Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RUMAH DUKUN (Part 4)


JEJAKMISTERI - Kurebahkan diri di atas kasur, seraya menatap gordin yang terus bergoyang, tertiup angin. Sementara di luar, langit sudah terlihat sangat gelap.  Lambat laun, udara dingin mulai menyergap kulitku. Dengan cepat, kutarik selimut dan memejamkan mata.

Dalam keadaan setengah sadar, aku bisa merasakan ada hembusan angin di telinga kiri. Seketika itu, bulu kudukku meremang. 

Ngih! Ngih!

Suara hembusan itu berubah menjadi suara napas pendek, seperti orang asma. Sontak, aku membuka mata sambil menoleh ke kiri.

Argh!

Aku berteriak kencang saat melihat seorang wanita bermata merah, persis di depan wajah. "Kamu akan mati!" ucapnya lirih, seraya mendelik ke arahku. 

Tubuhku mendadak kaku. 

Wanita itu mulai menggerayangi tubuhku dengan jemarinya yang hitam dan kotor. "Kamu akan mati," bisiknya tepat di samping telingaku.

Ingin sekali berteriak, tapi untuk membuka mulut saja tak bisa. Sementara Wanita itu, mengangkat bajuku perlahan. Kemudian mengacungkan salah satu jemarinya yang berkuku panjang. 

Perlahan, jemarinya itu diarahkan ke perutku. Kini aku bisa merasakan ujung kukunya bersentuhan dengan kulitku. "KAMU AKAN MATI!" ucapnya dengan suara lantang, sembari menusukkan jemari itu ke perutku.

ARGH!

Aku membuka mulut untuk berteriak. Namun, tak ada sedikitpun suara yang ke luar. Tiba-tiba, Wanita itu memasukan telapak tangannya ke mulutku. 

Aku meronta-ronta, sulit untuk bernapas. Mencoba menggapai tangannya, tapi tak bisa. Sementara, dada ini mulai terasa panas, seperti terbakar. Pandanganku pun mulai buram. 

Di tengah kepasrahan, aku mendengar suara pintu kamar terbuka. "Syad." Samar terdengar suara ayah memanggilku. "Syad, Istighfar." Kini tubuhku bergoyang cukup keras. "SYAD!"

Seketika itu aku membuka mata, seraya menarik napas panjang. Kemudian memeluk ayah dan menangis. "Kamu ini kenapa, Syad?" tanya Ayah.

"Aku gak mau mati, Ayah," balasku terisak.

"Emangnya siapa yang bilang begitu?"

"Perempuan tadi."

"Tadi itu kamu cuman mimpi. Kan udah ayah bilang, sebelum tidur itu wajib baca doa."

"Apa ayah gak sayang sama Arsyad?" 

"Kenapa kamu ngomong begitu? Ayah sayang sama kamu dan Hamid."

"Kalau ayah sayang, kenapa kita gak pindah dari rumah ini aja."

"Nggak bisa, Syad. Kamu tau sendiri kan ayah lagi kekurangan uang."

"Ayah kan bisa jual motornya."

"Itu motor satu-satunya, buat ayah kerja."

"Berarti emang ayah gak sayang sama Arsyad. Ayah lebih milih Arsyad mati dibunuh sama penghuni rumah terkutuk ini!" 

"Astaghfirullah. Istighfar, Syad. Siapa yang mau bunuh kamu?"

"Penghuni rumah dukun ini, Yah!" 

"Setan maksud kamu?"

"Iya."

"Astaghfirullah, Syad. Bangsa Jin atau setan gak akan bisa ngelukain kamu, apalagi sampe membunuh kamu. Karena derajat manusia itu jauh lebih tinggi daripada meraka. Jadi kamu gak usah takut," ucap Ayah.

"Buktinya, aku udah tiga kali hampir meninggal, Ayah!"

"Sekarang kamu sehat-sehat aja, kan? Badan kamu juga gak kenapa-napa. Itu hanya siasat setan, untuk mempengaruhi kamu."

"Ini!" Aku menujuk benjolan di jidat. "Kayanya ayah lupa, tadi malam aku pingsan gara-gara apa?"

"Itu karena kamu kejedot tembok."

"Iya, tapi aku kejedot tembok gara-gara setan di sini!" Aku sudah sangat kesal dengan sikap ayah. Apakah ia benar-benar tak peduli dengan keselamatan anaknya ini? "Dua hari aja aku udah begini, Yah. Kalau besok-besok aku di dorong pas turun dari tangga gimana? Apa ayah nanti gak nyesel?"

Ayah terdiam. "Istighfar, Syad. Istighfar. Kamu tenang dulu. Ayah tau kalau kamu lagi ketakutan. Tapi jangan berpikir macam-macam, sampai mengira-ngira hal yang akan terjadi ke depan. Sekarang ... mending kamu ambil wudhu terus sholat. Minta perlindungan sama Allah. Karena Allah sebaik-baiknya pelindung."

Aku menenangkan diri, berkali-kali mengucap Istighfar. Tadinya, ingin sekali menceritakan percakapan antara aku dan Risa. Namun, sepertinya percuma saja, ayah tidak akan percaya. 

"Yuk, sholat sama ayah. Sholatnya di kamar kamu aja," ajak Ayah.

Aku beranjak dari kasur, kemudian mengikuti ayah ke kamar mandi. "Ayah tunggu di luar," ucap Ayah setelah mengambil wudu.

"Jangan jauh-jauh, Yah." Semenjak kejadian semalam, ini kali pertamaku masuk ke kamar mandi. Kejadian horor itu kembali terbayang saatku membasuh wajah. 

"Kamu akan mati," bisik Suara yang tiba-tiba terdengar sangat dekat.

"AYAH!" Sontak, aku berteriak memanggil ayah.

"Ada apa, Syad?" Ayah menghampiriku.

"Tadi ada yang bisikin Arsyad."

"Bisikin apa?"

"Katanya aku bakal mati."

"Jangan didenger. Mending kamu lanjut ambil wudhunya. Ayah temenin di sini."

Aku mengambil wudu. Setelah itu, kami naik ke atas untuk salat Ashar berjamaah. Suara rintik hujan yang semakin deras mengiringi sujud kami pada Sang Pencipta. 

"Ya Allah tolong lindungi aku dan keluargaku dari gangguan setan yang terkutuk," ucapku dalam hati, seusai salat. Tak terasa bulir-bulir bening jatuh di sudut mata, saat mendengar lantunan doa yang ayah ucapkan.

"Sekarang kamu ambil Al Qur'an," perintah Ayah. Kuambil Al-Qur'an di atas meja belajar. Perlahan, kubuka lembaran Al-Qur'an. "Kamu baca surat Al Baqarah sampai selesai."

DUAR!

Suara petir menggelegar saatku membaca Ta'Awudz. Sontak, aku melirik ke ayah. "Lanjutin," ucapnya. Kulanjutkan membaca ayat pertama surat Al Baqarah.

Dep!

Lampu kamar tiba-tiba mati. "Mati lampu, Yah," ucapku.

"Iya," balas Ayah. "Ambil HP kamu, nanti ayah sorot pake flashlight."

Aku bergerak menghadap ke kasur. Terlihat dua buah cahaya merah memancar di kolong kasur. "Ayah itu apa?" tanyaku.

"Apa, Syad?"

"Itu di kolong kasur."

Tiba-tiba ada yang menarik kakiku kencang sekali, hingga membuatku terjengkang. 

Dug!

Kepalaku membentur lantai dengan cukup keras. "AYAH!" teriakku, saat ditarik ke kolong kasur.

"Syad," panggil Ayah.

"Ayah, tolong!" teriakku sembari memegang unjung kasur. "Ayah!"

"Syad."

Tanganku sudah tak kuat menahan tarikannya. Hingga akhirnya terlepas dan masuk ke dalam kolong kasur.

"Syad!" Entah kenapa, suara ayah terdengar semakin menjauh.

**

Aku seperti terperosok ke dalam lubang hitam yang gelap. "Ayah!" 

"Syad!" Kini suara ayah sudah terdengar sangat jauh.

Brug!

Aku mendarat di tanah dengan posisi tertelungkup. Anehnya, tidak ada sedikitpun rasa sakit. "Sudah kubilang, dia tidak akan bisa membantu," terdengar Suara anak kecil.  

Aku mengangkat kepala dan bangkit. Terlihat dua anak yang pernah kutemui sebelumnya. Sepertinya aku tau salah satunya. "Rina," ucapku sembari duduk di tanah.

"Kamu tau namaku?" sahut Anak perempuan yang berdiri di dekatku.

"Iya." Padahal aku hanya menebak saja, dari usia dan jenis kelaminnya, sangat mirip dengan apa yang diceritakan Risa.

"Dari mana kamu tau?"

"Risa."

"Bukannya gara-gara dia kamu ada di sini?" ucap Seorang anak laki-laki yang umurnya tak jauh Rina.

"Iya. Dia yang memberiku mangga, tapi malah dia yang selamat. Sementara aku terjebak di sini. Entah sampai kapan," balas Rina.

"Sebelumnya aku pikir kamu bisa menyelamatkan kami, tapi sepertinya kamu akan bernasib seperti kami," sambungnya.

"Iya, kamu sudah diincar dari pertama kali menginjakan kaki di rumah ini," ucap Si anak laki-laki.

"Siapa yang mengincarku?" tanyaku.

"Anak-anak buah dukun itu. Mereka haus darah. Dan dengan bodohnya kalian memberinya dengan sukarela. Sama seperti kedua orang tuaku."

"Namanya Leo, dia salah satu korban kebiadaban orang tuanya," ucap Rina.

Leo terlihat menundukan kepalanya. "Umurku baru enam tahun, jadi tidak mengerti dengan apa yang dilakukan orang tuaku pada saat itu," ucap Leo.

"Seadainya aku tau kalau mereka akan menumbalkanku. Aku pasti sudah pergi dari rumah ini," imbuhnya.

"Menumbalkan? Maksudnya?" tanyaku, bingung.

"Mengorbankan nyawa seseorang untuk kepentingan pribadi," jelas Rina.

"Kepentingan seperti apa?"

"Uang. Keluargaku hanya butuh uang," sahut Leo.

"Sama seperti keluargamu. Jangan-jangan kamu juga sengaja ditumbalkan," timpal Rina.

"Nggak mungkin," balasku.

"Kamu gak akan percaya sebelum semua terjadi. Tapi pada saat kamu percaya, semuanya sudah terlambat," ucap Rina.

"Iya, sama sepertiku dulu. Padahal Kak Rina sudah memperingatiku, tapi aku malah tidak percaya. Alhasil, aku ada di sini. Bersamanya," sahut Leo.

"Ayahku orang yang taat beribadah. Nggak mungkin ngelakuin hal seperti itu," ucapku.

"Apapun bisa terjadi bila kita berhadapan dengan uang. Yang perlu kamu ingat, semua orang yang datang ke rumah itu memiliki tujuan," balas Rina.

"Ayah gak mungkin ngelakuin itu!" Aku tetap yakin ayah tidak akan melakukan hal sekeji itu pada anaknya.

Tiba-tiba udara terasa begitu panas. Tak lama terdengar lantunan ayat suci yang menggema. Rina dan Leo terlihat tak nyaman. Kemudian mereka menghilang begitu saja.

Tak lama, terlihat seberkas cahaya menembus awan yang gelap. Cahaya itu semakin membesar. Terus membesar, hingga menyilaukan mata. 

Kutatap lampu kamar yang begitu terang. "Syad," panggil Ayah. Kupejamkan mata sebentar, kemudian mengedarkan pandangan. Ternyata, ini bukan kamarku. "Syad, kepalanya masih sakit?" tanya Ayah yang duduk di sampingku.

Kutatap wajah ayah. Tiba-tiba teringat dengan ucapan Rina kalau semua orang yang datang ke rumah itu memiliki tujuan. Apa mungkin ayah dengan sengaja pindah ke rumah itu, untuk mengorbankanku. Hanya demi mendapatkan uang.

"Syad?" Ayah melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahku. "Masih sakit?"

Sakit? Aku tidak merasakan sakit sedikitpun. "Ini di mana, Yah?" tanyaku.

"Di klinik."

"Klinik? Emangnya aku kenapa sampe dibawa ke klinik?"

"Kamu gak inget?" 

Aku menggelengkan kepala. 

"Kamu tadi jatoh di kamar."

Jatuh? Seingatku, tadi ada sosok bermata merah yang menarikku ke kolong kasur. 

Aku mengangkat kepala. "Aw!" Tiba-tiba bagian belakang kepalaku terasa sakit sekali. 

"Jangan banyak gerak dulu," ucap Ayah. 

"Kepalaku kenapa, Yah?" 

Ayah pun bercerita. Sesaat setelah ia menyuruhku untuk mengambil ponsel, tiba-tiba terdengar suara benda terjatuh. "Ayah panggil kamu, tapi kamu gak nyaut," ucap Ayah.

Kemudian, ayah mencoba meraba-raba dan menemukan tubuhku sudah tergeletak di lantai. Beruntung, beberapa saat kemudian lampu menyala.  Jadi ayah bisa melihat kalau ada darah yang mengalir dari belakang kepalaku.  "Ayah langsung gotong kamu terus bawa ke klinik ini," ucap Ayah.

"Cuman yang ayah bingung. Kenapa kamu bisa jatoh begitu?" imbuhnya.

"Pas aku berdiri mau ambil HP di kasur. Tiba-tiba ada yang narik kaki kenceng banget. Abis itu aku gak inget apa-apa." 

Tak mungkin aku menceritakan adegan ditarik ke dalam kolong kasur. Lalu masuk ke lubang hitam, mendarat di tanah dan bertemu Rina dan Leo. Rasanya itu semua hanya sebuah mimpi.

"Malem ini, kamu tidur di sini aja."

"Nggak bisa di rumah aja, Yah?" 

"Di sini aja, biar Dokter atau perawat bisa pantau kondisi kamu sementara. Kalau kepalanya pusing atau sakit banget, bisa langsung bilang ke perawat yang jaga," pesan Ayah sembari berdiri.

"Ayah mau ke mana?" tanyaku.

"Ayah pulang dulu. Besok pagi ke sini lagi."

"Ibu mana?"

"Ibu sama Hamid ada di runah."

"Ayah."

"Ya?"

"Malem ini tolong tidur bareng Hamid, ya. Aku takut  Hamid kenapa-napa."

"Iya, sekarang kamu istirahat aja. Biar besok bisa pulang."

Kuraih tangan ayah, "Ayah, aku gak mau pulang ke sana," ucapku.

"Terus mau pulang ke mana lagi?"

"Kita pindah dari rumah itu aja."

"Kan udah ayah bilang, belum bisa. Kamu sabar dulu. Kalau ayah ada uang lebih, kita langsung pindah dari rumah itu. Nggak enak sama bos ayah, masa baru beberapa hari udah pindah," jelas Ayah.

Sudah kuduga, pasti ayah akan menolaknya. "Apa ayah percaya kalau di rumah itu banyak setannya?" 

Ayah kembali duduk di kursi samping brankar, lalu mengusap rambutku perlahan. "Ayah percaya, Syad. Ayah percaya semua yang kamu omongin," ucapnya.

"Tapi kenapa selama ini ayah diem aja."

"Ayah cuman berusaha biar kamu, Hamid dan ibu gak takut."

"Hasilnya, aku terus yang diteror dan jadi korban. Oke hari ini bisa selamat. Besok atau lusa? Mungkin aku gak bakal selamat lagi."

"Itu jauh lebih baik."
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close