TUMBAL PEMBANGUNAN WADUK KEDHUNG JATI (Part 12)
JEJAKMISTERI - Malam itu dilalui oleh Prabowo dan Rokhayah dengan suasana penuh kekakuan. Perdebatan sore hari tadi, membuat Rokhayah menjadi enggan untuk sekedar menyapa atau bermanja manja diatas ranjang sebelum tidur seperti kebiasaan mereka selama ini. Apalagi Prabowo yang sepertinya memang benar benar kelelahan, begitu kepalanya bertemu dengan bantal langsung terlelap dibuai mimpi.
Rokhayah hanya bisa menghela nafas, mencoba mengurangi rasa gundah yang melanda hatinya. Perubahan sikap Prabowo benar benar sulit untuk ia mengerti. Bukan hanya sekali dua kali ia mendampingi sang suami dalam mengerjakan sebuah proyek. Dan sudah sering juga ia mendapati sang suami mengalami masalah demi masalah dalam proyeknya. Namun baru kali ini, masalah yang dihadapi oleh sang suami sampai mempengaruhi sikap Prabowo terhadapnya. Biasanya, seberat apapun masalah yang dihadapi oleh laki laki itu, Prabowo tetap bisa bersikap manis kepadanya.
Prabowo sendiri tak memungkiri kalau sikapnya belakangan ini sudah sangat keterlaluan kepada sang istri. Ia yang malam itu hanya pura pura tertidur demi menghindari rasa bersalahnya kepada sang istri, merasa sangat menyesal. Ia sendiri tak mengerti, kenapa ia tiba tiba bisa bersikap sekasar itu terhadap Rokhayah. Semua terjadi begitu saja, seolah terjadi diluar kesadarannya. Dan begitu semua telah terjadi, barulah rasa penyesalan itu datang.
Ah, penyesalan memang selalu datang terlambat, batin Prabowo. Mudah mudahan, besok setelah emosi dan perasaan mereka sedikit mereda, mereka bisa bicara dari hati ke hati. Biar bagaimanapun, ia harus meminta maaf kepada perempuan yang telah sekian lama mendampingi hidupnya itu.
Malam terus merambat. Suasana semakin sunyi. Udara yang semakin dinginpun membuat Prabowo akhirnya benar benar terlelap dibuai mimpi indah. Mimpi bercengkerama dengan Gayatri di sebuah taman bunga yang sangat indah. Dan Prabowopun seketika lupa dengan segala galanya.
***
Gedoran di pintu pondok membuyarkan mimpi indah Prabowo. Dan suara Mandor Saman yang terdengar panik lagi lagi harus membuyarkan rencananya untuk berbicara dengan Rokhayah. Ada masalah lagi di proyek, yang mau tak mau harus memaksa Prabowo untuk kembali meninggalkan Rokhayah di pagi buta itu.
Lagi lagi Rokhayah hanya bisa mengelus dada dan mengusap air mata. Namun Rokhayah sadar, ia tak boleh larut dalam kesedihan. Kata kata Mbah Yah kemarin, masih terngiang jelas di telinganya. Janin dalam kandungannya lebih penting dari apapun juga. Dan dia tak ingin perasaan sedih yang ia rasakan sampai mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungannya itu.
Berpikir begitu, Rokhayah lalu beranjak menuju ke dapur, mencari sedikit kesibukan untuk melupakan rasa gundah di hatinya. Seteko air ia jerang diatas kompor. Lumayan untuk sekedar menyeduh teh untuk menghangatkan perutnya.
Sambil menunggu air mendidih, Rokhayah meraih sapu yang tersandar di dinding. Seluruh penjuru lantai dapur itu masih bersih sebenarnya, karena sore kemaren Halimah sudah sempat membereskannya. Tapi daripada bengong, Rokhayah lalu menyapu seluruh penjuru lantai dapur itu. Termasuk juga dibawah kolong meja dapur dan meja makan.
"Eh, apa ini?" tangan Rokhayah yang sedang membersihkan bagian bawah meja dapur terhenti seketika, saat merasakan sapu yang ia gunakan mengenai sesuatu.
Rokhayah segera berjongkok dan melongok ke bawah meja dapur. Samar samar ia menangkap sesosok bayangan bulat panjang yang melingkar dibawah meja yang gelap itu. Rokhayah bergidik ngeri, teringat dengan mimpinya semalam tentang ular yang masuk kedalam rahimnya itu.
"Astaga! Itu kan...," pelan pelan Rokhayah kembali berdiri, lalu meraih korek api yang segera ia gunakan untuk menerangi bagian bawah meja dapur itu.
"Ah, hanya selang gas! Kukira tadi ular," desah Rokhayah lega. Perempuan itu tanpa sadar tersenyum, mentertawakan kebodohannya sendiri.
"Ah, kenapa aku jadi parnoan begini sih?" sungut Rokhayah kesal. Ia lalu mencoba membuang jauh jauh semua pikiran buruk yang menghantuinya itu.
"Aku tak boleh bersedih. Aku tak boleh terlalu terbawa perasaan. Aku harus kuat, demi kamu calon anakku! Kamu yang sabar ya Nak, ibu sangat menyayangimu. Ini semua hanya cobaan untuk kita. Saat kamu lahir nanti, semoga semua cobaan ini juga akan berakhir," Rokhayah tersenyum saat merasakan si jabang bayi dalam perutnya menendang nendang seolah menyahuti ucapannya.
"Iya iya, ibu juga tau kalau kamu juga sayang sama ibu," gumam Rokhayah lagi, seolah berbicara dengan bayi yang ada didalam kandungannya itu. "Nanti siang, kalau bapakmu pulang, kita jalan jalan ke tempat Bu Bidan ya. Sudah waktunya perkembanganmu diperiksa, nanti sekalian kita mampir ke tempat simbah dukun bayi yang kemarin menyapamu itu."
Suara berdesis dari air yang mendidih menyadarkan Rokhayah dari lamunannya. Perempuan itu lalu kembali sibuk menyeduh teh dalam cangkirnya, dan menikmatinya seorang diri. Lagi lagi Rokhayah tersenyum kecut. Sudah dua hari ini ia menikmati teh di pagi hari tanpa kehadiran suami yang menemaninya.
Sampai siang harinya, Prabowo yang ditunggu tunggu tak juga nampak batang hidungnya. Dan lagi lagi Rokhayah harus menahan kesabarannya. Mungkin saja sang suami itu memang benar benar sibuk, atau ada masalah yang memang benar benar membutuhkan penanganan segera. Rokhayah mencoba berpikir positif.
Untuk menghilangkan rasa jenuh karena seharian berada di rumah sendirian, akhirnya Rokhayah mengajak Halimah untuk mengantarnya ke rumah bidan Lilis. Sambutan bidan desa itu cukup ramah, dan hasil pemeriksaan kandungan juga cukup memuaskan. Tak ada masalah yang berarti. Janin dalam kandungannya benar benar sehat tak kurang suatu apa.
"Yang penting dijaga baik baik saja kandungannya ya Bu, jangan terlalu lelah, jangan bekerja yang berat berat, dan yang paling penting jangan terlalu banyak pikiran," pesan Bu Bidan Lilis sambil memberikan beberapa tablet vitamin kepada Rokhayah.
Sepulang dari rumah Bu Bidan, Rokhayah lalu mengajak Halimah untuk singgah ke rumah Mbah Yah. Entah kenapa, Rokhayah merasa sangat penasaran dengan perempuan tua itu.
Keduanya lalu berjalan pelan pelan menyusuri jalanan desa menuju ke arah selatan sambil ngobrol kesana kemari. Rokhayah bersyukur, kehadiran Halimah cukup bisa melipur perasaannya. Anak Pak Bayan itu selain rajin juga cukup menyenangkan untuk diajak ngobrol, meski usianya masih sangat belia.
"Eh, Bu Insinyur, Halimah, mau kemana?" beberapa warga yang berpapasan dengan mereka menyapa dengan ramah.
"Ah, enggak kok Pak, cuma jalan jalan saja, menikmati pemandangan desa," sahut Rokhayah tak kalah ramah.
"Eh, Lik Parman, siapa yang meninggal? Kok itu bawa bawa bendera merah?" Halimah bertanya penasaran.
"Mbah Yah Mah," sahutan warga itu sontak membuat Rokhayah dan Halimah saling pandang.
"Mbah Yah?!" hampir serempak kedua perempuan itu mengulang menyebut nama itu.
"Iya, Mbah Yah, yang dukun bayi itu lho," jelas warga itu.
"Kok bisa sih Lik, perasaan kemarin saya bertemu beliau masih sehat sehat saja?" tanya Halimah lagi.
"Memang nggak sakit nggak apa kok. Mbah Yah meninggal karena digigit ular saat sedang mencari rumput di dekat kali tempuran sana."
"Digigit....., ular?" kali ini Rokhayah benar benar merasa sangat terkejut.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya