Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM SILUMAN BABI NGEPET (Part 1)


JEJAKMISTERI - Lima orang perempuan warga desa Kedhung Jati nampak duduk berbaris di teras rumah Yu Marni sambil petan (mencari kutu), saat sebuah mobil pick up melintas di jalanan depan rumah itu. Seperangkat sofa tersusun di bak belakang. Sementara di jok depan, nampak Mbah Soma duduk disamping pengemudi. Asap tebal mengepul dari debu debu jalanan yang berterbangan saat dilintasi oleh mobil itu, untuk kemudian hinggap di rambut para perempuan yang sedang petan di teras rumah Yu Marni.

"Wah, Mbah Soma mborong lagi tuh," celetuk Yu Darmi, salah satu dari perempuan itu.

"Iya. Enak dia itu. Duitnya banyak. Hampir tiap bulan ngeborong. Belum lama kemarin beli lemari, sekarang sudah mborong sofa lagi," sahut Yu Menuk.

"Iya, enak banget ya hidupnya Mbah Soma. Dia itu nganggur, tapi duitnya banyak," Yu Sumi ikut menimpali. "Aku jadi curiga, jangan jangan...."

"Jangan jangan apa Yu?" tanya yang lain hampir serempak.

"Jangan jangan Mbah Soma itu miara pesugihan," jawab Yu Sumi setengah berbisik.

"Hush! Jangan sembarangan kalau ngomong Yu! Ndak enak kan kalau kedengaran orang," tukas Yu Marni mengingatkan.

"Iya, bisa jadi kasus kalau Mbah Soma denger dan ndak terima," timpal Yu Sunthi.

"Ya aku curiga saja sih," Yu Sumi masih kekeuh dengan pendapatnya. "Coba kalian pikir, Mbah Soma itu kerja enggak, punya sawah atau ladang juga enggak, buruh macul juga ndak pernah. Kerjanya tiap hari cuma ongkang ongkang dirumah, dengerin uyon uyon sambil nyethet'in perkutut perkutut piaraannya. Dapat duit darimana coba, sampai tiap bulan mborong perabotan gitu, kalau nggak hasil dari ngepet!"

"Lha kan anak anaknya yang kerja di kota sana udah pada kaya Yu," ujar Yu Sumi. "Pasti tiap bulan juga kirim duit buat bapaknya."

"Halah Yu Yu, anak jaman sekaeang lho, kalau udah sukses, mana ada yang ingat sama orang tua. Apalagi udah pada berkeluarga. Kalaupun kirim duit juga paling sekedarnya saja, cuma cukup buat makan," Yu Sumi yang memang berlidah tajam itu membantah.

"Eh, tapi kalau dipikir pikir, ada benarnya juga sih kata kata sampeyan itu Yu," Yu Sunthi sepertinya mulai termakan ucapan Yu Sumi. "Belakangan ini kan desa kita mulai ndak aman. Banyak warga yang bilang kalau sering kehilangan uang secara misterius."

"Misterius gimana maksudnya Yu?" lagi lagi hampir serempak para perempuan itu bertanya.

"Ya misterius. Misalnya nih ya, kita naruh uang tiga lembar di dompet, nah, tiba tiba yang dua lembar ndak ada, ilang ndak tau kemana. Padahal uang dan dompet itu kita simpan di lemari. Kan aneh itu namanya. Kalau orang yang nyolong, pasti diambil semua to uangnya, bahkan mungkin sama dompet dompetnya dibawa. Lha ini cuma sebagian saja yang ilang."

"Nah, itu. Sudah jelas itu. Pasti itu ulah pesuguhan piaraan Mbah Soma," seru Yu Sumi penuh semangat.

"Hush! Jangan keras keras Yu ngomongnya!"

"Iya, ndak enak kalau didrngar orang."

"Tapi gawat juga ya kalau beneran begitu. Aku jadi khawatir."

"Iya, mulai sekarang harus hati hati kalau nyimpen duit."

"Betul itu. Kalau enggak, bisa bisa raib uang kita digondol pesugihannya Mbah Soma."

"Kalau bisa sih, kalau nyimpen duit dikasih syarat Yu, biar ndak diambil sama makhluk yang begituan."

"Syarat apa yu?"

"Kata orang sih, di dalam dompet tempat kita naruh uang harus dikasih bla bla bla...."

Obrolan emak emak itu terus berlanjut hingga sore menjelang, sebelum akhirnya mereka membubarkan diri karena suami suami mereka yang baru pulang dari sawah berteriak teriak memanggil nama mereka.

***

Tak jauh berbeda dengan para emak emak desa Kedung Jati yang petan di teras rumah Yu Marni, obrolan bapak bapak yang mendapat jatah ronda di poskamling malam itu juga tak jauh jauh dari isu hilangnya uang beberapa warga yang misterius. Dan lagi lagi, kata 'pesugihan' kembali beberapa kali diucapkan, meski kali ini tanpa embel embel nama Mbah Soma.

"Sepertinya percuma saja kita ronda tiap malam Kang, toh masih saja ada warga yang mengaku kecolongan," kata Kang Dikin memulai percakapan.

"Lha iya, wong namanya pesugihan itu kan makhluk halus. Mau kita rondain tiap malam juga percuma. Tetep saja mereka bisa beraksi," sahut Kang Sukri sambil meracik rokok tingwenya.

"Sepertinya kita harus memikirkan cara lain untuk menjaga keamanan desa kita ini Kang," Lik Mukri ikut menimpali.

"Cara lain gimana maksudmu Lik?" tanya Kang Darmo penasaran.

"Kita cari orang pintar saja Kang," celetuk Kang Bejo.

"Orang pintar? Dukun gitu maksudmu?" tanya Kang Dikin.

"Ya semacam itulah, pokoknya orang yang bisa mengatasi masalah gaib seperti ini," jawab Kang Bejo.

"Jaman sekarang, mau nyari kemana orang yang seperti itu Kang," kata Lik Mukri pesimis.

"Halah, gampang kalau cuma soal seperti itu. Serahkan saja padaku. Ditanggung beres pokoknya," Lik Mitro yang semenjak tadi hanya diam ikut bicara.

"Memangnya sampeyan bisa?" hampir serempak bapak bapak itu bertanya.

"Weh, jangan meremehkan saya Kang. Sampeyan lupa to siapa saya? Mitro Nggedebus, dukun yang sudah kesohor di seantero Kedhung Jati!" ujar Kang Mitro membanggakan diri.

"Halah, kesohor apanya, lha wong dulu aja sampeyan ngobatin Mbah Marto yang kata sampeyan kena guna guna itu, bukannya sembuh malah mati gitu kok," Kang Darmo setengah meledek.

"Itu bukan salah saya," Kang Mitro membela diri. "Syarat yang disediakan keluarga Mbah Marto yang nggak lengkap, mangkanya saya gagal."

"Itu kan alesan sampeyan saja to Kang. Kalau memang sampeyan bisa, ndak usah banyak omong deh. Buktikan saja kalau sampeyan bisa ngatasin masalah pesugihan di desa ini, baru kami akan percaya," ujar Lik Mukri.

"Bener tuh, sampeyan buktikan saja. Kalau bener sampeyan bisa ngatasi masalah pesugihan ini, kambing saya yang jantan itu boleh sampeyan tuntun pulang," imbuh Kang Darmo.

"Wah, sampeyan ini semua sepertinya meremehkan saya ya. Lihat ya, lihat saja, besok saya buktikan, kalau saya bisa nangkep pesugihan yang meresahkan warga itu. Dan kamu Kang Darmo, kuingat kata katamu ya, kambing jantanmu itu nanti bakalan jadi milik saya," Kang Mitro yang kesal karena merasa diremehkan lalu beranjak pergi.

"Weh, malah mutung!" celetuk Kang Dikin, yang segera disambut dengan gelak tawa oleh yang lain, membuat hati Kang Mitro semakin panas.

"Asem tenan! Pada meremehkan aku ya kalian. Lihat saja, akan kubuktikan besok," gerutu Kang Mitro sambil berjalan menjauh. Sebuah ide lalu melintas di kepalanya, membuat laki laki itu tersenyum samar.

"Met, mau duit nggak?" Slamet yang pagi itu baru saja bangun tidur dan sedang menikmati secangkir kopi sambil berselimut sarung di teras sedikit kaget ketika tiba tiba Lik Mitro, pamannya, datang ke rumahnya. Tak biasanya laki laki setengah baya itu mengunjunginya, meski mereka masih ada hubungan keluarga dan rumah mereka juga masih satu desa.

"Duit? Duit apa to Lik?" tanya Slamet heran.

"Ya duit beneran to, masa duit duitan," ujar Lik Mitro lagi sambil duduk di sebelah Slamet.

"Maksudku duit bener apa duit hasil tipu tipu kayak yang sudah sudah? Kalau duit dari hasil ngapusi orang seperti yang biasanya aku ndak mau Lik," kata Slamet. Ia memang sudah hafal dengan perangai sang paman itu, yang ngakunya dukun rapi sebenarnya cuma bohong bohongan.

"Kamu ini lho, sama orang tua kok bawaannya curiga aja," Lik Mitro setengah menggerutu. "Ini ndak ada hubungannya sama ngapusi orang. Aku mau ngajak kamu nyari celeng ke alas Tawengan, mau ndak?"

"Nyari celeng? Buat apaan Lik?"

"Ya buat dijadiin duit to, masa mau buat piaraan," jawab Lik Mitro sedikit kesal.

"Ada orang yang mesen buat dicariin celeng po?"

"Ya begitulah, mau apa enggak?"

"Emmm, gimana ya?"

"Halah, kok pake mikir segala lho, mau duit apa enggak?"

"Bukannya ga mau Lik, tapi kalau nyarinya ke alas Tawengan.., sampeyan tau sendiri kan kalau alas Tawengan itu gawat, angker, banyak memedinya."

"Kamu ini, sudah tua bangka kok masih takut sama begituan."

"Bukannya takut Lik, tapi...."

"Sudah, tenang saja, kan nyarinya sama aku. Lagian mana ada dhemit yang keluar pagi pagi begini. Dan kita nyarinya juga di pinggir pinggir hutan saja, ndak perlu masuk ke tengah. Gimana, mau ndak? Kalau ndak mau aku ngajak orang lain nih!"

"Ya sudah, aku mau Lik," kata Slamet akhirnya, setelah berpikir sejenak. "Sebentar ya, aku tak ganti baju dulu."

"Nah, gitu dong! Jangan lupa siapin motormu juga, bawa bronjong buat nempatin celengnya nanti."

"Perlu bawa bedil ndak Lik?" seru Slamet dari dalam rumah.

"Ndak usah! Kita kan mau nangkap celeng itu hidup hidup. Nanti kita bikin jerat aja buat ngejebak tuh celeng."

Berdua, akhirnya paman dan keponakan itu berangkat menuju ke alas Tawengan yang berada di desa tetangga. Keduanya lalu sibuk menelusuri hutan yang terkenal angker itu.

Ternyata bukan hal mudah untuk menangkap celeng atau babi hutan, karena mereka memang tak berani masuk terlalu dalam ke dalam hutan. Alhasil, sampai sore hampir menjelang, mereka hanya sanggup menangkap anak celeng yang masih kecil.

"Ah, ini sepertinya sudah lebih dari cukup Met," kata Lik Mitro sambil mengikat kedua pasang kaki anak celeng itu dan memasukkannya ke dalam bronjong yang dipasang di boncengan sepeda motor Slamet.

"Sebentar to Lik, ini beneran anak celeng bukan sih?" tanya Slamet sambil mengamati binatang kecil malang yang telah terikat itu.

"Kamu ini gimana to, masa nggak bisa bedain anak celeng sama anak kuda? Lha wong sudah jelas jelas kalau ini anak celeng kok masih nanya," sungut Lik Marto.

"Bukannya begitu Lik, tapi kayak ada yang aneh lho, coba sampeyan perhatikan baik baik. Bulu bulu diatas kepalanya itu, warnanya kekuningan dan berdiri kaku, bentuknya seperti mahkota gitu, terus itu di lehernya juga ada bulu halus yang juga berwarna kekuningan yang melingkari lehernya, seperti sebuah kalung. Sama di keempat kakinya juga begitu, ada bulu kekuningan juga yang melingkar seperti sebuah gelang. Aku baru lihat ada celeng yang warnanya seperti ini lho Lik. Jangan jangan ini anak celeng jadi jadian Lik."

Diam diam Lik Mitro ikut memperhatikan anak celeng itu. Memang benar apa yang dibilang oleh Slamet. Ada yang sedikit janggal dengan warna bulunya. Namun, berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Slamet, Lik Marto justru merasa warna anak celeng yang agak janggal itu bisa ia manfaatkan.

"Ndak usah mikir yang macem macem Met, aku yakin ini beneran anak celeng, bukan anak celeng jadi jadian. Ya sudah, ayo kita pulang. Sudah sore nih, masih ada tugas untukmu nanti. Kita langsung saja ke rumahku." Kata Lik Mitro akhirnya.

"Lho, tugas apalagi to Lik? Kan sudah dapet tuh celengnya."

"Sudah, jangan cerewet. Nanti aku jelaskan di rumah," Lik Mitro segera menjalankan sepeda motornya. Mau tak mau Slametpun mengikutinya dari belakang.

Sampai dirumah Lik Mitro, kedua paman dsn keponakan itu kembali sibuk. Slamet hanya mengikuti semua perintah sang paman, meski dalam hati ia menggerutu. Sedikit banyak ia mulai tau apa yang direncanakan oleh sang paman.

Anak celeng yang telah berhasil mereka tangkap itu mereka masukkan ke dalam kandang kambing yang sudah lama tak terpakai. Sekali lagi Lik Mitro memeriksa ikatan pada kedua pasang kaki anak celeng itu, memastikan bahwa ikatannya benar benar erat, agar si anak celeng tak punya kesempatan untuk kabur.

"Nah, selesai sudah," ujar Lik Mitro tersenyum puas. "Tinggal tugas terakhir Met."

"Lho, masih ada lagi to Lik?"

"Iya. Nanti tepat tengah malam, lepaskan anak celeng ini di halaman rumah wak Kaji. Ingat, tepat tengah malam, dan jangan sampai ada orang yang tau."

"Sebentar Lik, maksud semua ini apa sebenarnya? Sampeyan nangkep anak celeng, terus sampeyan dandani begini, dan cuma mau dilepaskan lagi? Jangan jangan..."

"Sudah, kamu nurut saja, ndak usah banyak nanya. Pokoknya cukup kamu lepaskan saja anak celeng ini di halaman rumah wak Kaji, nanti tepat tengah malam. Habis itu kamu pulang. Selanjutnya biar aku yang ngurus."

"Ada ada saja," gerutu Slamet. Namun lagi lagi laki laki itu hanya bisa mengikuti arahan dari sang paman. Apalagi Lik Marto sudah menyelipkan dua lembar uang seratusribuan di saku bajunya.

Lik Marto tersenyum puas. Sepertinya rencananya akan berjalan dengan lancar. Tinggal menunggu malam datang, dan melaksanakan rencana terakhirnya. Kebetulan yang mendapat tugas ronda malam nanti adalah anak anak muda yang mudah saja untuk ia kelabuhi. Kalau rencananya berjalan dengan mulus, maka tak akan ada lagi orang yang akan meremehkannya. Namanya akan semakin tersohor sebagai seorang dukun yang mumpuni, bahkan mungkin akan lebih tersohor dari nama Pak Modin yang selama ini sudah dikenal sebagai sesepuh desa. Dan yang lebih penting lagi, kalau rencananya berhasil, maka kambing jantan milik Kang Darmo akan resmi menjadi miliknya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close