmati dinginya air hujan yang membasahi seluruh desa.

Mengetahui hal itu cahyo tersenyum seolah mendapatkan harapan baru.

“Semesta sudah membantu kita sebanyak ini, keterlaluan bila ktia tidak bisa mengalahkan mereka” Ucap Cahyo.

Hujan ini meredakan rasa sakitku, cahyopun sudah bersiap dengan wanasura namun sebelum kami melangkah sosok roh menghadang kami di tengah derasnya hujan.

“Aku bawakan satu bantuan lagi...” Ucap sosok yang suaranya sangat kami kenal. Itu adalah sukma paklek!

“Hehe.. aku sudah menduga, sekar terlalu panik mengira paklek sudah berpulang” Ucap Cahyo.

“Ora usah kakean cangkem, nek sampek kalah sarungmu tak sumet mercon” (Nggak usah banya bicara! Kalau sampai kalah sarungmu tak bakar pake petasan) Ucap Paklek yang bergeser ke tempatnya dan memperlihatkan sosok kecil yang datang bersamanya.

“Kliwon!” Cahyo berteriak menyambut temanya itu.

“Ayo danan! Kali ini kita tidak mungkin kalah”

Kami berjalan mendekati Songgokolo dan Gondokolo, roh paklek berjalan di depan kami dengan membacakan beberapa mantra yang tidak kami mengerti. Saat itu juga luka di dada mbah suroto terbakar api hitam persis seperti bekas luka yang dihasilkan oleh bilah hitam keris sukmageni.

Seketika tubuh manusia mbah suroto terbakar ia berteriak sekeras-kerasnya dengan rasa sakit dari api itu. Ada sosok setan berwarna merah dengan taring yang panjangnya melebihi dagunya seolah hampir terpisah dari tubuh mbah suroto.

“Brengsek! Kuhabisi sukmamu!” Teriak songgokolo namun kesempatan yang dibuat paklek ini tidak mungkin kusia-siakan.
Sebuah mantra kubacakan dengan keris ragasukma di genggamanku hingga kilatan cahaya putih menyinari bilahnya.

Seolah mengerti maksudku Cahyo memperkuat tanganya dan membantu melontarkanku ke sosok yang terpisah dari mbah suroto dan menusukkan keris ini tepat di dahinya.

Songgokolo bersiap menghabisiku yang tak jauh dari dirinya namun bayangan sosok kera besar mementalkanya dan menyelamatkanku. Dengan serangan ini keris benggolo abang terlepas dari genggaman mbah suroto.

“Danan bawa pergi tubuh Mbah suroto!” Teriak mas jagad yang segera berlari ke arah keris benggolo abang yang terjatuh.
Ia mengeluarkan sebuah benda dari tasnya, sebuah benda yang ditempa oleh mbah jiwo semalam penuh.

Bukan berbentuk warangka, benda itu adalah keris benggolo lanang dengan bilah yang dilapisi emas putih.
Mas Jagad mengangkat tinggi-tinggi kerisnya dan menghujamkanya ke keris benggolo abang hingga terpecah berkeping-keping.

Belum pernah aku melihat seseorang semudah itu menghancurkan sebuah keris.
Tepat saat keris itu hancur, sosok gondokolo seperti terbakar api yang muncul dari dalam bumi.

“Keris? Bukan warangka” Tanyaku

“Mbah Jiwo ingin menghancurkan kutukan keris itu, bukan sekedar menyegelnya.. Emas ghaib itu ia gunakan untuk keris ini, tidak akan kuat untuk bertarung. Tapi cukup mampu menghancurkan keris kembaranya” Jelas Mas jagad.

“T..tidak! Songgokolo! Tolong ! Aku tidak mau kembali ke alam itu!!” Teriak gondokolo yang semakin terbakar dengan panasnya api yang entah muncul dari mana. Tubunya semakin menghitam dan sesuatu seperti menghisapnya kesuatu tempat yang sangat panas.

Saat itu juga Songgokolo mulai terlihat gentar. Ekspresinya itu membangkitkan semangat kami.
“Dirga tolong bantu selamatkan Nyai Jambrong, Songgokolo bisar urusan kami” Ucapku dengan percaya diri.

“Danan, Hujan dari Nyi Sendang Rangu bisa mempertahankan sosok roh kan?” Tanya cahyo.
Ucapan Cahyo benar, di desa tanggul mayit dulu kami terbantu saat bisa memanggil wanasura dalam wujud rohnya. Aku sudah membayangkan dengan semangat apa yang akan kulihat setelah ini.

“Wanasura!! Wanasudra!!”
Sesuai dugaanku! Cahyo memanggil kedua roh kera dari alas wanamarta sahabatnya itu. Seketika dua sosok kera raksasa berdiri dihadapan kami dan tak sabar untuk melampiaskan amarahnya.

“Keren! Wanasura ada dua?” Tanya Dirga.

“Itu wujud asli kliwon?” Ucap Jagad yang terkagum-kagum dengan apa yang dilihatnya.

“Ayo Danan! Kita kasi pelajaran buat demit uzur ini!” Ucap Cahyo.

Aku segera menaiki tubuh besar Kliwon sementra cahyo bersama wanasura. sulit membedakan mereka berdua, namun senyuman kliwon memang memiliki cirikhas baik dalam wujud apapun. Inilah yang membuatku bisa membedakan mereka berdua.
Songgokolo tidak tinggal diam, ia menghunuskan kerisya ke tanah dan membuat sebuah kekuatan hitam yang mengelilinginya.

Saat mendekat ke arahnya kesadaran kami terganggu seolah ada rasa sakit yang memasuki kepala kami. beruntung air dari nyi sendang rangu menahan kutukan itu hingga kami masih bisa bertahan untuk memberi kesempatan kedua kera kembar ini menghantam songgokolo.

Darah hitam bermuncratan dari mulutnya, namun ia tidak berhenti dan menghujamkan kerisnya ke arah wanasura. Dengan sigap aku memisahkan sukmaku dari ragaku yang berada di tubuh kliwon untuk segera menahan keris itu dengan keris ragasukma hingga seranganya terpental.

Cahyo membacakan mantra penguat raga yang dirasakan oleh wanasura dan wanasudra hingga pukulanya kembali membuat songgokolo terpental.
Saat aku kembali ke tubuhku Wanasura melemparkan tubuh cahyo hingga mendarat tak jauh dari songgokolo.

Seperti membaca maksudku ia melepas sarung kebanggaanya dan melompat menutupi wajah songgokolo.

“Sekarang Danan!” teriak cahyo.

Aku mengingat jurus yang diajarkan daryana dan membacakan mantra untuk menyalurkan energi ke keris ragasukma hingga menyala kilatan putih.

“Wanasudra lemparkan tubuhku !” Ucapku yang segera meluncur dengan cepat dan mendaratkan seranganku tepat di dada Songgokolo. Sayangnya Songgokolo masik cukup kuat untuk menghantam kami hingga terpental. Beruntung Wanasudra dan Wanasura berhasil menangkap kami.

Songgokolopun mencabut mengambil kerisnya lagi, kini tubuhnya tak lagi berwujud manusia. Sebagian tubuhnya membentuk sisik ular membuktikan bahwa Ayah Indira titisan dari songgokolo ini.

“Ayo Cahyo sedikit lagi, buktikan.. demit keris kembar itu gak lebih keren dari Monyet kembar alas wetan!” Ucapku memanaskan semangat cahyo.

“Wanasura kembali!” Ucap Cahyo yang meminta wanasura merasuk dalam tubuhnya. Kini wanasudra menangkap cahyo dan melemparkanya ke arah songgokolo. Tubuhnya yang sudah melemah akhirnya terpental oleh serangan cahyo itu. Kini keris benggolo ireng berhasil terlepas dari genggamanya.

Mas Jagad sedari tadi sudah bersiap dengan ilmu serupa denganku yang diajarkan oleh Daryana. Keris benggolo lanang menyala terang dengan ajian yang dibacakan oleh mas jagad. Dengan segera ia berlari ke arah keris benggolo ireng untuk menghancurkanya.

Songgokolo mengetahui keadaan itu segera mengerahkan kekuatanya untuk menyerang Mas Jagad namun berhasil kutahan dengan memindahkan sukmaku tak jauh dari posisi mas jagad dan mengadu keris ragasukma dengan serangan itu.

“Dengan ini semua berakhir!” Mas jagad membenturkan keris benggolo ireng yang masih melayang mencoba kembali ke empunya. Kekuatan besar beradu di tempat itu, keris benggolo ireng jauh lebih kuat dari kembaranya.

Mas jagad terpental dan melihat keris benggolo lanang yang ditempa oleh mbah jiwo terbelah menjadi dua. Kami menoleh arah keris benggolo ireng yang beradu dengan keras namun tidak mampu menemukan keberadaan keris itu.

“Gagal? Kita gagal menghancurkan keris itu?” Tanya Dirga.

“Tenang Dirga..” Ucapku.
Walau tidak menemukan keberadaan keris itu hal yang sama dengan yang terjadi pada Gondokolo terjadi juga pada Songgokolo. Tubuhnya terbakar dengan api dari dalam bumi, sekuat tenaga ia menolak untuk masuk ke alam itu.

Alam dimana semua siksaan berkumpul menjadi satu.
“Sembah aku ! Akan aku berikan apapun! Ikat perjanjian denganku! Aku tidak mau kembali ke alam itu!” Teriaknya putus asa.
Namun kami tidak mempedulikanya dan hanya memandangnya dengan miris.

“Akan kubalas kalian semua! Saat ada manusia yang memanggilku kupastikan kalian semua mati dengan mengenaskan” Ucapnya.
Cahyo dengan santainya mendekat kearah songgokolo.

“Setan Goblok, kalaupu kami mati kita tidak akan berakhir di tempat yang sama!” Ucap cahyo yang menambah kekesalan songgokolo yang semakin tersiksa dan perlahan menghilang seperti yang terjadi pada Gondokolo.

***

Semua sudah selesai.. berbeda dengan Mbah Suroto, tubuh ayah indira ikut pergi bersama setan itu karena sebenarnya Ayah indira merupakan titisan dari makhluk itu. Sesekali aku memikirkan mengenai Indira, apakah ada darah siluman di tubuhnya?

Namun aku percaya Tuhan itu maha adil dan tidak akan mengecewakan manusia yang taat kepadanya.
Hujan perlahan berhenti, dan kami terbaring sejenak di teras-teras rumah. Dalam hati aku berterima kasih pada nyi sendang rangu yang membantu kami dari jauh sana.

Sukma Paklek sepertinya sudah kembali ke tubuhnya terlihat dari cahyo yang segera berteduh membalas pesan yang dikirmkan dari sekar.
Nyai Jambrong masih belum sadar, namun setidaknya ia masih bernafas. Mungkin nanti paklek bisa menolongnya.

Abah menghampiri kami setelah tak henti-hentinya membacakan ayat-ayat suci di pengeras suara untuk melemahkan musuh kami dan menguatkan iman kami. terlihat sangat sederhana, namun itu sangat berarti bagi kami.

Mungkin jika abah bertemu dengan Pak Sardi mereka pasti bisa bertukar banyak ilmu.
Dirga berkenalan dengan Kliwon dan tak henti-hentinya mengajaknya bermain, sesekali kliwon mengajaknya naik ke pohon namun Dirga masih sulit menandinginya.

***

Kami mampir ke desa Wadirejo untuk mengantarkan nyai jambrong kembali dan mengecek keadaan indira. Sepertinya ia sudah bisa menerima keadaan ini dan memutuskan untuk tinggal di rumah mbok nasri sampai dia memiliki tujuan lagi.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba dirga bisa akrab dengan guntur yang baru saja dia kenal. Mungkin karena umurnya tidak terpaut terlalu jauh atau mungkin karena tingkah konyol Guntur membuat dirga merasa tidak Canggung.

Arum dan Ibu Ningrum berjanji akan merawan Nyai Jambrong yang belum pulih sepenuhnya. Ia berkali-kali menolak, namun kami tahu dalam hati bahwa ia senang dengan keberadaan keluarganya di dekatnya.

Terlebih hujan nyi sendang rangu sudah mengangkat ilmu hitam yang pernah ia pelajari. Kini ia bisa hidup dengan tenang bersama cucunya itu.

“Habis ini kita kemana Jul?” Tanyaku pada Cahyo.

“Lah jelas donk!” Ucap Cahyo
“Jelas apa?”

“Ke tempat abah sama dirga! Aku kan belum sempet ngicipin Tahu khas desanya!” Jawab Cahyo.

“Dasar panjul, makanan melulu dipikirin”

Tapi ada benarnya ucapan cahyo, masih banyak yang ingin aku ketahui di desa dirga. Dengan banyaknya waktu mungkin aku bisa berbincang mengenai keluarga Darmawijaya yang sejak jaman leluhur dekat dengan keluarga sambara.

---TAMAT---

*****
Sebelumnya
close