Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL PEMBANGUNAN WADUK KEDHUNG JATI (Part 11)


JEJAKMISTERI - "Pantang bagi seorang perempuan yang sedang hamil untuk bersedih! Itu bisa mempengaruhi janin dalam kandunganmu!" perempuan tua itu berkata pelan, sambil menatap ke arah Rokhayah yang baru saja memasuki halaman pondok dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

"Simbah siapa? Dan kenapa bisa berada di pondokku ini?" Rokhayah bertanya dengan suara gemetar. Ingat akan obrolan ibu ibu di warung tadi soal keangkeran desa ini, serta keberadaan si nenek di pondoknya yang terkesan misterius itu, membuat rasa takut pelan pelan hinggap di hati Rokhayah.

"Wajahmu pucat! Dan juga terlihat sangat murung! Apa yang sedang mengganggu pikiranmu Ndhuk?!" alih alih menjawab, perempuan tua itu justru balik bertanya, sambil melambaikan tangan keriputnya, memberi isyarat kepada Rokhayah untuk mendekat. Meski ragu, toh akhirnya Rokhayah melangkah juga naik ke teras pondok, lalu mendekat ke balai balai bambu tempat si nenek itu duduk.

"Simbah ini, warga desa sini juga ya?" Rokhayah kembali memberanikan diri untuk bertanya.

"Hihihi...! Jangan takut cucuku! Aku bukan hantu seperti yang kau pikirkan. Ya, aku warga desa ini juga. Orang orang biasa memanggilku Mbah Yah. Boleh kulihat kandunganmu itu?" nenek tua itu kembali memberi isyarat kepada Rokhayah untuk duduk disebelahnya. Dan bagai dihipnotis, Rokhayahpun menuruti perintah si nenek itu.

"Jangan takut cucuku! Aku sudah biasa menangani orang orang yang sedang hamil ataupun melahirkan. Aku dukun bayi di desa ini. Jadi, boleh kulihat kandunganmu itu?"

Lagi lagi, seolah terhipnotis Rokhayah mengangguk. Perempuan tua yang mengaku bernama Mbah Yah itu lalu mengelus lembut perut Rokhayah. Rokhayah merasakan telapak tangan perempuan tua itu terasa sedikit hangat, hawa hangat yang seolah meresap kedalam rahimnya, membuat sesuatu yang berada di dalam rahim itu bereaksi dengan menggeliat pelan.

"Eh?!" Rokhayah tercekat. Ia sudah sering merasakan geliat janin dalam kandungannya. Tapi kali ini ia merasa ada yang berbeda. Geliat yang ia rasakan, entah mengapa ia merasa itu bukan geliat dari janin yang sedang dikandungnya. Tapi seperti sesuatu yang lain yang juga berada di dalam rahimnya.

"Hmmm!" perempuan tua itu bergumam lemah, lalu buru buru menarik tangan keriputnya dari perut Rokhayah. "Apa yang telah suamimu perbuat di desa ini, hingga membuat dia marah dan mengincar bayi dalam kandunganmu?!"

"Apa maksud simbah?"

"Apa kau tak merasa kalau ada yang aneh dengan kandunganmu?"

"Aneh?"

"Ada makhluk lain yang bersemayam didalam rahimmu! Dan dia bermaksud untuk mengambil janin yang sedang kau kandung!"

"Tidak! Itu tak mungkin....," Rokhayah tercekat. Sekilas ia teringat akan ular yang memaksa masuk ke dalam rahimnya dalam mimpinya semalam.

"Berhati hatilah Nduk! Dan peringatkan suamimu, bahwa apa yang telah ia perbuat, bisa berakibat fatal pada calon anaknya. Dan kalau sempat, datanglah ke pondokku di ujung selatan desa sana. Mungkin aku bisa sedikit membantu."

Rokhayah terdiam. Ia masih belum bisa mencerna semua ucapan nenek tua itu. Baginya, semua ini serba aneh. Serba kebetulan. Seolah nenek tua itu tau semua masalah yang tengah dihadapinya.

Hingga nenek itu pamit untuk kembali ke pondoknya, Rokhayah masih terduduk diam diatas balai balai bambu itu, memandangi kepergian si nenek yang berjalan tertatih tatih meninggalkannya, sambil memikirkan semua ucapan si nenek tadi.

"Ah, lebih baik nanti kutanyakan kepada Halimah, siapa Mbah Yah itu, dan..., Astaga! Sudah siang! Aku harus segera memasak untuk makan siang!" Rokhayah lalu beranjak masuk kedalam pondok. Dua ikat kangkung dan ikan teri yang tadi dibelinya di warung segera ia bersihkan dan ia sulap menjadi masakan yang lezat.

"Pasti Mas Bowo nanti akan senang, aku masakkan makanan kesukaannya ini," gumam Rokhayah sambil menghirup aroma wangi dari masakan yang ia buat itu. Ia sudah membayangkan, dengan menghidangkan makanan kesukaan sang suami ini, sedikit banyak bisa mencairkan suasana kaku yang semenjak semalam ia rasakan terhadap Prabowo. Syukur syukur nanti Prabowo bisa sedikit lebih terbuka dan menceritakan apa apa yang sebenarnya telah ia alami dan lakukan di desa ini, juga soal Gayatri, agar masalah diantara mereka bisa segera diselesaikan.

Namun harapan tinggal harapan. Sampai siang menjelang, Prabowo tak kunjung juga pulang. Bahkan sampai jam dua siang, saat Halimah pulang sekolah dan datang ke pondoknya, Prabowo tak juga menampakkan batang hidungnya.

Hilang sudah semua harapan Rokhayah. Terpaksa tumis kangkung dan ikan teri itu ia simpan kembali. Dan terpaksa juga ia harus makan siang hanya berdua dengan Halimah. Menyantap nasi rantangan yang tadi pagi diantar oleh anak Pak Bayan itu.

"Kok tumben Pak Insinyur tidak pulang untuk makan siang Bu?" tanya Halimah saat keduanya asyik menikmati makan siang mereka yang sedikit terlambat itu.

"Mungkin lagi sibuk Mah, maklumlah, proyek baru mulai, jadi masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan," jawab Rokhayah pelan, sambil mengunyah makanan dalam mulutnya.

"Hebat ya Pak Insinyur itu, Halimah dengar, kalau nanti Pak Insinyur itu akan menjadikan bendungan yang dibangunnya itu menjadi semacam tempat wisata gitu. Pasti desa ini akan semakin ramai nanti," celetuk Halimah lagi.

"Ya mudah mudahan Mah, semua rencana Mas Bowo itu bisa terlaksana," ujar Rokhayah lagi. "Oh ya Mah, kamu kenal dengan Mbah Yah?"

"Mbah Yah?!"

"Iya, yang katanya dukun bayi itu lho."

"Oh, Mbah Yah yang itu to. Semua orang juga kenal dengannya Bu. Dulu, sebelum ada Bu Bidan Lilis yang buka praktek di desa ini, semua perempuan yang mau melahirkan pasti datang ke tempat Mbah Yah. Tapi sekarang, semenjak ada Bu Bidan Lilis, kayaknya sudah ndak ada lagi tuh yang melahirkan di tempat Mbah Yah. Kasihan juga sih, dia jadi ndak punya penghasilan lagi. Untung dia masih punya sepetak dua petak sawah yang bisa digarapnya. Anak anaknya yang kerja di kota juga kadang mengirimkan uang untuk beliau."

"Jadi benar dia seorang dukun bayi?"

"Iya Bu. Bahkan yang terbaik di desa ini. Dulu, bahkan orang orang dari desa lainpun kalau mau melahirkan pasti datang ke tempat Mbah Yah."

"Oh, begitu ya. Mau nggak kalau nanti kamu temani ibu berkunjung kesana?"

"Eh, mau ngapain Bu? Kalau mau periksa kandungan, lebih baik ke Bidan Lilis saja Bu, soalnya Mbah Yah sudah lama ndak buka praktek lagi. Sudah ada Bu Bidan Lilis."

"Enggak kok, cuma mau berkunjung saja."

"Oh, iya deh, nanti Halimah temenin Bu."

Keduanya masih terus asyik ngobrol sampai tak sadar kalau makanan yang mereka santap telah habis berpindah kedalam perut. Seperti biasa, Halimah lalu sibuk di dapur, sementara Rokhayah masuk ke kamar untuk istirahat siang.

Istirahat yang tak sepenuhnya bisa ia rasakan, karena pikiran perempuan itu yang semakin kalut. Kata kata Mbah Yah tadi masih jelas terngiang di telinganya. Ditambah dengan Prabowo yang sampai menjelang sore begini belum juga kembali ke pondok, membuat perempuan itu semakin gelisah.

Ingin rasanya ia menyusul sang suami ke lokasi proyek. Tapi teringat dengan kata kata Yu Menuk tadi pagi di warung Mbak Ndut, niat itu ia urungkan. Meski tak sepenuhnya percaya, tapi Rokhayah tak mau ambil resiko. Biar bagaimanapun, ia masih baru di desa ini, belum sepenuhnya mengetahui tentang seluk beluk desa ini.

Hingga sore menjelang, saat Halimah telah Pamit pulang, barulah Prabowo kembali ke pondok. Sedikit aneh bagi Rokhayah, karena Prabowo pulang dengan diantar oleh seorang tukang ojek. Wajah laki laki itu juga terlihat kusut, bahkan sapaan Rokhayahpun hanya ia jawab sekenanya.

"Darimana Mas? Kok pulangnya dianter ojek? Dan kenapa jam segini baru pulang? Lalu...."

"Dari Rumah Sakit," pertanyaan Rokhayah yang beruntun dan diucapkan dengan nada cemas itu hanya dijawab singkat oleh Prabowo, sambil langsung ngeloyor masuk kedalam pondok, melewati Rokhayah yang berdiri menyambutnya di depan pintu.

"Rumah Sakit? Siapa yang sakit?" Rokhayah mengikuti langkah sang suami masuk kedalam pondok.

"Ada pekerja yang kecelakaan tadi pagi di proyek," lagi lagi Prabowo menjawab singkat sambil melepas kemejanya yang basah oleh keringat.

"Kecelakaan?! Astaga! Parahkah sampai harus dibawa ke rumah sakit?"

"Tiga jari kakinya putus terkena kampak saat sedang menebang pohon besar yang ada di lokasi proyek itu!"

"Astaga!" lagi lagi Rokhayah tersentak kaget. "Kok bisa sih Mas?"

"Ya bisakah, namanya juga kecelakaan! Sudah, aku capek. Dan juga lapar! Jangan bertanya yang macam macam dulu!"

Rokhayah terdiam sejenak. Belum pernah Rokhayah mendengar sang suami berkata seketus itu. Tapi ia makhlum, mungkin Prabowo memang benar benar lelah. Dan kecelakaan itu pasti menimbulkan masalah tersendiri bagi suaminya itu.

"Ya sudah kalau begitu," ujar Rokhayah akhirnya, dengan nada lembut. "Sekarang lebih baik Mas mandi dulu. Aku akan siapkan makan sore. Kebetulan tadi aku sempat berbelanja, dan memasak makanan kesukaan Mas!"

"Hmmm....!" hanya itu jawaban yang diberikan oleh Prabowo, sebelum beranjak menuju ke arah sumur yang berada di samping pondok. Rokhayah sendiri lalu bergegas menuju ke dapur untuk menyiapkan masakan spesial yang tadi dibuatnya, yang meski sekarang sudah dingin tapi Rokhayah yakin masih pantas untuk disantap.

"Bagaimana bisa sampai pekerja itu terkena kampak Mas? Bukannya biasanya untuk menebang pohon seperti itu Mas sudah punya peralatan berat?" tanya Rokhayah lagi saat menemani sang suami menyantap makan sorenya.

"Gergaji mesin yang biasa dipakai tiba tiba ngadat, terpaksa pohon itu ditebang pake kampak. Mungkin karena kurang hati hati, sampai pekerja itu mengalami kecelakaan," jawab Prabowo lagi, sambil menyuapkan nasi kedalam mulutnya dengan rakus. Sepertinya laki laki itu memang benar benar kelaparan.

"Ngadat?! Kok bisa? Bukannya peralatan itu masih baru? Baru beberapa bulan yang lalu kan Mas beli?"

"Ya namanya mesin buatan manusia Yah, biar masih baru kalau memang ngadat ya ngadat."

"Jangan jangan pohon yang mau ditebang itu angker Mas," celetuk Rokhayah lagi.

"Angker?" ucapan Rokhayah berhasil mengalihkan perhatian Prabowo. Sejenak laki laki itu menatap wajah sang istri dengan tatapan penuh tanya.

"Ya. Kudengar dari warga, lokasi yang mau dibangun bendungan itu katanya angker." desis Rokhayah.

"Ah, omong kosong itu," Prabowo kembali mengalihkan perhatiannya pada makanan yang ada di piringnya. "Lagian kan kemarin kita sudah ngasih tumbal kepala kerbau. Mana mungkin...."

"Entahlah Mas, aku merasakan firasat buruk belakangan ini. Semenjak proyek itu dimulai, aku sudah merasa kalau ada sesuatu yang salah. Aku tak tau apa yang terjadi disana, di area proyek itu, dan aku juga tak tau apa saja yang telah kamu lakukan disana Mas. Tapi kuharap, Mas lebih berhati hati lagi. Jangan melakukan hal hal yang sekiranya bisa membuat marah penghuni tempat itu. Kalaupun terlanjur Mas melakukan hal hal yang kurang baik, kumohon, Mas mau menceritakannya kepadaku, agar bisa sama sama kita cari jalan keluarnya."

"Yah, apa maksudmu berkata seperti itu?" Prabowo meletakkan sendoknya, lalu menatap Rokhayah dalam dalam. "Kau berkata seolah olah aku telah melakukan hal hal yang salah di tempat itu. Kau menuduhku hah?!"

"Bukan menuduh Mas, tapi firasatku mengatakan, ada yang salah dengan proyek yang sedang Mas kerjakan itu. Dan sebenarnya itu bukan urusanku. Tapi jika nanti akibatnya sampai berimbas kepadaku, atau lebih parahnya kepada calon anak kita...., ah, tolong Mas pikir sampai kesana."

"Hei, kenapa sampai merembet ke calon anak kita segala? Kau semakin ngelantur Yah! Kurasa kau telah terhasut oleh cerita cerita dari para warga yang..."

"Aku masih waras Mas. Dan naluriku sebagai calon seorang ibu, apa salah kalau mengkhawatirkan calon bayi yang sedang kukandung?"

"Kekhawatiranmu itu terlalu berlebihan Yah!"

"Tidak! Setelah apa yang kualami selama di desa ini."

"Apa memangnya yang telah kau alami heh?"

"Mimpi buruk, firasat firasat buruk, dan juga beberapa peringatan dari orang orang yang sangat paham dengan kondisi desa ini."

"Cih! Lagi lagi omongan orang kau percayai Yah."

"Bukan sekedar omongan orang Mas. Tapi juga firasat dan mimpi buruk, juga sikapmu yang belakangan ini berubah drastis."

"Aku?! Apa memangnya yang salah denaganku?"

"Aku merasa, Mas menyembunyikan sesuatu dariku."

"Sesuatu?! Kau menuduhku?!"

"Bukan menuduh Mas, tapi...., ah, soa itu Mas sendiri yang tau. Mungkin Mas sudah melanggar salah satu pantangan yang ada di lokasi proyek itu, atau ..."

"Atau apa?"

"Gayatri!"

"Gayatri?"

"Ya. Siapa perempuan yang semalam kau sebut namanya itu Mas?"

"Oh, aku tau sekarang," Prabowo sontak bangkit dari kursi yang didudukinya. "Intinya kamu cemburu karena aku menyebut nama itu?"

"Aku istrimu Mas."

"Lupakan Yah! Itu hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Aku bahkan tak tau siapa itu Gayatri."

"Oh ya? Lalu kenapa nama itu bisa terucap dari bibirmu, justru disaat kita sedang...."

"Rokhayah! Please! Jangan bahas masalah itu lagi! Aku sudah lelah dengan segala urusan di proyek yang berantakan! Jangan kau tambah dengan...."

"Jadi benar, proyek yang kaukerjakan itu tidak berjalan seperti semestinya Mas?"

"Rokhayah...!"

"Aku hanya mau Mas jujur dan terbuka kepadaku!"

"Itu bukan urusanmu Yah!"

"Aku ini istrimu Mas!"

"Brakkk...!!!"

Tanpa sadar Prabowo menggebrak meja, hingga piring yang isinya masih tersisa setengah itu nyaris terlempar dari permukaan meja.

"Mas!" Rokhayah menjerit. Seumur umur belum pernah Prabowo bersikap sekasar itu kepadanya.

"Aku lelah! Mau istirahat!" dengan nafas memburu menahan amarah Prabowo bergegas masuk kedalam kamar, lalu menutup pintunya dengan sentakan kasar, membuat Rokhayah terkesima.

Perempuan itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lalu menghela nafas panjang sekedar untuk menenangkan gejolak yang melanda batinnya.

"Mas Bowo, setan apa yang telah merasukimu, hingga sikapmu bisa berubah sedrastis itu?" pelan, dua bulir bening meleleh di pipi Rokhayah.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close