Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PURNAMA DI BUMI MATARAM


MANAKALA SINAR FAJAR pertama memancar di ufuk timur maka pada saat itu pulalah mulainya berkecamuk pertempuran yang dahsyat di sepanjang tembok besar yang mengelilingi Kotaraja Pajang. Yang paling seru adalah pertempuran di pintu gerbang utama. Pasukan Pangeran Benowo menyerang habis-habisan untuk dapat membobolkan pintu gerbang Kotaraja itu. Yang diserang bertahan mati-matian!

"Kalian budak-budak belian dan orang-orang Demak! Lekas tinggalkan Pajang kalau tidak mau mampus!" demikian bentak Pangeran Benowo dengan keris terhunus di atas punggung kuda hitamnya.

"Kurang ajar! Kau orang Jipang jangan jadi jagoan!" teriak salah seorang prajurit Pajang, lalu menerjang dan membabatkan golok besarnya ke kepala Pangeran Benowo.

Pada saat golok perampok menderu ke kepalanya Pangeran Benowo membuat satu gerakan yang cepat sekali, menangkis dan kerisnya!

"Tranggg...!"

Bunga api memercik. Golok besar ditangan prajurit itu patah dua dan ke udara. Selarik sinar biru sinar menderu lalu terdengarlah pekik prajurit yang goloknya patah mental tadi. Tubuhnya terhujung kebelakang sambil kedua tangannya memeganggi dadanya yang tertusuk keris. Sesaat kemudian dia roboh ke tanah tanpa nyawa.

Melihat munculnya seorang lelaki yang tak dikenal yang dalam satu gebrakan saja berhasil merobohkan kawan mereka, prajurit-prajurit yang berasal dari budak-budak belian ini menjadi marah. Tujuh prajurit itu lantas menyerbu Pangeran Benowo. Tubuhnya Pangeran Benowo berkelebat ringan diantara deru senjata-senjata lawan. Sinar biru kerisnya bergulung-gulung dan dalam dua jurus saja enam perampok bergeletakan tanpa nyawa lagi! Satu orang yang masih hidup tentu saja tak punya nyali lagi.

Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat senjata, bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan. Agaknya serangan pasukan Jipang mulai tak dapat dibendung.

***

Di bagian lain pintu gerbang utama sebelah barat pasukan Jipang yang dipimpin oleh Kyai Gedong dan Gagak Baning. Pertempuran berkecamuk dengan serunya, pada saat pintu gerbang Kotaraja di sebelah barat hampir bobol. Di mana-mana darah membanjir! Di mana-mana bertebaran sosok-sosok tubuh tanpa nyawa! Bau anyir darah menegakkan bulu roma! Pertempuran itu berjalan terus, korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam cara berbagai rupa.

Gagak Baning masih mengamuk dengan kerisnya. Banyak prajurit Pajang yang menemui ajal di ujung kerisnya. Seorang Tumenggung dari Demak yang bernama Gonggo Seta kertakkan rahang. Hatinya gusar terhadap Gagak Baning. Disabetkannya pedang ke kanan dan ke kiri untuk membuka kerapatan prajurit Jipang yang mencoba menghadangnya. Terdengar jeritan-jeritan disusul dengan jatuhnya prajurit-prajurit Jipang itu ke tanah. Mati dengan perut robek!

Lompatan tubuh dari tumenggung Pajang ini sungguh hebat sudah barang tentu ilmu meringankan tubuhnya juga bisa dikatakan hampir sempurna. Senjatanya berkelebat cepat dan ganas. Satu ujung tajam dari pedang menyambar ke leher Gagak Baning di atas kuda! Melihat datangnya serangan itu Gagak Baning sadar akan bahaya yang mengincar nyawa. Sangat terlambat baginya untuk dapat mengelakkan senjata lawan. Gagak Baning lentingkan diri ke atas beberapa tombak. Malang menimpa kuda tunggangannya. Binatang berwarna hitam itu seketika roboh. Lehernya robek besar di babat pedang Gonggo Seta!

Gagak Baning menggeram marah melihat kudanya terbunuh. Sembari membabatkan kerisnya, Gagak Baning melompat ke depan ke arah Gonggo Seta. Kerisnya menyambar mengirimkan satu serangan yang cepat dan dahsyat. Tapi dengan sebat Gonggo Seta menangkis dengan Pedangnya pula.

"Tranggg...!"

Bunga api berkilauan. Tangan Gonggo Seta tergetar hebat. Dia mundur selangkah namun Gagak Baning menyusuli dengan dua rangkai serangan berantai yang membuat tumenggung dari Demak ini terdesak ke depan pintu gerbang!
Keris Gagak Baning menggores dada Gonggo Seta! Laki-laki ini menjerit kesakitan dan lompat mundur namun diburu dengan sebat oleh Gagak Baning. Dalam keadaan terluka, bersama orang-orangnya Gonggo Seta bertahan dengan hebat. Dua Adipati lainnya yang melihat terdesaknya Gonggo Seta segera berikan bantuan.

Tapi pada saat itu pula dari samping melesat ratusan anak panah. Suara mendesing, menghantam kedua adipati yang mencoba melindungi Gonggo Seta. Terdengar dua jeritan. Kedua adipati ini meregang nyawa di tanah. Sekujur tubuhnya rata dimakan anak panah.
Gonggo Seta mengamuk dahsyat. Namun keadaan dirinya mulai payah akibat luka yang dideritanya. Gerakan-gerakannya mulai menjadi lamban sehingga dia terpaksa mengambil posisi bertahan dan membiarkan prajurit-prajuritnya menyerang Gagak Baning.

Nyali Gonggo Seta semakin luntur menciut. Di medan pertempuran sebelah barat itu hanya dia sendiri kini yang menjadi pucuk pimpinan. Kalau tadi dia dan para prajuritnya masih sanggup bertahan maka kini keadaan terbalik! Di mana-mana puluhan prajurit-prajuritnya bergeletakan mati. Yang masih hidup bertempur dengan setengah hati, mundur terus-terusan dan kacau balau!

Dan saat demi saat jumlah prajurit yang bertempur di medan sana itu semakin berkurang juga, banyak yang lari dan banyak yang tergelimpang mati! Gonggo Seta kemudian dengan gerakan sebat dia berusaha keluar dari medan pertempuran. Pada saat itu, Gonggo Seta sudah terdesak hebat dan tak sanggup mengelakkan tikaman keris Gagak Baning! Tubuh tumenggung itu menggelepar di tanah. Kemudian mati tidak berkutik lagi!

***

Sementara itu boleh dikatakan pertempuran sudah hampir berakhir. Balatentara Pajang yang kini tidak berpimpinan lagi sudah mundur jauh dari tembok Kedaton dan terus dikejar oleh pasukan Mataram dan pasukan Jipang sehingga lari kocar kacir.

Panembahan Senopati yang ada di medan pertempuran sebelah gerbang utama yang betugas mengepung pasukan Pajang yang telah dipukul oleh pasukan Pangeran Benowo tampak duduk di atas kudanya. Tombak Kyai Plered tergenggam erat di tangan kanan. Pada saat itu pasukan Pangeran Benowo sudah berhasil mendesak pasukan Pajang dan membobolkan pintu gerbang utama.

"Pasukan adi Benowo telah berhasil menguasai pertempuran paman Juru"

"Tunggu apalagi"

"Tidak paman. Saya akan membagi pasukan menjadi dua. Satu langsung menyerang Pajang dan satu lagi langsung menyerang kedaton"
"Bagus! Saya kira pertempuran ini tidak akan berlangsung lama"

"Saya yang akan memimpin pasukan"

"Baik Paman"

"Maju!!!!!"

Pasukan Mataram merangsek dari belakang. Prajurit Pajang yang sduah keteteran menghadapi pasukan Pangeran Benowo tampak bingung dan putus asa. Banyak dari prajurit-prajurit itu berhamburan lari menyelamatkan diri!

Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Pintu gerbang yang terbuat dari jati pilihan itu terpental dengan keras. Seperti diseruduk oleh puluhan gajah. Beberapa prajurit yang sedang bertempur kaget dan menyelamatkan diri agar tidak tertimpa pintu gerbang itu. Beberapa prajurit tidak sempat menghindar sehingga tubuhnya tergencet dan mati dengan tulang patah dan kepala remuk!

Dari balik gerbang itu Arya Pangiri bediri berkacak pinggang. Badanya yang tegap dibalut oleh baju perang. Sebuah keris berluk lima belas tergenggam erat di tangan kanannya! Dan di antara gelimpangan mayat manusia di atas tanah yang banjir darah, di udara yang masih hangat oleh baunya maut maka berhadapanlah dua penguasa besar, Panembahan Senopati dengan Arya Pangiri!

"Senopati ada dosa apa Pajang terhadap negeri mu?"

"Kenapa kau membawa prajurit seolah Pajang adalah bawahan yang membelot"

"Ini masalah utang budi Sultan. Aku berhutang budi pada ramanda Hadiwijaya dan ahli warisnya adi Benowo meminta bantuan ku utntuk pihak yang menekan dirinya. Apapun yang terjadi akan saya lakukan"

"Itu urusan mu dengan Benowo tapi Mataram sebagai sebuah negeri harusnya bisa menghormati kedaulatan negeri lain. Ada tata cara yang lazim untuk berperang ataupun berdamai"

"Kalau Mataram mau berperang dengan Pajang nyatakan perang lebih dahulu agar kami siap untuk berperang meskipun aku tidak pernah mengerti apa alasan orang Mataram mengajak perang"

"Sultan telah berbuat semena-mena terhadap semua keturunan dan abdi ramanda Hadiwijaya. Pokoknya siapapun yang menyakiti adi Benowo akan berurusan dengan saya. Apapun urusannya!"

"Jumawa mentang –mentang negeri mu sudah kuat. Kau bertindak semaumu seperti Tuhan yang mengadili negeri lain"

"Akhirnya, watak asli mu mulai muncul Senopati. Serakah! Sudah lama kau ingin menguasai Pajang tapi tidak punya alasan yang tepat"

Panembahan Senopati baru saja pasang kuda-kuda dan melintangkan tombak Kyai Pleret di dada ketika dengan membentak dahsyat Arya Pangiri menerjang ke muka. Keris menusuk ke kepala dan tendangan kaki kanan menghunjam ke perut!
Panembahan Senopati tak kalah sebat. Tubuhnya berkelebat, Tombak Kyai Pleret berputar dahsyat menimbulkan gelombang angin dan mengeluarkan suara mengaung laksana suara tawon! Gelombang angin itu sekaligus membentur keris Arya Pangiri membuat kedua tangan-tangannya laksana kena dipukul mental!

Arya Pangiri kini tidak bisa bertempur tanggung-tanggung lagi. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dan untuk kedua kalinya dia menyerbu ke muka! Serangan kali ini lebih dahsyat dari yang pertama namun Panembahan Senopati menunggu dengan tenang! Setengah tombak tubuh lawan mengapung ke arahnya Panembahan Senopati sapukan Tombak Kyai Pleret ke muka.

Arya Pangiri merasakan badannya seperti membentur dinding yang tak kelihatan! Dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah sempurna sekali, laki-laki ini lompat ke samping. Tombak Kyai Pleret melesat di bawahnya dan pada detik itu pula Arya Pangiri kembali menukik dan babatkan kerisnya! Yang diserang sama sekali tidak mau mengelak, tapi putar Tombak Kyai Pleret di atas kepala.

Maka dua senjata bentrokanlah dengan hebat, mengeluarkan suara nyaring! Tombak Kyai Pleret memancarkan bunga api, keris di tangan kanannya terlepas mental patah dua. Kalau saja dia tidak cepat-cepat tarik tangan kanannya pastilah tangan itu kena pula dibabat tombak lawan! Arya Pangiri melompat ke luar dari kalangan pertempuran! Mukanya memucat laksana kapas! Cepat-cepat dia atur jalan nafasnya.
Diam-diam Arya Pangiri alirkan teluruh tenaga dalamnya ke lengan kanan. Mulutnya komat-kamit. Kedua kakinya amblas lima senti ke dalam tanah yang basah oleh genangan darah. Dan sambil lompat sembilan tombak ke atas kemudian laki-laki ini hantamkan tangan kanannya ke muka!

Panembahan Senopati tetap tak bergerak di tempatnya. Sinar hijau dari pukulan lawan melesat ke arahnya dan disambutinya dengan pukulan tangan kanan! Dua pukulan dahsyat beradu di udara mengeluarkan suara berdentum! Sinar hijau dan putih saling nyambar dan memecah ke samping!

Tubuh Arya Pangiri terpental belasan tombak ke belakang. Lalu jatuh di atas undakan kedaton. Tapi tubuh itu tak dapat bergerak lagi. Tatkala dengan lompatan yamng hebat Panembahan Senopati telah menginjak dada Sultan Pajang yang baru itu. Dada Arya Pangiri serasa ditekan batu yang bobotnya puluhan kilo. Terasa sesak dan berat. Panembahan Senopati mengangkat tombaknya tinggi-tinggi siap di sarangkan ke arah tenggorokan Arya Pangiri!

"Kanda Senopati!!!!"

Tiba-tiba terdengarlah suara seorang perempuan berteriak histeris.

"Jangan bunuh suami ku Kanda. Jangan biarkan anak-anak ku jadi yatim. Apapun yang kau perintahkan akan kami lakukan. Asalkan, Kanda senopati tidak membunuh kanda Sultan"

Panembahan Senopati menoleh ke arah datangnya suara itu. Dilihatnya seorang perempuan mengenakan pakaian berwarna ungu berlari sambil bercucuran air mata. Perempuan itu adalah istri dari Arya Pangiri yang bernama Pembayun. Melihat suaminya terkapar diinjak dadanya oleh Senopati. Perempuan itu langsung menjatuhkan diri memeluk suaminya. Sambil menangis tersedu-sedu meminta pengampunan kepada Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati tergetar hatinya. Tersik naluri kemanusiaannya. Perlahan di tarik tombak Kyai Pleret yang telah siap menikam.

"Baiklah dinda Pembayun. Aku ampuni suami mu. Cuma satu yang perlu kau ketahui bahwa suami mu itu telah menjadi tawanan perang. Dan harus pulang ke Demak dengan pengawalan tentara Jipang dan Mataram!"

"Baiklah Kanda. Apapun perlakuan mu akan kami terima. Asal jangan bunuh suami saya. Jangan bunuh kanda Sultan"

Pembayun menangis terisak-isak sembari memeluk suaminya yang masih terkapar di undak-undakan. Maka hari itu juga Arya Pangiri di bawa pulang ke Demak dengan kawalan ratusan prajurit Mataram. Tangannya diikat menggunakan cinde (sabuk dari kain sutera). Setelah beberapa waktu Pangeran Benowo akhirnya naik tahta menjadi Sultan di Pajang dan Mataram menjelma menjadi suatu negeri yang besar.

TAMAT
close