Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SPOILER - KERIS KELABANG SEWU


INI SATU PEMANDANGAN yang mengerikan bagi siapa saja yang menyaksikan. Di malam buta ketika tak ada rembulan dan langit tidak pula berbintang, dibawah kepekatan yang menghitam gelap disertai hembusan angin mencucuk dingin, ditambah dengan turunnya hujan rintik-rintik, seekor kuda coklat berlari kencang menuju puncak Gunung Merbabu. Sambil lari binatang ini tiada hentinya keluarkan suara meringkik keras dari sela mulutnya yang berbusa.

Di atas punggung kuda coklat itu melintang sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Sesosok mayat seorang lelaki berambut panjang, tangan kanannya putus sebatas bahu darah masih berceceran dari bekas kutungan tangannya. Mata kiri mayat itu tampak berlubang seperti dikorek paksa dari lubangnya. Sebagian wajah dan leher serta dadanya dibasahi oleh darah yang masih hangat tanda orang ini belum begitu lama menemui ajalnya.

Di belakang mayat itu, duduk seorang perempuan berwajah bulat putih, berpakaian kebaya merah yang terlihat telah lusuh dan kumal. Rambutnya yang panjang tergerak lepas dan berkibar-kibar ditiup angin. Perempuan inilah yang memacu kuda itu dengan segala kemampuan yang ada. Dia menunggang kuda coklat sambil air mata mengucur membasahi kedua pipinya yang merah.

Menjelang dinihari, kuda coklat itu mencapai puncak gunung yang sangat curam dan perjalanan tak mungkin diteruskan dengan menunggangi binatang itu. Menyadari hal itu, perempuan penunggang kuda cepat melompat turun, menarik sosok mayat lelaki lalu memanggulnya di bahu kanan. Sebelum pergi, dia memegang leher binatang itu dan berkata

"Kau tetap disini. Tunggu sampai aku kembali!"

Seperti mengerti ucapan orang, kuda itu meringkik keras, lalu tundukkan kepalanya, menyusup mencari rerumputan liar diantara semak belukar. Setengah berlari perempuan itu memanggul mayat di bahu kanannya menuju puncak gunung sementara di timur langit mulai tampak membersitkan sinar kekuning-kuningan tanda tak lama lagi sang surya akan kembali muncul menerangi bumi.

Di puncak gunung yang temaram itu udara semakin keatas terasa dingin. Tapi perempuan yang memanggul mayat itu justru telah basah kuyup pakaiannya. Sekujur tubuhnya sakit dan letih bukan kepalang bahkan kedua kakinya laksana kaku dan sukar untuk diajak berlari lebih cepat. Namun kekerasan hatinyalah yang membuat perempuan itu terus bersikeras mendaki sampai ke puncak teratas Gunung Merbabu. Dan tepat ketika sang surya tampak menyembul di ufuk timur, dia sampai di puncak gunung. Matanya memandang ke arah sebuah pondok kayu beratap ijuk, satu-satunya bangunan di tempat itu. Dia langsung melangkah naik ke atas serambi berlantai papan dan mengetuk pintu yang tertutup.

"Ki Gambir, bukakan pintu. Saya Sri Tanjung ! Saya memerlukan bantuanmu!"

Lalu perempuan itu kembali mengetuk pintu, lebih keras dari tadi. Di dalam terdengar suara tempat tidur berderik. Disusul suara orang berdehem beberapa kali. Kemudian terdengar langkah- langkah kaki menuju ke pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dengan mengeluarkan suara berkereketan.

"Sri dari mana kau tiba-tiba muncul pagi-pagi buta begini?!"

Satu suara lebih dulu terdengar baru menyusul muncul orangnya dari balik daun

Pintu. Orang ini ternyata adalah seorang kakek berwajah tirus, berambut putih panjang sebahu tapi jarang, mengenakan baju lengan panjang dan celana gombrong putih.

Si orang tua dongakkan kepalanya. Cuping hidungnya sesaat tampak mengembang.

"Hemmm... Aku mencium bau mayat..." desisnya kemudian

"Mayat siapa yang kau bawa itu Sri?"

"Kau telah mendukung mayat itu cukup jauh tentunya. Letakkan di lantai dan katakan apa kau punya hubunganmu dengan mayat yang kau bawa kemari ini!"

Sri Tanjung perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati menurunkan mayat di bahu kanannya lalu membujurkannya di lantai serambi yang bertutupkan tikar jerami. Dia duduk bersimpuh di depan mayat, mengusap air mata yang membasahi pipinya baru menjawab pertanyaan orang tua tadi.

"Ketika itu sebelumnya saya mendengar bentakan-bentakan pertempuran setelah saya melihat ke sumber suara itu. Saya melihat sesosok tubuh terbujur kaku di semak belukar. Karena penasaran saya melihat wajah sesosok tubuh itu. Ternyata itu adalah......"

Sri Tanjung tidak mampu melanjutkan perkatannya. Bahunya terguncang-guncang menahan tangis yang ingin kembali meledak. Setelah mampu dikuasai suasana hatinya.

"Saya menemukan Kanda Rana Wulung telah membujur menjadi mayat di lereng selatan Merapi"

"Jadi yang kau bawa ini adalah jenazah suamimu sendiri, Sri?"

"Betul Ki..."

Sri Tanjung terdiam sejenak. Setelah menyeka air mata yang masih mengucur dia melanjutkan.

"Saya minta tolong kepada Ki Gambir. Saya tahu Ki Gambir bisa mengabulkan permohonan saya"

Ki Gambir usap dagunya yang licin lalu bertanya:

"Apa permintaanmu yang dapat aku kabulkann Sri?"

"Saya minta agar Ki Gambir memberi kehidupan sementara kepada suami saya..."

Ki Gambir terduduk di depan mayat Rana Wulung. Berkali-kali orang tua ini mengusap wajahnya yang mendadak saja jadi keluarkan keringat dingin.
close