Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HALILINTAR DI ATAS LANGIT PAJANG 2


Ki Juru Mertani duduk di kursi ongkang-ongkang kaki. Di mulut lelaki tua penasehat Mataram ini terselip pipa gading berwarna kecoklatan. Asap putih sesekali mengepul ke udara. Di hadapannya Sekartaji duduk bersama seorang lelaki.

"Ada apa Sekartaji? Siang-siang begini kau datang menghadap ku?"

Sekartaji segera menghaturkan sembahnya.

"Hamba mengantar utusan dari Pangeran Benowo Ki Juru"

Ki Juru Mertani tersenyum. Lalu membetulkan posisi duduknya.

"Weh, pemberani juga kamu Ngger. Dari Jipang ke Mataram kan melewati alas Puwo yang wingit"

Lelaki yang tidak lain Kendit Waja segera menghaturkan sembah.

"Sebenarnya saya tidak sendiri Gusti. Hamba tadi bersama satu kawan. Kawan hamba terpaksa hamba tinggal untuk meladeni pengganggu yang mencegat perjalanan kami berdua di tepi hutan sebelah utara sana"

"Pengganggu? Rampok?"

"Hamba kurang tahu Gusti"

"Sekartaji, kok jadi memalukan begini?! Ini menjadi tanggung jawab mu. Saya tidak mau di Mataram ini ada begal atau rampok"

"Hamba selalu meronda. Tapi sedikitpun belum pernah hamba temui Ki Juru"

"Orangnya seperti apa kisanak?" Sekartaji menanyakan hal tu pada Kendit Waja.

"Sangat menyeramkan dan menakutkan. Badannya tinggi besar, rambutnya panjang terjurai awut-awutan. Badannya penuh luka. Tangan kanannya buntung dan mata kirinya berlubang seperti ditusuk menggunakan senjata tajam"

"Apa ada gerombolan rampok yang memasuki bumi Mataram?!" Sekartaji seoalah-olah berbicara pada dirinya sendiri.

"Apakah dia merampas hartamu?!" Kembali Sekartaji bertanya kepada Kendit Waja utusan dari Jipang itu.

"Sama sekali tidak, bahkan bicarapun tidak. Tiba-tiba saja menyerang. Tatkala Sabuk Lulang teman hamba bertanya jalan arah menuju Mataram"

"Hal itu nanti bisa diselesaikan. Satu yang paling utama adalah surat dari Pangeran Benowo. Nah sekarang, mana suratnya?" Ki Juru Mertani bertanya perihal surat dari Jipang.

Kendit Waja segera menyerahkan gulungan surat yang dibungkus sebuah kain beludru berwarna merah kepada Ki Juru Mertani.

"Surat ini akan saya sampaikan pada angger Sonopati"

"Jadi kamu harus menunggu balasan dari Surat Angger Senopati"

"Sekarang tunjukkan pada Sekartaji dimana dirimu di serang sekalian kita cari tahu keselamatan teman mu yang bernama Sabuk Lulang itu"

Siang itu juga. Sekartaji, Pranajaya dan Kendit Waja bersama selusin prajurit Mataram pilihan dengan senjata lengkap berkuda menuju ke alas Purwo. Kendit Waja berkuda paling depan. Karena ia yang tahu dimana tepatnya kejadian saat dirinya dan Sabuk Lulang dicegat oleh seorang lelaki aneh. Tidak lama kemudian rombongan itu telah memasuki kawasan alas Purwo. Sabuk Lulang mengurangi laju lari kudanya.

"Disekitar tempat ini kami di serang Raden?"

"Sudah hampir setiap hari saya selalu melakukan ronda di tempat ini kakang Sekartaji dan tidak pernah sekalipun ketemu dengan begal atau rampok" Pranajaya berbicara kepada Sekartaji. Narapati muda itu memang terkenal tekun dan disiplin dalam menjaga keamanan di perbatasan Mataram.

Pembicaraan itu lantas terputus tatkala mata Kendit Waja melihat sesosok tubuh tampak terlungkup di bawah pohon jati tua.

"Itu dia!"

Kendit Waja segera mengarahkan kudanya ke arah sesosok tubuh yang tertelungkup itu. Dengan cepat dia melompat dari punggung kuda dan menghampiri sosok itu. Lalu dibalik tubuh itu. Kaget hatinya. Sedih bercampur amarah. Giginya bergemeretakan. Di hadapannya sosok Sabuk Lulang telah meninggal dengan cara yang mengenaskan. Dadanya gosong menghitam sementara lehernya patah sekujur tubuhnya penuh luka-luka!

***

PANEMBAHAN SENOPATI duduk bersila di atas sebuah permadani berwarna hijau di sebuah bilik kecil terbuka yang berada di tepi kedaton Mataram. Angin senja semilir masuk melalui jendela besar yang tidak ada tutupnya atau pun tirai. Orang nomor satu Mataram itu tengah berbicara dengan Ki Juru Mertani.

"Langkah mereka sudah tepat yang harus kita lakukan apakah pasukan akan kita bawa dulu ke Jipang atau langsung menggebuk Pajang?"

"Jelas lebih menguntungkan kalau langsung ke Pajang dalam suratnya Benowo mengatakan bahwa di akan langsung membawa pasukannya ke Pajang. Sementara jika rencana pembelotan salah satu abdi setia Sultan Hadiwijaya yang bernama Kyai Gedong itu berhasil maka pasukannya juga akan dikerahkan menyerbu Pajang"

Panembahan Senopati terdiam. Diusap-usapnya jenggot di dagu yang mulai terlihat panjang. Sejurus kemudian.

"Kita tunggu pasukan adi Benowo dekat bukit Jati Kembar dari sana kita bisa mengawasi semua gerak gerik siapa saja yang masuk dan keluar Pajang"

"Darimana angger tahu tempat itu?" Ki Juru Mertani bertanya dengan keheranan.

Panembahan Senopati menyunggingkan senyuman di bibirnya.

"Saya sering mencari jamur pohon disana Paman semasa anak-anak."

"Paman ikut penyerangan nanti?"

"Saya selalu ingin melihat akhir dari kekuasaan raja yang serakah dan tidak memperhatikan nasib rakyatnya sendiri"

"Cukup seribu tentara Paman?"

"Itu lebih dari cukup. Saya yakin pajang yang sekarang itu idak memiliki prajurit yang terlatih. Sebab, kebiasaan bangsawan pesisir utara itu lebih suka menggunakan budak belian"

"Bagimana dengan berita selama ini mereka menghimpun kekuatan dengan melatih pemuda untuk menjadi pajurit?"

"Setelah saya pikir itu hanya gertak sambal yang dia lakukan supaya semua orang mengira bahwa Sultan baru itu berniat untuk membawa Pajang kembali kepada kewibawaan dan kejayaan yang nyaris musnah"

"Itu kenapa semua tingkah polah mempersiapkan prajurit seolah-olah diperlihatkan pada siapapun. Adipati Demak orang pintar dia akan merahasiakan semua kegiatan keprajuritan kalau tujuannya memang untuk membina kekuatan tentara yang sungguh-sungguh"

***

PASEBAN KEDATON PAJANG diselimuti ketegangan. Arya Pangiri berjalan hilir mudik dihadapan para tumenggung dan para adipati. Kegelisahan dan ketegangan sangat nampak jelas tergambar di wajah penguasa Pajang ini. Seorang tumenggung paruh baya yang bernama Macan Seta menghaturkan sembah.

"Hamba sudah mengirim satu pasukan untuk mengejar pelarian Kyai Gedong. Saya yakin Kyai Gedong akan membawa pasukannya ke Jipang"
"Sudah aku duga mereka akan melakukan semua ini. Seharusnya aku tega berbuat tegas pada Gagak Baning dan Kyai Gedong. Sejak semula aku curiga"

"Kalau Kanjeng Ibu Suri tidak membela mereka hal yang tidak menyenangkan itu bisa kita tanggulangi sejak awal Gusti" Macan Seta kembali mengungkapkan perasaannya.

Seorang prajurit Pajang tiba-tiba muncul tergopoh-gopoh dari gerbang kedaton. Prajurit itu segera menjatuhkan diri dan menghaturkan sembah di hadapan Arya Pangiri.

"Ampun Gusti Sultan, musuh telah datang Gusti"

"Musuh yang mana? Orang Mataram?"

"Ampun Gusti Sultan menurut telik sandi pasukan Jipang dipimpin langsung oleh Pangeran Benowo"

"Bagus!" Muka Arya Pangiri terlihat berapi-api.

"Pancingan ku berhasil. Biarkan mereka masuk kotaraja. Siapkan prajurit-prajurit untuk menyambut pemberontak itu. Siapakan gelar Wakul Buaya Mangap untuk menjepit mereka"

"Cepat kembali ke induk pasukan mu dan pertahankan negeri mu sampai titik darah penghabisan!"

"Ini kesempatan. Perlihatkan semangat pengabdian mu sebagai prajurit !"

"Baik Gusti"

Prajurit jaga tadi dengan cepat undur diri untuk segera bergabung dnegan induk pasukannya.

"Tumenggung dan para narapatiku katakan semua kepada para prajurit di bilik jaga untuk membunyikan titir jika musah telah memasuki kotaraja"

"Baik Gusti Sultan. Kami undur diri"

Maka para tumenggung dan Narapati segera membubarkan diri guna mempersiapkan penyambutan jika sewaktu-waktu pasukan gabungan Mataram dan Jipang menyerang Pajang.

"Aku yakin Senopati pasti membantu mereka!" Desis Arya Pangiri dengan penuh rasa geram.

BERSAMBUNG
close