Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TUMBAL PEMBANGUNAN WADUK KEDHUNG JATI (Part 8)


JEJAKMISTERI - "Gayatri?!" Prabowo memicingkan matanya, menatap ke arah sosok berbaju putih yang duduk diatas batu besar itu. "Ngapain perempuan itu pagi pagi buta keluyuran di tempat seperti ini?"

Penasaran, Prabowo pelan pelan mendekat ke arah gadis itu. Alunan suara seruling yang ditiup oleh gadis itu semakin jelas terdengar, melantunkan lagu berirama syahdu yang terasa menyayat kalbu.

"Hai!" sapa Prabowo begitu sampai di tempat itu. Gayatri menghentikan permainan serulingnya, lalu menoleh dan tersenyum ke arah Prabowo.

"Apa yang kamu lakukan pagi pagi buta di tempat seperti ini?" tanya Prabowo sambil ikut duduk disebelah gadis itu. Aroma wangi kembang semboja menguar amar, menggelitik indera penciuman Prabowo. Wangi khas yang selalu tercium saat berada di dekat Gayatri

"Hanya menikmati suasana pagi, mungkin untuk yang terakhir kalinya," jawab gadis itu setengah mendesah. Ada nada sedih yang Prabowo rasakan dari ucapan gadis yang duduk disebelahnya itu.

"Ah," Prabowo tersenyum kecut. "Jangan terlalu melankolis begitu. Ini hanya sebuah batu, dan sebatang pohon. Tak perlu kau ratapi. Nanti setelah bendungan ini selesai, akan kubuatkan tempat bersantai yang lebih indah lagi, khusus untukmu."

"Jadi benar, hari ini kau akan menghancurlan batu ini dan menebang pohon trembesi ini?" tanya Gayatri sambil menatap ke tengah sungai dengan tatapan menerawang.

"Ya. Hari ini proyek akan dimulai. Dan pekerjaan pertama yang akan aku lakukan adalah menebang pohon ini, dan juga menghancurkan batu ini," jawab Prabowo.

"Ah, begitu ya," Gayatri bangkit berdiri, lalu melompat turun dari atas batu. Gerakan yang sangat gemulai. Tubuh gadis itu terlihat begitu ringan, seolah melayang dari atas batu. Bahkan tak terdengar sama sekali suara kakinya yang menjejak tanah. Cukup mengherankan seharusnya, mengingat bahwa antara permukaan batu itu dan permukaan tanah dibawahnya cukup tinggi. Namun Prabowo sepertinya tak menyadari kejanggalan itu.

"Hey, mau kemana?" seru Prabowo saat melihat gadis itu melangkah menyeberangi sungai, dengan langkahnya yang lemah gemulai.

"Hari hampir pagi! Aku harus segera pulang," jawab gadis itu tanpa menoleh.

"Tunggu!" Prabowo segera merosot turun dari atas batu dan mengejar gadis itu. "Dimana rumahmu?"

Tak ada jawaban. Gadis itu justru terus berjalan menaiki pematang sawah di seberang sungai sambil kembali meniup serulingnya. Langkahnya masih terlihat anggun dan lemah gemulai. Meski begitu, Prabowo yang mengejarnya dengan setengah berlari tak sanggup menyusul langkah gadis itu, sampai sosok itu menghilang diantara rimbunnya rumpun pohon pisang tempat Mbah Sumi kemarin mencari rumput. Ada yang tak disadari oreh laki laki itu, bahwa bersamaan dengan suara seruling yang ditiup oleh sang gadis, sesuatu nampak merayap disela sela rerumputan mengikuti langkah sang gadis. Sesuatu yang meliuk panjang dengan kulitnya yang hitam mengkilap. Sesuatu yang memperdengarkan suara mendesis samar. Sesuatu yang tidak hanya satu, tapi mungkin puluhan, atau ratusan?

"Sial! Cepat sekali dia menghilang!" gerutu Prabowo sambil menyibak rumpun ilalang yang tumbuh subur diantara batang batang pohon pisang itu.

"Aneh!" gumam Prabowo sambil menerangi sela sela tanaman pisang itu dengan senternya. "Tak mungkin..."

"Tap!"

"Sedang apa disini?!"

Prabowo sampai terlonjak kaget saat sebuah tangan tiba tiba menepuk pundaknya, disusul dengan suara serak seorang perempuan yang terdengar dari arah belakangnya. Sontak Prabowo berbalik.

"Ah, ternyata sampeyan Mbah," ujar Prabowo lega, saat mendapati Mbah Sumi, nenek pencari rumput yang kemarin ditemuinya di tempat itu, telah berdiri di belakangnya.

"Sampeyan ngapain disini?" tanya nenek itu dengan nada sedikit tak ramah.

"Eh, anu Mbah, saya..."

"Jangan dekat dekat dengan rumpun pohon pisang itu, atau kamu akan celaka!"

"Ce..., celaka?!"

"Banyak ular berbisa bersarang disitu. Kamu mau digigit ular ular itu?!"

"Ah," kembali Prabowo mendesah lega. Ternyata hanya ular. Ia kira celaka karena apa.

"Iya Mbah," Prabowo sedikit menjauh dari rumpun pohon pisang yang lebat itu. "Sampeyan sendiri, ngapain pagi pagi sudah disini Mbah!"

"Ini sawahku! Aku bebas kapan saja datang kesini!" sungut nenek itu ketus, seolah tak menyukai kehadiran Prabowo di sawah miliknya. Prabowo maklum, Gayatri kemarin bilang kalau nenek itu memang sedikit tak waras, jadi wajar kalau sikapnya juga sedikit aneh.

"Oh, jadi ini sawah punya simbah?" tanya Prabowo berusaha untuk bersikap ramah.

"Pergilah! Dan jangan pernah kembali ke tempat ini lagi! Ular ular itu, sepertinya sangat menyukai aroma tubuhmu!"

"Eh?!"
"Cepat pergi! Atau mereka akan mencelakaimu!"

"Eh, i..., iya Mbah!" tak mau berdebat, Prabowo segera meninggalkan nenek tua setengah waras yang masih terus menceracau mengucapkan kata kata yang tak terdengar jelas di telinganya itu.

"Dasar orang aneh!" sungut Prabowo saat sampai di seberang sungai kembali. Laki laki itu lalu bergabung dengan para pekerja yang sepertinya telah terbangun dan bersiap untuk memulai pekerjaan.

Sambil menikmati kopi hitam kental yang masih mengepulkan asap, Prabowo memberi pengarahan kepada para pekerjanya itu. Ia membagi pekerja itu menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, jelas bertugas untuk membagun pondasi bendungan. Dan tugas pertama mereka adalah menebang pohon trembesi dan menghancurkan batu besar itu.

Sementara kelompok kedua, bertugas mengggali saluran irigasi yang nantinya akan mengalirkan air dari bendungan ke sawah sawah milik warga. Sementara kelompok ketiga membuat jalan darurat dari desa ke area proyek, untuk memudahkan mengangkut material bahan bangun.

Para pekerja terlihat sangat bersemangat untuk memulai pekerjaan baru itu. Prabowopun tersenyum puas. Sepertinya proyek itu akan berjalan lancar. Tumbal kepala kerbau yang hilang dan sikap Gayatri yang tadi terlihat marahpun mulai sedikit terlupakan.

Sampai saat para pekerja memulai pekerjaannya, barulah Prabowo sadar, bahwa pekerjaan yang ia mulai, tak selancar yang diharapkannya.

"Ada apa?" tanya Prabowo saar Mandor Saman tergopoh gopoh kembali ke bedeng sambil membawa gergaji mesin dan mesin bor pemecah batu.

"Ngadat Boss," jawab Mandor Saman sambil meletakkan alat alat berat itu dilantai bedeng dan mulai mengotak atiknya. "Padahal masih baru."

Prabowo ikut berjongkok dan mengamati mesin mesin itu. Mandor Saman mencoba menyalakannya. Nyala. Tak ada masalah sama sekali.

"Edan!" gerutu Mandor Saman. "Tadi ngadat, kok sekarang nyala?"

Laki laki bertubuh kekar itu membawa kembali mesin mesin itu ke tempat batu besar dan pohon trembesi. Namun tak lama, ia membawa kembali peralatan itu ke bedeng.

"Kenapa lagi?" tanya Prabowo heran.

"Ngadat lagi Boss!"

"Kok bisa?'

" Nggak tau Boss! Tadi..., eh, apa apaan ini?" Mandor Saman terlihat kesal saat ternyata mesin mesin itu bisa dengan mudahnya ia nyalakan. Namun saat hendak digunakan, lagi lagi mesin mesin itu ngadat tak mau menyala. Hal itu berulang sampai beberapa kali, membuat Mandor Saman harus bolak balik dari bedeng ke bantaran kali.

"Ada yang ndak beres ini kayaknya Boss!" ujar Mandor Saman sambil mengusap peluh yang membanjir di wajahnya.

"Ndak beres bagaimana maksudmu?" tanya Prabowo.

"Ya aneh aja sih, saat di bedeng, mesin mesin ini bisa nyala dengan mudahnya, tak ada masalah sama sekali. Tapi saat hendak digunakan untuk menebang pohon dan memecah batu tiba tiba ngadat! Jangan jangan penghuni tempat ini marah karena tumbal yang hilang semalam Boss!" jawab Mandor Saman.

"Hush! Jangan sembarangan kalau ngomong Man," sanggah Prabowo mengingatkan. "Bisa kacau urusannya kalau sampai ucapanmu itu didengar oleh warga desa ini."

"Lha terus ini bagaimana Boss? Bisa nggak kelar kelar kerjaan kita kalau begini caranya."

"Ya sudah, kita tebang pakai kampak saja pohon itu, batunya kita pecah pakai hammer."

"Wah, bisa berhari hari baru kelar kalau begitu Boss. Batu sebesar itu..."

"Sudah, kerjakan saja, daripada nggak dikerjakan sama sekali."

"Siap Boss!" Mandor Saman lalu kembali ke bantaran sungai, dan memerintahkan anak buahnya untuk melaksanakan tugasnya sesuai arahan Prabowo.

Kasak kusuk mulai terdengar. Terutama dari pekerja yang berasal dari desa itu. Mereka mengait ngaitkan mesin mesin yang ngadat dengan keangkeran tempat itu. Namun perintah tetaplah perintah. Akhirnya pohon trembesi besar itu ditebang dengan menggunakan kampak, dan batu besar itu mereka pecah dengan palu besar.

Prabowo yang mulai resah terpaksa mengawasi para pekerjanya bekerja, takut sesuatu hal yang buruk akan terjadi, sampai melupakan janjinya kepada sang istri untuk kembali ke pondok saat waktu sarapan.

Sebuah kesalahan yang fatal, karena di pondok sana, sesuatu yang buruk juga sedang mengintai sang istri.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close