RUMAH DUKUN (Part 2)
JEJAKMISTERI - Buru-buru kuambil cangkul itu, kemudian berlari ke depan rumah. "Ayah! Ayah!" teriakku seraya masuk ke dalam.
"Ada apa, Syad?" tanya Ayah.
"Di be-la-kang," balasku terbata, seraya mengatur napas.
"Di belakang kenapa? Kalau ngomong yang jelas."
"Di belakang ada kuburan!"
Ayah duduk di sofa, "Oh, Ayah kira apaan," ucapnya santai. Aku pun heran dengan sikapnya.
"Duduk dulu, Syad. Tenang." Ayah memintaku duduk di sofa."Bu, ambilin minum buat Asryad. Kasian mukanya ampe pucet gitu."
Aku duduk di sofa. Tak lama ibu memberiku minum sambil tersenyum. "Arsyad kan gak pernah tinggal di desa, Yah," ucapnya kemudian berlalu ke dapur.
"Jadi gini, Syad. Di desa itu udah biasa kalau ada kuburan di halaman depan atau belakang rumah. Jadi, kamu gak usah takut."
"Emangnya di sini gak ada pemakaman?" tanyaku.
"Ada, tapi banyak anggota keluarga yang memang pengen selalu deket sama makam keluarganya. Mungkin, yang di belakang itu, salah satu makam anggota keluarga yang pernah tinggal di sini," jelas Ayah.
"Terus, kenapa cangkulnya ada di belakang? Apa semalem ayah simpen di sana?"
"Ayah gak simpen di sana."
"Kalau ibu?" tanyaku pada Ibu yang sedang mencuci piring.
"Ibu belum pernah ke belakang rumah," sahutnya.
"Terus siapa yang simpen cangkul di belakang, deket sama makam. Mana bangkai kucing yang kemaren aku kubur juga ada di sana," ucapku.
Ayah terdiam, sepertinya ia memikirkan sesuatu.
"Udah, gak usah dipikirin. Mungkin ada orang iseng."
Orang iseng. Aku jadi ingat dengan anak kecil yang berlari ke arah kebun.
"Tadi, aku liat ada anak kecil di belakang rumah. Pas aku kejar, dia lari ke kebun belakang."
"Nah kan, pasti ada orang iseng."
"Emangnya kita salah apa, Yah? Apa warga sekitar sini gak suka kita pindah ke sini?"
"Kamu inget muka anak kecilnya, gak?"
"Aku cuman liat sekilas aja."
"Nanti ayah tanyain ke RT atau tetangga deket sini."
"Iya, Yah." Kuedarkan pandangan, mencari keberadaan Hamid. "Hamid ke mana, Yah?" tanyaku.
"Ada di kamarnya."
"Aku ke kamar juga deh," ucapku, seraya berdiri, lalu berjalan ke kamar.
Sesampainya di lantai dua, aku mengintip kamar Hamid. Ternyata ia sedang tidur. Kemudian, kembali ke kamarku.
Kurebahkan badan di atas kasur, sembari memikirkan rakaian kejadian yang menimpaku. Apa benar anak kecil itu pelakunya?
Perasaan, aku tidak melihat ada orang lewat saat mengubur bangkai kucing itu. Jika memang ia pelakunya. Apa alasannya sampai melakukan hal seperti itu?
Cahaya matahari menyorot mataku yang sedang tertidur. Silau sekali. Kuraih ponsel di atas nakas. Sudah pukul satu siang.
Mataku tertuju pada tulisan di sudut kiri atas layar ponsel. Edge. Spontan, aku menghela napas. Bagaimana bisa tempat yang tak begitu jauh dari kota, tapi tak terjamah sinyal internet 4G. Kalau sudah begini, bakal susah untuk sekolah online.
Aku bangkit, lalu berjalan ke kamar mandi. "Masih gelap aja," gumamku, seraya masuk untuk mengambil wudhu.
Setelah sholat dzuhur, aku berniat untuk mengembalikan cangkul. "Bu, aku balikin cangkul dulu, ya," pamitku pada ibu yang ada di kamar. Namun, aku tak melihat ayah. "Ayah ke mana, Bu?"
"Lagi ke luar cari tukang listrik."
"Loh, bukannya kemaren udah janji siang ini dateng?"
"Iya, cuman tiba-tiba dibatalin."
"Oh, ya udah, aku ke rumah tetangga dulu."
"Iya."
Aku pun ke luar rumah, mengambil cangkul yang tergeletak di teras. Kemudian berjalan ke rumah tetangga yang kemarin.
"Assalamualaikum," salamku.
"Walaikumsalam," sahut Seseorang dari dalam rumah. Ternyata itu bukan ibu yang kemaren, melainkan seorang anak perempuan seumuranku
"Ini mau balikin cangkul," ucapku.
"Simpen aja di samping."
Aku simpan cangkul itu di samping rumah. Saat berjalan kembali ke depan rumah, aku berpapasan dengan ibu yang kemarin.
"Udah dibersihin belum?" tegurnya dengan nada agak tinggi.
Ya ampun, aku lupa membersihkannya. "Maaf, saya lupa, Bu."
"Kan udah ibu bilang, jangan sampe ada sedikit pun tanah dari rumah itu yang kebawa ke sini."
"Emangnya kenapa sih, Bu?" tanya Anak perempuan tadi.
"Tanah rumahnya itu terkutuk, ibu takut kalau keluarga kita kenapa-napa."
"Loh? Emang kamu tinggal di Rumah Dukun?" Anak perempuan itu bertanya padaku.
"Iya, baru pindah ke sana, kemaren," balasku.
"Pantes, mending kamu cuci dulu sampe bersih," pintanya.
"Padahal kemarin udah ibu kasih tau," gerutu Ibu itu.
"Maaf, Bu. Saya bener-bener lupa." Aku pun membawa cangkul itu kembali ke rumah.
"Kenapa dibawa lagi, Syad?" tegur Ibu.
"Belum dibersihin," sahutku seraya berlari ke kamar mandi. Namun lupa, kalau kamar mandi tidak ada lampu. Kuambil ember, lalu mencucinya di teras.
Ibu berjalan ke luar, "Harus banget dibersihin gitu, Syad?" tanyanya.
"Iya, Bu. Kemaren udah dikasih tau, cuman aku lupa. Harus bersih banget sampe gak ada tanah sedikit pun."
"Astaghfirullah, masa sampe segitunya."
"Iya, Bu. Katanya tanah rumah ini terkutuk."
"Ya Allah. Kok tega banget bilang begitu. Biar ibu aja nanti yang balikin."
"Nggak usah, Bu. Biar Asyrad aja."
"Kalau mereka gak suka kita tinggal di sini kan bisa ngomong langsung. Gak perlu sampe ngatain tanah di sini terkutuk."
"Iya, Bu. Aku balik ke sana lagi, ya." Kuamati cangkul itu berkali-kali, sudah bersih. Tak ada sedikitpun tanah yang tertinggal.
"Assalamualaikum," sapaku, saat melihat anak perempuan tadi sedang duduk di teras.
"Walaikumsalam, udah bersih?"
"Udah."
Kusimpan cangkul itu, "Makasih, ya," ucapku.
"Iya, maaf kalau omongan ibu begitu."
"Iya, gak apa-apa."
"Soalnya ibu masih trauma sama kejadian delapan tahun lalu."
"Kejadian apa?"
"Gara-gara aku gak sengaja maen di halaman depan rumah itu."
"Cuman gara-gara itu?"
"Iya."
"Sa!" Terdengar suara ibunya memanggil dari dalam rumah.
"Iya, Bu," sahutnya, seraya beranjak dari kursi. "Oh ya, siapa nama kamu?" tanyanya.
"Arsyad," balasku.
"Namaku Risa. Lain kali aku ceritakan kejadiannya."
"Oke."
Risa masuk ke dalam rumah. Kini aku sangat penasaran mendengar ceritanya. Agar aku bisa tau alasan ibunya menyebut tanah rumahku terkutuk.
**
“Bu, aku pinjem HP-nya dong," pintaku saat kembali ke rumah.
"Di kamar, ambil aja," sahut Ibu dari ruang tengah.
Kuambil ponsel ibu yang tergeletak di atas kasur. Kemudian berlari ke kamarku. "Eh, Syad. Tadi tetangga itu bilang apa?" tanyanya, membuatku menghentikan langkah.
"Nggak bilang apa-apa. Kan udah bersih cangkulnya."
"Oh, ibu jadi pengen liat mukanya."
"Buat apaan emang, Bu."
"Pengen liat aja muka tetangga jahat kaya gitu."
"Kalau ibu itu jahat, gak mungkin mau minjemin kita cangkul, Bu."
"Tetep aja, omongannya, gak enak didenger."
"Aku ke atas dulu, Bu."
"Kalau udah dipakenya, balikin lagi ke kamar."
"Iya, Bu."
Sesampainya di lantai dua, "Mid!" panggilku seraya membuka pintu kamar Hamid.
"Iya, Kak," sahutnya yang sedang duduk di lantai, sambil bermain mobil-mobilan.
"Mau nonton kartun, gak?"
"Mau, Kak!" Hamid langsung berdiri dengan semangat.
"Yuk!" Aku mengajaknya ke kamarku.
Kuletakan laptop di atas kasur, kemudian menggunakan ponsel ibu sebagai modem internet. "Mau nonton kartun apa?" tanyaku sambil membuka youtube.
"Terserah, Kak," sahutnya.
Kubuka video kartun kesukaannya, lalu kami pun menonton bersama.
Saat sedang asik menonton, tiba-tiba listrik padam. "Yah, mati lampu, Mid," ucapku.
"Iya, Kak."
Aku turun ke bawah memastikan apakah benar-benar mati lampu. "Ayah udah pulang," ucapku saat berpapasan dengan ayah yang akan masuk ke kamar mandi.
"Iya, Syad."
"Listriknya mati?"
"Sengaja ayah matiin dulu."
Ayah naik ke atas bak mandi. "Loh, kok ayah yang kerjain sendiri? Tukang listriknya mana?" tanyaku.
"Nggak ada, Syad," balas Ayah seraya memasang lampu. "Coba kamu pencet sakelarnya," perintahnya.
Tek!
Lampu tidak menyala. "Eh, kan listriknya mati," ucap Ayah. "Coba kamu nyalain dulu di depan."
Aku berlari ke depan rumah, lalu menyalakan meteran. Namun, lampu kamar mandi, tetap saja mati. "Kayanya aliran listrik di kamar mandinya rusak," ucap Ayah.
"Yah... gelap-gelapan lagi," sehutku kecewa. Jujur, aku masih trauma dengan kejadian kemarin malam.
"Mau gimana lagi, ayah udah cari tukang listrik ke sana ke mari, tapi gak ada yang mau datang ke sini."
"Kok pada begitu, Yah?"
"Ayah juga gak ngerti. Ada yang bilang takut kenapa-napa lah. Ada yang males benerin listrik di Rumah Dukun lah."
"Tetangga sini juga pada takut sama rumah ini, Yah. Malahan sama sebutir tahan rumah ini aja takut."
"Ah kamu jangan ngada-ngada."
"Beneran, Yah. Ibu yang kemarin minjemin aku cangkul, gak mau ada sedikit pun tanah dari rumah ini. Katanya tanah terkutuk."
"Astaghfirullah."
"Makanya ibu pengen banget ketemu tuh orang," sahut Ibu yang tiba-tiba muncul.
"Udah... jangan gitu. Kita ini baru pindah jangan cari musuh. Biarin aja mereka mau ngomong apa," balas Ayah.
"Tapi keterlaluan banget sampe bilang tanah terkutuk."
"Iya, sabar, Bu. Sekarang mending siapin makanan." Ibu berlalu ke dapur. "Panggil Hamid, Syad."
Aku pun memanggil Hamid yang masih ada di kamarku. Setelah itu, kami turun bersama untuk makan siang.
Malam sudah begitu larut, sementara aku masih duduk di depan laptop, sambil mengerjakan tugas sekolah untuk besok. Ditemani suara rintik hujan dan petir yang bersahutan. Membuat lampu di kamar redup-terang. "Jangan mati lampu dong," doaku dalam hati.
Angin dingin mulai terasa dari lubang-lubang ventilasi di atas kaca jendela. Dari sudut mata, terlihat gordin yang bergerak tak beraturan karena tertiup angin. Namun, aku tetap berusaha fokus menatap layar laptop.
Saat sedang asik mengetik, tiba-tiba tercium bau melati yang menyengat. Spontan, bulu kudukku langsung meremang. Perlahan aku menengok ke belakang. Tidak ada apa-apa.
Kriet!
Pintu kamar terbuka. Dengan gerakan cepat, aku menoleh ke belakang.
"Hamid?" tanyaku, saat melihat tak ada siapa-siapa di luar.
"Jangan iseng deh, Mid." Namun, Hamid tidak juga muncul. Lantas siapa yang membuka pintu?
Hi ~ aku pun kembali merinding. Terpaksa bangkit dari kursi, lalu berjalan ke arah pintu untuk menutupnya. "Baaaaa...." Tiba-tiba Hamid muncul, mengagetkanku. Saat akan menutup pintu.
"Aaaa!" teriakku. "HAMID!" ucapku, kesal. Ia malah tertawa. "Udah malem gini, bukannya tidur!" omelku.
"Dingin, Kak. Hamid pengen kencing," balasnya.
"Kan tinggal kencing di bawah."
"Takut, Kak. Kamar mandinya gelap. Anterin."
Benar juga sih, aku pun takut kalau pergi ke kamar mandi sendirian malam begini. Mana hujan pula. "Yaudah, yuk!"
Aku mengambil ponsel, lalu turun ke bawah. "Mau kakak sorot pake lampu, gak?"
"Nggak usah, Kak."
"Beuh, sok berani!"
"Pintunya kan aku buka." Hamid tersenyum lalu berbelok ke kamar mandi.
"Kakak tunggu di sini," ucapku sembari duduk di anak tangga samping kamar mandi.
Lama sekali Hamid di dalam. Tak terdengar pula suara percikan air. "Udah belum?" tanyaku.
"Belum, Kak," sahutnya.
"Lama amat!"
"Gayungnya ada di dalem bak."
"Ya ambil aja!"
"Nggak bisa."
Ah, aku lupa kalau bak kamar mandinya cukup tinggi, sehingga tangan Hamid tidak akan sampai. Terpaksa, aku berdiri, lalu menghampirinya di kamar mandi.
"Sini kakak ambilin," ucapku seraya masuk ke dalam kamar mandi dan menyalakan flashlight ponsel.
"Mid?" panggilku seraya menyorotkan flashlight ke setiap sudut kamar mandi. Namun, tak berhasil menemukannya. "Jangan ngerjain kakak lagi!" omelku.
"Aku ada di sini, Kak," ucap Hamid. Dari suaranya, terdengar ada di dalam kamar mandi.
"Mana?"
"Sini! Coba liat ke atas."
Kusorotkan flashlight ke langit-langit. "Astaghfirullah!" teriakku saat melihat Hamid merangkak di langit-langit dengan kepala terbalik.
Brug!
Pintu kamar mandi tertutup dengan sendirinya. "AYAH! IBU!" teriakku sambil menggedor-gedor pintu.
"Mau ke mana, Kak?" ucap Sosok yang menyerupai Hamid. Aku merapal doa dalam hati. "BERISIK!" Suaranya berubah menjadi lebih berat dan menakutkan.
Kuteruskan merapal doa, sembari berusaha membuka pintu. Kriet! Pintu terbuka. Bergegas, aku berlari ke luar. Namun, ada sebuah dorongan yang sangat kuat dari belakang. Hingga membuat kepalaku terbentur tembok di depan kamar mandi. Seketika itu semuanya menjadi gelap.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya