Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM SILUMAN BABI NGEPET (Part 3)


JEJAKMISTERI - "Ingat, yang akan kita hadapi kali ini adalah makhluk jadi jadian. Jadi kita musti hati hati, ndak boleh sembrono. Pokoknya nanti ikut saja semua yang aku perintahkan, agar babi jadi jadian itu bisa kita tangkap," sambil berjalan Kang Mitro mewanti wanti para peronda yang mengikutinya dari belakang.

"Apa ndak sebaiknya minta bantuan warga yang lain Kang? Ini masalah serius lho. Kalau ada apa apa nanti takutnya kita yang disalahkan, karena yang berkewajiban untuk ronda malam ini adalah kita," Mas Yudi kembali mengajukan usul yang tadi sempat ditolak oleh Kang Mitro.

"Kan tadi sudah kubilang, ndak usah. Nanti malah pada heboh, rame rame, bisa bisa nanti itu babi malah kabur lagi sebelum berhasil kita tangkap. Wis to, pokoknya nurut saja sama aku. Aku sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk menangkap makhluk itu. Nih, lihat, aku sudah bawa tali tambang yang sudah aku jampi jampi, ini nanti kita pakai buat mengikat babi itu, dijamin wis, ndak bakalan bisa berkutik itu makhluk siluman," Kang Mitro menepuk nepuk saku celana komprangnya yang nampak menggembung besar.

"Tapi apa sampeyan bener bener yakin Kang kalau babi ngepet itu mengincar rumah Wak Kaji? Bisa saja kan ia mengincar rumah warga yang lain?" sela Mas Toni.

"Wah, kalian ini bener bener g*bl*k ya! Coba kalian pikir, di desa ini siapa lagi yang punya duit banyak kalau bukan Wak Kaji? Kalian ingat to, beberapa waktu yang lalu Wak Kaji kan baru saja menjual sawahnya, laku berjuta juta. Sudah jelas kabar itu pasti juga sudah sampai ke telinga si pelaku pesugihan ini, dan sudah jelas juga kalau dia mengincar uang Wak Kaji yang berjuta juta itu. Begitu saja kok masih ndak paham lho!"

"Masuk akal juga ya," Mas Teguh ikut menyela. "Tapi yang aku dengar, uang Wak Kaji itu sudah disimpan di Bank lho Kang, buat jaga jaga biaya kuliah anaknya."

"Wah, ngeyel tenan kalian ini. Kan ndak semuanya juga to disimpan di Bank! Sudah, ndak usah pada protes lagi! Kita sudah dekat ini, jangan sampai babi itu nanti kabur gara gara denger ocehan kalian yang ndak mutu itu! Kalau nanti terbukti babi itu ndak ada di pekarangan rumah Wak Kaji, kalian boleh potong kuping saya!" Kang Mitro yang mulai kesal menggerutu panjang pendek.

Ketiga pemuda itupun akhirnya memilih untuk diam. Mereka mengendap endap dibawah pagar tembok yang mengelilingi rumah milik Wak Kaji, lalu mengintip melalui sela sela pintu gerbang.

"Nah, apa kubilang, coba kalian lihat itu," bisik Kang Mitro sambil menunjuk ke salah satu sudut halaman rumah Wak Kaji.

Mata ketiga pemuda itu seketika terbelalak, saat melihat ke arah yang ditunjuk oleh Kang Mitro. Memang nampak seekor babi hutan yang sedang mendongkel dongkel tanaman perdu yang menjadi penghias halaman rumah gedhong itu.

"Kok kecil gitu Kang babinya, kayak masih anakan," bisik Mas Toni.

"Jangan dilihat dari ukurannya Ton," sanggah Kang Mitro, juga dengan berbisik. "Coba kalian perhatikan baik baik, meski kecil tapi babi itu punya keistimewaan tersendiri, yang menjadi ciri kalau itu adalah babi jadi jadian. Coba, perhatikan bulu diatas kepalanya itu, berdiri tegak dan berbentuk seperti mahkota. Lalu di lehernya itu, ada bulu putih yang melingkar seperti kalung. Itu namanya rantai babi. Kalau kita bisa mengambilnya, bisa kita jadikan jimat yang ampuh."

"Begitu ya Kang. Tapi kenapa babi itu mendongkel dongkel tanaman hias gitu Kang? Kayak sedang nyari makanan. Setahuku babi ngepet itu kalau beraksi akan menggosok gosokkan punggungnya ke tembok rumah korbannya, bukannya mendongkel dongkel tanaman gitu," ujar Mas Yudi, juga dengan berbisik.

"Tau darimana kamu kalau babi ngepet itu beraksi dengan menggosok gosokkan punggungnya di tembok? Memangnya kamu pernah miara babi ngepet?" sentak Kang Mitro yang kembali dibuat kesal oleh ocehan ketiga pemuda itu.

"Hehe, ya ndak sih Kang, cuma denger dari kata orang."

"Omongan orang ndak jelas kok dipercaya. Sudah, mending sekarang kita pikirkan gimana caranya buat nangkep babi itu tanpa harus menimbulkan keributan!" bisik Kang Mitro.

"Lha, kita kan cuma ngikut sampeyan Kang, kok malah nanya ke kita lho."

"Hmmm, gini aja, kita jebak saja itu babi, kita kasih makanan, biar mendekat kemari, baru nanti kita jerat pakai tambang yang sudah aku mantrai ini."

"Ndak ada cara lain apa Kang? Malam malam begini mau nyari makanan babi kemana? Lagian kita mana tau babi jadi jadian gitu makanannya apa."

"Oalah! Bener bener g*bl*k kalian ini! Sudah, itu cabut saja singkong di kebun Kang Bejo di seberang jalan itu. Ingat, jangan berisik. Pelan pelan nyabutnya."

"Weh, jadi kayak maling dong kita, nyabut singkong orang..."

"Cerewet! Buruan! Keburu kabur nanti babinya!" sentak Kang Mitro yang sudah benar benar kesal.

Mendapat sentakan begitu, ketiga pemuda itu lalu mengendap endap menuju ke kebun singkong milik Kang Bejo yang berada di seberang jalan. Sebatang pohon singkong lalu mereka cabut, dan masih dengan mengendap endap membawanya kembali ke tempat mereka mengintai babi itu.

Kang Mitro lalu melemparkan umbi umbi singkong itu kehalaman rumah Wak Kaji. Sengaja ia melemparnya dekat dengan pagar gerbang, agar nanti saat anak babi itu mendekat ia bisa segera menjeratnya dengan tali tambang yang sudah ia siapkan.

Rencana laki laki itu berjalan mulus. Mendengar ada benda jatuh di dekat gerbang, anak babi yang sepertinya sudah kelaparan itu segera menghampirinya, lalu dengan rakus mengunyah umbi umbi singkong itu. Kesempatan itu tak disia siakan oleh Kang Mitro. Tangannya yang sudah menyiapkan tali tambang yang sudah dibikin simpul segera terulur lewat sela sela besi pagar, lalu mengalungkan simpul tambang itu pada leher si babi, dan menariknya kuat kuat.

"Nguuiiikkk...!!! Nguiiikkk...!!! Nguuiikkk...!!!" mendapat serangan tak terduga, anak babi itu berusaha memberontak sambil mendengking dengking, menimbulkan suara ribut ditengah malam yang sepi itu. Namun apa daya, tenaganya kalah kuat dengan tangan Kang Mitro yang segera menarik ujung tali tambang itu dengan sekuat tenaga, hingga jerat yang membelenggu leher si babi semakin erat.

Suara ribut ribut itu sepertinya membangunkan Wak Kaji, si pemilik rumah. Nampak dari kaca jendela lampu di ruangan depan dinyalakan, disusul dengan terbukanya pintu utama rumah itu.

"Siapa ya?!" tegur laki laki tua itu, sambil memicingkan matanya kearah pagar pintu gerbang.

"Wak! Babi ngepet Wak! Cepat pukul kentongan!" teriak Kang Mitro.

"Astaghfirullaaaahhhhh...!!!" tanpa menunggu diperintah untuk keduakalinya, sambil berseru mengucap istigfar laki laki tua itu segera memukul kentongan yang tergantung di teras rumahnya. Kentongan tanda bahaya yang membangunkan seisi desa.

Pagi harinya, kabar tentang Kang Mitro yang telah berhasil menangkap babi ngepet yang selama ini meneror warga Kedhung Jatipun segera menyebar ke seluruh penjuru desa. Warga yang penasaran dengan berita itu segera berbondong bondong mendatangi rumah Kang Mitro.

Seolah telah mengetahui akan ada kejadian seperti itu, Kang Mitropun telah mempersiapkan segala sesuatunya semenjak pagi. Anak celeng yang telah berhasil ia tangkap itu ia masukkan ke dalam kerangkeng besi yang ia pinjam dari salah seorang tetangga, lalu ia letakkan tepat di tengah tengah halaman rumahnya. Sementara ia sendiri, sengaja menaruh sebuah sofa di teras rumahnya, tepat di depan pintu tengah, lalu duduk diatasnya. Sebuah meja kecil dengan beraneka sesajen diatasnya juga telah ia persiapkan disamping sofa yang ia duduki.

Kang Mitro duduk sambil menyilangkan kaki, menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok tingwe yang terselip di sela sela jemari tangannya, sambil matanya tak lepas memperhatikan warga yang semakin banyak memenuhi halaman rumahnya. Bibir keriputnya menyunggingkan seulas senyum samar, membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan disanjung sanjung dan dipuja sebagai seorang pahlawan desa. Tak akan ada lagi warga yang berani meremehkannya. Dan yang lebih penting lagi, dengan berhasilnya ia menangkap babi jadi jadian yang selama ini telah banyak meresahkan warga, maka namanya sebagai seorang dukun sakti akan semakin dikenal orang, mengalahkan ketenaran nama Pak Dul Modin yang selama ini dikenal sebagai sesepuh desa.

Hari semakin merangkak siang. Warga yang berkerumun di halaman rumah Kang Mitro juga semakin banyak. Kang Mitropun lalu bangkit berdiri dan menepukkan kedua tangannya, meminta sedikit perhatian dari para warga.

"Saudara saudara sekalian," serunya, saat semua mata warga yang berkumpul itu menatap ke arahnya. "Hari ini, merupakan hari yang bersejarah bagi desa Kedhung Jati, dimana, teror babi ngepet yang selama ini sangat meresahkan, akhirnya bisa kita ungkap. Saya, sebagai salah seorang warga yang peduli dan dikaruniai sedikit kelebihan, akhirnya berhasil menangkap makhluk jahat ini tadi malam, dengan bantuan beberapa warga yang semalam bertugas ronda. Lihatlah saudara saudara, lihat dan perhatikan baik baik. Babi yang sekarang berada di hadapan saudara saudara inilah yang selama ini telah mencuri harta kalian. Dan dengan tertangkapnya makhluk ini, saya harap teror seperti itu tak akan pernah terjadi lagi di desa kita. Kalian bisa tenang sekarang. Kalian bisa tidur nyenyak setiap malam tanpa perlu khawatir harta kalian raib digasak oleh makhluk itu."

"Hidup Kang Mitro...!!! Hidup Mbah Dukun Mitro...!!!" riuh rendah sambutan warga yang menanggapi pidato tak resmi dari Kang Mitro itu.

"Bagaimana caranya sampeyan bisa menangkap makhluk itu Kang?"

"Apa bener ini adalah babi ngepet yang selama ini mencuri uang uang kami?"

"Kok kecil begitu babinya? Dan kenapa tidak berubah jadi manusia meski sudah pagi?"

"Sebaiknya kita apakan babi jadi jadian ini Kang?"

Susana menjadi semakin ramai saat beberapa warga mulai mengajukan pertanyaan. Kang Mitropun nampak tertenyum puas, sebelum akhirnya mengangkat tangan dan menjawab pertanyaan pertanyaan itu satu persatu.

"Tenang saudara saudara. Akan saya jawab semua pertanyaan sampeyan itu satu persatu. Saya bisa menangkap babi itu, tak lain dan tak bukan ya karena kesaktian yang kumiliki. Seperti yang kalian tau, saya ini kan memiliki sedikit kemampuan di bidang supermantular. Jadi kalau cuma sekedar menangkap makhluk seperti itu, bukan hal yang sulit buat saya," ujar Kang Mitro penuh percaya diri.

"Bagaimana sampeyan bisa sangat yakin kalau babi inilah yang selama ini meneror desa kita Kang? Kalau aku perhatikan, binatang ini tak jauh berbeda dengan celeng yang biasa kami temui di hutan sana," tanya salah seorang warga yang penasaran.

"Wah, sampeyan ini sepertinya masih meragukan kemampuan saya ya. Apa sampeyan lupa kalau saya ini orang yang punya kemampuan, tentu saja saya bisa membedakan mana babi beneran dan mana babi jadi jadian. Coba perhatikan baik baik. Babi yang saya tangkap itu, warnanya hitam legam, beda to sama babi babi yang dipiara Babah Chong yang punya peternakan babi di dekat pasar sana itu. Terus itu perhatikan lagi, ada bulu bulu yang berdiri di kepalanya, bentuknya seperti mahkota, babi biasa mana ada yang seperti itu. Dan bulu halus berwarna kekuningan yang melingkar di leher dan keempat kakinya, itu sudah jelas menunjukkan kalau babi ini babi jadi jadian alias babi ngepet," ujar Kang Mitro lagi dengan suara lantang.

"Tapi kok ndak berubah jadi manusia Kang? Katanya babi ngepet itu kalau sampai kesiangan dan ketangkep akan berubah jadi manusia?" tanya warga yang lainnya.

"Kata siapa?" Kang Mitro balas bertanya, masih dengan suara yang lantang. "Ndak ada ceritanya tuh babi ngepet kalau ketangkep langsung berubah jadi manusia. Itu kan sama saja bunuh diri, karena akan segera ketahuan jati dirinya. Yang bener itu, babi ngepet kalau ketangkep, diam diam dia akan menyusutkan tubuhnya sedikit demi sedikit menjadi semakin kecil, sampai lama lama menghilang. Itu salah satu cara yang digunakan oleh pelaku pesugihan babi ngepet untuk meloloskan diri kalau sampai ketangkep. Coba kalian lihat lagi, saat kalian datang tadi, babi itu ukurannya masih agak besar, sekarang sudah menjadi agak kecil. Kalau dibiarkan, lama lama dia akan hilang dari pandangan mata kita!"

"Wah, bahaya kalau begitu."

"Iya, kalau sampai lolos lagi, bisa kena teror lagi kita."

"Betul itu. Bakalan semakin banyak orang yang kehilangan uang."

Suasana kembali menjadi riuh oleh kasak kusuk para warga.

"Lalu bagaimana caranya agar babi itu nggak sampai menghilang Kang?" tanya salah seorang warga lagi.

"Nah, ini pertanyaan yang saya tunggu tunggu," Kang Mitro berhenti sebentar untuk mengelap air liurnya yang tak sengaja menetes karena sangking semangatnya berbicara. "Untuk sementara, kita tunggu sampai tengah hari. Kalau keluarga si pelaku pesugihan ini tidak datang dan mengakui perbuatannya, maka mau ndak mau babi ini harus kita musnahkan!"

"Dimusnahkan?!"

"Lha iya to, daripada nanti lolos dan nyolong duit sampeyan lagi, kan lebih baik kita musnahkan. Kita bunuh, lalu bangkainya kita bakar sampai menjadi abu."

"Sebentar Kang," salah seorang warga yang semenjak tadi diam kini ikut bicara. "Apa cara itu ndak terlalu berlebihan Kang?"

"Berlebihan gimana maksudmu Jo?" tanya Kang Mitro pada si penanya.

"Ya maksudku begini Kang, yang namanya babi ngepet itu kan sebenarnya manusia juga, yang karena melakukan ritual pesugihan lalu berubah menjadi babi," Kang Bejo, si penanya tadi diam sejenak, seolah sedikit ragu untuk menyatakan pendapatnya.

"Hmmm, iya, lalu?" melihat Kang Bejo diam, Kang Mitro lalu bertanya kembali.

"Jadi kalau kita bunuh babi itu, apa ndak sama saja kita membunuh manusia?" lanjut Kang Bejo.

"Lha terus, apa masalahnya?" tanya Kang Mitro lagi.

"Ya agak kurang sreg saja sih Kang, membunuh manusia itu kan bukan hal yang lumrah."

"Itu kalau manusianya bener Jo. Ini kan manusia yang sudah bersekutu dengan setan, mencari kekayaan dengan cara dibantu sama setan. Itu sama saja dia sudah menjadi setan. Dan yang namanya setan, kalau ndak dibasmi atau dimusnahkan, bisa bisa malah bikin manusia jadi celaka. Betul ndak?" suara Kang Mitro terdengar sedikit meninggi.

"Iya sih Kang, tapi..."

"Tapi apa? Kenapa kamu seolah olah mau ngebelain babi ini Jo? Apa jangan jangan kamu ya pelaku pesugihan babi ngepet yang selama ini meresahkan warga, dan yang menjadi babi yang sudah aku kurung ini adalah salah satu keluargamu? Mangkanya kamu mati matian membelanya?"

"Eh, enggak...., bukan begitu Kang, tapi..."

"Ya sudah kalau begitu! Ndak usah pakai protes lagi!" sentak Kang Mitro, membuat Kang Bejo langsung diam seribu bahasa. Meski dalam hati ia masih kurang setuju dengan cara yang akan ditempuh oleh Kang Mitro untuk melenyapkan babi itu, tapi tuduhan yang dialamatkan oleh Kang Mitro kepadanya tadi benar benar membuatnya mati kutu. Dituduh sebagai pelaku pesugihan ditengah ramainya isu tentang pesugihan babi ngepet yang sekian lama telah meresahkan warga, bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Apalagi yang menuduh adalah orang yang dipercaya memiliki ilmu, meski tanpa bukti, warga yang sudah terlanjur geram bisa saja langsung menghakiminya.

Namun untuk ikut menyaksikan pembantaian anak babi yang belum tentu berdosa itu juga Kang Bejo juga tak berani. Akhirnya diam diam laki laki itu menyingkir dari kerumunan, lalu melipir meninggalkan halaman rumah Kang Mitro.

"Kang, mau kemana?" sebuah seruan menghentikan langkah laki laki itu. Ia menoleh. Dilihatnya Mas Toni, Mas Yudi, dan Mas Teguh berlari lari kecil menghampirinya.

"Pulang," jawab Kang Bejo pendek. Ia tau, ketiga pemuda itulah yang semalam membantu Kang Mitro menangkap babi ngepet itu. Sudah barang tentu juga ketiganya adalah kroni kroni dari dukun abal abal itu.

"Kok pulang Kang?" Mas Toni yang telah berhasil menyusul langkah Kang Bejo kembali bertanya.

"Lha terus mau ngapain? Mau nonton anak babi disembelih? Ndak tega aku," Kang Bejo menjawab tanpa menghentikan langkahnya.

"Sampeyan sepertinya kurang setuju ya kalau anak babi itu dibunuh?" Mas Yudi ikut bertanya.

Mendengar pertanyaan dari Mas Yudi itu, Kang Bejo kembali menghentikan langkahnya, lalu menatap Mas Yudi lekat lekat. "Kamu juga mau ikut ikutan nuduh aku sebagai pelaku pesugihan babi ngepet itu Yud?!"

"Eh, sabar dulu Kang, jangan keburu emosi gitu," sadar bahwa pertanyaannya barusan telah menyinggung perasaan Kang Bejo, Mas Yudi berusaha untuk meralat ucapannya. "Aku ndak nuduh sampeyan begitu kok. Aku kan cuma nanya."

"Yach, sebenarnya bukan ndak setuju Yud," Mas Bejo menghela nafas, lalu melanjutkan langkahnya, diikuti oleh ketiga pemuda itu. "Aku cuma kurang sreg aja kalau babi itu langsung dibunuh gitu aja tanpa ada bukti bukti yang jelas apakah itu babi ngepet beneran atau bukan Yud. Kamu tau sendiri kan situasi di desa kita ini seperti apa? Dan kita ndak tau juga itu babi datangnya darimana. Iya kalau babi ngepet beneran? Kalau bukan? Kalau cuma babi liar biasa sih ndak jadi masalah, tapi..."

"Tapi apa Kang?" tanya Mas Teguh penasaran.

"Kamu masih ingat kan Ton, Yud, dulu kamu nangkep burung hantu di Tegal Salahan saja sampai kena teror berhari hari gitu. Itu cuma burung lho, apalagi ini seekor babi," jawab Kang Bejo setengah berbisik.

Mas Yudi dan Mas Toni saling pandang mendengar ucapan Kang Bejo tersebut. Ya. Mereka masih ingat dulu pernah menangkap seekor burung hantu di Tegal Salahan, dan mereka sempat diteror oleh dhedemit penghuni Tegal Salahan, karena burung hantu yang mereka tangkap ternyata adalah salah satu dhedemit penghuni area Tegal Salahan yang terkenal sangat angker itu.

"Jadi maksud sampeyan anak babi yang ditangkap oleh Kang Mitro itu adalah salah satu dhedemit Tegal Salahan Kang?" tanya Mas Yudi sambil mengusap tengkuknya yang mulai merinding.

"Aku ndak bilang gitu lho. Tapi segala kemungkinan kan bisa saja terjadi. Kalian sendiri, yang semalam ikut nangkep babi itu bagaimana? Apa kalian tau babi itu datangnya darimana?"

"Aku nggak tau sih Kang, tapi...."

"Tapi apa Yud?"

"Anu Kang, sebelum kami menangkap babi itu, si Toni ini memang sempat mengalami kejadian aneh Kang."

"Kejadian aneh gimana maksudmu?"

Mas Toni lalu menceritakan kejadian yang dialaminya semalam, dimana ia sempat bertemu dengan seorang perempuan misterius yang katanya sedang mencari anaknya, dan begitu didekati ternyata wajahnya mirip wajah babi.

"Kamu serius Ton?" tanya Kang Bejo.

"Ya serius to Kang. Buat apa aku bohong. Mangkanya ini kami nyusul sampeyan, karena setelah aku pikir pikir, apa yang dilakukan oleh Kang Mitro itu sedikit agak janggal. Taruhlah ia memang benar benar seorang dukun yang memiliki ilmu, tapi terlalu kebetulan kalau ia sampai tau sedetail itu bahwa malam tadi itu yang katanya babi ngepet mau beraksi. Bahkan ia bisa tau dengan pasti jam berapa babi itu akan beraksi. Kan agak janggal to. Ditambah dengan perempuan misterius yang semalam dilihat oleh Toni, membuat kami jadi bertanya tanya, apa benar..."

"Kenapa kalian baru cerita sekarang?" dengan wajah menegang Kang Bejo lalu berbalik arah dan berjalan cepat menuju ke arah tenggara desa.

"Lho, Kang, mau kemana?" hampir serempak ketiga pemuda itu berseru.

"Ke rumah Pak Modin," jawab Kang Bejo tanpa menoleh.

"Tunggu Kang, kami ikut," ketiga pemuda itupun setengah berlari menyusul langkah Kang Bejo.

****

Sementara itu di halaman rumah Kang Mitro, warga masih banyak berkerumun. Hari sudah beranjak siang. Matahari semakin terik membakar kulit. Namun itu tak menyurutkan niat para warga untuk menyaksikan akhir dari nasib anak babi yang menurut Kang Mitro adalah babi ngepet yang selama ini meresahkan mereka.

Seorang laki laki berbadan kekar nampak sedang mengasah golok di sudut teras rumah Kang Mitro. Sementara Kang Mitro sendiri, nampak telah turun ke halaman, duduk di dekat kerangkeng besi yang digunakan untuk mengurung si anak babi itu sambil membakar dupa dan kemenyan. Mulutnya komat kamit membaca mantra mantra yang tak jelas terdengar di telinga, lalu menyiramkan air kembang tujuh rupa ke tubuh anak babi tersebut.

"Gimana Man, sudah siap?" seru Kang Mitro kepada si lelaki yang sedang mengasah golok.

"Sebentar Kang," Lik Parman, lelaki itu lalu berjalan menuju ke sudut halaman, lalu menebaskan golok yang baru saja ia asah ke dahan pohon sebesar lengan yang menjorok rendah ke halaman rumah itu. Hanya dengan sekali tebas, dahan pohon itupun tumbang jatuh ke tanah.

"Siap Kang," seru Lik Parman.

Kang Mitro lalu mendongak ke atas langit, memastikan bahwa matahari telah benar benar tepat diatas kepalanya.

"Sudah waktunya," gumam Kang Mitro. Ia lalu mengajak dua orang laki laki lagi untuk membuka kerangkeng dan menangkap anak babi itu. Kang Sardi dan Lik Sarno terpilih untuk memegangi kaki kaki anak babi itu, sementara Lik Parman sudah siap dengan goloknya.

"Saudara saudara sekalian," Kang Mitro kembali berorasi. "Hari ini kalian semua akan menjadi saksi akan peristiwa bersejarah di desa ini. Babi jadi jadian yang selama ini telah banyak meresahkan kalian, siang ini juga akan aku musnahkan."

"Dan kamu," Kang Mitro menepuk kepala anak babi dalam pegangan Kang Sardi dan Lik Sarno yang kini tengah meronta ronta itu, "siapapun kamu, dengarkan baik baik! Bukannya kami kejam atau tak berperikemanusiaan, tapi apa yang telah kamu lakukan selama ini, sudah tidak bisa kami tolerir lagi. Dan karena keluargamu, atau siapapun yang memanfaatkan kamu untuk mencari kekayaan dengan cara yang tidak halal ini sepertinya sudah tak perduli lagi denganmu, maka mau tak mau saat ini juga kamu akan kami musnahkan. Semoga Gusti Allah mengampuni dosa dosamu, juga dosa dosa kami semua. Man, lakukan sekarang!"

Kang Mitro mundur dua langkah, memberi tempat kepada Lik Parman yang sudah siap untuk menjadi algojo. Laki laki itu maju ke depan dengan golok yang terhunus di tangan. Dengan tangan sedikit gemetar, Lik Parman menempelkan golok yang nampak sangat tajam berkilat kilat tertimpa sinar matahari itu ke leher si anak babi. Nampaknya laki laki itu juga sedikit ragu. Terlihat dari tangannya yang sedikit gemetar memegang gagang golok, juga nafasnya yang sedikit memburu, serta degub jantung yang terpacu semakin cepat, yang hanya bisa dirasakan oleh Lik Parman sendiri. Laki laki itu sadar sepenuhnya, kalau babi yang akan disembelihnya ini adalah benar benar babi ngepet, itu berarti sama saja ia akan menyembelih seorang manusia.

"Cepat! Lakukan Man!" teriak Kang Mitro.

Lik Parman menghela nafas, lalu memejamkan kedua matanya. Pelan pelan golok yang dipegangnya ia tekankan ke leher si anak babi, lalu...

"Creeeeeesssss...!!!" mata golok yang tajam berkilat itu menggores kulit leher si anak babi, lalu semakin dalam mengoyak daging dibawah kulit yang liat itu, sampai menembus ke tulang belulangnya. Darah segarpun mengucur, tumpah membasahi tanah yang kering terbakar matahari.

Suasana mendadak hening. Tak ada suara yang terdengar dari para warga yang menyaksikan kejadian itu. Semua mulut seolah terkunci. Semua mata tertuju kearah si anak babi yang kini menggelepar gelepar meregang nyawa itu. Sampai beberapa detik kemudian, setelah si anak babi itu benar benar telah terkapar diam kehilangan nyawa, keheningan itu dipecah oleh suara menggelegar yang sangat dahsyat.

Awan hitam pekat tiba-tiba bergulung gulung dari arah selatan, disertai kilatan petir dan gelegar guruh yang menyambar nyambar, serta angin yang bertiup sangat kencang, menerjang apa saja yang diterpanya.

Dahan dahan pohon meliuk liuk, menimbulkan suara bergemuruh dipermainkan angin. Dedaunan kering dan debu debu jalanan beterbangan. Atap rumah Kang Mitro yang terbuat dari seng berderak derak, seolah hendak tercabut dari tempatnya. Lalu, ditengah suasana yang tiba tiba terasa mencekam itu, sebuah suara melengking terdengar Cumiakkan telinga.

"Mitrooooo...!!! Dimana anakku?!"
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close