Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM SILUMAN BABI NGEPET (Part 2)


JEJAKMISTERI - Seperti yang sudah direncanakan, malam itu Kang Mitro kembali ikut ronda, meski bukan jatahnya untuk ronda. "Aku merasakan firasat yang ndak enak, makanya aku ikut ronda lagi malam ini," demikian jawabnya saat orang orang yang bertugas ronda bertanya.

"Firasat ndak baik apa maksudnya Kang?" tanya Mas Yudi, salah satu warga yang dapat jatah ronda malam itu.

"Kalian semua pasti tau to, belakangan ini desa kita lagi ndak aman, banyak warga yang kehilangan uang secara misterius?" jawab Kang Mitro.

"Iya, denger denger sih gitu Kang. Katanya ada orang yang miara pesugihan yang beraksi di desa ini," timpal Mas Toni membenarkan.

"Nah, itu dia. Mangkanya aku ikut ronda lagi malam ini, karena aku tau, yang dapat tugas ronda malam ini adalah anak anak muda seperti kalian, yang belum begitu mengerti gimana cara ngatasin masalah pesugihan seperti ini," ujar Kang Marto lagi.

"Lha memangnya sampeyan tau to Kang, cara mengatasi masalah pesugihan kayak gini?" Mas Teguh yang sejak tadi asyik membakar singkong didepan poskamling ikut nimbrung.

"Wah, kamu jangan meremehkan aku Guh. Jelek jelek begini aku sudah khatam kalau cuma soal dunia suparmantular." jawab Kang Mitro membanggakan diri.

"Supranatural Kang," Mas Yudi membenarkan ucapan Kang Mitro.

"Nah, iya, itu maksudku, supermantular! Dan karena aku adalah warga yang baik, serta memiliki sedikit kemampuan, tentu saja aku ndak tinggal diam kalau desa kita ini dibuat kacau oleh orang yang tak bertanggungjawab. Maka dari itu, beberapa hari belakangan ini aku sudah melakukan penerawangan, mencari tau apa dan siapa sebenarnya yang telah berani bikin ulah di desa kita ini."

"Wah, hebat sampeyan Kang," sela Mas Toni sambil menahan tawa. Ia tau betul siapa Kang Mitro, tukang membual nomor wahid di desa Kedhung Jati. Jadi seratus persen Mas Toni tak percaya dengan semua omongan laki laki itu. Pujian yang ia lontarkan justru sebenarnya untuk meledek secara halus laki laki pembual itu. "Lalu gimana hasil penerawangan sampeyan itu Kang?"

"Berdasarkan hasil penerawanganku," lanjut Kang Mitro yang belum sadar bahwa dirinya sedang dikerjai oleh anak anak muda itu, "aku sudah dapat petunjuk tentang apa dan siapa sebenarnya pelaku pesugihan itu."

"Wah, yang bener Kang. Siapa orangnya?" Mas Yudi ikut mengompori sambil tersenyum licik. Lumayan, batinnya. Ada yang bisa dikerjai di malam ini, sekedar buat hiburan.

"Soal siapa orangnya, aku ndak bisa mengatakan. Takutnya nanti kalau kalian tau malah pada emosi dan main hakim sendiri. Tapi tak kasih sedikit bicoran. Pesugihan yang dianut oleh orang itu adalah pesugihan babi ngepet. Dan yang lebih penting lagi, aku mendapat petunjuk kalau orang itu akan beraksi malam ini. Mangkanya itu tak bela belain ikut ronda lagi malam ini, biar bisa membantu kalian menangkap babi jadi jadian itu."

"Wah, kalau memang benar begitu Kang," Mas Teguh melemparkan sepotong singkong bakar yang telah matang ke lantai poskamling, yang segera disambut oleh Kang Mitro. "Apa ndak sebaiknya kita kasih tau warga yang lain Kang, biar nanti sama sama kita buru tuh babi jadi jadian?"

"Ya ndak bisa gitu Guh," Kang Mitro meniup niup singkong bakar yang masih mengepulkan asap di tangannya. "Kita ndak boleh rame rame. Nanti kalau si pelaku sampai tau kan bisa mengurungkan niatnya. Cukup kita kita saja yang tau. Dan kalian ndak perlu khawatir. Dengan kemampuan yang aku miliki, aku yakin, aku sendiri pasti sanggup mengatasi makhluk jadi jadian itu."

"Beneran sampeyan bisa ngatasin Kang? Ini soal makhluk gaib lho."

"Wis to, pokok'e kalian percaya saja sama aku, dan ikuti semua arahanku nanti. Kan kalau kita berhasil menangkap makhluk jadi jadian itu, kalian juga yang bakal dapat pujian dari para warga. Siapa tau nanti Pak Bayan berkenan ngasih penghargaan atau hadiah sama kalian."

"Terus, gimana caranya nanti kita nangkep makhluk itu Kang?" tanya Mas Toni.

"Nanti aku jelaskan. Tapi ngomong ngomong ini ndak ada kopi atau apa gitu to? Makan singkong bakar kalau minumnya cuma air putih kok rasanya kurang sreg." jawab Kang Mitro.

"Hadech! Cuma mau minta kopi aja kok pake muter muter kemana mana to Kang Kang. Ya sudah, aku tak ke rumah Pak Bayan dulu, minta kopi sama air panas," Mas Toni beranjak keluar dari poskamling dan melangkah menuju rumah Pak Bayan yang letaknya tak jauh dari poskamling itu.

"Asem! Wong cuma mau kopi gratis saja kok pake ngoceh kemana mana, sok sok'an pake ngaku dapat wangsit lagi! Heran, apa dirumah Kang Marto itu ndak dikasih jatah kopi sama istrinya?" gerutu Mas Toni sambil berjalan. Senter di tangannya ia sorotkan ke kanan dan ke kiri, menerangi setiap jengkal pekarangan warga yang ia lewati.

"Lho? Siapa itu?" langkah Mas Toni berhenti seketika, saat sorot lampu senternya mengenai sesosok perempuan yang berdiri mematung ditengah jalan. Perempuan berambut panjang yang tak terlihat jelas wajahnya, karena posisinya berdiri membelakangi Mas Toni.

"Mbak, sampeyan ngapain malam malam begini..."

"Anakkuuuu..! Dimana anakuuuu...!"

Deg! Jantung Mas Toni nyaris berhenti berdetak saat mendengar suara rintihan perempuan yang terdengar sangat memilukan itu. Pelan pelan Mas Toni mendekat ke arah sosok itu, sambil terus menorotkan lampu senternya.

"Anak sampeyan kenapa? Dan sampeyan ini siapa? Sepertinya bukan warga sini?"

"Anakku! Dari siang ndak pulang pulang!" kata perempuan itu lagi, masih dengan posisi membelakangi Mas Toni.

"Sik to! Sebentar!" Mas Toni berjalan memutari sosok itu, agar bisa melihat dengan jelas wajahnya. Dan begitu Mas Toni telah berada di hadapan si perempuan, Mas Toni nampak sangat terkejut. Matanya tak berkedip menatap wajah si perempuan, kedua lututnya bergetar hebat, demikian juga dengan tangannya yang memegang senter dan menerangi wajah si perempuan.

"Kkkkkkaaa...! Kamu...! HUAAAAAAAAAA....!!!"

Slamet berjalan menyusuri malam sambil tak henti hentinya menggerutu. Omelan Mbah Lastri, emaknya, masih terngiang jelas di telinganya. Ya, gara gara seharian sibuk membantu Lik Mitro mengurus anak celeng, Slamet jadi lupa menjemput Mbah Lastri yang sehari hari berjualan dawet di pasar kota kecamatan. Alhasil, perempuan tua itu terpaksa harus pulang jalan kaki. Padahal jarak dari pasar ke desa Kedhung Jati lumayan jauh. Dan saat sampai dirumah, tumpahlah segala macam sumpah serapah dari mulut perempuan tua yang memang dikenal sangat cerewet itu, membuat telinga Slamet nyaris lepas dari tempatnya. Beruntung uang duaratus ribu pemberian Lik Mitro siang tadi sanggup meredakan amarah Mbah Lastri.

"Asem tenan! Kenapa juga tadi aku kasih semua uangnya! Padahal sebatang rokokpun aku belum sempet beli! Mudah mudahan saja besok Lik Mitro masih memberi uang tambahan. Kalau enggak, bisa tekor aku, kerja cuma dapat capeknya doang," gerutu Slamet sambil terus berjalan menyusuri jalanan desa yang sudah mulai sepi itu. Sesekali ia celingak celinguk memperhatikan sekeliling, memastikan tak ada orang yang melihatnya. Ia masih ingat, sore tadi Lik Mitro berpesan agar jangan sampai ada orang yang mengetahui apa yang ia kerjakan malam ini. Karena itulah ia terpaksa jalan kaki, sambil menenteng karung goni.

"Ndak usah bawa motor, biar nggak menarik perhatian orang," demikian pesan Lik Mitro sore tadi.

"Lha terus gimana caranya aku membawa anak celeng ini Lik? Masak mau dituntun kayak kambing, kan malah gampang ketahuan orang," protes Slamet.

"Pakai karung goni aja, kamu karungi terus kamu panggul. Gampang to? Dan ingat, jangan sampai ada orang yang melihat!"

"Gampang dhengkulmu itu," gerutu Slamet lagi, masih sambil berjalan tersaruk saruk di kegelapan malam. Hingga saat sampai di rumah Lik Mitro, Slamet segera mengendap endap menuju ke arah kandang kambing yang berada di belakang rumah. Ia harus hati hati, agar jangan sampai membangunkan Lik Darsih, istri Lik Mitro yang cerewetnya juga tak kalah dengan Mbah Lastri.

"Kenapaaaa juga desa ini dipenuhi oleh perempuan perempuan bermulut cerewet. Bikin susah orang saja," Slamet pelan pelan membuka pintu kandang itu.

"Nguiiiikkkk...!!! Nguiiiikkk...!!!" menyadari kehadiran Slamet, si anak celeng yang meringkuk di sudut kandang dengan posisi kaki masih terikat itu mengeluarkan suara mendengking, membuat Slamet berjingkat kaget.

"Hush! Jangan berisik!" buru buru Slamet membekap moncong binatang malang itu. "Kamu nurut saja ya, sebentar lagi kamu bakalan aku lepaskan! Jadi ndak usah banyak tingkah!"

Seolah memahami ucapan Slamet, anak celeng itupun diam. Bahkan tak memberontak sama sekali saat Slamet memasukkannya kedalam karung. "Anak pintar! Ndak usah takut! Sebentar agi kamu akan bebas!"

Setelah mengikat mulut karung dengan menggunakan tali rafia, Slamet kembali mengendap endap menuju ke rumah Wak Kaji yang berada di ujung desa. Kali ini ia melalui jalan setapak yang berada di pinggiran desa, agar lebih aman dan tak ketahuan orang.

Sebagai orang yang cukup berada, rumah Wak Kaji lumayan besar, dikelilingi pagar tembok setinggi dada orang dewasa, lengkap dengan pintu gerbang besi yang menjulang tinggi.

"Encer juga otak Lik Mitro. Dengan melepaskan celeng ini di halaman rumah Wak Kaji yang dikelilingi pagar, otomatis binatang ini ndak akan bisa lari kemana mana, dan nantinya lebih mudah untuk diburu. Memang licik pamanku yang satu ini," gumam Slamet sambil menurunkan karung yang dipanggulnya. Dengan sangat hati hati Slamet lalu melepaskan binatang itu dihalaman rumah gedhong itu.

"Nah, selesai sudah. Tinggal menunggu besok. Awas saja kalau sampai Lik Mitro ndak ngasih uang tambahan, bakalan aku bongkar semua rahasianya." Slamet kemudian berbalik, bermaksud untuk pulang. Namun betapa terkejutnya ia, saat ia berbalik ternyata sudah ada seorang perempuan yang berdiri tepat di hadapannya.

"Eh, Mbak..." Slamet tercekat, tak mampu melanjutkan kata katanya. Matanya tak berkedip menatap perempuan itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Benaknya dipenuhi oleh seribu satu macam pertanyaan. Siapa perempuan ini? Kenapa tiba tiba bisa berada di hadapannya? Orang yang sedang memata matainyakah? Atau...

"Mas, bisa tolong saya Mas?" suara si perempuan yang bernada memelas itu membuyarkan lamunan Slamet.

"Eh, i.., iya, tolong apa ya Mbak?" ujar Slamet terbata.

"Anak saya Mas, main sejak pagi sampai malam begini ndak pulang pulang. Bisa bantu nyari anak saya Mas?" kata si perempuan itu lagi, masih dengan nada yang sama, membuat Slamet jadi jatuh iba padanya.

"Eh, emmm.., i..., iya Mbak. Dengan senang hati akan saya bantu. Ayo, kita cari sama sama. Memangnya anaknya Mbak itu biasanya main dimana Mbak?"

"Di pinggiran hutan sana Mas!" jawab si perempuan sambil menunjuk ke arah hutan Tawengan yang berada nun di kejauhan sana.

Entah apa yang ada di pikiran Slamet saat itu. Harusnya ia bisa merasakan ada yang aneh dengan perempuan itu. Seorang perempuan yang bahkan bukan warga desa setempat, yang bertemupun ia baru sekali ini, muncul tiba tiba di hadapannya, malam malam keluyuran sendirian mencari anaknya yang katanya suka main di tepi hutan Tawengan yang dikenal sangat angker, tentu bukan hal yang wajar.

Namun Slamet seolah telah kehilangan akal sehatnya. Ia seolah tak ingat bahwa perempuan itu sama sekali tak dikenalnya. Ia tak ingat bahwa sangat janggal jika seorang anak bermain main di tepi hutan Tawengan yang dikenal sangat angker. Bahkan ia tak ingat, bahwa hutan Tawengan itu letaknya sangat jauh dari desa Kedhung Jati. Bagai kerbau dicocok hidungnya, Slamet mengikuti langkah si perempuan menjauh dan semakin menjauh dari desa Kedhung Jati, untuk akhirnya bayangan keduanya menghilang ditelan gelapnya hutan Tawengan.

***

Sementara itu Mas Toni yang juga baru saja bertemu dengan sosok perempuan misterius itu, berlari kembali ke poskamling sambil berteriak teriak ketakutan, membuat semua orang yang ada di dalam poskamling itu kaget bukan kepalang.

"He! Kenapa kamu Ton? Kok kayak orang habis lihat setan gitu?" sentak Kang Mitro.

Mas Toni tak langsung menjawab. Pemuda itu justru menyambar teko berisi air putih dan menenggak isinya sampai habis beberapa teguk. Tak cukup dengan membasahi tenggorokannya, ia juga mengguyurkan sisa air di dalam teko kekepalanya, hingga pakaian yang ia kenakan menjadi basah kuyup.

"Heh! Ditanya orang tua bukannya menjawab malah...!"

"Setan! Aku..., ketemu.., setan Kang!" seru Mas Toni dengan nafas kembang kempis.

"Setan? Yang bener Ton?" hampir serempak Mas Yudi dan Mas Teguh juga berseru.

"Iya! Set..., setan perempuan! Mukanya..., kayak muka celeng!" ujar Mas Toni lagi sambil berusaha mengatur nafasnya yang nyaris putus.

"Sik to! Sebentar! Coba cerita yang bener!" sela Kang Mitro.

"Ini beneran Kang! Tadi ada perempuan berdiri di tengah jalan. Rambutnya panjang, pake baju putih! Pas aku tanya katanya sedang mencari anaknya! Karena curiga, aku mencoba mendekatinya, untuk melihat wajahnya, karena perempuan itu berdiri membelakangiku. Pas aku sudah dekat dan melihat wajahnya, juwabangbayiiiikkkk...!!! Beneran, mukanya kayak muka celeng, ada moncong dan taringnya segala!"

"Wah, ndak bener ini," ujar Kang Mitro. Laki laki itu mulai was was, karena dalam skenario yang dibuatnya tak ada yang seperti itu. Ia hanya menyuruh Slamet untuk melepaskan anak celeng itu di halaman rumah Wak Kaji. Tak ada adegan perempuan bermuka celeng seperti yang diceritakan oleh Mas Toni. Tapi Kang Mitro segera berpikir cepat. Ia tak seratus persen percaya dengan cerita Mas Toni, mengingat pemuda ini terkenal sangat penakut. Melihat bayangan pohon yang bergoyang ditiup angin juga pasti dikira setan. Namun cerita yang tak ia percayai itu sedikit banyak justru menguntungkannya. Ia bisa memanfaatkan kepanikan pemuda itu untuk lebih meyakinkan para peronda, bahwa isu babi ngepet yang ia ciptakan adalah benar adanya.

"Ini sudah ndak bener. Dan dugaanku ternyata tidak salah. Pasti itu si pelaku pesugihan babi ngepet. Baru mau berubah jadi babi sudah kepergok sama kamu Ton! Kita harus bergerak cepat, sebelum makhluk itu melancarkan aksinya. Dimana kamu melihat perempuan itu Ton?"

"Deket rumah Wak Kaji Kang!"

"Cocok kalau begitu! Kita kesana sekarang!"

"Tapi Kang..."

"Ndak usah pakai tapi tapi! Keburu makhluk itu beraksi! Ayo, kita tangkap sekarang!"

Meski ragu, akhirnya semua petugas ronda itu mengikuti perintah dari Kang Mitro itu. Mereka bergegas menuju kerumah Wak Kaji sambil membawa apa saja yang kira kira bisa mereka jadikan senjata untuk meringkus makhluk misterius itu.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close