Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM SILUMAN BABI NGEPET (Part 4)


JEJAKMISTERI - Sementara itu dirumah Pak Dul Modin, si tuan rumah nampak tengah asyik bermain dengan sang cucu keponakan di teras rumahnya, saat Kang Bejo dan ketiga pemuda Kedhung Jati itu datang tergopoh gopoh menghampirinya.

"Kulanuwuunnn Pak Modin! Gawat ini Pak! Sampeyan harus cepet bertindak! Kalau enggak...."

"Sik sik to, ini ada apa? Kalian datang tanpa salam tanpa apa langsung nyerocos ndak jelas gitu! Sini, duduk dulu, terus ceritain yang jelas, ada apa, kok sepertinya kalian panik gitu?" Pak Dul Modin memandang keempat tamunya itu dengan tatapan penuh tanya.

"Aduh, maaf Pak! Tapi itu lho, apa sampeyan ndak denger kalau Kang Mitro sekarang bikin ulah lagi?" ujar Kang Bejo setelah duduk di kursi rotan yang berada di teras rumah itu.

"Oalah, soal itu to," sahut Pak Dul Modin tenang, sambil menyalakan rokok tingwenya. "Lha kan memang sudah biasa to kalau si Mitro itu bikin ulah buat nyari sensasi? Ngapain pake diurusin segala? Lha mbok biarin aja. Malah makin besar kepala dia nanti kalau kita ikut ikutan heboh karena ulahnya."

"Bukannya begitu Pak, tapi..."

"Tapi apa?"

"Apa sampeyan ndak merasakan semacam firasat buruk atau apa gitu? Sampeyan kan orang yang ngerti to?"

"Firasat buruk? Maksudmu apa to Jo?"

"Anu lho Pak, jadi gini ceritanya. Si Mitro itu, semalam katanya telah berhasil menangkap babi ngepet yang katanya akhir akhir ini banyak meresahkan warga. Saya sih nggak begitu yakin kalau yang dia tangkep itu beneran babi ngepet yang sebenarnya. Tapi yang bikin saya takut itu, kan kita ndak tau dia itu dapat babi darimana, atau babi itu datangnya darimana, secara kan sangat jarang sampai ada babi hutan yang nyasar sampai ke desa ini. Iya kalau itu babi beneran, kalau babi jadi jadian gimana coba? Kan bisa jadi masalah buat keamanan desa kita. Bisa bisa kita yang ndak tau apa apa bisa ikutan kena getahnya!" Kang Bejo menjelaskan secara panjang lebar.

"Halah, kamu ini lho, apa apa kok langsung dikait kaitkan sama yang begituan. Desa kita yang sekarang ini kan udah beda sama yang dulu Jo. Semenjak kejadian Wulan ngamuk di alas Tawengan dulu itu, kan sudah ndak pernah ada lagi to kejadian kejadian aneh di desa ini? Semua dhedemit yang dulu suka mengganggu warga desa sini udah habis dibantai sama Wulan."

"Iya, saya tau Pak. Tapi apa ndak lebih baik sampeyan lihat dulu babi yang ditangkep sama Kang Mitro itu? Buat jaga jaga aja Pak. Karena menurutku babi itu agak aneh, dan sebelumnya si Toni ini mengalami kejadian aneh sebelum Kang Mitro menangkap babi itu. Semalem pas ronda, Toni ketemu sama perempuan misterius yang setelah didekati ternyata memiliki wajah mirip babi. Saya yakin ini pasti ada kaitannya dengan babi yang ditangkep sama Kang Mitro itu, karena saat ditanya, perempuan bermuka babi itu bilang kalau ia sedang nyari anaknya yang hilang," jelas Kang Bejo lagi.

"Bener begitu Ton?" Pak Dul Modin mulai serius, bertanya kepada Mas Toni.

"Betul Pak, semalam saya yang mengalaminya sendiri, saat mau ngambil kopi ke rumah Pak Bayan," jawab Mas Toni.

"Hmmm, kok perasaan saya jadi ndak enak ya," gumam Pak Dul Modin.

"Mangkanya kita kesana saja sekarang Pak, sebelum Kang Mitro itu terlanjur membunuh itu babi," bujuk Kang Bejo lagi.

"Lho, Mitro mau membunuh babi itu to?" Pak Dul Modin sedikit terkejut.

"Begitu yang saya denger tadi Pak. Kalau sampai siang hari ndak ada orang yang datang dan mengakui si anak babi itu, katanya itu babi mau disembelih dan dibakar. Kalau itu memang bener babi jadi jadian kan gawat Pak."

"Keterlaluan si Mitro itu! Ya sudah, ayo kita kesana. Tih, Ratih...!" Pak Dul Modin lalu memanggil sang keponakan, ibu dari anak yang tadi ia ajak bermain itu, yang kebetulan sedang berkunjung kerumahnya.

"Iya Wak, ada apa?" dari dalam rumah muncul seorang perempuan cantik berkacamata.

"Aku mau keluar sebentar. Itu, jagain anakmu," jawab Pak Dul Modin.

"Mau kemana to Wak? Kok sepertinya penting gitu?" tanya perempuan itu lagi sambil mengangkat dan menggendong sang anak yang masih asyik bermain dilantai.

"Biasalah, urusan warga. Ya sudah, aku pergi dulu. Bilang sama uwakmu, mungkin agak sorean nanti aku baru pulang. Ayo Jo, kita kesana sekarang!"

Mereka lalu bergegas meninggalkan rumah itu, menyusuri jalanan desa yang kering dan berdebu karena telah lama tak tersiram hujan. Mereka berjalan dalam diam, sibuk dengan pikiran mereka masing masing. Rasa was was dan perasaan tak enak mulai menelusup ke hati mereka. Apalagi saat tiba tiba cuaca yang awalnya cerah tiba tiba meredup. Awan hitam bergulung gulung dari arah selatan menuju ke desa, diiringi tiupan angin yang semakin kencang dan kilatan petir serta gemuruh gutur yang menggelegar dikejauhan sana.

"Aneh! Kenapa tiba tiba mendung begini? Padahal ini kan musim kemarau?" gumam Kang Bejo.

"Sepertinya ini pertanda kurang bagus Jo," sahut Pak Dul Modin. "Ayo, kita harus bergegas sebelum semuanya terlambat!"

Merekapun lalu mempercepat langkah mereka.

***

Kembali ke rumah Kang Mitro.

Mendung hitam yang bergulung gulung mendekat ke arah desa, diiringi tiupan angin kencang dan gemuruh guntur serta kilatan petir, membuat warga yang masih berkumpul dihalaman rumah itu sesaat saling pandang. Rasa cemas, khawatir, serta takut mulai tergambar jelas di wajah wajah mereka. Perubahan cuaca yang tiba tiba itu seolah menjadi peringatan bagi mereka, bahwa apa yang baru saja mereka lakukan adalah salah, dan kesalahan itu akan segera mendapat balasannya.

"Ada apa ini? Kok tiba tiba mendung gelap begini? Padahal kan sekarang lagi musim kemarau?" bisik salah satu warga.

"Iya. Ini sepertinya bukan mendung biasa. Apalagi disertai angin kencang dan petir begini. Apa jangan jangan..?"

"Tenang saudara saudara!" Kang Mitro yang menyadari bahwa warga mulai panik mencoba menenangkan. "Kalian ndak usah takut! Ini adalah bukti, bahwa babi yang telah kita bunuh ini adalah benar babi jadi jadian. Dan sepertinya si pemelihara babi ini ndak terima kalau piaraannya kita bunuh. Tapi kalian jangan khawatir. Ini hanya peringatan kecil, ndak sebanding dengan kemampuan yang aku miliki. Percayalah, aku pasti akan segera bisa mengatasinya. Sekarang, lebih baik kalian segera bakar bangkai babi itu, sebelum hujan turun. Bakar sampai benar benar hangus dan hancur menjadi abu!"

Warga yang sepertinya mulai ragu, kembali hanya saling pandang. Tak ada seorangpun yang mengindahkan perintah dari Kang Mitro itu.

"Ayo! Tunggu apa lagi?! Cepat bakar! Atau kalian ...."

"Mitrooooo...!!! Dimana anakku?!" sebuah suara serak terdengar dari kejauhan, disusul dengan kemunculan sosok perempuan tua yang berjalan tertatih tatih menuju ke arah mereka.

"Yu Lastri?! Mau apa dia kemari?" gumam Kang Mitro sambil menatap sosok yang semakin mendekat itu.

"Mitro! Dimana Slamet?! Dari semalam dia ndak pulang?!" sentak perempuan tua itu begitu sampai dihadapan Kang Mitro.

"Lha mana saya tau Yu? Aneh sampeyan ini. Anak sampeyan yang ndak pulang kok nanyanya ke saya lho!" gerutu Kang Mitro yang merasa terganggu dengan kedatangan sang kakak itu.

"Jangan berkelit kamu Mitro! Bayak yang bilang kalau Slamet kemarin pergi seharian sama kamu. Pasti kamu ajak melakukan hal hal yang ndak bener to? Dan sekarang, semenjak semalam Slamet pergi, sampai sekarang ndak pulang pulang! Kamu harus tanggung jawab Mitro! Biar bagaimanapun Slamet itu masih keponakanmu! Awas saja, kalau sampai terjadi sesuatu sama Slamet, tak santet kamu! Ingat itu!" suara Mbah Lastri yang melengking tinggi karena disertai dengan amarah itu membuat warga semakin resah.

"Iya iya, nanti biar kucari," ujar Kang Mitro, mencoba meredam keributan itu. "Sekarang lebih baik sampeyan pulang saja Yu, mau hujan nih sepertinya. Aku masih sibuk! Nanti kalau urusanku sudah selesai biar aku yang nyari Slamet!"

"Cah edan! Manusia macam apa kamu Mitro?! Lebih mementingkan urusanmu yang ndak jelas ini daripada keselamatan keponakanmu?! Apa kamu ..., Oalah Gusti Gusti, punya adik satu saja kok gendheng! Wis, ndak usah janji mau nyari! Aku bisa nyari anakku sendiri! Tapi ingat Mitro, kalau sampai Slamet kenapa kenapa, aku ndak bakalan mau mengakui kamu sebagai adikku lagi!" menahan rasa marah dan kecewa, Mbah Lastri lalu berbalik dan meninggalkan tempat itu.

"Huh! Ada ada saja," gerutu Kang Mitro sambil memandangi kepergian sang kakak. Ada rasa kasihan sebenarnya, melihat kakak satu satunya itu berjalan tertatih tatih menerobos hembusan angin yang semakin kencang. Ingin rasanya ia menahan kepergian kakaknya itu, namun masalah yang ia hadapi sekarang membuatnya tak bisa memilih.

Arrgghhh...!!! Sial! Kenapa juga situasinya menjadi seperti ini? Mendung gelap dan angin kencang ini jelas bukan mendung san angin yang sewajarnya. Ada ancaman yang ia rasakan. Dan Slamet, kemana juga perginya anak itu? Bikin repot saja! Dan...

"Hey! Kalian mau kemana?!" sentak Kang Mitro saat melihat warga yang berkerumun di halaman rumahnya satu persatu mulai beranjak pergi. "Woy! Bakar dulu anak babi itu, sebelum..., Arrrgghhh...!!! Wedhus! As*! Jaran! Awas saja kalian!"

Laki laki itu mengumpat panjang pendek, saat menyadari bahwa para warga sudah tak mengindahkan kata katanya lagi. Mereka semua pergi, meninggalkannya sendirian bersama anak babi yang telah terkapar menjadi bangkai itu.

"Dasar orang orang ndak tau diuntung! Awas saja nanti, kalau kalian membutuhkan bantuanku! Akan kubuat kalian memohon mohon dulu di telapak kakiku!" sambil terus mengomel Kang Mitro mulai mengumpulkan kayu bakar. Sepertinya, mau nggak mau memang harus ia sendiri yang membakar bangkai anak babi itu.

"Angin sialan!!!" lagi lagi Kang Mitro mengumpat, saat beberapa kali angin yang bertiup kencang itu menggagalkan usahanya untuk menyalakan kayu bakar. Habis kesabaran, laki laki itu lalu bergegas membuka tangki motor tuanya, lalu dengan sebuah selang kecil menyedot bensin yang ada didalamnya. Cairan bensin yang mengalir dari selang kecil itu lalu ia arahkan keatas tumpukan kayu bakar.

"Cih! Tamat sudah riwayatmu kini!" Kang Mitro lalu melemparkan bangkai anak babi itu keatas tumpukan kayu bakar yang telah tersiram bensin, lalu kembali berusaha menyalakannya dengan korek api yang digenggamnya.

"Mitro! Tunggu!" sebuah suara menahan tangan Kang Mitro yang sudah bersiap menyalakan korek api. Laki laki itu menoleh. Dilihatnya Pak Dul Modin melangkah bergegas menghampirinya, diikuti oleh Kang Bejo dan tiga orang pemuda yang semalam membantunya menangkap anak babi itu.

"As*! Kenapa juga orang itu datang kemari? Bikin tambah repot saja!" kembali Kang Mitro mengumpat. Jelas kedatangan laki laki itu akan menggagalkan semua rencananya.

"Apa yang kamu lakukan Mitro!?" tanya Pak Dul Modin lagi, begitu sampai dihadapan Kang Mitro.

"Bukan urusanmu Pak!" sengit Kang Mitro menjawab. "Dan sebaiknya sampeyan ndak usah ikut campur!"

"Semua yang menyangkut keamanan dan keselamatan warga desa menjadi urusanku Mitro! Tindakanmu ini sudah melampaui batas. Belum puas kamu membunuh anak babi tak berdosa itu hah?! Sampai kau masih berniat untuk membakar bangkainya?!" tak kalah sengit Pak Dul Modin menukas.

"Kau tau apa soal urusanku Pak? Anak babi ini, sudah banyak membuat masalah yang...!"

"Justru kau yang membuat masalah Mitro!" cepat Pak Dul Modin memotong ucapan Kang Mitro. "Kau tak lihat hah?! Gara gara perbuatanmu, desa kita terancam bahaya! Mendung hitam yang menggantung diatas sana, serta angin kencang dan kilatan guntur yang tiba tiba datang ini kau pikir cuma kebetulan saja?! Otakmu sudah tumpul Mitro! Mata batinmu telah tertutup oleh keserakahanmu, sampai sampai kau tak bisa membaca isyarat dari alam!"

"Jangan mengguruiku Pak! Dan biarkan...!"

"Cukup!" bentakan Pak Dul Modin terdengar menggelegar, membuat Kang Mitro tersentak kaget. "Bejo, Toni, Yudi, dan kamu Teguh! Ambil bangkai anak babi itu dan kuburkan segera, sebelum hujan benar turun! Dan kamu Mitro! Kuharap kamu masih mau bersikap jantan dengan menanggung semua akibat dari perbuatanmu ini! Kalau sampai ada warga lain yang terkena imbasnya, maka aku tak akan memaafkanmu!" ujar Pak Dul Modin tegas.

"Djanc*k!!!" sambil mengumpat Kang Mitro lalu bergegas masuk kedalam rumahnya dan membanting pintu dengan sangat keras. Pak Dul Modin, Kang Bejo, dan ketiga pemuda Kedhung Jati itu hanya bisa geleng geleng kepala melihat tingkah laki laki itu.

'Benar benar keras kepala!" gumam Kang Bejo.

"Sudah! Biarkan saja Jo. Sekarang lebih baik ayo kita kuburkan bangkai anak babi yang malang ini, sebelum hujan turun," kata Pak Dul Modin pelan. Tanpa banyak bicara mereka lalu membawa bangkai anak babi itu ke tempat pemakaman umum yang berada di ujung desa.

Sementara hujanpun mulai turun. Awalnya cuma gerimis rintik rintik, lalu semakin lama semakin deras. Angin juga betiup semakin kencang. Begitu juga dengan guntur yang menyambar nyambar memperdengarkan suaranya yang menggelegar, seolah olah sedang berusaha memporak porandakan desa Kedhung Jati. Semua warga merasakan kengerian yang teramat sangat. Demikian juga dengan Kang Mitro yang kini meringkuk di sudut ruangan pribadinya. Tangannya yang sedang berusaha menyalakan dupa nampak gemetar. Mantra mantra yang ia ucapkan untuk menolak malapetaka yang yang mulai datang mengancam desa seolah tak berguna. Hujan semakin deras. Angin bertiup semakin kencang, melanda apa saja yang diterpanya, menimbulkan suara bergemuruh yang sangat dahsyat. Kilat dan petirpun seolah tak mau ketinggalan. Mereka menyambar apa saja yang bisa mereka sambar, sambil memamerkan suara mereka yang menggelegar.

Rasa takut mulai melanda hati Kang Mitro. Kengerian yang teramat sangat mulai menghantuinya. Dan kengerian yang sama juga dirasakan oleh Slamet ditengah lebatnya hutan Tawengan.

Tersaruk saruk Slamet terus mengikuti langkah perempuan misterius itu, tanpa tau arah dan tujuan yang pasti. Satu hal yang ia tahu, bahwa kondisinya saat ini sedang tidak baik baik saja. Rasa lelah, haus dan lapar, mulai datang menyiksanya. Dari semenjak tengah malam, hingga sekarang sudah lewat tengah hari, tak sedetikpun perempuan itu memberinya kesempatan untuk beristirahat. Tak setetes air atau secuil makananpun yang sempat masuk kedalam perutnya. Bahkan, tak sepatah katapun yang diucapkan oleh perempuan itu, untuk sekedar menjelaskan apa maksud dan tujuannya membawanya ke tempat dimana sekarang ia berada.

Slamet sadar, ada sesuatu yang salah. Bahkan sedari awal, semenjak ia memutuskan untuk mengikuti si perempuan, itu sudah salah. Sempat terbersit keinginan di hati kecilnya, untuk mengacuhkan saja perempuan itu, dan kembali ke desa. Namun seperti ada kekuatan tak terlihat yang memaksa kakinya untuk terus mengikuti langkah perempuan itu. Kekuatan yang tak bisa ia lawan, meski ada keinginan untuk melawan.

Hingga entah pada langkah yang keberapa, akhirnya perempuan itu menghentikan langkahnya juga. Slamet sedikit bisa menghela nafas lega, meski itu hanya sementara. Karena ia sadar, dimana sekarang mereka tengah berada.

Hutan Tawengan. Hutan yang dikenal sebagai hutan yang sangat angker. Siapaun yang masuk ke dalamnya, tak akan pernah bisa keluar hidup hidup. Dan kini ia telah berada di tengah tengahnya.

"Apa maksudmu membawaku ke tempat ini?" desis Slamet bertanya.

Si perempuan yang kini tengah berdiri diam membelakanginya itu terdengar mendengus kasar. "Kau pasti sudah tau, apa maksud dan tujuanku membawamu ke tempat ini!"

"Karena anakmu?!" tanya Slamet lagi. Dan lagi lagi perrmpuan itu hanya mendengus kasar.

"Dengar! Kau salah besar! Aku hanya orang suruhan! Dan aku sama sekali tidak tau kalau yang aku tangkap itu ternyata adalah..."

"Tanganmu kotormu itu yang telah menjerat anakku. Dan tangan kotormu jugalah yang telah mengikat kaki dan tangan anakku seperti mengikat seekor binatang! Dan kau masih mau menyangkal?!"

"Sudah kubilang kalau aku hanya..."

"Apa peduliku?! Sekarang kembalikan anakku, atau aku akan memperlakukanmu sama seperti kau memperlakukan anakku semalam!"

"Dengar, anakmu sudah tak ada padaku! Dia, pamanku yang telah menahannya. Seharusnya..., seharusnya kau tak membawaku kemari. Siang ini..., siang ini ..."

"KAAAAIIIINNNGGGGGG....!!!!"

"ANAKKUUUUU.....!!!"

Belum sempat Slamet menyelesaikan kalimatnya, dari kejauhan terdengar suara dengking kesakitan yang sangat menyayat hati, disusul dengan teriakan marah si perempuan yang kini telah berbalik dan menatap Slamet dengan matanya yang menyala merah. Mata yang menyiratkan sorot kemarahan yang teramat sangat.

"baik terkutuk!!! Anakku...!!! Anakku..., siapa yang telah berani..., GRRRRRRRR...!!!" perempuan itu berteriak marah dengan suaranya yang menggelegar. Tubuhnya menegang keras, lalu pelan pelan merunduk, menekuk kedua lututnya, lalu menelungkup diatas tanah, dan...

Mata Slamet terbelalak seketika, saat pelan namun pasti ia melihat perubahan pada tubuh perempuan itu. Punggungnya melengkung naik, kedua tangan dan kakinya memendek, kedua telinganya melebar dengan ujung yang meruncing, kedua matanya mengecil, wajahnya memanjang membentuk sebuah moncong panjang berujung tumpul yang dilengkapi dengan sepasang taring panjang yang berkilat kilat tajam. Bulu bulu halus berwarna coklat kehitaman mulai tumbuh disekujur tubuh makhluk itu. Demikian juga dengan sebuah ekor pendek melingkar, tumbuh di bagian belakang tubuhnya.

"Dhemit Celeng!" Slamet mendesis sambil pelan pelan melangkah mundur. Sedang makhluk itu masih terus menatapnya dengan kedua mata memerah dipenuhi amarah.

"Kau...!!! Karena engkau anakku mati! Kau juga harus merasakan apa yang dialami oleh anakkuuuu...!!!!" Makhluk itu merunduk, menekuk keempat buah kakinya, sambil sepasang mata merahnya tetap menatap ke arah Slamet yang mulai gemetar ketakutan. Sepasang taringnya yang berkilat tajam memantulkan sinar matahari, seolah telah siap mengoyak dan merobek mangsa yang berada di hadapannya. Dan sedetik kemudian, bersamaan dengan Slamet yang secepat kilat berbalik dan berlari, makhluk itu juga melesat, menerjang apa saja yang berada di hadapannya.

"Whuuuaaaaaa..!!!" sambil berteriak nyaring Slamet terus berlari secepat yang ia bisa. Sementara makhluk yang telah dikuasai amarah itu juga terus mengejarnya. Sedetikpun Slamet tak berani menoleh. Ia terus berlari dan berlari, menerobos semak semak yang dipenuhi onak duri, menyelinap diantara lebatnya pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, serta melompati bebatuan besar dan batang batang pohon yang tumbang. Sedang makhluk yang mengejarnya juga tak kalah gesit. Sambil menggeram dan mendengus keras makhluk itu terus mengejarnya. Hingga akhirnya, pelarian Slamet terhenti saat tanpa sengaja kakinya terperosok kedalam sebuah lobang yang tertutup sampah dedaunan kering. Tak ayal, tubuhnyapun terjerembab menghempas bumi.

"Arrgghhh...!!!" Slamet mengerang, berusaha untuk bangkit. Namun tubuhnya kembali terhempas, saat ia merasakan ngilu yang teramat sangat pada lutut kirinya. Sepertinya sendi lututnya terkilir.

"Djanc*k!!!" Slamet mengumpat sejadi jadinya, sambil kembali mencoba bangkit. Pelan pelan ia merangkak, mencoba bertumpu pada sebelah kakinya, sementara kedua tangannya mencoba menggapai apa saja yang sekiranya bisa ia jadikan pegangan untuk menahan berat tubuhnya. Dan saat ia benar benar telah berhasil berdiri dengan sebelah kaki, kembali matanya dibuat terbeliak oleh kemunculan sosok hitam besar yang melesat cepat ke arahnya.

"Wedhus...!!!"

"Whhuuusss...!!!"

"Craaaassss....!!!

"Arrrrggghhhhh....!!!"

Mata Slamet membeliak lebar. Wajahnya menegang, dengan mulut terbuka lebar, saat makhluk yang mengejarnya itu melesat ke arahnya, dan berhasil menancapkan kedua taringnya tepat di bagian perut Slamet.

Jerit kematian menggema ke seluruh penjuru hutan, mengejutkan burung burung yang segera berterbangan dari dahan dahan temapat mereka bertengger. Darah segar merembes membasahi pakaian yang dikenakan oleh Slamet, mengalir kebawah untuk akhirnya meresap kedalam tanah.

Tubuh laki laki malang itu berkelojotan sejenak, berusaha mempertahankan nyawanya yang sudah bersiap meninggalkan raga. Sadar bahwa korbannya masih hidup, si makhluk lalu mwnyentakkan kepala keatas dengan sentakan yang sangat kuat, hingga tubuh laki laki yang masih menacap diujung taringnya itu terlempar keatas, dan saat tubuh itu kembali meluncur kebawah akibat tarikan gravitasi bumi, makhluk itupun kembali menyambutnya dengan kedua ujung taringnya.

"Chlaarrrppsss...!!!" kali ini kedua ujung taring tajam itu sukses menembus dada Slamet. Darah segar kembali mengalir. San seolah belum puas, makhluk itu menggeleng gelengkan kepalany kekiri kekanan dengan keras, hingga tubuh Slamet yang telah lunglai tak bernyawa itu terayun ayun sejenak, untuk akhirnya terlempar membentur sebatang pohon besar, lalu jatuh terkapar tanpa bergerak gerak lagi.

Makhluk itu lalu mendongak. Moncongnya terbuka, memperdengarkan suara melengking tinggi, yang segera disahuti oleh suara yang sama dari kejauhan. Sesosok makhluk sejenis yang berukuran lebih besar lalu muncul. Kedua makhluk itu saling menggeram, seolah sedang berkomunikasi dan berbagi informasi. Si makhluk jantan yang berukuran lebih besar lalu menggeram dahsyat, untuk kemudian melesat secepat kilat menuju ke arah desa Kedhung Jati, diiringi dengan deru angin kencang.

Si makhluk betina yang masih berdiri di tempatnya, kembali mendongak dan meraung. Dan Keanehanpun kembali terjadi. Seolah terpanggil oleh raungan si makhluk, awan hitam mulai berarak menyelimuti langit yang cerah, disusul dengan gelegar guntur dan kilatan petir yang menyambar nyambar. Dan saat makhluk itu mulai bergerak menyusul sang jantan, awan dan badai itupun seolah mengikutinya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close