Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM SILUMAN BABI NGEPET (Part 5)


*Desa Patrolan*
JEJAKMISTERI - Awan hitam dan angin kencang yang bertiup tiba tiba, menarik perhatian seorang laki laki setengah baya yang tengah sibuk membelah kayu bakar di halaman rumahnya. Sejenak laki laki itu menghentikan kesibukannya dan mendongak ke atas langit.

"Alamat buruk!" gumam laki laki itu, lalu menoleh kearah teras, dimana nampak seorang pemuda tampan tengah asyik membaca buku.

"Permadi, tolong lanjutkan pekerjaan Uwak. Uwak mau ke Kedhung Jati. Ada urusan penting!" seru laki laki tua itu sambil bergegas meninggalkan si pemuda yang masih asyik menekuni buku di tangannya.

"Lho ada ap...., weh, kebiasaan! Langsung minggat ndak pakai pamit gitu!" gerutu si pemuda.

***

Desa Kedhung Jati
Senja hampir menjelang, saat hujan badai yang melanda desa Kedhung Jati mereda. Satu persatu wargapun mulai memberanikan diri untuk keluar dari rumahnya. Suasana yang semula mencekam berangsur angsur mulai mereda, berganti dengan suara hiruk pikuk jerit dan tangisan dari sana sini.

Ya. Hujan badai yang terjadi lebih dari dua jam itu telah berhasil memporak porandakan seisi desa. Pohon pohon bertumbangan. Atap genteng porak poranda diterjang angin kencang. Air sungai meluap, menenggelamkan sebagian sawah milik warga, bahkan salah satu kandang ternak milik warga roboh, menimpa dua ekor induk sapi yang berada didalamnya. Binatang yang malang, keduanya tewas dengan cara yang sangat mengenaskan! Beruntung, tak ada korban jiwa dari pihak manusia.

"Ini semua gara gara Kang Mitro!" gerutu salah seorang warga, geram.

"Iya, betul itu. Gara gara dia menyembelih anak babi itu, desa kita jadi tertimpa malapetaka!" timpal warga yang lain.

"Ini tidak bisa dibiarkan! Kita harus menuntut pertanggungjawaban kepada Kang Mitro!"

"Setuju Kang! Ayo kita kesana!"

"Ayo! Kita gerebek rumah Kang Mitro!"

"Ayo! Kita keroyok saja kalau dia nggak mau tanggung jawab!"

"Hei! Tunggu! Kalian jangan gegabah! Kalian ndak inget apa, Kang Mitro itu siapa?"

"Siapa memangnya?"

"Dia kan dukun sakti! Kalau sampai kita di apa apain gimana?"

"Halah! Aku sudah ndak percaya lagi! Dukun sakti apanya! Ada bencana kayak gini aja dia ndak bisa ngatasin kok! Dukun abal abal tuh!"

"Iya. Bener! Dukun abal abal! Dukun palsu! Dukun cabul!"

Ramai warga saling bersitegang, sampai akhirnya, sebagian dari mereka sepakat untuk mendatangi rumah Kang Mitro, sedang sebagian lagi hanya bisa menyaksikan kepergian mereka sambil geleng geleng kepala.

"Kang Bejo! Kenapa sampeyan diam saja?" tegur salah seorang warga kepada Kang Bejo.

"Lha terus suruh ngapain?" jawab Kang Bejo.

"Ya paling ndak sampeyan cegahlah mereka. Kalau sampai terjadi apa apa gimana coba?" ujar warga yang lain.

"Memangnya mereka masih mau mendengarkan omonganku? Mereka itu orang orang bebal! Susah dikasih tau! Kalian ingat kan, tadi pagi saat aku mengingatkan mereka saat mereka mendukung Kang Mitro buat nyembelih anak babi itu? Mereka malah menuduhku sebagai pelaku pesugihan babi ngepet?!" kesal Kang Bejo menjawab.

"Lha terus ini gimana? Masa kita mau diam saja?"

"Kita kerumah Pak Dul Modin saja. Cuma dia yang bisa mencegah mereka," ujar Kang Bejo.

Suara deru motor menyela pembicaraan mereka. Serempak mereka menoleh dan menarik nafas lega, karena orang yang baru saja mereka omongin telah muncul dengan dibonceng oleh Bu Guru Ratih, sang keponakan.

"Ah, syukurlah, akhirnya sampeyan datang Pak," ujar warga hampir serempak.

"Gimana, apa ada korban?" tanya laki laki tua itu sambil turun dari boncenga motor.

"Ndak sih Pak, cuma banyak kerusakan kerusakan parah. Genteng rumah warga banyak yang runtuh diterjang angin, sama banyak pohon tumbang juga. Kandang sapi Kang Darmo malah rubuh. Kasihan, kedua sapi di dalamnya mati," Kang Bejo memberi laporan.

"Hmmm, seperti itu ya," gumam Pak Dul Modin. "Ya sudah kalau begitu, mumpung hari belum malam, sebaiknya kita lakukan apa yang perlu dilakukan. Kita bereskan hal hal yang penting penting dulu, selebihnya kita lanjutkan besok. Ayo saling bergotong royong dan saling membantu. Untuk yang rumahnya rusak parah, mungkin malam ini bisa menginap dulu dirumah tetangga atau saudara, karena sudah ndak ada waktu buat memperbaiki. Mungkin besok baru bisa kita bereskan. Dan.., kemana warga yang lain?" Pak Dul Modin sepertinya baru sadar bahwa ada beberapa warga yang tidak ikut berkumpul di tempat itu.

"Mereka ke rumah Kang Mitro Pak," jawab salah satu warga.

"Lho, ngapain mereka kesana?"

"Mau melabrak Kang Mitro! Mereka menganggap bahwa bencana ini akibat ulah Kang Mitro yang tadi siang menyembelih anak babi jadi jadian itu!"

"Astaghfirullah! Benar benar ya, disaat seperti ini...., Tih, ayo, antar uwak ke rumah Mitro! Bisa berabe kalau mereka dibiarkan!" Pak Dul Modin lalu kembali naik ke boncengan motor bebek milik Bu Guru Ratih.

"Sebentar Wak," Bu Guru Ratih yang sejak tadi diam kini ikut bicara. "Kang Bejo!"

"Iya Bu Guru?" Kang Bejo mendekat kearah Bu Ratih.

"Tolong kumpulkan para pemuda ya, dan kerahkan mereka untuk ronda lagi nanti malam. Kalau bisa jumlah petugas rondanya ditambah. Kondisi desa kita lagi seperti ini, saya takut nanti ada orang orang tak bertanggungjawab yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan!" ujar Bu Guru Ratih tegas.

"Siap Bu Guru, segera akan saya laksanakan! Dan, kalau sempet, tolong nanti sekalian mampir kerumah Mbah Lastri ya Bu, saya takut beliau kenapa kenapa. Soalnya tadi sempat bersitegang dengan Kang Mitro dan sampai sekarang belum kelihatan lagi batang hidungnya" jawab Kang Bejo. Bu Ratih hanya mengangguk, lalu menyalakan mesin motornya dan memacunya ke arah rumah Kang Mitro.

"Nah, kalian dengar sendiri kan apa yang dibilang sama Pak Modin dan Bu Ratih barusan? Sekarang kalian bubar. Bereskan apa yang masih sempat untuk dibereskan. Terutama, amankan barang barang berharga kalian. Dan tolong juga dibantu untuk warga yang rumahnya mengalami kerusakan parah, tolong diberikan tempat yang layak untuk beristirahat, paling tidak untuk semalam ini. Dan kamu Yudi, segera kumpulkan teman temanmu. Malam ini sepertinya kita harus bekerja lebih keras lagi!" Kang Bejo memberi instruksi. Wargapun akhirnya membubarkan diri untuk melaksanakan perintah dari laki laki itu.

***

Di rumah Kang Mitro.
"Dimana suamimu Yu?!" bentak salah seorang warga pada Yu Darsih, istri Kang Mitro yang nampak ketakutan melihat warga yang berdatangan dengan wajah wajah garang itu.

"Saya ndak tau Kang. Suamiku pergi sejak siang tadi," jawab perempuan itu dengan suara gemetar, sambil memeluk kedua anaknya yang juga ketakutan.

"Jangan bohong!" bentak yang lain.

"Demi Allah, saya ndak bohong! Kang Mitro pergi semenjak siang tadi! Kalian lihat sendiri kan, motornya saja ndak ada. Dan saya juga ndak tau kemana perginya!" jawab perempuan itu lagi, dengan suara yang tak kalah keras.

"Halah! Alasan saja itu! Kita dobrak saja rumahnya! Paling Kang Mitro lagi ngumpet didalam!Motornya juga diumpetin biar ndak ketahuan! Dasar pengecut!"

"Iya. Benar! Ayo kita geledah saja rumahnya! Kalau perlu kita bakar, biar keluar si pengecut itu!"

"Jangan! Tolong! Jagan bakar rumah saya! Kang Mitro bener bener ndak ada dirumah!"

"Kami ndak percaya! Sekarang minggir Yu! Biar kami cari sendiri suamimu didalam! Kalau ndak mau minggir juga...."

"Kalau ndak mau minggir kalian mau apa?!" suara Pak Dul Modin yang baru tiba terdengar menggelegar, mengatasi suara suara warga yang tengah dikuasai emosi. "Kalian ini orang orang bodoh! Desa sedang dilanda musibah seperti ini, kalian malah menambah suasana menjadi semakin keruh!"

"Ini semua gara gara Kang Mitro Pak! Dia yang harus bertanggungjawab!" seru salah seorang warga.

"Tanggung jawab seperti apa hah?!" sentak Pak Dul Modin. "Kalian pikir apa yang bisa dilakukan oleh satu orang bernama Mitro ditengah bencana seperti ini?! Kalian dengar baik baik. Apa yang telah terjadi di desa kita ini, adalah tanggung jawab kita bersama! Jadi daripada kalian teriak teriak ndak jelas dirumah orang seperti itu, lebih baik sekarang kalian bubar! Ikut warga yang lain untuk membereskan kekacauan ini! Soal Mitro biar nanti aku yang urus! Sekarang kalian BUBAAARRRR...!!!"

Mendengar suara keras Pak Dul Modin, para warga itupun akhirnya terbirit birit membubarkan diri. Sedang Pak Dul Modin nampak terengah engah menatur nafasnya setelah berteriak teriak barusan.

"Tenang Wak, jangan terbawa emosi," Bu Guru Ratih berusaha menenangkan sang Uwak.

"Wedhus! Kenapa juga aku dikaruniai warga warga yang bodoh dan dungu seperti mereka!" sungut Pak Dul Modin masih dengan nada kesal.

"Sudahlah Wak, ndak usah terlalu dipikirin. Toh semua ini sudah menjadi tanggung jawab Uwak. Lebih baik kita pulang saja, untuk bersiap siap. Sepertinya malam nanti masih ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan," ujar Bu Ratih lagi.

"Hal penting apa maksudmu?" tanya Pak Dul Modin heran.

"Firsatku mengatakan, bencana ini barulah sebuah awal dari bencana yang sesungguhnya, yang akan menimpa desa kita Wak. Jadi, kita harus bersiaga malam ini."

"Huh! Aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal hal seperti itu Tih!"

"Serahkan saja semua padaku Wak. Mudah mudahan saja ada bantuan tak terduga yang akan datang," Bu Ratih memandang sekilas ke arah desa Patrolan di seberang sana. "Sekarang ayo, kuantar Uwak pulang. Yu Darsih, kami pamit ya. Ajak anak anakmu masuk, dan malam ini, lebih baik sampeyan ndak usah keluar rumah. Kalau ada apa apa, segera hubungi saya!"

***

Malam hari di pos ronda.
"Kok perasaanku ndak enak ya," ujar Mas Yudi sambil menatap ke ujung jalan yang mengarah keluar desa.

"Iya. Malam ini sepertinya suasananya agak beda," Mas Toni ikut memandang ke arah yang sama yang dipandang oleh Mas Yudi.

"Namanya juga kita habis ditimpa bencana Ton, ya sudah pasti suasanya berbeda," Mas Teguh yang tengah sibuk menyeduh kopi ikut menimpali.

"Tapi ini lain Guh, perasaanku benar benar ndak enak. Sepertinya akan..., eh, tunggu! Coba kalian lihat diujung jalan sana!"

Serempak semua mata mengikuti arah yang ditunjuk oleh Mas Yudi. Samar samar, ditengah pekatnya kabut yang menyelimuti malam, nampak sesosok bayangan hitam berjalan terbungkuk bungkuk menyusuri jalanan desa yang gelap.

"Siaga woy, siaga! Siapapun itu, harus kita..."

"KYAAAAAAAA...!!! TOLOOOONNNGGG....!!!"

Sebelumnya di rumah Lik Parman.

Bapak dua anak itu terlihat resah dalam duduknya. Secangkir kopi yang semenjak tadi telah dihidangkan oleh sang istri sama sekali belum disentuhnya. Beberapa kali ia nampak menghela nafas. Beberapa kali juga ia melongok keluar melalui kaca jendela, seolah sedang memperhatikan sesuatu yang berada diluar sana. Gurat kecemasan terlihat di raut wajahnya.

"Sampeyan itu kenapa to Pak? Dari tadi kuperhatikan kok seperti orang kebingungan gitu? Bolak balik ngintip keluar, dibikinin kopi sampai udah dingin juga ndak diminum minum. Mikirin apa sampeyan itu sebenarnya?" tegur sang istri yang tengah sibuk menidurkan anak bungsu mereka.

"Ndak usah crigis! Tau apa kamu soal urusan laki laki!" sentak Lik Parman sedikit ketus.

"Lha wong cuma nanya saja kok ndak boleh lho," kata si istri lagi. "Lagian sampeyan itu, orang orang pada ikut ronda kok sampeyan malah enak enakan leyeh leyeh dirumah gitu. Mbok ya keluar keluar sana, ikut sama bapak bapak yang lain jaga keamanan desa. Apa ndak malu sampeyan kalau sampai jadi omongan tetangga. Orang orang pada sibuk jaga kampung kok sampeyan malah..."

"Halah! Cerewet!" sekali lagi Lik Parman menyentak, lalu bangkit berdiri dan mengambil golok yang terselip di dinding anyaman bambu rumahnya. Golok itu lalu ia selipkan di lipatan sarung yang ia kenakan, lalu tanpa meperdulikan ocehan sang istri, ia segera membuka pintu dan melangkah keluar.

"Lho, mau kemana Pak? Kebiasaan lho, kalau diajak ngomong itu kok malah nglungani!"

"Arep ngising! Pengen melu po?" jawab Lik Parman sekenanya.

"Ra sudi! Ngapain orang berak kok diikutin. Lagin aneh aneh saja, mau berak saja kok pake bawa golok segala!"

Laki laki itu tak menjawab. Rasa mulas di perutnya yang datang secara tiba tiba itu sepertinya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Setelah menutup pintu, ia lalu segera bergegas menuju ke kamar mandi yang letaknya di sebelah kiri bangunan dapur rumahnya.

Sambil menuntaskan hajatnya diatas WC, pikiran laki laki itu melayang ke peristiwa tadi siang di rumah Kang Mitro. Bulu kuduknya merinding tiba tiba, saat teringat bahwa dialah yang telah menggorok leher anak babi itu dengan golok yang kini dibawanya. Dan desas desus yang ia dengar dari para warga sore tadi, bahwa bencana angin ribut dan hujan badai yang menimpa desa sore tadi adalah akibat dari kemarahan si pemilik babi yang ia sembelih, sedikit banyak mempengaruhi pikirannya.

"Ah! Sialan! Kenapa juga aku mikirin omongan orang. Sudah jelas yang aku sembelih tadi hanyalah anak babi. Ngapain juga dikait kaitkan dengan bencana yang menimpa desa ini. Ada ada saja," gerutu laki laki itu dalam hati, sambil meraih gayung yang mengapung di bak mandi.

Selesai menuntaskan hajatnya, Lik Parman bermaksud untuk kembali ke rumah. Namun niatnya tertahan saat tanpa sengaja matanya menangkap ada gerakan aneh dibalik rumpun semak semak tak jauh dari kamar mandi itu. Ya. Rumpun semak itu nampak bergoyang goyang. Padahal jelas tak ada angin yang bertiup.

"Siapa disitu?!" seru Lik Parman sambil meraba gagang golok yang terselip di pinggangnya.

"Grookkk...!!! Grookkk...!!!" terdengar suara seperti orang mengorok, diiringi dengan rumpun semak yang semakin keras bergoyang goyang.

"Jangan macam macam ya! Cepat tunjukkan siapa dirimu, atau ketebas lehermu dengan golokku!" sentak Lik Parman keras.

"Grookkk...!!! Grookkk...!!!" seolah menyahuti ucapan Lik Parman, suara mengorok itu juga terdengar semakin keras. Rumpun semak tersibak, menampakkan sosok yang membuat kedua mata Lik Parman terbelalak seketika.

"I...tu, Ce...leng?! Tapi..., kok sebesar itu...?!" Lik Parman mundur perlahan, sambil mencabut golok yang terselip di pinggangnya.

"Pergi kamu! Jangan berani macam macam denganku, atau..."

"Grookkk....!!!" makhluk berwujud babi hutan sebesar anak sapi itu mengorok keras sambil memamerkan sepasang taringnya yang mencuat tajam disela sela moncongnya. Matanya yang menyipit tertuju lurus ke arah Lik Parman. Mata yang menyala merah dan memancarkan sorot dendam yang teramat dalam.

"Pergiiiii....!!! Atau kubelah kepalamu dengan golokku ini!" bentak Lik Parman dengan suara gemetar, sambil mengacung acungkan golok ditangannya.

"Pak," dari arah teras terdengar derit pintu yang dibuka, disusul dengan suara Yu Parman. "Ada apa to, kok teriak teriak gitu?"

"Gawat!" seru Lik Parman. Sekilas ia melirik ke arah rumah. Meski ia tak bisa melihat sang istri secara langsung, karena posisinya yang sedang berada di samping rumah, namun ia yakin, sang istri kini telah keluar dan menuju ke arahnya.

"Jangan keluar! Cepat kembali masuk dan jaga anak anak!" teriak Lik Parman.

"Kenapa to Pak? Ada apa...?"

"MASUK KATAKU!!!" bentak Lik Parman keras, sambil kembali melirik ke arah rumah. Hanya sekilas. Namun lirikan yang cuma sekilas itu sudah cukup untuk membuat Lik Parman lengah. Si makhluk yang sudah mengambil ancang ancang segera melesat dan menerjang ke arahnya.

"Whuuuusss...!!!"

"Sial!"

Sadar mendapat serangan tak terduga, Lik Parman mencoba berkelit untuk menghindar. Namun sepertinya sia sia. Meski sedikit meleset, namun taring taring tajam dari si makhluk itu masih sempat mengoyak pinggang sebelah kiri Lik Parman.

"Arrrgghhh...!" laki laki itu mengerang lirih, sambil mendekap luka yang diakibatkan oleh serangan si makhluk. Darah segar merembes dari sela sela jari Lik Parman.

"Baj*ng*n tengik! Kubunuh kau!!!" sambil berteriak marah Lik Parman membalas serangan si makhluk. Golok ditangannya berkelebat cepat, mengarah tepat ke tengah tengah dahi makhluk itu.

"Craaannggg...!!!" suara berdentang terdengar nyaring saat golok Lik Parman beradu dengan kedua taring si makhluk.

"Wedhus!" umpat Lik Parman begitu menyadari serangannya ternyata dapat dipatahkan dengan mudah oleh si makhluk. Laki laki itu lalu melompat mundur beberapa langkah, sambil tetap mendekap lukanya yang semakin banyak mengeluarkan darah. Aroma amis darah itu seolah membuat si makhluk semakin beringas. Tanpa memberi kesempatan kepada Lik Parman, makhluk itu kembali menerjang ke depan, disaat Lik Parman belum sepenuhnya menguasai keseimbangannya. Alhasil, kedua taring tajam makhluk itu berhasil menembus tepat di ulu hatinya.

"HEEEGGGHHHH...!!!" nafas laki laki itu tersendat. Wajahnya menegang menahan rasa sakit yang teramat sangat, dengan kedua mata melotot dan mulut ternganga lebar. Golok ditangannya terlepas dan terjatuh ke tanah, seiring dengan lengan laki laki itu yang terkulai lemas.

"Bruuuggg...!!!" tubuh laki laki malang itu terhempas ketanah, saat makhluk itu menarik kedua taringnya yang menancap di tubuhnya.

"Grroooaarrr...!!!" makhluk itu menggeram dahsyat, sambil melenggang meninggalkan tempat itu, seolah ingin memamerkan kemenangannya. Sementara istri Lik Parman yang baru tiba di tempat itu terkesiap melihat sang suami yang telah tergeletak bermandi darah. Sedetik kemudian, teriakan perempuan itu menggema ke seluruh penjuru desa, terdengar sampai ke telinga orang orang yang sedang ronda di poskamling.

"KYAAAAA....!!! TOLOOOOONNNGGGG...!!!"

***

Lain nasib Lik Parman, lain pula dengan yang dialami oleh Kang Sarno. Laki laki itu tengah berjalan sendirian menuju pos kampling saat makhluk itu menghadang langkahnya. Bukan dalam bentuk yang menyeramkan, namun dalam wujud yang mampu membuat Kang Sarno menelan ludah berkali kali.

"Wuedan! Siapa itu perempuan malam malam begini berdiri sendirian di tengah jalan?" gumam laki laki itu sambil mendekat ke arah si makhluk yang berdiri membelakanginya.

"Mbakyu, sampeyan itu ngapain malam malam kok keluyuran ditempat gelap seperti ini?" tanya Kang Sarno sambil mengarahkan senternya ke arah perempuan itu. Nampak kini lekuk liku tubuh sexy dibalik gaun tipis yang dikenakan oleh si perempuan, membuat Kang Sarno yang memang seorang duda itu kembali menelan ludah.

"Tolong saya Kang! Saya diusir dari rumah, sekarang ndak tau mesti kemana," jawab si perempuan pelan.

"Walah! Kasihan amat nasibmu Mbak!" ujar Kang Sarno sambil terus mengarahkan senternya ke tubuh perempuan itu. Matanya nyaris tak berkedip menyaksikan kemolekan tubuh si perempuan yang nyaris sempurna itu. Naluri kelelakiannya bangkit. Jawaban yang diberikan oleh si perempuan tadi tanpa sengaja telah melahirkan sebuah pikiran kotor di hati laki laki yang sudah lama tak menyentuh tubuh perempuan itu.

"Bisa tolong carikan tempat menginap untuk semalam saja Kang? Aku sudah lelah seharian berjalan kesana kemari tanpa tujuan. Untuk semalam ini saja Kang. Nanti aku kasih upah kalau sampeyan mau membantuku," ujar si perempuan dengan suara merdunya, membuat Kang Sarno menjadi semakin lupa daratan. Pucuk dicinta ulampun tiba ini namanya, batin Kang Sarno.

"Oalah, kalau cuma sekedar tempat menginap, itu soal gampang Mbak, ayo, ikut saya," kata Kang Sarno, mulai menebar perangkap.

"Ikut kemana Kang?" tanya si perempuan.

"Lha katanya mau dicarikan tempat menginap. Tak jamin wis, nanti tak carikan tempat menginap yang nyaman. Sampeyan capek to? Kalau mau pijit nanti juga ada yang siap mijit. Kalau lapar juga nanti ada yang nyiapin makanan. Pokoknya komplit deh, apa yang sampeyan mau pasti nanti akan disediakan."

"Tapi...., apa ndak mahal penginapan yang seperti itu Kang? Aku ndak punya duit banyak, dan..."

"Tenang saja Mbak. Ndak usah mikirin soal bayaran. Yang penting malam ini bisa istirahat dengan nyaman."

"Sampeyan ndak sedang nyoba nipu saya kan Kang?"

"We lha, apa wajah saya ini ada tampang penipu? Saya cuma bermaksud menolong Mbak, itu juga kalau sampeyan mau ditolong. Kalau enggak ya ndak papa."

"Iya Kang, maaf. Saya mau kok."

"Nah, gitu kek dari tadi. Ya sudah, ayo ikut saya. Ndak enak kelamaan disini, nanti ketahuan orang ronda dikira saya ngapa ngapain sampeyan lagi."

Perempuan itu lalu berjalan mengikuti langkah Kang Sarno, tanpa menyadari bahwa laki laki yang berniat menolongnya itu punya maksud lain terhadap dirinya. Dan Kang Sarno sendiri juga tak menyadari bahwa dibelakangnya, si perempuan diam diam tersenyum sinis, sambil menatap punggung Kang Sarno yang berjalan di depannya dengan tatapan yang dipenuhi oleh nafsu membunuh.

Saat itu hanya ada satu yang ada di pikiran Kang Sarno. Cepat cepat sampai di rumah dan...
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close