Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RUMAH DUKUN (Part 3)


JEJAKMISTERI - Aku terbangun di sebuah hutan berkabut. Dengan suasana yang begitu sunyi, tanpa suara. 

Srek! Srek!

Terdengar suara langkah kaki yang bergesekan dengan daun kering. Kuedarkan pandangan, tapi yang kulihat hanya kabut yang tebal. 

Srek! Srek!

Suara langkah kaki itu berpindah-pindah. Sebentar di depan, sebentar di belakang. Sementara itu, kabut semakin tebal, hingga jarak pandangku semakin pendek. Bahkan pohon-pohon yang tadinya terlihat, kita seperti ternggelam dalam lautan kabut.

"Sini!" ucap Seseorang, seraya menarik tanganku.

Sontak, aku memberontak. Namun, cengkraman tanganya begitu kuat. Sangat kuat. Meski aku menjatuhkan diri ke tahan, ia tetap bisa menyeret tubuhku. "Lepas!" teriakku.

"Kamu bisa diam tidak?" sentak Suara itu, yang ternyata suara seorang perempuan.

"Lepas!" teriakku sambil meronta-ronta.

"Dia berisik sekali. Lepaskan saja!" sahut Suara yang mirip anak laki-laki.

"Kasian, dia bisa jadi korban berikutnya."

Tanpa sadar, kabut yang tadinya tebal sudah menghilang. Kini di hadapanku ada seorang anak laki-laki dan perempuan. 

"Syad! Arsyad!" Tiba-tiba terdengar suara menggema. Suaranya mirip sekali dengan Ayah.

"Bisakah kamu menolong kami?" tanya Anak perempuan itu.

"Tidak!" Aku menolaknya.

"Syad! Bangun!" Suara menggema itu terdengar semakin kencang.

"Aku mohon tolong kami!"

"Tidak!"

"Tolong antarkan kami..." Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, tubuhku sudah tersedot dalam lubang hitam besar yang tiba-tiba muncul. 

Aku membuka mata. "Alhamdulillah," ucap Ayah yang duduk di samping kasur. Seketika itu kepalaku terasa pusing dan sakit. 

"Duh," keluhku seraya memegang kening. 

"Jangan dipegang dulu," perintah Ibu.

"Benjol ya, Bu?" tanyaku.

"Iya, benjol kaya bakso," sahut Hamid sambil tertawa.

"Malah ketawa! Ini semua gara-gara kamu!"  balasku.

Ayah dan Ibu melirik ke arah Hamid. "Bukan aku, Ayah," elak Hamid.

"Kenapa kakak Arsyad nuduh Hamid?" tanya Ayah.

"Aku gak tau, Ayah."

Kini ayah menatapku heran, "Coba ceritain kejadian semalem gimana," perintahnya. Aku pun menceritakan setiap detil kejadian.

"Itu gak mungkin Hamid, Syad. Mana bisa dia nempel di langit-langit," ucap Ayah.

"Iya, ayah. Maafin kakak, Mid." Entah kenapa aku bisa sejahat itu menuduh Hamid. Padahal sudah pasti itu bukan ulahnya.

"Yaudah, sekarang mending sarapan dulu, terus istirahat," ucap Ibu.

"Sekarang emangnya jam berapa?" tanyaku.

"Ampir jam delapan."

"Aku ada sekolah online."

"Tadi ibu udah nelpon sekolah, kalau kamu lagi sakit. Pokoknya sekarang kamu makan dulu, abis itu tidur."

Ayah, Ibu dan Hamid pergi ke luar kamar. Kuambil piring berisi makanan di atas nakas. Sarapan. Setelah itu, kembali berbaring di atas kasur. Tidur.

Aku terbangun dengan kepala yang masih sedikit pusing. Lalu bangkit dan melihat ke cermin. Benjolanan cukup besar juga. 

Kuambil ponsel di atas meja belajar, melihat beberapa pesan yang masuk tapi tak membalasnya. Kemudian, berjalan ke kamar Hamid. Namun, ia tidak ada di kamarnya.

"Eh, udah bangun," ucap Ibu saatku baru saja ke luar dari kamar Hamid.

"Iya, Bu," sahutku seraya menutup pintu.

"Kepalanya masih pusing?" 

"Nggak, Bu."

"Ini ibu bawa makanan." Ibu menaruh makanan di meja kecil, di depan kamar Hamid. "Makan dulu." Lalu, ia kembali turun ke bawah.

Aku duduk di sofa, kemudian menatap makanan di atas meja. Sembari memikirkan, ada apa dengan rumah ini? Kenapa selalu aku yang mendapatkan teror menakutkan. Bahkan sampai melukai tubuh.

Setelah makan, aku pun turun ke bawah. Tak terlihat siapapun di ruang tengah ataupun dapur. Kutaruh piring kotor di dapur, kemudian berjalan ke kamar ayah. 

"Ada apa, Syad?" tanya Ibu saatku membuka pintu.

"Hamid sama ayah ke mana, Bu?"

"Lagi ke luar sebentar."

"Oh, aku juga mau ke luar sebentar ya, Bu?"

"Mau ke mana? Kan masih sakit."

"Ke rumah temen."

"Emang ada temen kamu yang tinggal deket sini?"

"Ada, Bu." Aku terpaksa berbohong, padahal hanya ingin mengunjungi Risa. Siapa tau ia ada di rumahnya. Aku sangat ingin sekali mendengar ceritanya.

"Yaudah, jangan lama-lama."

"Iya, Bu."

Aku pun pergi ke rumah Risa. Entah sebuah kebetulan ia sedang ada di depan rumahnya. "Risa," panggilku, seraya menghampirinya.

"Eh, Syad," balasnya. "Itu kepalanya kenapa?"

"Kejedot tembok."

"Pasti ulah setan di sana, Ya?" tebaknya.

Aku mengangguk, "Sa, boleh ceritain kenapa Rumah itu disebut Rumah Dukun terus tanahnya terkutuk?"

Risa celingak-celinguk, "Kalau mau denger ceritanya jangan di sini," ucapnya.

"Di mana?"

"Di lapangan deket sini aja."

Kami pun pergi ke lapangan itu, kemudian duduk di sebuah bongkahan kayu. Sambil menonton anak-anak yang sedang bermain sepakbola.

"Aku cuman tau sedikit sih, Syad," ucap Risa.

"Nggak apa-apa."

"Jadi dulu banget, ada dukun yang terkenal di kampung sini. Saking terkenalnya, sampe banyak yang datang ke rumah itu."

"Ngapain?"

"Ya, buat praktek ilmu hitam lah, Syad. Namanya juga dukun. Kaya santet, guna-guna, pesugihan dan lain-lain."

"Oh, terus."

"Kalau denger dari cerita ibu sih, dulu udah sempet mau diusir, tapi tiba-tiba RT, RW dan banyak warga sini pada sakit."

"Gara-gara dukun itu?"

"Iya."

"Sempet juga manggil Kyai, tapi gagal. Kyainya malah meninggal duluan di jalan."

"Innalillahi, sampe segitunya."

"Huuh, makanya semenjak itu, warga sini udah gak pernah mau ngusik-ngusik dukun itu."

"Terus."

"Nah, tiba-tiba rumah itu jadi sepi banget. Nggak ada lagi orang dateng. Warga sini juga gak pernah liat dukun itu ke luar rumah. 

Setelah beberapa bulan, warga mulai curiga kalau terjadi sesuatu sama si dukun. Bener aja, pas warga ngecek ke dalem rumahnya. Bau banget. Ternyata berasal dari mayat dukun itu yang udah busuk. Sisa kulit dan tulangnya aja."

"Hiy ~ serem. Terus mayatnya diapain?"

"Dikubur lah, Syad. Emang diapain lagi."

"Oh kirain dibakar kaya di pilem-pilem."

"Nggak, mayatnya dikubur di belakang rumah itu."

"Oh... jadi itu kuburan si dukun," ucapku.

"Udah pernah liat?"

"Kemaren pas ngejar anak-anak di belakang rumah. Nggak sengaja liat makam itu."

"Anak-anak? Perasaan warga sini nggak ada yang berani maen ke rumah itu. Apalagi bagian belakang rumahnya."

"Beneran, kemaren liat anak-anak lari ke kebun belakang rumah. Mungkin anak yang tinggal deket sana kali."

"Nggak mungkin, Syad. Rumah yang paling deket sama rumah kamu tuh rumah aku doang. Kalau belakang rumah kamu kan kaya hutan gitu."

"Terus anak-anak yang kemarin aku liat siapa?" 

"Mungkin dia bukan orang."

"Pagi-pagi loh."

"Ya bisa aja, kan belakang rumah kamu agak gelap."

"Duh, jadi merinding. Tapi aku masih penasaran sama cerita kamu pas masih kecil," ucapku.

"Kalau itu..." Risa tampak ragu.

"Kenapa?" 

"Jujur, aku juga masih kebayang-bayang sampe sekarang."

"Kalau nggak mau cerita juga nggak apa-apa."

Risa menghela napas, "Jadi ceritanya tuh begini..."

**

Delapan tahun lalu, saat umur Risa masih tujuh tahun. Ia bersama beberapa temannya main di kebun samping rumahku. "Waktu lagi main petak umpet. Aku ngumpet deket rumah kamu, Syad," ucap Risa.

Saat sedang bersembunyi di semak-semak, Risa mendengar ada yang memanggil namanya. Namun, bukan suara teman-temannya, melainkan suara dari arah rumahku. 

"Terus kamu samperin?" tanyaku.

Risa mengangguk,"Iya."

Tak terasa, Risa mengikuti suara itu sampai halaman depan rumahku. Tepatnya di depan pohon Mangga. "Mangganya lagi berbuah. Jadi aku naek ke atas terus ambil satu," ucap Risa.

"Kamu bawa pulang?"

Risa menggelengkan kepala, "Aku makan bareng temen-temen."

Dari sanalah malapetaka itu dimulai. Semua anak yang memakan buah mangga itu langsung jatuh sakit, termasuk Risa. Saat itu warga mengira kalau Risa dan teman-temannya keracunan makanan. Namun, setelah dibawa ke rumah sakit, tak ada tanda-tanda keracunan. 

"Waktu itu rasanya gimana, Sa?" tanyaku.

"Demam tinggi sama perut sakit banget," balas Risa.

Setelah seharian Risa dan teman-temannya tersiksa di rumah sakit. Akhirnya ada sesepuh desa yang menyadari kalau itu merupakan ulah dari bangsa Jin. 

"Aku sama temen-temen dipaksa buat muntahin lagi mangga yang dimakan. Soalnya, kata sesepuh, kalau udah dicerna dan bercampur dengan darah bakal susah. Dan bisa terus-terusan diincer sama Jin penghuni rumah kamu," ucap Risa.

"Berhasil?"

Risa menggelengkan kepala, "Nggak semua berhasil muntahin tuh mangga." Tiba-tiba wajah Risa berubah menjadi sedih. "Rina belum sempet muntahin, tapi dia keburu meninggal. Abis itu aku jadi ngerasa bersalah banget."

"Itu bukan salah kamu, Sa. Kan kamu juga nggak tau."

Namun, teror belum selesai sampai di sini. Setelah pemakaman Rina, Risa kembali jatuh sakit. "Awalnya deman tinggi, terus denger banyak suara gitu. Abis itu udah berasa kaya mimpi," ucap Risa.

"Berasa kaya mimpi gimana?" 

"Aku kaya kejebak di rumah kamu. Nggak bisa ke luar. Terus di sekeliling rumah kamu tuh banyak makhluk tinggi besar," jelas Risa.

"Terus gimana kamu bisa ke luar?"

"Seingetku sih ada yang buka pintu, abis itu aku udah balik ke kamar," balas Risa.

"Kata ibu sama ayah, aku udah nggak sadar tiga hari. Kaya kesurupan gitulah," sambungnya sembari melihat jari tangannya. "Sekarang udah ada bekasnya. Dulu pas baru sadar, jari ini berdarah-darah gitu. Katanya gara-gara pas kesurupan sering garuk-garuk tembok."

"Ya Allah, serem banget."

"Iya, tapi itu masih belum selesai, Syad."

"Hah? Masih berlanjut juga?"

Risa menganggukan kepala,"Masih, karena sumber utamanya belum dibersihin."

"Tanah?" tebakku.

"Yap, bener banget."

Butuh waktu sekitar seminggu sampai keluarga Risa menyadari kalau sumber utama masalahnya adalah tanah yang ada di sendal Risa. "Tanah kutukan, kata salah satu Kyai yang datang ke rumah," ucap Risa.

"Kenapa disebut begitu?"

"Aku gak terlalu inget, yang jelas rumah kamu sering dipakai untuk kegiatan ilmu hitam. Jadi tanahnya sudah bercampur dengan ilmu hitam itu."

"Tapi, kan. Sebelumnya pernah ada yang tinggal di rumah itu. Kaya boss ayahku, dia ampe sekarang nggak kenapa-napa," ucapku.

"Emang pernah ada beberapa keluarga yang coba nempatin rumah kamu. Tapi... gak sampe sebulan udah pergi."

"Masa sih? Kata ayah, bosnya udah tinggal lama di sana. Baru pindah tiga tahun lalu."

"Perasaan udah lama banget gak ada yang tinggal di sana."

"Seriusan?"

"Iya, Syad. Terakhir kali tuh kayanya lima tahun lalu deh, Syad. Itu pun cuman tinggal sebulan aja."

"Jangan-jangan itu bossnya ayahku."

"Mungkin sih. Tapi kalau iya, kasian banget boss ayah kamu. Anaknya sampe meninggal di sana."

"Innalillahi wa innailaihi rojiun. Ada yang meninggal lagi? Kenapa?"

"Nggak tau, Syad. Keluarga itu sama sekali nggak cerita meninggalnya kenapa. Pokoknya tiba-tiba udah ada ambulan aja di depan rumahnya. Terus mayat anaknya itu udah dibungkus kain putih. Abis itu, mereka pergi bareng ambulan dan gak balik lagi ke rumah kamu," jelas Risa.

"Semakin lama denger cerita kamu, kok aku jadi semakin takut ya tinggal di sana," ucapku.

"Mending keluarga kamu pindah dari sana deh. Bahaya banget."

"Pengennya sih begitu, Sa. Tapi, ayah gak punya uang buat ngontrak rumah. Itu aja beruntung boss ayah baik, boleh kita tinggal di rumah itu."

"Coba aja kamu pikirin, baru dua hari aja kepala udah benjol. Ke depannya bisa jauh lebih parah lagi loh, Syad."

"Iya, cuman mau gimana lagi. Sekarang pasrah aja sama Allah, semoga ayah dapet jalan untuk bisa pindah dari rumah itu."

"Amin, semoga aja cepet terkabul."

Aku menatap ke langit, warnanya sudah berubah menjadi gelap. "Kayanya mau hujan," ucapku.

"Iya," balas Risa.

Anak-anak yang tadi bermain sepakbola pun sudah bersiap untuk pulang ke rumahnya. "Pulang yuk!" ajakku.

"Yuk!" 

Kami pun berjalan ke arah rumah. 

TIN!

Saat sedang asik berjalan sambil mengobrol, tiba-tiba terdengar suara klakson di belakang. Sontak kami pun menoleh. Ternyata itu suara motor ayah. "Kakak kaget, ya?" ucap Hamid.

"Iya," balasku. "Ayah, ini Risa anak dari tetangga yang kemarin minjemin aku cangkul." 

Ayah mengurai senyum, "Bilang ke ibu, makasih ya," ucapnya. 

"Iya, Pak," balas Risa.

"Ayah duluan ya, Syad," pamit Ayah, lalu melajukan motornya menuju rumah. Sementara aku dan Risa berjalan santai.

"Nanti ngobrol lagi ya, Syad," ucap Risa seraya masuk membuka pagar rumahnya.

"Iya, makasih banget ya buat ceritanya," balasku.

"Iya."

Aku pun bergegas pulang ke rumah. Terlihat ayah masih ada di depan rumah, berdiri di dekat motornya. "Oh, ayah pergi ngambil motor ternyata," ucapku.

"Iya, biar ada kendaraan," balas Ayah.

"Ayah."

"Ya?"

"Aku boleh nanya sesuatu, gak?"

"Tanya aja."

"Bos ayah tinggal di sini berapa lama?"

"Sekitar dua tahunan sih."

"Owh, bos ayah punya anak, gak?"

"Punya."

"Masih hidup?" 

"Ya masih lah, Syad. Ada apa sih? Kok kamu nanya begitu?"

"Nggak, aku cuman penasaran aja. Terus kok bisa betah banget tinggal di sini dua tahun."

"Emangnya kamu nggak betah?"

"Iya."

"Kan baru dua hari, lama-lama juga betah."

"Lama-lama aku yang gak ada," ucapku seraya berjalan ke arah pintu.

"Nggak ada ke mana?"

"Nggak ke mana-mana, Yah. Bercanda," balasku lalu tersenyum.

"Lain kali jangan ngomong begitu, ya!" Ayah terdengar kesal.

"Maaf, Yah." Aku pun masuk ke dalam rumah. Sembari bertanya-tanya dalam diri. Kenapa cerita ayah dan Risa berbeda?  Lantas mana yang benar?
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close