TUMBAL PEMBANGUNAN WADUK KEDHUNG JATI (Part 10)
JEJAKMISTERI - "ARRGGHHHH...!!! TIDAAAAKKKKK...!!!" Rokhayah menjerit setinggi langit dengan tubuh mengejang hebat, lalu semua mendadak menjadi gelap.
"Braakkk...!!! Braakkk...!!! Braakkk...!!!"
"Bu! Bu Insinyur kenapa? Buka pintunya Bu, ini saya Halimah!" suara pintu digedor dan teriakan Halimah menyadarkan Rokhayah. Pelan pelan perempuan itu membuka matanya, seiring dengam kesadarannya yang sedikit demi sedikit mulai kembali.
"Astaga! Makhluk itu!" begitu telah tersadar sepenuhnya, sontak Rokhayah menyibakkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya, lalu menaikkan daster bagian bawah yang dikenakannya. Tak ada luka! Tak ada darah! Tak ada rasa sakit sama sekali yang ia rasakan. Pakaian dalam yang ia kenakan juga masih rapi.
"Apa yang...." Rokhayah lalu memperhatikan sekelilingnya. Ia masih terbaring diatas tempat tidur. Pintu kamar juga masih terkunci. Lampu kamar masih menyala. Tak ada tanda tanda bahwa ia telah bangun san keluar dari kamar. "Ah, syukurlah! Ternyata cuma mimpi!"
Rokhayah tercenung sejenak. Pias wajahnya masih menunjukkan rasa rakut akibat dari mimpi yang barusan ia alami. Mimpi yang sangat buruk, dan seolah olah benar benar terjadi, bukan didalam mimpi.
"Bu...!" kembali seruan Halimah terdengar dari luar, membuat Rokhayah kembali tersadar dan melihat ke arah jam dinding yang tergantung di dinding tembok kamar.
"Astaga! Aku kesiangan!" sontak Rokhayah bangkit dan turun dari atas tempat tidur, saat menyadari bahwa hari sudah pagi. Dengan langkah sedikit tergesa perempuan itu segera menuju ke ruang depan dan membuka pintu.
"Bu Insinyur, Alhamdulillah, ibu ndak papa kan? Tadi kudengar ibu berteriak, dan..."
"Ah, Halimah! Ibu ndak papa kok, tadi cuma..., cuma ada tikus yang melintas saat ibu memasak air di dapur. Karena kaget makanya ibu berteriak. Kamu sudah mau berangkat sekolah?" sedikit gugup Rokhayah menyapa anak gadis Pak Bayan yang telah mengenakan seragam putih biru dan menyandang tas sekolah itu.
"Iya Bu, sekalian sama ini, disuruh emak buat nganterin sarapan buat Bu insinyur!" Halimah mengangsurkan rantang yang ditentengnya kepada Rokhayah, yang segera diterima oleh perempuan itu sambil mengucapkan terimakasih.
"Oh ya Halimah, disini kalau mau belanja sayur atau keperluan yang lain dimana ya?" tanya Rokhayah setelah meletakkan rantang itu diatas meja.
"Diujung desa sana Bu, dekat poskamling ada warung Mbak Ndut yang lumayan lengkap dagangannya, dari sembako sampai sayur mayur komplit. Ibu mau belanja? Mari saya antar Bu, sekalian saya berangkat sekolah." ujar Halimah.
"Ah, nanti saja Halimah, ibu mau mandi dulu."
Ya sudah kalau begitu Bu, Halimah berangkat dulu ya."
"Tunggu Halimah," Rokhayah menahan langkah Halimah. "Apakah di desa ini ada perempuan yang bernama Gayatri?"
"Gayatri?" Halimah nampak mengerutkan keningnya. "Seingat saya ndak ada Bu. Saya kenal semua warga desa ini. Dan ndak ada yang namanya Gayatri. Memangnya kenapa to Bu?"
"Ndak papa kok, cuma nanya aja."
"Owh, ya sudah kalau begitu, saya berangkat dulu ya Bu."
"Sebentar Halimah," Rokhayah kembali menahan langkah Halimah. "Ini, nanti buat beli jajan."
"Eh, ndak usah Bu, saya..."
"Sudah, ndak papa," Rokhayah sedikit memaksa menyelipkan selembar uang ke saku baju seragam Halimah. "Nanti pulang sekolah kalau ndak sibuk temani ibu disini ya."
"Siap Bu insinyur! Dan terimakasih banyak ya uang jajannya. Kalau begitu Halimah berangkat dulu Bu. Asslamu 'alaikum!"
"Wa alaikum salam," Rokhayah melepas kepergian gadis remaja itu sambil tersenyum. Halimah, gadis periang itu mengingatkannya kepada Sulastri, anak gadisnya yang semenjak kecil diasuh oleh sang bibi.
Ada rasa rindu yang tiba tiba menelusup kedalam kalbu. Sudah hampir sebulan ia tak bertemu dengan si buah hati itu. Dan sepertinya akan lebih lama lagi, mengingat tugas yang dirmban oleh sang suami di desa ini akan makan waktu berbulan bulan.
"Ah, andai saja..." Rokhayah menghela nafas, mencoba membuang segala gundah yang membuncah di dada. Pelan dielusnya perut yang sudah mulai membuncit itu. Usia kandungannya sudah menginjak tujuh bulan. Tak lama lagi buah hati keduanya akan lahir. Ia tak boleh terlalu banyak pikiran seperti ini, agar bayi dalam kandungannya itu juga tak terpengaruh oleh perasaan sang ibu yang saat ini sedang dilanda gelisah.
Pelan Rokhayah lalu beranjak ke kamar mandi. Hari memang masih pagi. Dan udara terasa sangat dingin di desa ini. Namun segarnya air pegunungan yang sejuk itu membuat Rokhayah tak bisa menahan hasratnya untuk berlama lama memanjakan diri dan membersihkan tubuhnya.
Selesai mandi dan sedikit memoles wajahnya dengan bedak, Rokhayahpun beranjak keluar dari pondok. Pelan pelan ia berjalan menyusuri jalanan desa menuju kearah utara, tempat dimana Halimah tadi menunjukkan letak warung tempat berbelanja.
Sambil menikmati indahnya pemandangan desa, Rokhayah terus berjalan. Sesekali mengangguk dan menyapa warga yang berpapasan dengannya. Benar benar desa yang indah, dengan warganya yang sangat ramah, membuat Rokhayah sedikit lupa dengan semua resah yang semenjak semalam ia rasakan.
Sampai di warung, ternyata sudah banyak ibu ibu yang berbelanja disana. Benar kata Halimah. Warung itu cukup lengkap. Dan sepertinya warung satu satunya di desa itu. Jadi tak heran kalau sepagi itu sudah ramai orang yang berbelanja, meski kata orang si pemilik warung terkenal agak galak dan jutek.
Sambil memilih milih sayuran, beberapa ibu ibu desa menyapanya dengan ramah. Rokhayah membalas sapaan mereka dengan tak kalah ramah juga.
"Oh, ini Bu insinyur, istrinya Pak insinyur yang membangun bendungan itu ya?"
"Wah, cantik ya, beda sama kita yang orang desa ini."
"Lagi hamil ya Bu? Sudah berapa bulan?"
"Semoga nanti lahirannya lancar ya Bu."
"Pasti nanti anaknya cantik kayak ibunya."
"Atau ganteng kayak bapaknya."
"Ibu ndak papa? Wajah ibu agak pucat. Apakah Bu insinyur sedang sakit?"
Pertanyaan terakhir itu sedikit menarik perhatian Rokhayah, membuat perempuan itu menoleh ke arah si penanya. Seorang perempuan yang penampilannya sedikit agak berbeda dengan ibu ibu yang lain. Lebih rapi dan juga lebih bersih.
"Saya Lilis Bu, bidan di desa ini," perempuan itu tersenyum ke arah Rokhayah. "Kalau ada keluhan, silahkan nanti datang kerumah saya, itu yang tembok warna hijau, kelihatan dari sini."
"Oh, iya, terimakasih Bu bidan. Nanti saya akan datang. Kebetulan saya juga perlu pemeriksaan rutin, mengingat usia kandungan yang semakin tua," ujar Rokhayah lega. Syukurlah ada bidan yang praktek di desa terpencil ini, jadi kalau ada apa apa ia tak perlu terlalu khawatir.
"Saya tunggu ya Bu, ya sudah kalau begitu, saya pamit dulu," bidan Lilis segera membayar belanjaannya dan melangkah pergi.
"Eh, Bu insinyur, gimana, betah kan tinggal di desa terpencil ini?" celetuk salah seorang ibu setelah kepergian Bu Bidan Lilis.
"Alhamdulillah Bu, sangat betah. Desa ini cukup indah, dan nyaman sekali suasananya." jawab Rokhayah sekenanya.
"Syukurlah kalau begitu Bu. Tapi sebaiknya Bu insinyur berhati hati, karena Bu insinyur sedang hamil, lebih baik kalau kemana mana jangan sendirian."
"Lho, kenapa Bu?"
"Ndak papa sih Bu, cuma ada beberapa tempat di desa ini yang katanya pantang untuk dilewati oleh perempuan hamil, termasuk kali tempuran yang sekarang sedang dibangun bendungan oleh suami ibu itu. Kalau bisa sih ibu ndak usah datang kesana." jawab ibu itu setengah berbisik.
Rokhayah sedikit mengernyitkan dahinya mendengar penuturan perempuan berdaster lusuh itu. Seingatnya, kemarin saat pertama kali datang ke desa ini, Pak Bayan sama sekali tak pernah menyinggung masalah itu. Tak menjelaskan kalau di desa ini ada tempat tempat yang pantang untuk dikunjungi oleh perempuan hamil.
"Oalah Yu Yu, sampeyan ini kok sukanya bikin hoaks!" perempuan gemuk si pemilik warung tiba tiba ikut nimbrung. "Ndak usah didengerin omongan Yu Menuk itu Bu insinyur! Mana ada yang seperti itu! Jaman sudah maju Yu, masih saja sampeyan percaya hal hal seperti itu."
"Lho, mbak Ndut ndak inget dulu, si Sarmi sampai keguguran gara gara nekat mandi di kali tempuran itu?" perempuan yang bernama Yu Menuk itu menukas.
"Dia keguguran karena jatuh terpeleset di sawah Yu, bukan karena mandi di kali tempuran!" sergah Mbak Ndut tak mau kalah.
"Lha itu, dia jatuh karena kakinya dijegal sama dhemit penghuni kali tempuran yang ndak terima tempatnya dikotori oleh Yu Sarmi!"
"Halah! Bohong itu! Mana ada dhemit keluar pagi pagi!"
"Dibilangin kok ndak percaya! Saya cuma mengingatkan Bu, ndak bermaksud menakut nakuti! Lebih baik berhati hati to, daripada nanti kenapa kenapa," sungut Yu Menuk sambil ngeloyor pergi. Sepertinya perempuan itu sedikit kesal karena ceritanya dibantah oleh Mbak Ndut si pemilik warung.
"Hei! Yu Menuk! Belanjaannya belum dibayar tuh!" seru Mbak Ndut lagi yang juga sepertinya agak kesal.
"Catet saja dulu Mbak, nanti kalau suami saya gajian baru bayar!" seru Yu Menuk sambil terus berjalan.
"Wedhus! kebiasaan!" dengus Mbak Ndut.
Rokhayah hanya tersenyum melihat kejadian itu. Nggak di kota nggak di desa, sepertinya sama saja. Emak emak kalau udah ngumpul, selalu saja ada kejadian yang seperti itu.
"Ndak usah terlalu dipikirkan omongan Yu Menuk tadi Bu," ujar Mbak Ndut ramah saat Rokhayah membayar belanjaannya. "Dia memang seperti itu, tukang gosip nomor wahid di desa ini."
Lagi lagi Rokhayah hanya tersenyum. "Iya Mbak, saya juga ndak terlalu percaya kok sama mitos mitos yang seperti itu."
Setelah berbasa basi sebentar, Rokhayah pulang. Dua ikat kangkung dan sebungkus ikan teri plus bumbu bumbu dapur sepertinya cukup untuk menu makan siang nanti saat suaminya pulang.
Ah, Mas Prabowo, semoga siang nanti, saat kamu pulang dan menikmati makanan kesukaanmu ini, kamu bisa memberi penjelasan soal masalah yang semalam. Rokhayah tak ingin masalahnya dengan sang suami sampai berlarut larut. Ia juga ingin segera menceritakan soal mimpi buruk yang dialaminya semalam.
Berjalan sambil melamun, membuat Rokhayah tak sadar kalau langkahnya telah kembali membawanya sampai di pondok. Dan niatnya untuk segera mengeksekusi kangkung dan ikan teri yang dibelinya menjadi sebuah masakan yang lezat sepertinya harus tertunda, karena saat ia membelokkan langkahnya memasuki halaman pondok, dilihatnya seorang perempuan tua tengah duduk di balai balai bambu yang berada di teras pondok itu.
Perempuan tua yang menyambut kedatangannya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya