Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HALILINTAR DI ATAS LANGIT PAJANG 1


Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benowo disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benowo lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja. Pangeran Benowo akhirnya merelakan tahta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi Adipati Jipang Panolan.

Saat itu pagi hari. Sang surya baru saja muncul menerangi jagat, memberi penerangan dan kesegaran baru di atas bumi Pajang. Di paseban agung kedaton Pajang tampak Arya Pangiri duduk di atas tahtanya. Disamping nya terdapat satu payung besar berwarna merah dengan rumbai-rumbai benang emas. Di depannya beberapa tumenggung duduk di sebuah kursi kecil. Wajah mereka semuanya tertuduk dalam-dalam. Kesunyian yang serasa kaku dan tidak enak itu dipecahkan oleh suara Arya Pangiri.

"Aku yang menyuruh mereka mengawasi tindak-tanduk kalian"

Arya Pangiri berdiri dan berjalan menuruni undak-undakan kecil yang berada di depan dampar singgasana. Lalu Raja baru Pajang ini kembali berkata.

"Karena sikap kalian selama ini diragukan. Kesetiaan pada negeri Pajang umumnya dan kesetiaan pada ku. Masih belum bisa dipercaya"

Seorang narapati yang duduk di paling ujung tiba-tiba menyela.

"Kenapa Kanda Sultan tidak mengusir saya seperti abdi Romo Sultan yang lain?"

"Saya tidak pernah mengusir siapapun. Mereka ramai-ramai melarikan diri ke Jipang. Mbalelo!"

Memang benar Arya Pangiri terkenal memiliki sifat kecurigaan yang berlebihan. Konon, dahulu pernah ada utusan raja Aceh mengirim utusan meminta bantuan Demak untuk bersama mengusir Portugis dari Malaka. Tapi Arya Pangiri justru membunuh utusan tersebut dengan alasan terlalu curiga jika nantinya pasukan Demak akan dijebak dan digilas di Aceh.

Narapati Pajang tadi kembali memberikan bantahan atas pernyataan Arya Pangiri.

"Secara halus sebenarnya Kanda Sultan yang mengusir mereka karena Kanda Sultan telah memecat mereka. Padahal mereka banyak jasanya pada Romo Sultan"

Arya Pangiri berjalan menghampiri narapati yang sedari tadi berbicara itu. Kemudian kembali ia berkata.

"Mungkin. Tapi bukan kepada ku!"

"Sebetulnya apa yang Kanda inginkan?"

Narapati tadi kembali menukas.

Arya Pangiri masih berdiri lalu sembari berjalan ke arah dampar singgasana ia kembali berkata.

"Saya ingin Pajang bebas dari pengkhianat. Kekalahan kita pada Mataram tempo hari adalah karena banyaknya pengkhianat. Seperti kakakmu Benowo. Dia berperang separuh hati. Dia sebenarnya lebih memihak Senopati daripada Romo Sultan sendiri"

"Itu fitnah!"

Semua pandangan mata dipalingkan ke arah datangnya suara. Seorang wanita paruh baya. Menggunakan kebaya berwarna merah jambu dan kain jarik berwarna cokelat. Rambutnya yang hitam tersanggul dengan rapi dihiasi untaian bunga melati. Perempuan ini muncul dari samping lorong istana. Wajahnya memerah menahan amarah. Dialah Ibu Suri, permaisuri mendiang Sultan Hadiwijaya.

"Jangan ulangi lagi tuduhan nista itu nanda Sultan. Ucapan itu tidak pantas ditujukan pada ksatria Pajang"

Ibu suri Pajang itu berjalan menghampiri Arya Pangiri yang telah duduk di atas singgasananya. Mata perempuan itu menatap tajam ke arah Arya Pangiri.

"Setidaknya itu pengamatan saya Kanjeng Ibu"

"Saya tidak rela kalau anak kandung saya dituduh tidak setia. Begitu setianya dia kepada Pajang sampai dia ikhlas menyerahkan hak nya sebagai Sultan kepada mu. Supaya tidak terjadi perpecahan di negeri yang sangat dia cintai ini. Lalu dimana letak kurang setianya?!"

Arya Pangiri tertunduk. Dijawabnya perkataan ibu mertuanya itu dengan lemah.

"Maaf kalau saya salah"

"Jelas salah!"

Permaisuri itu tambah memerah wajahnya. Nada ucapannya semakin tinggi.

"Apalagi yang ingin Nanda lakukan terus terang akhir-akhir ini saya sering merasakan bahwa nanda Sultan menginginkan seluruh Pajang ini bersih dari orang Pajang"

"Bukan saya yang mengatakan"

"Salah kalau nanda Sultan mencurigai Gagak Baning dan kakang Kyai Gedong"

"Maafkan Kanjeng Ibu. Saya harus merundingkannya dengan semua abdi saya"

Perempuan paruh baya itu segera berlalu meninggalkan paseban. Baru beberapa langkah tiba-tiba ia hentikan kakinya. Dan menoleh. Matanya tajam berkilat-kilat.

"Jangan sampai tindakan nanda Sultan yang keliru. Malah akan menghancurkan negeri ini"

Setelah berkata seperti itu, permaisuri Pajang itu segera berbalik badan dan meninggalkan tempat itu. Sosok tubuhnya menghilang di balik lorong kedaton. Semua yang berada di tempat itu terdiam. Arya Pangiri hanya terdiam. Wajahnya bersemu merah karena merasa dipermalukan di hadapan para abdi dalemnya.

"Kali ini aku masih memberi kesempatan pada kalian untuk memperbaiki sikap kepadaku"

Setelah berkata seperti itu, Arya Pangiri memberikan tanda dengan lambaian tangan agar para tumenggung dan narapati yang ada di tempat itu bergegas membubarkan diri.

***

Kuda hitam itu berlari dengan cepatnya. Penunggangnya memakai pakaian bagus layaknya seorang tumenggung atau orang penting di kerajaan. Tampaknya si penunggang ingin segera sampai di tempat tujuannya. Beberapa kali dibedal kudanya agar lebih menambah kecepatan larinya. Dia lah Gagak Baning. Adik ipar Pangeran Benowo yang sekarang telah menjadi adipati di Jipang. Menjelang senja Gagak Baning memperlambat lari kudanya tatkala sudah memasuki kotaraja Jipang Panolan.

Akhirnya, hari itu juga Gagak Baning menghadap Pangeran Benowo di kediamannya. Disana beberapa abdi dalem telah duduk menunggu. Pangeran Benowo duduk di sebuah kursi ukiran tanpa sandaran. Putra mendiang Sultan Hadiwijaya ini parasnya terlihat tegang.

"Ini sudah keliwatan kita tidak bisa mendiamkannya begitu saja. Rupanya selama ini Kanda Sultan tidak pernah mempercayai saya"

Gagak Baning berbicara kepada kakak iparnya itu.

"Barangkali Kanjeng Ibu pun dicurigai Kanda"

"Astagfirullah !"

"Begitu picik pikirannya"

Pangeran Benowo menggeleng-gelengkan kepalanya.

Seorang tumenggung paruh baya dengan kumis tebalnya yang sudah memutih buru-buru menghaturkan sembah. Dia lah yang bernama tumenggung Sentanu. Lalu orang itu berkata.

"Sebenarnya kami sudah sepakat untuk memberontak Raden"

"Tapi selama ini kami masih pekewuh terhadap Raden. Kami sudah tidak tahan lagi melihat tindak-tanduk Sultan dan semua begundalnya dari Demak itu"

Pangeran Benowo hanya terdiam. Pandangannya menerawang. Adipati Jipang itu lalu bertanya kepada Gagak Baning.

"Kenapa dinda tidak ajak Kyai Gedong kemari?"

"Beliau punya rencana sendiri Kanda. Yang jelas kesetiaan kepada semua keturunan Romo Sultan sangat bisa dipercaya"

Tumenggung Sentanu menghaturkan sembah. Kemudian dia berkata.

"Bagaimana dengan rencana kami itu Raden?"

"Siapakan orang untuk membawa surat ke Mataram! Harus ada kesatuan rencana dengan Kanda Senopati supaya usaha kita tidak gagal"

Semua yang ada di tempat itu terdiam, saling pandang kemudian mengangguk. Malam itu juga dikirimlah dua utusan dari Jipang ke Mataram untuk menemui Penembahan Senopati.

***

Di daratan Pajang udara malam dingin mencucuk. Kesunyian dipecah oleh suara desau daun-daun pepohonan tertiup angin yang datang dari arah perbukitan. Hujan rintik-rintik mulai turun. Di kejauhan sesekali terdengar suara lolong anjing yang ditimpali dengan suara burung taupun serangga malam. Seekor anjing berlari melintas jalan di tengah kota raja. Beberapa prajurit Pajang masih berjalan hilir mudik dengan senjata lengkap untuk berjaga-jaga.

Dari balik pintu gerbang sebuah rumah megah. Sepasang mata mengawasi para prajurit Pajang yang berjalan hilir mudik itu. Pemilik sepasang mata itu segera berjingkat-jingkat dari balik pintu gerbang tatkala melihat para Prajurit Pajang itu telah menghilang di tikungan jalan. Orang itu berjalan ke arah pendopo. Di pendopo telah berkumpul sekitar selusin prajurit dengan senjata lengkap. Sementara seorang lelaki paruh baya berpakaian serba hitam berdiri bersandar di salah satu tiang pendopo. Orang ini yang bernama Kyai Gedong. Seorang adbdi setia mendiang Sultan Hadiwijaya. Wajahnya terlihat tegang dan gelisah.

"Bagaimana?!"

Kyai Gedong bertanya pada seseorang yang tadi mengintai di balik pintu.

"Sudah sepi Kyai peronda terakhir sudah menuju bilik jaga mereka"

"Kita berangkat sekarang!"

Kyai Gedong lalu menghampiri selusin prajurit yang duduk di serambi pendopo.

"Ingat jangan berpencar karena aku tidak mau ada yang tertangkap basah"

Prajurit-prajurit itu mengangguk dengan serempak.

"Kita lewat pinggir kali seperti rencana semula Kyai"

"Iya"

Pembicaran Kyai Gedong dengan orang kepercayaannya itu terhenti. Tatkala dari balik pintu muncul dua sosok tubuh perempuan. Satu paruh baya dan yang satu masih gadis berlia. Keduanya memakai pakaian lusuh layaknya rakyat jelata. Meskipun begitu, masih terlihat sisa-sia kecantikan yang terpancar di wajah gadis belia itu. Rambutnya yang panjang ditutup dengan kerudung kain berwarna coklat. Sementara si perempuan paruh baya membawa bungkusan yang diikat dengan kain jarik. Kyai Gedong segera menyambut dua orang perempuan itu.

"Bagaimana Kang?" perempuan paruh baya itu bertanya.

"Kita berangkat!" Kyai Gedong menjawab dengan mantap.

"Dekat sungai telah dipersiapkan kereta untuk membawa kalian ke Randu Alas sementara kalian menunggu disana sampai saya jemput"

"Kami berangkat Romo" si gadis itu ternyata adalah anak gadis dari Kyai Gedong.

"Yang tabah Nduk" Kyai Gedong memeluk anaknya itu kemudian memeluk perempuan paruh baya yang ternyata adalah istrinya.

"Iya Romo"

Kedua perempaun itu segera berlalu. Berjalan menembus kegelapan diikuti dengan pandangan dari Kyai Gedong. Sampai keduanya lenyap dibalik tembok pagar. Malam semakin sunyi. Kabut mulai turun menyelimuti pepohonan dan beberapa merembes ke bawah. Bumi Pajang seperti diselimuti kabut tebal!

***

DUA PENUNGGANG kuda itu berhenti di tepi hutan Purwo yang merupakan hutan terkenal wingit dan angker. Suasana tampak lengang dan temaram meskipun pada saat matahari tengah berada tepat di atas kepala. Sinar matahari sepertinya tidak mapu menembus kerapatan pepohonan. Hutan Purwo dicekam kesunyian. Sesekali terdengar suara tiupan angin di kejauhan, bergaung di sela pepohonan.

"Kakang Kendit Waja kita terus atau kekanan?" si penunggang kuda yang memakai baju putih bertanya pada kawannya yang bernama Kendit Waja.

"Waduh saya belum pernah lewat jalan yang ini"

"Mungkin ya terus" Kendit Waha menjawab dengan penuh keragu-raguan.

"Wah Kang, kalau keliru mentukan arah kita bisa nyasar satu hari perjalanan"

Tatkala kedua penunggang itu tengah kebingungan dan tidak tahu akan menentukan arah. Tiba-tiba Kendit Waja melihat seorang lelaki duduk bersandar di bawah pohon beringin besar. Lelaki itu duduk membelakangi kedua penunggang kuda itu.

"Sabuk Lulang itu ada orang. Kau turun lah untuk bertanya kepadanya. Dimana arah Mataram"

Sabuk Lulang hanya mengangguk. Tidak lama, orang itu telah melompat turun ke bawah berjalan mendekati orang yang tengah duduk membelakanginya. Setelah dekat Sabuk Lulang segera bertanya.

"Kisanak..kisanak maaf saya ingin bertanya. Dimana arah menuju ke Mataram?"

Tidak ada jawaban sepatah katapun dari orang yang duduk bersandar itu. Orang itu masih saja duduk menunduk. Rambutnya yang panjang awut-awutan hampir menyentuh tanah. Sabuk Lulang berjalan lagi lebih dekat. Mungkin perkataanya terlalu pelan sehingga yang ditanya tidak mendengar. Sabuk Lulang lalu megulangi pertanyaannya lagi.

"Kisanak..kisanak maaf saya ingin bertanya. Dimana arah menuju ke Mataram?"

Orang itu masih saja diam membisu. Tidak berapa lama kemudian orang itu berdiri pelan –pelan dari tempat duduknya. Berdiri tegak membelakangi Sabuk Lulang yang hanya berjarak dua langkah. Serta merta orang misterius itu berbalik badan. Alangkah terkejutnya Sabuk Lulang melihat sesosok orang yang berdiri tegak dihadapannya.

Sabuk Lulang undur dua langkah. Kini di hadapannya berdiri sesosok tubuh yang sangat menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar, rambut panjang awut-awutan. Tangan kanan buntung sampai bahu. Terlihat darah menghitam dan sisa-sisa daging yang menjela liar berserabutan. Sepertinya tangan itu tanggal ditebas menggunakan senjata tajam. Muka orang itu juga tidak kalah menyeramkan. Mata kanannya berlubang. Bekas-bekas lelehan darah melumuri hampir seluruh wajah orang itu.

"Maaf kalau saya mengganggu kisanak. Saya hanya ingin bertanya. Sekali lagi maafkan saya"

Tidak sepatah katapun terucap dari mulut orang itu. Secara tiba-tiba dia menyerang ke arah Sabuk Lulang dengan ganas. Tangannya terayun kaku ke depan. Serangkum angin dingin muncul tatkala tangan itu terayun. Sabuk Lulang yang memang sudah waspada dari awal segera meloncat mundur menghindari pukulan dari orang yang menyeramkan itu. Belum lagi kakinya berpijak dengan tegak. Serangan muncul lagi. Kali ini sebuah cekikan dengan cepat menincar ke arah batang leher Sabuk Lulang. Ditepiskan tangan itu. Benturan tangan terjadi. Sabuk Lulang melengak kaget. Tangan itu sangat keras dan dingin seperti balok es.

"Edan..ini sebenarnya mahkluk apa?!"

Kendit Waja yang sedari tadi masih duduk di atas punggung kuda segera berteriak lantang.

"Sabuk Lulang, sudah cepat kita tinggalkan tempat ini. Surat itu lebih penting. Kita harus segera sampai di Mataram dan bertemu dengan Gusti Senopati!"

Sabuk Lulang yang pada dasarnya memang tidak ingin bermain-main dengan manusia aneh yang tengah dihadapinya ini bersiap-siap untuk segera melompat ke arah kudanya. Akan tetapi, sebelum dirinya melompat. Tiba-tiba satu tangan kuat dan dingin telah mencengkeram pundaknya. Pundaknya serasa diganduli dengan bongkahan batu yang sangat berat. Sabuk Lulang, menoleh ke belakang. Manusia aneh itu ternyata yang telah mencengkeram pundaknya. Menggembor marah Sabuk Lulang segera menyikut ke arah rahang orang yang mencengkeramnya itu.

Sikut Sabuk Lulang ngilu seperti membentur tembok beton. Harusnya sikutannya tadi setidaknya membuat gigi tanggal barang tiga sampai empat biji. Manusia tadi hanya terdongak sekejap. Kesempatan itu digunakan Sabuk Lulang untuk melepaskan diri dari cengkeraman. Tubuhnya bergulingan di tanah. Lalu dengan cepat berdiri memasang kuda-kuda.

"Kakang Kendit Waja, pergilah ke Mataram dulu. Nampaknya orang ini musti segera dibereskan"

"Baiklah Sabuk Lulang, berhati-hatilah! Aku akan ke Mataram dahulu. Surat ini musti segera cepat sampai di tangan Gusti Senopati"

Setelah itu Kendit Waja segera menggebrak kudanya ke arah kanan. Kuda itu berlari menembus kerapatan pepohonan di tengah alas Purwo. Sabuk Lulang kini sendiri tengah berhadapan dengan orang aneh dan menyeramkan yang kini berdiri kaku di depannya.

"Kisanak... Kau boleh tidak percaya padaku. Tapi kau harus percaya pada apa yang kuucapkan itu. Tujuanku hanya ingin bertanya kepadamu dimana jalan menuju Mataram. Kita tidak ada silang sengketa tidak sepatutnya kita saling adu kanuragan. Siapa dirimu sebenarnya...?"

"Mengapa tubuh mu luka- luka sedemikian rupa?!"

"A... ku... Grrr... Grrr... Grrr... Grrr... Mer... Babu!"

Orang diseberang keluarkan suara berkata bercampur dengan geraman yang aneh. Suaranya seperti datang dari jauh, laksana keluar dari sumur dalam dan kata-katanya terbata-bata kaku, seolah-olah dia memiliki lidah yang kelu. Setiap patah kata yang diucapkannya terdengar begitu lamban dan agaknya dia mengeluarkan ucapan itu dengan susah payah. Sabuk Lulang memandang dengan tajam mulai dari kepala sampai ke kaki lelaki di hadapannya seolah-olah baru saat itu dia melihatnya.

"Apa... apa betul kau seperti mayat... Gila! Bagaimana ada mayat hidup!"

Namun dalam hatinya Sabuk Lulang merasa semakin tercekat. Wajah yang pucat tiada berdarah dan bibir yang biru itu... Memang begitulah keadaan mayat. Tapi ini hidup!

Lelaki aneh itu tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan kaku, bergerak lurus seperti palang. Dan ketika tangan itu tepat mengarah kejurusan Sabuk Lulang, bahu kanan lelaki yang sekujur tubuhnya luka-luka dan tangannya buntung itu tampak seperti disentakkan. Lalu saat itu juga terdengar suara deru angin yang hebat. Tepi alas Purwo laksana neraka karena tiba- tiba saja seantero tempat menjadi panas luar biasa!

Sabuk Lulang yang mendapat hantaman angin keras panas itu cepat-cepat jatuhkan diri ke tanah. Saat itu pula terdengar suara ledakan keras. Pepohonan seperti dihantam topan. Tercabut ke akar-akarnya lalu melayang ke udara sebagian daedaunan pohon yang tercabut itu tampak menghitam seperti hangus. Sabuk Lulang ikut terlempar ke udara lalu jatuh tepat dibawah sebatang pohon jati tua dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Beberapa bagian tubuhnya tampak luka-luka. Dadanya telihat hangus menghitam!

***

KENDIT WAJA memacu kudanya tanpa henti. Keringat tampak membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Pakaian yang dikenakannya pun di beberapa tempat telah basah. Udara saat itu bisa dikatakan cukup panas karena telah lewat tengah hari. Matahari pun sudah sedari tadi masih saja memancarkan terik panasnya.

Kendit Waja segera menurunkan kecepatan lari kuda tunggangannya itu tatkala di ujung jalan kecil di depannya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang lelaki tua dilihatnya berjalan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kanannya ada sebatang kayu kecil yang selalu dikibas-kibaskan. Sedang didepannya berjalan beriringan sambil mengeluarkan suara riuh tiada henti serombongan itik yang jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor.
Kendit Waja menghampiri orang tua pengangon itik dan melangkah di sampingnya. Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangi Kendit Waja lalu seperti tak acuh dia terus saja berjalan.

"Maaf Ki...," Kendit Waja menegur.

"Apakah jalan ini benar akan menuju ke Mataram?"

Yang ditanya berpaling sambil kerenyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya.

"Jalan ini ya sudah termasuk Mataram. Kalau kotaraja Mataram kisanak terus saja nanti akan ketemu hamparan sawah yang luas. Nah, di ujung sawah itu candi Bentar Kedaton sudah kelihatan"

"Terimakasih. Permisi Ki..."

Kendit Waja segera menggebrak kudanya lagi. Kuda itu pun kembali berlari kencang menuju kotaraja Mataram.

BERSAMBUNG
close