RUMAH DUKUN (Part 1)
JEJAKMISTERI - Dulu.. awalnya gak tau kalau rumah yang sering saya kunjungi itu ternyata Rumah Dukun. Baru tau pas Mak Eti bilang, 10 tahun kemudian.
Jujur, kalau diliat dari luar rumahnya biasa aja. Adem banget. Apalagi posisinya tak jauh dari Masjid, tinggal guling-guling aja nyampe.
“Dulu rumah itu tempat dukun terkenal,” ucap Mak Eti yang kebetulan tempat tinggal masa kecilnya gak jauh dari lokasi. “Makanya udah berkali-kali ganti kepemilikan dan dipake usaha pada gagal.”
Pengaruh negatifnya masih kuat, padahal sudah puluhan tahun berlalu. Sekarang, bentukan rumahnya sudah dirombak, jadi lebih modern.
Kesan bangunan lamanya jadi memudar. Semoga saja kesan horornya juga begitu. Sempet bertanya ke orang yang kerja di sana. Dia ngerasa aman-aman saja, gak ada gangguan.
***
Kemaren malam, jalan-jalan sama Mak Eti ke mol. Nah kebetulan, mobil Grab-nya ngelewatin tuh rumah. Ternyata, sekarang rumah makannya udah gak ada, ganti sama usaha lain. Auto nge-ghibahin tuh rumah deh di mobil.
“Susah itu, selama gak dirombak semuanya, bakal mandek terus usahanya,” ucap Mak Eti.
“Iya, apalagi lantai dua-nya masis Eksis,” sahut Saya.
“Kan emang tempat prakteknya di lantai dua. Harus diruntuhin dulu tuh. Biar penghuninya pada kabur atau pindah.”
“Mak, kenal sama dukunnya?”
“Kagak kenal, tapi sering maen bareng anaknya.”
“Pernah masuk ke dalem?”
“Belum, males.”
“Jangan deh! Emang hawanya gak enak banget.”
Mas-mas Grabnya auto nyimak doang.
**
Ayah berlari ke arah jendela, "HAMID!" panggilnya. Rasanya tak mungkin jika Hamid melompat ke bawah. "HAMID!"
Kami pun berlari ke bawah. "Ada apa, Yah?" tanya Ibu yang baru saja ke luar kamar.
"Hamid gak ada, Bu!" sahut Ayah.
"Nggak ada gimana?"
"Nggak ada di kamarnya!"
"Mungkin lagi di kamar mandi."
"Nggak ada, Bu!" sahutku.
"Tadi kamarnya dikunci, pas Ayah dobrak, Hamid gak ada di dalem. Cuman jendela kamarnya kebuka," imbuhku.
"Ya Allah, Hamid..."
Ayah berlari ke pintu depan, lalu ke luar rumah. Sementara aku dan ibu mencari keberadaan Hamid di dalam rumah.
Kami mencari hampir di setiap sudut rumah, tapi Hamid belum juga ketemu.
"Apa mungkin di dalam gudang?" ucapku.
"Nggak mungkin. Gundangnya kan dikunci," balas Ayah.
"Terus Hamid ke mana? Malem-malem gini." Suara ibu bergetar menahan tangis.
"Coba dicek lagi di atas," usul Ayah.
Kami pun naik ke lantai dua. Pertama mencari di dalam kamarku. Nihil. Kemudian di kamar Hamid.
"Hamid!" teriakku saat mengintip ke kolong kasur, ada Hamid sedang tertidur pulas. Kuraih tubuhnya, lalu menariknya ke luar. "Mid!" panggilku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Ayah mengangkat tubuh kecil adikku itu ke kasur. Hamid pun membuka mata. "Alhamdulillah."
"Hamid ngapain tidur di bawah?" tanya Ibu.
Wajah Hamid tampak bingung. Ibu mengelus rambutnya perlahan.
"Hamid kenapa tidur di kolong kasur?" tanyanya lagi.
"Hamid tidur di kasur, Bu," balas Hamid.
"Tapi tadi..."
"Udah, Bu," sela Ayah.
"Hamid malam ini tidur sama kakak aja, ya," ucapku.
"Iya, Hamid tidur sama kakak Arsyad aja." Ibu pun setuju.
"Mid," ucapku sembari membaringkan tubuh di sampingnya.
"Ya, Kak," balasnya.
"Lain kali, kalau tidur jangan dikunci pintunya."
"Hamid gak ngunci pintunya."
"Hmm, jendelanya kalau malem ditutup."
"Hamid gak berani deket jendela, Kak. Takut."
"Takut kenapa?"
"Ada bayangan item gede deket jendela, Kak."
"Hiy, serem. Ya udah, yuk tidur aja." Kutarik selimut, lalu menaruh guling di pinggir kasur. Agar pandanganku tidak langsung ke arah jendela.
"Oh ya, Kak. Hamid juga mimpi."
"Mimpi apa?"
"Ada monster gede di kamar kakak."
"Monster gede kaya gimana?" tanyaku, penasaran.
"Serem pokoknya, Kak. Tapi kakak tenang aja, monsternya udah Hamid usir."
"Wah hebat, gimana caranya?"
"Hamid tusuk perutnya!"
"Ditusuk? Pake pensil?"
"Iya. Kok kakak tau?"
"Kakak cuman nebak."
Monster besar. Apa mungkin yang Hamid maksud adalah aku? Argh! Sebenarnya ada apa dengan rumah ini! Sekarang, satu-satunya cara untuk mengetahui tentang rumah ini adalah warga sekitar sini.
"Syad, bangun. Sholat subuh." Dalam keadaan mata masih rapat, kudengar suara ayah.
"Iya, bentar lagi," gumamku.
"Udah mau jam enam loh. Ayo, sholat dulu."
Kubuka mata, melihat Hamid sudah tak ada di sampingku. "Hamid ke mana, Yah?"
"Ada di bawah."
"Oh." Aku pun bangkit, duduk di pinggir kasur. Kemudian berjalan ke bawah untuk mengambil wudhu. Sepintasku berpikir, kenapa rumah sebesar ini kamar mandinya hanya ada satu.
Setelah sholat subuh, aku bergabung dengan ayah dan Hamid, duduk di ruang tengah. "TV-nya belum dipasang, Yah?" tanyaku.
"Belum. Nanti tunggu tukang listrik aja dulu. Biar sekalian dicek."
"Hamid pengen nonton kartun, Yah," ucap Hamid.
"Nonton kartunnya ntar siang aja," sahutku.
"Nonton di laptop kakak aja."
"Di sini internetnya lambat banget. Kayanya musti ganti kartu. Ayah lambat juga gak?" tanyaku.
"Punya ayah juga gitu."
"Tuhkan. Sebelum senin harus buru-buru ganti kartu. Nanti Arsyad gak bisa sekolah online."
"Pake punya ibu aja dulu," sahut Ibu yang sedang memasak di dapur.
"Nah tuh, pake punya ibu aja. Daripada kamu jalan jauh ke depan buat beli kartu," timpal Ayah.
"Nggak apa-apa, Yah. Sekalian jalan-jalan liat daerah sini."
Setelah sarapan, aku pun pergi ke luar untuk mengembalikan cangkul. "Yah, Ayah!" panggilku seraya masuk ke dalam rumah.
"Ada apa, Syad?" sahut Ayah dari dalam kamar.
"Cangkul yang kemaren, disimpen di mana?" tanyaku.
"Di deket kursi teras."
"Nggak ada."
"Kamu cari yang bener."
"Aku dah cari di teras sampe halaman depan. Cangkulnya gak ada."
"Loh? Masa sih?"
Kami pun sama-sama mengecek ke teras. "Kemaren ayah yakin banget simpen di sini."
"Iya, tapi sekarang gak ada. Mana cangkulnya punya tetangga lagi," gerutuku.
"Coba kamu cari di samping rumah. Ayah tanya ke ibu, siapa tau dipindahin."
"Masa cangkul bisa jalan-jalan sih, Yah."
"Cari aja dulu," ucap Ayah, sembari masuk ke dalam.
Aku pun melangkah ke samping rumah yang masih ditumbuhi rumput. "Gimana cara nyarinya. Rumputnya aja masih tinggi-tinggi," gumamku.
Kuhentikan langkah, tepat di jendela samping yang mengarah ke ruang tengah.
Tuk! Tuk! Tuk!
Kuketuk jendelanya, sembari memanggil ayah yang sedang berdiri di dapur. "Ayah!"
Srek! Srek!
Terdengar punyi gesekan rumput. Spontanku menoleh ke sumber suara. Terlihat ada anak kecil mengintip dari balik tembok belakang rumah. Ia langsung berlari saat pandangan kami beradu.
"Hey!" panggilku seraya mengejarnya. Ia berlari begitu cepat, masuk ke dalam kebun di belakang rumah. "Hey! Tunggu!" teriakku.
Argh! Brug!
Aku terjatuh, tersandung sesuatu.
"Hua!" teriakku saat melihat ada sebuah makam di hadapan. Makam dengan nisan batu tanpa nama.
Tak lama kemudian, tercium bau busuk yang menyengat. Aku pun berdiri, mencari sumber bau tersebut.
"Astaghfirullah!" Ternyata bau itu berasal bangkai kucing yang kukuburkan kemarin. Lengkap dengan cangkul yang tergeletak di dekatnya.
Apa mungkin ini ulah anak yang tadi?
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya