Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERTEMPURAN DI PUNCAK TENGGER


SAAT ITU MEMASUKI permulaan musim semi. Pohon-pohon yang dulu gundul tak berdaun kini kelihatan mulai menghijau segar kembali. Di bagian barat daratan Jawa Timur yang luas menjulanglah Gunung Tengger puncaknya yang tinggi seperti ingin menggapai langit. Matahari berada di titik tertingginya tanda saat itutengah hari tepat. Angin dari barat bertiup keras, menggoyang dan melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan hingga menimbulkan suara gemerisik yang keras.

Seorang pemuda yang masih terlihat belia berdiri di satu pedataran tinggi. Tak diperdulikannya terik sinar matahari. Tak diacuhkannya butir-butir keringat yang turun mendekati alis matanya yang tebal. Juga tak di perdulikannya hembusan angin yang keras. Seperti tak terdengar di telinganya suara gemerisik daun-daun pepohonan. Sepasang mata dan perhatian pemuda ini tertuju lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya menjulang Gunung Tengger.

Di puncak gunung itu tampak sebuah bangunan besar yang berwarna menghitam seperti sebuah bangunan tua yang tidak terurus, dikelilingi oleh pagar tinggi yang berwarna hitam juga. Pemuda ini tidak lain murid seorang pertapa sakti di puncak Gunung Bromo yang bernama Mahesa Chandra. Dia ditugaskan untuk merebut keris Kelabang Sewu dari tangan Warok Tunggul Ireng. Itulah tugas pertama yang dibebankan oleh gurunya.

"Apakah ini Perguruan Warok Tunggul Ireng?!" bertanya Mahesa Chandra sesampainya di depan gerbang bangunan besar di pucak Tengger. Dan dihadapannya, berdiri dua orang berbadan tinggi tegap bertelanjang dada. Sedangkan kawannya bertubuh kurus tinggi dengan bekas luka di pipi kanan. Beberapa tombak jauhnya dilihatnya antara belasan manusia-manusia berbadan tegap tengah berlatih kanuragan.

Si tinggi kekar tertawa.

"Kau memang sudah berada di perguruan yang kau cari! Perguruan dimana kau akan bisa belajar ilmu kanuragan dan kesaktian!"

"Aku kesini bukan untuk berguru. Aku mencari manusia bernama Warok Tunggul Ireng. Dimana aku bisa bertemu dengan orangnya!"

"Setan alas! Kowe berani sebut nama guru kami seenak perutmu! Terima mampus!"

Satu hardikan datang dari samping dan satu sambaran angin menderu ke arah leher Mahesa.

Pemuda ini cepat-cepat menyingkir kesamping. Ujung sebilah kelewang menderu di muka hidungnya!

"Tahan!" seru laki-laki bertubuh luar biasa tinggi kekar berpakaian serba hitam. Tampangnya beringas buas dan amat menyeramkan, ditutupi oleh berewok yang lebat yang tahu-tahu muncul dari belakang. Orang yang tadi menyerang dengan kelewang bersurut mundur. Si tinggi kekar pelototkan mata pada Mahesa Chandra.

"Bocah bau kencur!," katanya.

"Akulah Warok Tunggul Ireng! Kau masih punya waktu untuk memberi keterangan ada keperluan apa kau kesini!"

"Kedatanganku atas tugas guruku!"

"Hem... Aku sudah duga bahwa kau manusia dari dunia persilatan! Terangkan apa tugasmu dan siapa gurumu!" ujar si tinggi besar Warok Tunggul Ireng.

"Aku diperintahkan untuk mengambil Keris Kelabang Sewu yang telah kau rampas dari seseorang di lereng Gunung Merapi!"

Bagaimanapun Warok Tunggul Ireng menekan rasa terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan perubahan.

"Apakah hubunganmu dengan baik yang bernama Rana Wulung, kau anaknya?!" tanyanya membentak.

Mahesa menggelengkan kepala.

"Mana keris itu?! Lekas serahkan padaku!"

Meledaklah tawa bekakan Warok Tunggul Ireng. Tanah yang dipijak bergetar saking hebatnya suara tertawa yang disertai tenaga dalam itu.

"Nyalimu sungguh besar bocah!," kata Warok Tunggul Ireng seraya melangkah kehadapan Mahesa Chandra.

"Sreettt...!"

Tiba-tiba Warok Tunggul Ireng cabut keris Kelabang Sewu yang terselip di pinggang kirinya. Cahaya biru kemerahan memancar dari pamor keris ini. Dia hentikan langkahnya dua tombak dihadapan Mahesa lalu membentak,
"Lekas sebut kau punya nama! Aku tak biasa membunuh manusia dunia persilatan tanpa tahu namanya!"

***

Sebagai jawaban Mahesa Chandra meloloskan sebuah cemeti yang melingkar di pinggangnya. Cemeti itu memiliki panjang sekitar satu depa orang dewasa berhulu gading membentuk kepala naga yang mulutnya terbuka, berwarna kuning kecoklatan. Tatkala cemeti itu di lecut-lecutkan serangkum angin kencang muncul di sekitar Mahesa Chandra. Begulung-gulung seperti membungkus pemuda murid Resi Badranaya dari puncak Bromo.

Bagaimanapun Warok Warok Tunggul Ireng menekan rasa terkejutnya namun pada air mukanya jelas kelihatan perubahan.

"Apakah kau muridnya Resi Badranaya?!" tanyanya membentak.

Karena orang ini tahu cemeti yang di tangan pemuda di hadapannya itu merupakan senjata yang pernah menggemparkan dunia persilatan belasan tahun yang silam. Cemeti Naga Bumi senjata mustika andalan Resi Badranaya.

"Soal siapa guruku, itu tidak penting. Aku datang hanya untuk mengambil keris Kelabang Sewu. Kalau kau menghadapinya dengan kekerasan tak ada jalan lain aku harus melawan mu!"

"Ini ambillah!" keris Kelabang Sewu ditangan Warok Tunggul Ireng berkelebat mengeluarkan angin laksana topan dan selarik sinar biru kemerahan yang mendera ke arahnya!

Mahesa Chandra buang diri ke samping beberapa tombak! Kelabang Sewu menderu dahsyat menghantam pepohonan di belakang Mahesa. Pohon – pohon ini terbabat putus dan baik putusan yang mental di udara maupun yang masih tinggal tertanam di tanah, semuanya hangus menghitam. Mahesa Chandra terkejut juga. Di saat itu pula Kelabang Sewu menderu kembali. Mahesa Chandra kiblatkan cemeti yang ada di tangannya. Suara keras seperti guntur disertai dengan angin kencang terdengar setiap cemeti itu di lecutkan.

Sementara itu dia melihat bagaimana murid-murid Warok Tunggul Ireng yang ada menyingkir sejauh mungkin! Cemeti Naga Bumi dan keris Kelabang Sewu saling bentrokan! Warok Tunggul Ireng terjajar ke belakang. Tangannya kebas seperti membentur tembok tebal dan keras. Di lain pihak Mahesa Chandra tergontai-gontai dalam berdirinya. Tangannya berasa panas.

"Keparat!," maki Mahesa dalam hati.

"Hebat sekali keris Kelabang Sewu itu. Baru pertama turun gunung harus menghadapi musuh yang sakti seperti ini. Tapi aku yakin, aku bisa mengalahkan orang itu!"

Selarik sinar biru kemerahan datang bergulung-gulung. Suaranya seperti petir susul menyusul. Mahesa Chandra menjadi sibuk. Melompat kian kemari dengan cepat, jungkir balik di udara dan berguling di tanah. Semua itu untuk hindarkan diri dari serangan keris Kelabag Sewu yang ganas!

Dua jurus dimuka pemuda dari Gunung Bromo ini benar-benar dibikin sibuk sekali malah terdesak hebat dan di paksa bertahan mati-matian.
Warok Tunggul Ireng putar Keris Kelabang Sewu lebih cepat. Hujan sinar biru kemerahan macam hujan mengguyur yang tiada henti. Angin laksana topan menggebu tatkala Mehesa Chandra memutar dan melecutkan cemetinya. Mengimbangi dan menangkis serangan keris Kelabang Sewu.

Kini gerakan gerakan yang dibuat keris sakti buatan Empu Wanabaya itu tidak leluasa seperti tadi lagi. Keris Kelabang Sewu tertahan dalam telikungan kumparan angin yang dibuat oleh cemeti Naga Bumi ditangan Mahesa Chandra. Bagaimanapun Warok Tunggul Ireng rubah jurus-jurus silat dan percepat permainan kerisnya tetap saja dia merasa semakin kepepet.

"Terima jurus Petit Naga ini Warok Tunggul Ireng!" seru Mahesa Chandra.

Warok Tunggul Ireng hanya mendengar suara Mahesa Chandra saja. Serangan Mahesa Chandra yang bernama jurus Petit Naga itu sama sekali tidak sanggup dilihatnya karena cepatnya. Dan tahu-tahu cemeti Naga Bumi telah melilit erat tangan kanannya. Warok Tunggul Ireng mencoba melepas lilitan itu. Akan tetapi, lilitan itu begitu erat bagai ular yang siap meremukkan mangsanya. Sekali sentak maka...

"Craasss...!"

Lalu terdengar lolongan Warok Tunggul Ireng. Keris Kelabang Sewu terlepas dari tangan kanannya. Tangan kanan itu sendiri tercampak ke tanah, buntung dibabat cemeti Naga Bumi sampai sebatas bahu. Darah menyembur kental dan merah. Warok Tunggul Ireng macam orang gila menjerit-jerit dan lari sana lari sini, seradak seruduk macam celeng!

Ujung cemeti Naga Bumi kembali mencari mangsa. Laksana ekor ular naga cemeti itu menghajar rahang Warok Tunggul Ireng dengan telak. Tubuh orang itu pun mencelat dan berguling-guling sampai beberapa saat di muka namun kemudian ketika nyawanya lepas, maka tubuh itupun menggeletak tak berkutik lagi. Warok Tunggul Ireng mati dengan rahang hancur dan tubuh menelentang mulut berbusa serta mata melotot ke langit. Sungguh menggidikkan memandang tampangnya!

Melihat gurunya mati di tangan pemuda yang tidak di kenal. Seorang murid yang sepertinya merupakan murid tertua serta merta berseru

"Kawan-kawan! Mari berebut pahala menghabiskan nyawa busuk bocah edan ini!"

Habis berkata begitu dia keluarkan suara melengking hebat dan dua puluh manusia laksana lingkaran air bah datang menyerang. Mahesa Chandra membentak dahsyat. Puncak Tengger itu serasa bergoncang, liang-liang telinga laksana ditusuk! Meskipun hati tergetar namun ke dua puluh murid Perguruan Tunggul Ireng itu terus juga menyerang! Puluhan senjata tajam berserabutan!

"Manusia-manusia tolol! Pergilah!" teriak Mahesa Chandra.

Cemeti di tangannya diputar diatas kepala, demikian cepatnya laksana titiran. Serangkum angin menderu-deru angin dahsyat disertai hawa panas yang menyengat pori-pori. Pasir beterbangan, daun-daun pepohonan luruh gugur. Puncak Tengger laksana dilanda badai yang maha dasyat. Dua puluh murid Perguruan Tunggul Ireng yang paling depan merasakan tubuh mereka seperti ditahan oleh dinding keras yang tak dapat dilihat mata. Kejut mereka bukan main. Dan belum lagi habis kejut itu. Mahesa Chandra tiba-tiba membentak sekali lagi! Kedua puluh orang murid Tunggul Ireng berpelantingan laksana daun kering disapu angin berserakan di tanah!

Di saat itu Mahesa Chandra sudah melangkah kehadapan murid-murid Tunggul Ireng.

"Kalian semua sudah lihat sendiri betapa mengerikan kematian itu!" seru Mahesa dengan suara lantang.

"Kuharap ini menjadi pelajaran yang baik. Berjanjilah bahwa kalian mau meninggalkan gunung ini, untuk apa kalain berguru di sini. Hanya untuk dididik menjadi rampok, begal dan maling. Banyak pekerjaan baik seperti jadi nelayan, petani atau berdagang!"

Hening sejenak. Salah seorang anggota bajak tiba-tiba jatuhkan diri berlutut. Kawan-kawannya juga kemudian menyusul berlutut. Pemuda dari Gunung Bromo ini hanya geleng-geleng kepala. Dipungutnya keris Kelabang Sewu yang tercampak ke tanah. Lalu disisipkan ke pinggangnya yang disitu sudah terlilit cemeti Naga Bumi. Langkahnya ringan menuruni puncak Tengger.

BERSAMBUNG
close