Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

DENDAM SILUMAN BABI NGEPET (Part 6 AND)


JEJAKMISTERI - Sampai dirumah, Kang Sarno segera mengantar perempuan itu kedalam salah satu kamar yang ada dirumahnya. Meski awalnya sedikit ragu, toh akhirnya perempuan itu mau juga menginap di rumah laki-laki itu. Tak hanya menyediakan kamar, Kang Sarno bahkan rela menyiapkan makan malam untuk perempuan yang sepertinya sudah kelaparan itu.

Entah karena memang sudah kelelahan atau karena kekenyangan sehabis makan, tanpa menunggu lama perempuan itupun akhirnya tertidur pulas.

"Ah, ini kesempatan bagus," batin Kang Sarno. Setelah memastikan bahwa semua pintu dan jendela terkunci rapat, laki-laki yang telah dikuasai oleh pikiran kotornya itu lalu mengendap endap masuk kedalam kamar yang ditiduri oleh si perempuan.

"Benar benar rejeki nomplok," ujar laki laki itu sambil mengamati si perempuan yang tidur terlentang diatas dipan. Tanpa menunggu lama, laki laki itu lalu mematikan lampu. Ruangan kamar itu menjadi gelap seketika, segelap hati Kang Sarno yang telah dikuasai oleh nafsu bejatnya. Laki laki yang memang sudah lama tak merasakan nikmatnya surga dunia itu sepertinya sudah tak bisa berpikir jernih lagi. Yang ada dipikiranya malam itu hanyalah bagaimana menuntaskan hasrat yang sudah naik ke ubun ubun. Pelan pelan, Kang Sarno mulai merengkuh dayung, mengarungi telaga kenikmatan yang sudah sekian lama tak ia rasakan. Dan gayungpun bersambut. Entah sadar atau tidak, si perempuan sepertinya juga merasakan hal yang sama. Tak mau pasrah dan tinggal diam, perempuan itu memberikan perlawanan yang tak kalah sengit, membuat Kang Sarno semakin bersemangat. Hingga saat keduanya hampir mencapai puncak, baru Kang Sarno menyadari bahwa ada sesuatu yang salah.

Tubuh laki-laki itu mengejang, saat kenikmatan yang ia rasakan telah sampai dipuncaknya. Kenikmatan yang hanya sesaat ia rasakan, karena setelah itu ia merasakan bahwa seluruh cairan dalam tubuhnya ikut tersedot kedalam tubuh perempuan itu.

"Apa yang kau..., Arrrrggghhh!!!" Kang Sarno tak sanggup melanjutkan kata katanya, karena merasakan sakit yang teramat sangat pada tubuh bagian bawahnya. Laki laki itu menggelepar, berusaha melepaskan diri dari himpitan perempuan itu. Namun usahanya sia sia. Seluruh cairan dalam tubuhnya semakin deras tersedot kedalam rahim perempuan itu, membuat tubuh laki laki itu menjadi lemas dan layu, untuk akhirnya benar benar kering kerontang, tinggal menyisakan tulang belulang yang terbalut kulit keriput dan menghitam seolah habis terpanggang.

"Hihihihi....!!!" perempuan itu tertawa mengikik, lalu melemparkan jasad yang telah kering dan kaku itu dari atas tubuhnya. Tubuh mulus yang kini telah telanjang tanpa tertutup oleh sehelai benang itupun pelan pelan berubah menjadi sosok seekor babi hutan yang kemudian menyelinap keluar, meninggalakan jasad laki-laki malang itu.

Tak jauh berbeda dengan Lik Parman dan Kang Sarno, Lik Sardi yang siang tadi ikut menyembelih anak babi di rumah Kang Mitro, malam itu juga mengalami nasib yang sama. Laki laki yang dikenal sangat penakut itu sedang menyeduh kopi di dapur rumahnya, saat seekor babi hutan sebesar anak sapi menerobos masuk dan menyerangnya. Entah karena terkejut atau karena ketakutan, laki laki itu tewas bahkan sebelum makhluk itu berhasil menyentuhnya. Jantungnya berhenti berdetak begitu saja saat melihat kemunculan makhluk menyeramkan itu. Dan dengan berhentinya detak jantungnya yang tiba tiba itu, maka berhenti juga nafas laki-laki malang itu.

***

Kembali ke pos ronda.
Mas Yudi cs sedang asyik membahas soal keamana desa setelah siang tadi diterpa bencana, saat tiba-tiba pemuda itu melihat sesosok bayangan yang berjalan tertatih tatih ditengah kegelapan.

"Eh, siapa itu?" guman pemuda itu sambil mengarahkan senternya kearah sosok itu.

"Wah, jangan jangan dhemit! Malam malam gini, dan jalannya kayak zombie gitu!" bisik Mas Toni, sambil ikut menatap ke arah sorot senter Mas Yudi.

"Dhemit gundhulmu itu! Jelas kalau itu orang gitu kok! Sepertinya kakek kakek, dan ..., eh, sepertinya aku kenal. Itu kan Mbah Modin desa Patrolan! Mau apa orang aneh itu datang ke desa kita malam malam begini?" Kang Bejo ikut mengamati sosok itu.

"Orang aneh? Aneh gimana maksudnya Kang?" tanya Mas Teguh.

"Ya aneh! Bu Mbah Mo, atau yang kita kenal sebagai Modin desa Patrolan itu kan agak begini," bisik Kang Bejo sambil menempelkan jari telunjuknya di kening dengan posisi miring.

"Gila gitu maksud sampeyan?" Mas Bambang ikut berbisik.

"Agak stress! Gara-gara dulu kekasihnya yang dituduh sebagai dukun santet dihukum mati oleh Bayan Patrolan dan mayatnya dibuang ke jurang yang ada di hutan tawengan. Setelah kejadian itu ia jadi suka menyendiri, tinggal sendirian di pinggir desa, miara hewan hewan aneh yang ia dapat di hutan Tawengan. Bahkan menurut desas desus, sangking stressnya, hewan hewan piaraannya itu sering diajak ngobrol sama dia," jelas Kang Bejo.

"Aneh, hewan kok diajak ngobrol."

"Yach, namanya juga orang stress."

"Tapi kok bisa ya orang stress diangkat jadi Modin?"

"Karena dia sakti! Konon katanya..."

"Sssttt! Diam! Orangnya semakin dekat tuh, jangan diomongin yang macem macem."

"Mbah, mau kemana malam-malam begini?" tegur Mas Yudi. Meski Kang Bejo bilang kalau orang itu agak stress, tapi melihat usianya yang sudah agak sepuh, pemuda itu berusaha untuk bersikap sopan. Apalagi laki laki itu adalah seorang Modin.

"Ke rumah Bu Guru Ratih," jawab laki-laki tua itu tanpa menoleh.

"Ada perlu apa ya Mbah malam-malam begini?" tanya Mas Yudi lagi.

"Bukan urusan kalian!" lagi-lagi laki-laki tua itu menjawab tanpa menoleh, bahkan tanpa menghentikan langkahnya sama sekali.

"Sebentar Mbah, berhenti dulu. Kondisi desa kami sedang kurang baik saat ini, dan kami yang bertugas untuk menjaga keamanan desa ini. Jadi siapapun orang luar yang masuk ke desa ini, menjadi urusan kami. Termasuk sampeyan! Jadi...!"

"Cih! Tau apa kalian soal masalah yang melanda desa ini?" laki laki tua itu mendecih, lalu berhenti dan berbalik, menatap kearah orang orang yang berada di poskamling dengan tatapan yang sangat tajam.

"Dasar orang stress! Ditanya baik-baik kok malah nyolot!" sentak Kang Bejo kesal.

"Ssstttt! Tahan emosi Kang," Mas Yudi mengingatkan.

"Hihihi....!!! Dasar bodoh! Kalian bilang menjaga keamanan desa? Iblis sedang berpesta di desa kalian, dan kalian malah enak enak ngopi di poskamling, begini yang kalian bilang menjaga keamanan?!" laki laki tua itu terkekeh.

"Maksud sampeyan apa Mbah?" Mas Yudi mendekat kearah laki laki tua itu.

"Coba dengarkan baik-baik!" tegas laki-laki tua itu.

"Dengarkan? Apa yang....?"

"KYAAAAAA.....!!!! TOLOOOOONNNGGGG...!!!"

Belum selesai Mas Yudi bicara, mendadak terdengar jeritan minta tolong dari arah tengah tengah desa. Semua yang bertugas jaga di poskamling dibuat terkesiap olehnya.

"Hihihi...! Pesta telah dimulai! Satu korban telah jatuh! Sepertinya aku sedikit terlambat!" kembali laki laki tua itu terkekeh.

"Gawat! Pukul kentongan tanda bahaya! Kamu Ton, ajak Teguh dan Bambang kerumah Lik Parman! Sepertinya teriakan itu asalnya dari sana. Mas Parjo, ayo temani aku mengantar simbah ini kerumah Bu Guru Ratih! Yang lain tetap siaga di pos. Siapapun atau apapun yang lewat, jangan dibiarkan lolos!"

Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, semua petugas ronda segera melaksanakan instruksi dari Mas Yudi. Kentongan dipukul bertalu talu, membangunkan warga seisi desa. Suasana desa yang semula sunyi menjadi riuh. Warga berhamburan keluar. Dan perburuanpun dimulai.

Mencekam! Demikian gambaran suasana di desa Kedhung Jati malam itu. Mas Toni cs yang datang kerumah Lik Parman setelah mendengar teriakan minta tolong itu, tak bisa berbuat banyak, saat mendapati si tuan rumah sudah tergeletak tak bernyawa di kebun samping rumah dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Ada luka robek besar dibagian perutnya, hingga membuat sebagian isi perut laki-laki yang sudah menjadi mayat itu terburai keluar.

"Wedhus! Manusia bejat mana yang telah tega berbuat seperti ini," dengus Mas Toni sambil menahal rasa mual pada perutnya. "Guh, cepat cari kain atau apa gitu buat nutupin mayatnya. Bisa geger warga kalau melihat kondisinya yang seperti itu!"

Tanpa menunggu diperintah untuk kedua kalinya, Mas Teguh lalu berinisiatif untuk menebas beberapa helai daun pisang yang banyak tumbuh di kebun itu, lalu mereka gunakan untuk menutupi jasad yang malang itu. Sementara Mas Bambang dengan dibantu oleh beberapa warga yang datang sibuk menolong istri Lik Parman yang tergeletak pingsan tak jauh dari posisi jasad sang suami.

"Bagaimana ini? Ada kejadian seperti ini, apa yang mesti kita lakukan?" tanya Mas Teguh setengah berbisik di telinga Mas Toni.

"Kita lapor saja sama Pak Bayan dan Pak Modin. Biar nanti beliau beliau yang memutuskan!" jawab Mas Toni.

Nasib baik. Mereka ternyata tak perlu bersusah payah untuk mendatangi dua orang paling berpengaruh di desa itu, karena keduanya telah datang ke lokasi pembunuhan itu. Pak Bayan Mangun datang seorang diri. Sedang Pak Dul Modin, datang bersama Bu Guru Ratih, Mbah Modin Patrolan, dan juga rombongan Mas Yudi cs.

"Biadab! Manusia macam apa yang telah tega...!" ucapan Pak Bayan Mangun segera dipotong oleh Mbah Modin desa Patrolan.

"Ini bukan perbuatan manusia! Tapi perbuatan iblis yang tengah menuntut balas!" ujar laki-laki setengah baya itu, dalam dan dingin, membuat semua mata lalu tertuju ke arahnya.

"Lho, Mbah Mo? Kok sampeyan bisa ada disini?" Pak Bayan Mangun sedikit terkejut karena baru menyadari kehadiran laki laki tua teman sejawatnya itu.

"Tidak sengaja aku melihat ada iblis alas Tawengan yang lepas dan mengarah ke desa ini. Entah apa yang telah diperbuat oleh wargamu Mangun, tapi aku merasakan iblis itu datang kesini dengan membawa rasa dendam dan amarah yang sangat besar," ujar laki laki tua itu lagi, masih dengan nada dingin.

"Iblis?!" hampir semua mulut warga yang berada di tempat itu menggumamkan kata yang sama.

"Ya! Iblis! Atau lebih tepatnya siluman babi! Dan firasatku mengatakan, laki laki malang itu bukanlah korban satu satunya. Kau harus bergerak cepat Mangun, kalau tak ingin wargamu yang lain juga akan mengalami nasib yang sama dengan laki laki malang itu."

Kembali warga saling berbisik mendengar ucapan Mbah Modin Patrolan itu. Rasa ngeri terbayang jelas dari wajah wajah orang orang yang ada disitu. Mereka tau siapa laki laki tua itu. Meski sebagian orang menganggapnya kurang waras, tapi jika menyangkut dhedemit penghuni alas Tawengan, laki laki itulah yang paling tau dan paham akan masalah itu.

"Edan! Ini pasti gara gara ulah si Mitro Nggedebus tadi siang itu! Tak ada habis habisnya manusia itu bikin ulah!" dengus Pak Bayan Mangun kesal.

"Tak ada gunanya mengomel Mangun. Lebih baik segera kerahkan wargamu untuk mencegah makhluk itu kembali beraksi," tegur Mbah Bayan Patrolan.

Masih dengan bersungut sungut kesal Pak Bayan Mangun lalu memerintahkan beberapa orang warganya untuk menyebar keseluruh penjuru desa. Rumah Kang Mitro, Kang Sarno, dan Lik Sardi menjadi prioritas, karena dari informasi yang diperoleh, ketiga orang itulah yang terlibat langsung dalam pembataian anak babi di rumah Kang Mitro siang tadi.

"Jangan gegabah, apalagi sampai ada yang mau sok sokan jadi pahlawan! Ingat, yang kita hadapi kali ini bukanlah manusia! Tugas kalian hanya mengawasi! Jika menemukan hal hal yang mencurigakan, segera tabuh kentongan! Cepat kerjakan!" perintah Pak Bayan tegas. Wargapun lalu bubar. Mereka membentuk kelompok kelompok kecil yang segera menyebar keseluruh penjuru desa.

"Mbah Mo, saya harap sampeyan juga bersedia untuk membantu. Maaf kalau merepotkan, tapi kalau sudah menyangkut penghuni alas Tawengan, siapa lagi yang bisa kami harapkan selain sampeyan," Pak Dul Modin yang sejak tadi hanya diam, kini ikut berbicara.

"Ah, kau terlalu merendah Dul! Tak kau lihatkah ragaku yang sudah tua dan ringkih ini? Apa yang kau harap bisa dilakukan oleh kakek kakek sepertiku ini? Harusnya ucapanmu barusan itu kau ucapkan kepada keponakanmu itu," Mbah Modin Patrolan melirik ke arah Bu Guru Ratih yang berdiri agak jauh dari tempat mereka.

"Ah, agak susah untuk membujuk dia Mbah. Sampeyan kan tau dia itu seorang guru, selalu berpikir logis dan nggak mau berurusan dengan hal hal yang berbau mistis seperti ini."

"Tak ada yang salah dengan cara berpikirnya Dul. Tapi kalau sudah menyangkut masalah keamanan desa, apa boleh buat. Kau harus bisa membujuknya. Apalagi hanya dia satu satunya orang yang punya kemampuan diatas rata rata, selain kita yang sudah tua ini, dan si bocah tengil dari Tegal Salahan yang kabarnya sekarang sudah bersekolah di kota itu."

Pak Dul hanya bisa garuk garuk kepala mendengar ucapan perempuan tua itu. Ada benarnya juga. Ia sudah terlalu tua untuk mengurusi masalah seperti ini, dan si bocah tengil yang dikatakan oleh Mbah Mo itu, andai saja Wulan masih disini, tentu kejadiannya tak akan seperti ini. Bocah itu pasti akan sangat kegirangan kalau diberi kesempatan untuk bermain main sejenak dengan para makhluk siluman itu.

"Wak!" seruan Bu Ratih mengejutkan Pak Dul Modin. "Apa tidak sebaiknya kita segera mengabarkan kejadian ini kepada polisi. Ini kasus pembunuhan, tak bisa dianggap sepele. Bisa kena masalah kita kalau terlambat melaporkannya."

"Sepertinya itu sudah diurus sama Pak Bayan Tih. Kudengar tadi ia sudah menyuruh anaknya untuk ke kota kecamatan," jawab Pak Dul Modin.

"Nduk cah ayu," Mbah Mo menyela. "Apa kau akan diam saja melihat ada kejadian seperti ini?"

"Maksudnya Mbah?" Bu Guru Ratih balik bertanya, seolah kurang mengerti arah pertanyaan laki laki tua itu.

"Tak perlu kujelaskan, kau pasti sudah tau apa yang kumaksud kan Nduk." jawab Mbah Mo.

"Saya hanya warga biasa Mbah, bukan hak saya untuk mencampuri urusan seperti ini terlalu jauh. Biarlah itu menjadi tugas aparat desa. Untuk sekedar sedikit membantu, saya tak keberatan. Tapi..."

"Bantuanmu sangat diperlukan Nduk. Mau atau tidak, itu sudah menjadi takdirmu. Dikaruniai suatu kelebihan, memang berat tanggung jawabnya. Tapi kau tak bisa terus terusan mengelak. Tanyakan pada hati nuranimu, apakah kau akan tega melihat makhluk itu membantai warga desamu satu persatu?" ujar Mbah Mo lagi.

Bu Guru Ratih terdiam. laki-laki tua ini, meski dianggap agak sinting, tapi tak bisa dipandang sebelah mata. Semua ucapannya itu, jika terus kubantah justru akan ssmakin memojokkanku, batin Bu Guru Ratih.

"Kita lihat nanti saja Mbah, bagaimana perkembangan kasusnya," ujar Bu Ratih akhirnya, tak mau berdebat panjang lebar.
Mbah Mo dan Pak Dul Modin saling pandang dan tersenyum.

Beberapa warga yang tadi ditugaskan untuk patroli nampak kembali ke tempat itu dengan langkah tergesa, membuat Pak Bayan, Pak Dul Modin, dan Mbah Mo sedikit cemas. Sesuatu yang buruk sepertinya telah terjadi, melihat ketegangan di wajah para warga itu.

"Bagaimana?!" tanya Pak Bayan Mangun.

"Gawat Pak, sepertinya kita terlambat," seru salah seorang dari warga itu dengan nafas memburu.

"Gawat gimana maksudmu? Yang jelas kalau memberi laporan!" sentak Pak Bayan Mangun.

"Mereka..., mereka semua sudah mati Pak!"

"Mati?!"

"Iya. Kang Sarno, nasibnya tak jauh beda dengan Lik Parman! Ia mati garing diatas tempat tidurnya!"

"Mati garing gimana maksudmu?"

"Ya mati garing! Tubuhnya kering kerontang kayak keripik gosong! Bahkan kami sampai hampir tak mengenalinya."

"Edan! Ini benar benar edan! Bagaimana dengan Lik Sardi?" geram Pak Bayan Mangun.

"Nasibnya sedikit lebih beruntung Pak. Meski mati, tapi tubuhnya masih utuh, tak ada luka sedikitpun."

"Wedhus! Orang mati kok dibilang beruntung!" dengus Pak Bayan. "Mitro Nggedebus bagaimana?"

"Dia ndak ada dirumah Pak. Kata istrinya pergi sejak sore tadi ndak tau kemana. Sekarang warga sudah mengamankan mereka."

"Wuedan tenan! Udah bikin gara gara, sekarang malah minggat! Awas saja nanti kalau...."

"Pak Bayan! Syukurlah sampeyan disini!" sebuah seruan memotong ucapan Bayan tua itu. Ternyata Kang Bejo yang juga datang tergopoh gopoh dengan nafas ngos ngosan.

"Lho, Bejo? Ada apa? Kamu kan ditugasi buat setanbi di poskamling, kok malah kesini?"

"Masih ada anak anak di pos Pak. Saya tadi kerumah sampeyan, mau laporan, tapi kata istri sampeyan, sampeyan ada disini, mangkanya saya nyusul kemari."

"Laporan soal apa lagi?"

"Anu Pak, itu Kang Mitro, lagi duel sama celeng di pinggir desa!"

"Duel gimana to maksudnya?"

"Jadi gini Pak, tadi kan sesuai arahan, saya dan teman teman berjaga di poskamling. Dan sesuai dengan arahan, kami menghentikan semua orang yang melintas di jalan desa. Nah, pas lagi jaga itu tiba tiba Kang Mitro datang naik motor bututnya. Nyaris saja tadi dia dihakimi warga, karena sudah bikin masalah di desa ini. Beruntung saya bisa mencegahnya. Setelah kami interogasi, ngakunya dia dari rumah kakaknya di desa Ngantiyan, minjem keris atau apa gitu, pusaka saktilah menurut pengakuannya, untuk melawan makhluk yang sudah membuat onar di desa ini. Gayanya Pak, selangit! Pakai sesumbar gitu mau ngebunuh makhluk itu pakai pusaka yang dibawanya. Nah, pas lagi kami interogasi itu tiba-tiba datang dua ekor celeng segedhe gajah dan langsung menyerang Kang Mitro. Sekarang Kang Mitro lari ke arah Tegal Salahan, dikejar sama kedua celeng itu. Saya sih ndak yakin Kang Mitro mampu menghadapi kedua makhluk itu, mangkanya saya lari kemari buat nyari bantuan!"

"Wis! Edan! Bener-bener edan ini! Ya sudah, kalian, sebagian tunggu disini, jaga mayatnya Lik Parman sambil nunggu polisi datang. Pak Dul, ayo, kita samperin si Mitro Nggedebus itu. Bu Guru juga ikut ya, tolong itu dibonceng Mbah Mo! Mudah mudahan kali ini kita ndak terlambat!" ujar Pak Bayan Mangu cepat.

Keempatnya lalu memacu sepeda motor tua mereka secepat yang mereka bisa. Jalanan terjal berbatu mereka terabas begitu saja, hingga laju motor motor itu terombang ambing dan sesekali nyaris tergelincir. Namun harapan tinggal harapan. Meski telah berusaha, namun kenyataan berkata lain. Sesampainya di jalanan Tegal Salahan, nampak Kang Mitro yang sekujur tubuhnya telah bermandi darah berdiri tegak sambil sebelah kakinya menginjak bangkai seekor babi hutan yang berukuran sangat besar. Sebelah tangannya berkecak pinggang, sedang tangan yang satunya lagi menggenggam sebilah keris yang juga berlumuran darah.

"Hahahaha....!!! Mampus kau siluman jahanam! Berani beraninya kau mengusik seorang Mitro! Jangan salahkan aku kalau sampai nyawamu harus melayang malam ini! Sayang, aku tak sempat menghabisi pasanganmu yang telah kabur itu! Jadi sepertinya kau harus merana seorang diri di neraka sana!" gelak suara laki laki itu menggema di keheningan malam.

Pak Bayan cs yang baru datang hanya diam tercekat, melihat apa yang telah diperbuat oleh laki laki itu. Siapa sangka, si Mitro Nggedebus itu benar benar berhasil menghabisi siluman celeng itu. Namun bukan itu yang membuat Pak Bayan cs tertegun, tapi perubahan pada bangkai babi hutan yang telah terkapar tak bernyawa itu. Pelan namun pasti, mereka melihat dengan jelas bahwa ukuran bangkai babi hutan itu semakin lama semakin mengecil, untuk kemudian lenyap dari pandangan mata.

"Cih! Sudah mampus masih mau berlagak!" Kang Mitro mendecih, lalu berbalik dan menatap tajam ke arah Pak Bayan cs. "Kalian lihat sendiri kan? Celeng sialan itu sudah kubikin mampus! Jadi kalian tak perlu khawatir lagi! Dan, sekarang kalian tau kan, siapa Mitro yang sebenarnya? Jadi jangan sekali kali berani meremehkanku lagi! Aku Mitro Nggedebus! Dukun sakti dari desa Kedhung Jati! Hahahaha....!!!"

Pak Bayan dan Pak Dul Modin hanya saling pandang, sementara Bu Guru Ratih tertegun. Nalurinya yang tajam mengatakan, bahwa semua ini belumlah berakhir. Sementara Mbah Mo, dengan tertatih tatih mendekat ke arah Kan Mitro, lalu mendesis tajam, "jangan merasa menang dulu! Kematianmu hanya sedikit ditunda!"

Sejenak kita tinggalkan desa Kedhung Jati dengan segala kemelutnya, dan berpindah sedikit ke arah barat daya, tepatnya di sebuah jalan setapak yang membelah area persawahan di sebelah selatan desa Patrolan, yang berbatasan dengan hutan Tawengan. Dalam keremangan malam, nampak sesosok nenek tua berjalan tertatih tatih menembus pekatnya malam, tanpa mengetahui arah mana yang harus ia tuju. Ia hanya mengikuti ke arah kaki rentanya melangkah, sambil mulutnya sesekali menggumamkan kata kata yang hanya bisa ia dengarkan sendiri.

"Oalah Meeeet Met! Kamu kemana to Le? Dari pagi simbok nyariin kamu, sampai tengah malam begini kok ndak ketemu juga!" demikian kira kira sambat sebut dari nenek tua yang tak lain adalah Mbah Lastri itu.

Sungguh malang nasib orang tua itu. Berjalan seorang diri dari semenjak pagi hingga tengah malam begini, hanya untuk mencari sang anak yang pergi semenjak semalam, tanpa ada seorangpun warga desa pun yang tau. Ada sedikit rasa menyesal di hati Mbah Lastri, kenapa tadi tidak minta bantuan saja kepada warga untuk mencari Slamet. Tapi kalau dipikir pikir percuma juga minta bantuan. Para warga sepertinya lebih tertarik dengan anak babi hasil tangkapan si Mitro itu daripada mendengarkan omongan seorang nenek tua seperti dirinya. Dan kata kata Mitro, sang adik tadi pagi, masih menyisakan rasa sakit di hatinya.

"Berani beraninya Mitro menyentakku di depan banyak warga begitu! Dasar adik nggak tau diuntung! Nggak ingat apa dulu waktu kecil kalau dia berak siapa yang nyebokin!" gerutu Mbah Lastri sambil terus berjalan.

Entah mengapa, kali ini ia merasakan ada yang lain. Biasanya, meski Slamet pergi nggak pulang pulang juga ia tak terlalu peduli, karena itu memang sudah menjadi kebiasaan anak semata wayangnya itu. Tapi kali ini, ia merasa sangat khawatir, sampai sampai ia tak memperdulikan kedua kakinya yang mulai kebas karena berjalan seharian tanpa henti. Hanya istirahat sebentar untuk berteduh di sebuah gubuk di tengah sawah, saat hujan deras tiba tiba mengguyur sore tadi.

Sambil terus menggerutu, nenek tua itu terus berjalan, tanpa menyadari bahwa kedua kaki rentanya telah membawanya kedalam lebatnya alas Tawengan, seolah ada kekuatan yang menuntun langkahnya untuk masuk kedalam hutan angker itu. Jalan setapak yang basah licin karena sisa hujan sore tadi, tak menyurutkan niatnya untuk terus melangkah maju. Semak belukar ia terabas begitu saja, tanpa memperdulikan onak duri yang menggores kulit keriputnya.

Semakin lama, langkah Mbah Lastri semakin cepat, seiring dengan detak jantungnya yang juga semakin terpacu. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan bahwa sang anak memang berada di tempat itu, dan kondisinya sedang tidak baik baik saja. Hingga akhirnya, saat ia menerobos segerumbulan semak semak, langkahnya terhenti mendadak. Mata tuanya terbeliak lebar, menampakkan keterkejutan yang teramat sangat. Sebelah tangannya menutup mulutnya yang terbuka lebar, bermaksud untuk berteriak minta tolong. Namun alih alih sebuah teriakan, yang keluar dari mulutnya hanyalah suara jeritan lirih, seiring dengan tubuh rentanya yang jatuh terduduk di hadapan jasad sang anak yang sudah tak utuh lagi.

"Slameeeeetttt....!!!" tangis pilu perempuan tua itupun menggema ke seluruh penjuru hutan, mengagetkan seluruh satwa penghuni hutan. Seekor babi hutan dengan tubuh penuh luka yang tengah berlari kencang sampai berhenti tiba tiba saat mendengar suara tangisan itu.

Sejenak babi hutan itu mengendus endus, lalu dengan langkah sempoyongan berjalan menuju kearah asal suara tangisan itu. Dari balik semak semak, kedua mata babi hutan itu menyipit, memperhatikan sosok seorang nenek tua yang menangis meratapi sesosok mayat yang tergeletak tersandar pada sebatang pohon.

"Grrrrr...!!!" sosok babi hutan itu menggeram lirih, lalu tubuhnya tiba tiba menghilang, berubah menjadi segumpal asap putih yang melayang mendekat kearah sosok nenek tua itu, lalu tanpa sepengetahuan si nenek, asap itu amblas masuk melalui ubun ubun si nenek tua.

Tangis si nenek terhenti secara tiba tiba. Kedua matanya yang semula membanjir kini menyorot tajam, menatap ke arah sosok mayat yang tergeletak di hadapannya itu. Tanpa ragu si nenek tua itu lalu bangkit dan mendekat ke arah si mayat. Dan tanpa ragu juga, kedua tangan si nenek meraup isi perut si mayat yang terburai keluar dari luka koyak lebar di bagian perutnya, lalu dengan sedikit memaksa kembali memasukkannya kedalam perut. Luka koyak pada perut dan dada si mayat lalu ia bebat dengan kain setagen yang semula dikenakannya. Setelah semuanya selesai, ia lalu mengangkat dan menggendong mayat itu, dan melangkah pelan keluar dari hutan. Sinar purnama menerangi langkah si nenek, memantulkan sorot matanya yang kini nyalang dipenuhi dendam.

***

Kembali ke desa Kedhung Jati.

Tepatnya di area Tegal Salahan. Kang Mitro masih memamerkan kemenangannya setelah berhasil membunuh salah seekor babi hutan yang meneror desa, saat Mbah Mo mendekat dan mengingatkannya.

"Jangan merasa menang dulu Mitro! Kematianmu hanya ditunda sebentar," desis kakek tua itu tajam.

"Cih! Kakek sinting! Apa urusanmu ikut ikutan masalah di desa ini hah?!" sentak Kang Mitro kasar.

"Aku hanya mengingatkanmu Mitro! Perbuatanmu sudah melampaui batas! Tiga orang warga desamu mati sia sia hanya demi memenuhi ambisi konyolmu itu, dan kau masih bisa merasa bangga dengan hanya membunuh seekor babi hutan? Kemana hati nuranimu Mitro?!" dengus Mbah Mo tak kalah keras.

"Ini bukan urusanmu Mbah! Dan tak usah sok sokan ikut campur!"

"Selama menyangkut para penghuni alas Tawengan, itu menjadi urusanku Mitro! Karena aku yang bertanggung jawab atas wilayah itu. Perbuatanmu telah membuat penghuni alas Tawengan murka, dan itu membahayakan tidak hanya warga desaku, tapi juga warga desa ini!"

"Omong kosong!" dengus Kang Mitro sambil mendorong tubuh Modin desa Patrolan itu hingga terjajar beberapa langkah ke belakang. Sementara Pak Bayan Mangun, Pak Dul Modin, dan Bu Ratih saling pandang. Dari ucapan Mbah Mo barusan, baru mereka paham kenapa masalahnya bisa sampai serunyam ini. Tindakan Kang Mitro secara tidak sengaja telah mengusik para penghuni alas Tawengan.

"Cukup Kang Mitro!" Bu Guru Ratih yang sejak tadi diam, kini membentak dan maju. Emosinya sedikit tersulut melihat perlakuan kasar laki laki itu kepada Mbah Mo. "Semenjak tadi saya hanya diam dan mencoba bersabar dengan ulah sampeyan! Tapi perlakuan sampeyan kepada Bu Nengsih sudah diluar batas! Kalau sampeyan terus teruskan, terpaksa saya ikut campur!"

Bentakan Bu Ratih yang bernada tajam itu sukses menyurutkan kepongahan Kang Mitro. Laki laki itu mundur dua langkah ke belakang, sementara Bu Ratih menatap tajam ke arah keris yang masih digenggam oleh Kang Mitro.

"Saya kenal keris itu Kang! Dan kalau sampeyan pikir sampeyan bisa jadi jawara karena keris itu, itu salah besar! Ki Suryo, pemilik asli keris itu, yang juga adalah guru sampeyan, dulu saya yang menghabisinya di alas Tawengan! Dan sampeyan yang hanya muridnya, saya yakin, sampeyan tak sehebat laki laki tua itu!"

Kembali Kang Mitro mundur, sampai tak menyadari bahwa dari arah belakangnya datang seseorang sambil menggendong sesuatu.

"Bruk!" sosok itu menjatuhkan mayat yang digendongnya tepat dibelakang Kang Mitro, membuat laki laki itu terpekik kaget dan berbalik.

"Lho, Yu Lastri?!" seru Kang Mitro. "Dan ini...., Slamet kenapa?"

"Kenapa dhengkulmu mlocot itu!" sentak Mbah Lastri dengan suara serak. "Gara gara kamu Mitro, anakku jadi seperti ini! Dan kau harus menerima balasannya!"

Tanpa diduga duga, Mbah Lastri yang telah dirasuki oleh siluman babi itu segera menyerang Kang Mitro. Kedua tangan Mbah Lastri bergerak cepat mencengkeram dan mencekik leher sang adik. Kang Mitro yang tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak itu tak sempat menghindar.

"Heeeeggghhhh...!!!" Kang Mitro meronta, berusaha melepaskan cengkeraman tangan Mbah Lastri di lehernya. Namun siapa sangka, tangan kurus keriput milik Mbah Lastri yang terlihat lemah itu ternyata begitu kuat. Kang Mitro semakin meronta, saat merasakan tulang lehernya nyaris hancur dan nafasnya hampir putus.

"Gawat! Wak Dul! Pak Bayan! Bantu aku melerai mereka! Jangan sampai..."

"Jrrreeeebbbbzzzz...!!!"

"Heeegghhhh...!!!"

Belum selesai Bu Guru Ratih berteriak, kejadian tak terdugapun terjadi. Tangan Kang Mitro yang masih menggenggam gagang keris itu tanpa sengaja telah menusukkan keris itu ke perut Mbah Lastri. Perempuan tua itu terhuyung mundur. Cengkeramannya pada leher Kang Mitro terlepas. Kang Mitro yang menyadari perbuatannya segera memburu kearah kakak kandungnya itu.

"Yu Lastriiiii..!!! Duh Gusti! Kenapa bisa jadi begini sih?! Maafkan aku Yu, aku nggak sengaja! Kalau saja...!"

Penuh penyesalan, Kang Mitro mendekat dan mencoba untuk menolong kakak perempuannya itu. Namun diluar dugaan, saat Kang Mitro sudah dekat, Mbah Lastri mengangkat wajahnya dan meringis seram

"Hihihi...!!! Kau pikir bisa semudah ini membunuhku Mitro? Kalau aku mati, maka kau juga harus mati!" secepat kilat Mbah Lastri mencabut keris yang menancap di perutnya, lalu menghunjamkannya ke perut Kang Mitro.

"Yu... Las.... tri...," Kang Mitro tercekat. Wajahnya menegang menahan rasa sakit, saat Mbah Lastri menusukkan keris itu semakin dalam, menembus jantung laki laki itu. Tak puas sampai disitu, Mbah Lastri lalu mencabut kembali keris itu, dan menyabetkannya tepat ke leher Kang Mitro. Daras segarpun membanjir dari luka di perut dan leher Kang Mitro.

"Ini pembalasanku Mitro! Ini untuk anakku yang kamu sembelih!" jerit Mbah Lastri sambil menyabetkan keris itu ke leher Kang Mitro.

"Dan ini untuk suamiku!" kembali Mbah Lastri menyabetkan kerisnya ke perut Kang Mitro, membuat luka di perut laki laki itu semakin melebar dan menumpahkan semua isinya ke tanah.

"Dan ini untuk Slamet!" Mbah Lastri menjambak rambut Kang Mitro, lalu dengan kejamnya menggorok leher laki laki itu hingga kepalanya terpisah dari badan.

"Hihihihi...!!!" Mbah Lastri tertawa melengking sambil menenteng kepala adik kandungnya itu, melemparnya ke atas, lalu saat kepala itu kembali melayang turun, kaki perempuan tua itu menyambutnya dengan tendangan yang sangat keras, membuat kepala yang telah terpisah dari badannya itu melayang jauh dan jatuh ditengah tengah area persawahan

"Iblis terkutuk! Hentikan perbuatan bejatmu itu!" Bu Ratih yang tak sempat mencegah perbuatan Mbah Lastri yang memang dilakukan dengan sangat cepat itu berteriak marah. Perlakuan brutal makhluk yang merasuki Mbah Lastri benar benar sanggup membangkitkan amarah Bu Ratih. Sambil melompat ke depan Guru SD itu menggigit ujung ibu jarinya sampai mengeluarkan darah, lalu mengoleskannya pada tengkuknya. Samar samar, dari balik pakaian yang dikenakan oleh Bu Ratih memancar cahaya redup berwarna keemasan.

"Grrrrrr...!!! Kau lagi rupanya bocah?! Kebetulan! Dulu kau telah mengacak acak istanaku! Sekarang saatnya aku membalasnya!" Mbah Lastri yang masih menggenggam keris itu segera menyambut serangan dari Bu Ratih.

Pertarungan sengitpun terjadi. Bu Ratih yang terlihat kalem itu ternyata mampu bergerak dengan sangat lincahnya, menghindari sabetan keris dari Mbah Lastri yang datang secara membabi buta.

"Licik! Berani berlindung dibalik tubuh manusia yang lemah!" dengus Bu Ratih sambil terus berjumpalitan menghindar, sambil mencoba mencari kesempatan untuk balas menyerang

"Mbah Lastri, maafkan aku," desis Bu Ratih sambil melimpat dan bersalto diatas kepala perempuan tua itu. Sambil bersalto Bu Ratih menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Hawa hangat menjalar di kedua telapak tangan itu.

Masih berada diatas tubuh Mbah Lastri, Bu Ratih lalu menempelkan sebelah telapak tangannya di ubun ubun Mbah Lastri, lalu membuat gerakan seperti menarik sesuatu dari ubun ubun itu.

"Keluar kau iblis! Dan mari bertarung secara jantan!" teriak Bu Ratih.

"Grrooaaarrrr...!!!" tardengar suara geraman dahsyat dari mulut Mbah Lastri, sebelum akhirnya tubuh renta perempuan itu ambruk.

"Wak Dul! Pak Bayan! Cepat tolong Mbah Lastri! Mungkin masih bisa diselamatkan kalau cepat cepat dibawa ke rumah sakit!" teriak Bu Ratih sambil berlari kearah ladang salah seorang warga, seolah sedang mengejar sesuatu.

"Sudah kubilang kan, keponakanmu itu memang bisa diandalkan," gumam Mbah Mo sambil membantu Wak Dul menggotong tubuh Mbah Lastri yang terluka parah keatas motor Bu Ratih. Sementara Pak Bayan Mangun sibuk mengangkat mayat Slamet keatas motor tuanya.

"Pak Modin, bagaimana ini dengan mayat Kang Mitro? Mana ndak ada kepalanya lagi!" seru Pak Bayan sedikit bingung.

"Tnggalkan saja dulu Pak! Yang paling penting kita selamatkan dulu Mbah Lastri yang mungkin masih bisa diselamatkan. Saya akan segera membawanya ke rumah sakit. Sampeyan bawa dulu mayat si Slamet, nanti balik lagi kesini, ajak warga untuk mencari kepala Kang Mitro!" ujar Pak Dul Modin sambil menstarter motor Bu Ratih.

"Biar saya saja yang jagain mayat Mitro, sambil nyari kepalanya. Takutnya kalau ditinggal nanti dimangsa binatang buas lagi!" usul Mbah Mo.

"Bagaimana dengan Bu Ratih? Saya sedikit mencemaskan beliau!" seru Pak Bayan lagi.

"Tenang saja," Mbah Mo yang menyahut. "Dia itu lebih dari sekedar cukup untuk kita andalkan!"

Dan, ucapan Mbah Modin Patrolan itu bukanlah sekedar isapan jempol semata. Di tengah keremangan malam, Bu Ratih dengan sangat gesit mengejar makhluk siluman yang kabur ke arah barat daya. Sesekali ia melompat untuk menghindari gerumbulan semak atau batang pepohonan yang menghalanginya.

"Jangan kabur kau pengecut!" teriak Bu Ratih sambil terus berlari. Ada sedikit rasa cemas di hati Guru perempuan itu, melihat arah lari si siluman babi yang mengarah ke alas Tawengan. Kemungkinan buruk bisa saja terjadi, mengingat hutan Tawengan adalah sarang dari makhluk siluman itu. Apalagi ia cuma sendirian.

"Sial!" dengus Bu Ratih. Lari makhluk itu ternyata lumayan kencang. Bahkan kini keempat kakinya nyaris tak menyentuh tanah. Pupus sudah harapan Bu Ratih untuk mencegah makhluk itu masuk ke hutan.

"Mudah mudahan aku masih sanggup untuk menghadapinya," gumam Bu Ratih sambil memperlambat laju larinya. Makhluk itu kini hanya berjarak beberapa tombak di hadapannya. Dan seperti yang sudah ia duga sebelumnya, begitu memasuki kawasan hutan, makhluk itu bermanuver dengan sangat cepat. Masih terus berlari ia berbalik dan langsung menerjang ke arah Bu Ratih, dengan taring taring tajamnya yang mengarah ke leher jenjang milik sang guru.

"Whuuusss...!!!" suara desauan angin terdengar sangat jelas, menandakan kalau gerakan makhluk siluman itu sangatlah cepat. Tak sempat menghindar, Bu Ratih memapaki serangan itu dengan kedua tangan yang ia rentangkan ke depan.

"PRAAAAKKKK...!!!" terdengar suara berderak keras saat kedua tangan Bu Ratih berbenturan dengan kedua taring makhluk siluman itu.

"Grrrrrrrr...!!!" makhluk berwujud babi hutan itu terlempar ke belakang dan jatuh berguling guling. Sementara Bu Ratih juga terjajar mundur beberapa tindak sambil mengibas ngibaskan kedua tangannya yanh terasa kebas.

"Groaaarrr....!!!" seolah tak ingin memberi kesempatan kepada Bu Ratih, dengan cepat makhluk itu bangkit dan kembali menerjang ke depan. Bu Ratih yang lagi lagi tak sempat menghindar, kembali memapaki serangan makhluk itu dengan kedua tangannya.

Namun makhluk itu rupanya lumayan cerdas juga. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, saat serangannya nyaris beradu dengan kedua tangan Bu Ratih, makhluk itu lalu memutar tubuhnya agak miring ke kiri.

"Sial!" sentak Bu Ratih saat menyadari bahwa tangkisannya kini meleset. Makhluk itu meluncur bebas dengan taring tajamnya mengarah tepat ke leher sebelah kanan Bu Ratih.

Sadar bahaya mengancam dan tak sempat menghindar, Bu Ratih hanya bisa sedikit memiringkan kepalanya. Nyaris saja, telat sedetik saja mungkin leher Bu Ratih sudah putus diterjang taring tajam makhluk itu. Meski meleset, taring makhluk siluman itu masih sempat menggores tengkuk Bu Ratih. Juga pita pengikat rambutnya.

"Aaahhhhhh...!!!" Bu Ratih terpekik kecil. Ia jatuh terduduk dengan kepala menunduk dan rambut tergerai lepas. Rasa perih dan panas terasa menggigit tengkuknya. Darah segar merembes membasahi baju putihnya. Juga tato rajah yang ada di punggungnya.

Sementara si makhluk siluman yang kini telah mendarat di belakang Bu Ratih kembali berbalik dan siap menyerang. Namun gerakan makhluk itu tiba tiba terhenti, saat melihat perubahan pada lawan yang kini duduk membelakanginya itu.

Darah yang merembes dari luka di tengkuk Bu Ratih dan membasahi rajah di punggungnya, pelan pelan seolah terserap masuk kedalam kulit. Goresan goresan rajah itu lalu berpendar, memantulkan cahaya bulan purnama yang meneranginya. Hawa dingin tiba tiba menyelimuti arena pertarungan keduanya.

"Hihihi...!!! Kau melakukan kesalahan fatal!" sedikit gontai Bu Ratih lalu bangkit dan berbalik menatap ke arah lawannya. Jelas terlihat kini, dari balik lensa kacamatanya, nampak mata Bu Ratih juga berpendar memantulkan sinar kuning keemasan. Dengan rambut yang tergerai acak acakan yang sebagian menutupi wajahnya, penampilan guru perempuan itu nampak sedikit menyeramkan.

"Tindakanmu tadi itu...," sedikit terhuyung Bu Ratih melangkah maju. "Yang telah melukai dan menumpahkan darahku, justru akan menjadi malapetaka bagimu! Sekarang, ayo maju! Kita mengadu jiwa! Kita tentukan malam ini, aku atau kamu yang akan mati!"

Suara Bu Ratih yang kini terdengar dalam dan dingin itu membuat si makhluk siluman mundur beberapa tindak. Makhluk itu sadar, lawannya kini tak bisa dianggap enteng lagi. Dan itu bukan hal yang baik untuk dirinya. Maka, tak mau ambil resiko, makhluk itu lalu mendongak dengan mulut terbuka lebar, mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang Cumiakkan gendang telinga. Bersamaan dengan itu, angin tiba tiba berhembus kencang. Dari kejauhan terdengar suara bergemuruh seperti suara hentakan kaki ribuan pasukan yang mengarah ke tempat itu.

Ranting dan dahan pohon berayun ayun diterjang angin badai. Daun daun berguguran. Semak perdu porak poranda diterjang puluhan ekor babi hutan yang berlompatan keluar dari kegelapan hutan dan langsung mengepung Bu Ratih. Sementara si makhluk Siluman yang kini telah berubah menjadi sosok perempuan berwajah babi itu tertawa serak melengking.

"Khikhikhikhi....! Jangan merasa menang dulu bocah! Anak anak! Habisi manusia sombong ini!"

Serentak, puluhan ekor babi hutan itu menerjang kearah Bu Ratih. Tak gentar dengan serangan makhluk makhluk ganas itu, dengan sangat tenang Bu Ratih merentangkan kedua tangannya ke samping. Pelan namun pasti, cahaya kuning keemasan berpendar dari sekujur tubuh perempuan itu. Dan pelan namun pasti juga, tubuh Bu Ratih terangkat ke atas, melayang beberapa meter diatas tanah. Rambut panjang dan pakaian yang dikenakan oleh perempuan itu berkibar kibar dipermainkan angin yang masih bertiup dengan kencangnya. Matanya yang juga memancarkan cahaya kuning keemasan itu kini menatap bengis kearah lawan lawannya. Jelas terlihat aura kemarahan yang teramat besar terpancar dari sepasang mata itu.

"Makhluk makhluk rendahan! Jangan salahkan aku kalau malam ini akan menjadi akhir dari hidup kalian!" Bu Ratih menggeram marah. Pelan pelan tubuh dengan tangan yang masih terentang itu lalu berputar. Semakin lama semakin cepat, cepat, dan cepat. Hingga akhirnya tubuh yang masih melayang di udara itu tak terlihat lagi. Hanya menyisakan pendar sinar kuning keemasan yang lalu melesat cepat kesana kemari, menyambar satu persatu lawan lawan yang berada di bawahnya.

Jerit kematian melengking seiring dengan jatuhnya babi babi hutan itu meregang nyawa. Satu persatu makhluk makhluk malang itu tewas dengan tubuh hangus mengepulkan asap. Aroma daging gosong menyeruak memenuhi seluruh penjuru hutan. Tak butuh waktu lama, puluhan ekor babi hutan itu kini telah bergelimpangan kehilangan nyawa.

"Grooaarrr...!!! Beraninya kau ...!!!" melihat pasukannya dibantai habis dalam waktu sekejap, makhluk itu menggeram marah, lalu melesat ke udara, merubah wujudnya menjadi gumpalan cahaya kemerahan dan menerjang ke arah Bu Ratih.

"Hihihi...!!! Sekarang giliranmu siluman jelek!" tubuh Bu Ratih lalu kembali berputar, berubah menjadi pendaran cahaya keemasan yang segera melesat menyambut serangan dari sang lawan.

"Dhuaaarrrr...!!!" suara ledakan terdengar, saar kedua cahaya itu saling berbenturan lalu saling terpental le segala arah. Percikan percikan bunga api berpendaran menghiasi langit malam diatas hutan Tawengan.

Kedua gumpalan itu lalu kembali melesat dan berbenturan, lalu meledak dan terpental. Hal ini terus berulang sampai beberapa kali. Sampai akhirnya, setelah beberapa kali terjadi benturan, nampak kalau gerakan dari gumpalan cahaya kemerahan itu semakin melambat, sementara pendaran cahaya kuning keemasan terlihat semakin beringas. Sampai pada suatu kesempatan, sinar keemasan itu berhasil menerjang gumpalan cahaya kemerahan itu dengan telak, membuatnya jatuh terlempar ke tanah.

"Boooommm...!!!" Bumi bergetar. tanah tempat cahaya kemerahan itu jatuh melesak dalam, membentuk sebuah lubang besar dengan beberapa pohon besar disekelilingnya roboh bertumbangan. Si perempuan bermuka babi itu terkapar di dalam lubang sengan tubuh hangus mengeluarkan asap tipis. Namun sepertinya ia masih belum mau menyerah. Perlahan makhluk itu mencoba untuk bangkit kembali dengan bersusah payah. Namun Bu Ratih sepertinya tak mau memberinya kesempatan lagi. Diiringi dengan suara teriakan keras sinar kuning keemasan jelmaan Bu Ratih kembali melesat, menerjang sosok perempuan bermuka babi yang sedang berusaha bangkit itu.

"Matilah kau siluman laknat!!!"

"Bhuuuummmm...!!!"

Kembali bumi berguncang. Tanah yang dihantam cahaya keemasan itu melesak semakin dalam, membuat gumpalan gumpalan tanah itu terlempar berhamburan ke segala arah. Pohon pohon semakin banyak bertumbangan. Dan tubuh si perempuan bermuka babi kini telah hancur tak berbentuk lagi.

Cahaya keemasan itu lalu melesat keluar dari dalam lubang dan mendarat diatas tanah dan kembali berubah wujud menjadi sosok Bu Ratih. Matanya yang masih menyala keemasan itu menatap penuh dendam kearah bangkai makhluk siluman yang kini telah gepeng tak berbentuk itu, lalu dua buah cahaya keemasan melesat dari kedua mata perempuan itu, menghantam jasad sang siluman dan membakarnya habis sampai menjadi abu. Api berkobar menerangi tubuh Bu Ratih yang kini jatuh terduduk. Cahaya kuning keemasan yang memancar dari sekujur tubuhnya pelan pelan meredup, lalu padam bersamaan dengan ambruknya tubuh perempuan itu menghempas bumi. Baru terlihat kini, kondisi Bu Ratih juga tak kalah mengenaskan. Pakaian yang dikenakannya nyaris hancur terkoyak disana sini, memperlihatkan luka luka menganga di sekujur tubuhnya. Dadanya turun naik dengan cepat, seolah menahan agar nafasnya jangan sampai terputus.

Cukup lama Bu Ratih berada dalam posisi seperti itu. Sampai fajar menyingsing di ufuk timur, barulah perempuan itu bisa bangkit. Luka luka di sekujur tubuhnya dengan sangat ajaib merapat pelan pelan saat tertimpa sinar matahari pagi. Dengan langkah gontai perempuan itu lalu berjalan keluar dari hutan.

***

Pagi harinya.
Mendung hitam menggelayut langit desa Kedhung Jati, seolah ikut berduka atas meninggalnya lima orang warga desa itu akibat ambisi ngawur seorang Mitro. Kang Mitro sendiri tak luput ikut menjadi korban ambisinya. Laki laki itu tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

Jerit tangis dan ratapan pilu terdengar dari arah rumah Pak Bayan Mangun, tempat dimana jenazah para korban disemayamkan. Beberapa warga nampak sibuk mengurus jenazah jenazah itu. Sementara warga yang lain berbaris menuju ke pemakaman desa untuk menyiapkan liang lahat, tempat peristirahatan terakhir bagi para korban.

Kedatangan Pak Modin dari rumah sakit yang membawa sedikit kabar baik tentang Mbah Lastripun tak sanggup mengurangi duka para warga. Terutama keluarga para korban. Mereka terus menangis dan meratap, seolah tak peduli dengan suasana disekitarnya.

Sementara di sudut lain, seorang laki laki setengah baya nampak resah sambil menggendong sang anak yang terus terusan menangis. Pak Slamet, laki laki itu beberapa kali mondar mandir dengan wajah tegang, memikirkan keselamaran Bu Ratih, sang istri yang sampai saat ini belum terdengar juga kabar beritanyanya. Andai tidak dicegah oleh Pak Bayan Mangun, tentu sudah semenjak tadi laki laki itu menyusul sang istri ke hutan Tawengan.

"Percayalah Pak, Bu Guru Ratih pasti baik baik saja. Dia pasti mampu mengatasi masalah ini," demikian bujuk Pak Bayan Mangun.

Benar saja, bersamaan dengan terbitnya matahari, dari arah selatan, tepatnya dari arah Tegal Salahan, nampak sesosok perempuan dengan rambut acak acakan dan pakaian compang camping berjalan terhuyung huyung menuju ke arah desa. Beberapa warga segera menyambut dan memapahnya ke rumah Pak Bayan Mangun. Begitu juga dengan Pak Slamet. Mengetahui kondisi sang istri yang sangat mengenaskan itu, laki laki itu tak mampu menahan air matanya. Ia segera menurunkan sang anak yang tiba tiba berhenti menangis itu dari gendongannya, dan membantu sang istri untuk duduk.

"Bagaimana Bu?" tanya Pak Bayan Mangun tak sabar.

"Semua sudah selesai Pak. Makhluk itu sudah berhasil saya musnahkan. Kini warga tak perlu merasa khawatir lagi," jawab Bu Ratih pelan.

"Alhamdulillah!" hampir serempak warga berseru mengucap syukur. Wajah wajah tegang mereka mulai berangsur mereda. Tragedi berdarah yang terjadi hanya dalam waktu semalam dan merenggut banyak korban itu akhirnya bisa diakhiri juga.

Kini tinggal membereskan sisa sisa tragedi itu. Memakamkan para korban, dan memperbaiki kerusakan akibat hujan badai kemarin. Tak perlu ada yang dicemaskan lagi, meski tragedi ini akan menyisakan trauma dalam yang mungkin tak akan pernah bisa mereka lupakan seumur hidup.

Mereka hanya berharap, tragedi seperti ini tak sampai terulang lagi, dan desa mereka menjadi desa yang aman dan nyaman untuk ditinggali. Dan selama masih ada Bu Guru Ratih, harapan itu sepertinya bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan. Semoga saja!
[TAMAT]

*****
Sebelumnya
close