Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RUMAH DUKUN (Part 5)


JEJAKMISTERI - "Tadi ayah bilang apa?" tanyaku, terkejut dengan ucapannya barusan.

"Ayah gak ngomong apa-apa," elak Ayah.

"Jelas banget tadi aku denger ayah bilang, itu jauh lebih baik. Apa maksud ayah lebih baik aku cepat meninggal?" 

"Demi Allah, ayah gak ngomong begitu, Syad."

"Jangan bawa-bawa nama Allah, Yah. Di sini gak ada siapa-siapa selain ayah sama aku," ucapku agak meninggikan suara.

"Astaghfirullah, Syad. Ayah gak bilang apa-apa."

"Jangan bohong, Yah!"

"Ya Allah, ayah gak bohong. Kamu ini kenapa sih?"

"Aku tuh sakit, Yah!" balasku, lalu menangis.

"Ayah panggilin dokter, ya?"

"Percuma dokter gak bisa nyembuhin sakit ini." Ayah bangkit, berniat memanggil dokter. "Jangan pergi ayah," cegahku.

"Kamu harus diperiksa dokter." Ayah ke luar dari ruangan.

Tangisku kembali pecah, tak menyangka apa yang Rani dan Leo ucapkan ternyata benar. Ayah akan menumbalkanku. 

Kriet!

Pintu terbuka. Terlihat ayah berserta seorang Dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan. "Jangan nangis, bilang mana yang sakit," ucap Ayah sembari duduk di dekatku.

Aku melirik ayah dengan tatapan tajam. Tak menjawab pertanyaannya tadi. "Apa mungkin itu efek benturan, Dok?" tanya Ayah.

"Bisa jadi karena trauma di kepala. Besok harus dibawa ke rumah sakit besar untuk di CT Scan," balas Dokter. Kemudian, ia mengambil sesuatu dari nampan besi yang dibawa perawat. Sebuah suntikan.  

"Sekarang saya kasih obat pereda sakit dulu ya, Pak." Dokter menyuntikan obat itu ke lenganku. Kemudian ia mengobrol sebentar dengan ayah.   

Mataku tiba-tiba semakin berat. "Ayah," panggilku pada ayah yang sudah kembali duduk di dekatku.

"Ya, Syad," balasnya.

"Kepalaku gak sakit." Kelopak mataku mulai menutup perlahan. Namun, aku mencoba menahannya dengan sekuat tenaga. "Ayah, aku sakit hati. Kenapa ayah tega ngelakuin ini." 

Kelopak mataku semakin berat. Bahkan kali ini sulit untuk terbuka lagi. "Semuanya demi keluarga kita, Syad." Terdengar suara ayah sebelum aku kehilangan kesadaran.

Aku berdiri di depan rumah. Rumah yang tampak lebih bersih dan terawat. 

Kriet!

Pintu depan terbuka. Dari dalam, ayah berjalan ke luar, menyambutku dengan senyuman. "Kenapa diem di luar aja, Syad?" tegurnya.

Entah kenapa ada sebuah keraguan dalam diri untuk melangkah masuk ke dalam. Sementara itu, ayah datang menghampiri. "Ayo masuk," ucapnya sembari mengulurkan tangan.

Kusambut uluran tangannya, kemudian berjalan masuk ke daam rumah. Suasana di dalam pun terlihat berbeda, lebih terang. "Ibu sama Hamid mana, Yah?" tanyaku.

"Ibu sana Hamid lagi ke pasar," balas Ayah.

Kami pun berjalan ke rumah tengah. Terihat seseorang sedang duduk di sana. "Kenalin ini boss ayah," ucap Ayah.

Aku berdiri sembari menatap pria paruh baya di hadapan. Rambutnya panjang dan berwarna putih. Sorot matanya begitu tajam, mengarah padaku. Ia berdiri seraya mengembangkan senyum. Entah mengapa, senyumnya terlihat begitu menakutkan. "Kenapa berdiri di sana aja? Sini duduk bareng, Om," ucapnya.

"Aku mau ke atas aja, Yah," balasku.

"Temenin boss ayah ngobrol sebentar," perintah Ayah seraya berjalan ke depan.

"Ayah mau ke mana?" tanyaku.

"Jemput Ibu sama Hamid."

"Aku ikut!" ucapku seraya mengerjarnya.

"Motornya gak cukup," sahut Ayah sembari menutup pintu depan.

"Nggak usah takut sama Om," ucap Lelaki yang lebih pantas disebut kakek itu. Kini ia berdiri tepat di belakangku. Ia membungkukan tubuhnya, sejajar denganku. "Om gak gigit kok," ucapnya sembari mengulurkan tangan.

"Aku mau ikut ayah," balasku seraya membalikan badan dan berlari ke pintu. 

Krek!

Pintu terkunci. "Ayah kamu udah pergi," ucap Lelaki tua itu, sembari berjalan perlahan ke arahku.

Dug! Dug! Dug!

Aku menggedor-gedor pintu, "Ayah!" 

"DIA SUDAH PERGI!" sentak Lelaki tua itu. Sontak, aku merapat ke pintu. Menatap wajahnya yang berubah menjadi gelap. 

Ia kembali mengulurkan tangannya, ingin menangkapku. Namun, aku berhasil menghindar dan berlari ke ruang tengah. 

"KAMU TIDAK AKAN BISA LARI ARSYAD!" teriaknya, lalu tertawa kencang. 

Aku berbelok ke arah tangga, kemudian naik ke atas dan masuk ke kamar. 

DUG! DUG!

Pintu kamar digedor dengan kencang. "KELUAR ATAU SAYA DOBRAK!" 

BRUG!

Terdengar suara benturan keras di pintu. Sontak, aku berlari ke pojok ruangan, dekat meja belajar. 

BRUG! BRAK!

Pintu terbuka lebar. "MAU KEMANA KAMU!" hardik Lelaki tua itu yang wajahnya semakin menghitam, seperti terbakar. Perlahan, ia berjalan mendekat.

Kubuka jendela yang berada di sampingku. Kemudian melompat ke luar. "ARGH!" teriakku.

BRUK!

Aku mendarat di tanah, lalu bangkit. "Aw!" Pergelangan kakiku terasa sakit sekali. Dengan langkah terpincang-pincang, aku berjalan ke depan rumah. 

"Arsyad!" Ayah sudah menyambut saatku melangkah ke halaman depan. Spontan, aku memeluknya dan menangis. "Kenapa kamu kabur?"

"Bos ayah jahat," balasku.

Ayah melepas pelukanku. Kemudian mengangkat tubuhku perlahan. "Bos ayah orang baik," bisiknya seraya berjalan ke teras.

"Ayah, aku gak mau masuk ke dalam!" teriakku meronta-ronta. Namun, genggaman ayah begitu kuat mengunci tubuhku hingga sulit bergerak bebas.

Pintu terbuka. Terlihat lelaki tua bos ayah, yang wajahnya sudah kembali normal. "Sudah saya bilang kamu tidak bisa lari."

"Ayah, lepasin!" Aku terus meronta-ronta. Namun, ayah tidak memperdulikannya. Ia terus membawaku ke ruang tengah. Di sana sudah ada meja berwarna hitam pekat. Di sekelilingnya ada banyak makhluk yang begitu menyeramkan. 

Ayah membaringkanku di atas meja, lalu mengikatku. "Selesaikan tugasmu," ucap Lelaki tua itu sembari menyerahkan sebuah pisau.

"Ayah! Jangan!" teriakku, menangis. Sambil berusaha melepaskan ikatan. Nihil. Ikatannya terlalu kuat. "Ayah! Ini Arsyad. Anak ayah!"

Ayah menatapku tajam. "Ini persembahan saya," ucapnya sembari menusukan pisau ke jantungku. 

ARGH!

Aku terbangun dari tidur dengan napas ngos-ngosan dan jantung berdetak kencang. "Ada apa, Syad?" tanya Suara yang berada di sampingku.

Aku menoleh, "Ayah, aku takut."

"Takut kenapa?" 

"Tadi mimpi serem banget."

"Mimpi apa?" tanya Ayah sembari mengelus rambutku.

"Mimpi kalau ayah..." Kuhentikan ucapan saat melihat mata ayah yang berubah menjadi merah.

"Nusuk jantung kamu?" bisiknya, lalu tangannya bergerak ke leherku. 

"Ayah."

"Stt." Ia mulai mencekikku.

**

Ayah mencekik leherku semakin keras, hingga aku mulai kehabisan napas. "A-ya-h," ucapku terbata sambil mencoba melepaskan cengkeraman tangannya.

Dadaku  sudah sangat sesak, rasanya seperti terbakar. Tangan pun mulai terasa lemas. Perlahan pandanganku meredup.

"Syad," Terdengar suara ibu. "Syad."

"Ha!" Aku membuka mata seraya menarik napas panjang. Ya Allah, ternyata aku masih hidup. Berarti tadi hanya sebuah mimpi. Namun rasanya kenapa begitu nyata?

"Syad," panggil Ibu. Aku menoleh pada ibu yang sudah duduk di samping brankar. "Kamu daritadi dibangunin susah banget."

"Arsyad tadi mimpi serem, Bu."

"Mimpi tenggelem? Soalnya kamu mengap-mengap kaya orang tenggelem."

"Bukan, Bu. Tapi mimpi dicekek setan." Aku tak mau bilang itu ayah.

"Kamu lupa baca doa sebelum tidur?"

"Nggak sempet, Bu. Pas dokter suntikin obat, terus gak lama Arsyad udah tidur aja. Ngomong-ngomong sekarang jam berapa, Bu."

"Jam enam kurang."

"Kok ibu udah ada di sini? Ayah ke mana?"

"Semalem, ayah pulang sebentar ke rumah. Terus jemput ibu, katanya suruh jagain kamu. Takut kenapa-napa. Ayah juga bilang, kalau kamu semalem marah-marah."

"Hamid."

"Kenapa Hamid?"

"Bu, telepon rumah sekarang! Aku takut Hamid kenapa-napa," ucapku, panik. 

"Kamu ini kenapa sih?"

"Telepon sekarang, Bu!"

"Kan Hamid sama ayah."

"Justru aku lebih khawatir kalau Hamid sama ayah."

"Bentar. Kamu ada masalah apa sama ayah?" 

Aku terdiam sejenak. Apa harusku ceritakan kecurigaanku pada ayah? 

"Syad? Kok malah diem," ucap ibu.

"Aku takut kalau Hamid ditumbalkan," ucapku sambil menundukan kepala.

"Ditumbalkan siapa?"

"Ayah."

"Astaghfirullah, Syad. Semalem ibu gak percaya pas ayah cerita kalau kamu nuduh begitu. Tapi sekarang... ibu bener-bener gak habis pikir kamu nuduh ayah begitu."

"Tapi aku liat sendiri, Bu."

"Liat di mana? Apa kamu liat ayah ngelakuin perbuatan syirik?" Ibu terdengar marah.

Aku menggelengkan kepala. 

"Nah, terus dari mana kamu yakin kalau ayah bakal numbalin kamu atau Hamid?"

"Aku mimpi ayah mau bunuh aku, Bu. Pertama nusuk jantung aku, terus cekik leher."

"Astaghfirullah, Syad.  Ayah didik kamu dengan ilmu agama yang kuat. Harusnya kamu tau kalau mimpi buruk itu datangnya dari setan. Masa kamu langsung percaya begitu aja."

"Aku juga denger kalau ayah bilang lebih baik aku meninggal."

"Kamu yakin ayah bilang gitu?"

"Iya, Bu. Demi Allah Arsyad denger ayah bilang begitu." Kini ibu yang terdiam. Tak lama, terlihat bulir bening jatuh di sudut matanya."Ibu jangan nangis."

"Ibu udah gagal," ucap Ibu dengan suara parau.

"Ibu gak gagal."

"Kamu berani bersumpah atas nama Allah dan nuduh ayah berbuat syirik. Kamu tau sendiri syirik itu dosa yang paling besar dan dibenci Allah."

"Apa ibu gak percaya sama aku?"

"Ibu percaya sama kamu, tapi ibu juga percaya sama ayah. Ibu udah kenal ayah kamu dari lama. Sekalipun dia gak pernah ngelakuin hal-hal yang berbau syirik, Syad."

"Tapi orang kan bisa berubah. Apalagi karena uang."

"Astaghfirullah, Syad. Mending kamu sekarang sholat, minta ampun sama Allah. Tuduhan kamu ini udah keterlaluan banget."

"Berarti ibu masih lebih percaya ayah."

"Ibu gak bisa milih antara kamu sama ayah. Tapi ibu yakin kalau kali ini kamu yang salah."

"Kalau ternyata aku yang bener gimana, Bu?"

"Ibu jadi orang pertama yang bela kamu."

"Percuma, untuk apa bela orang yang udah meninggal."

"Udah! Jangan ngomong begitu. Sekarang mending kamu sholat, nenangin diri. Terus berdoa, minta perlindungan dan petunjuk sama Allah."

Aku mengangguk. Kini aku seperti berburu dengan waktu. Mencari bukti dan mengungkap kebenaran atau meninggal dengan sia-sia.

"Ayah belum dateng juga, Bu," ucapku sembari menunggu kedatangan Ayah dan Hamid di depan klinik. Yap, aku diperbolehkan untuk pulang, karena tidak ada tanda-tanda luka serius di kepala.

"Mungkin lagi di jalan," balas Ibu. "Syad."

"Ya, Bu."

"Nanti kalau ayah datang. Jangan berantem ya. Kamu tau sendiri, ibu gak bisa milih antara kamu atau ayah."

Aku mengangguk pelan. Tak lama ada sebuah mobil angkot memasuki halaman parkir klinik. Di dalamnya ada ayah dan Hamid. 

"Kakak!" teriak Hamid seraya berlari menghampiriku. Spontan, aku tersenyum melihatnya baik-baik saja. "Ih kepala kakak kok diiket?" tanyanya sembari menunjuk perban yang melingkar di kepala. 

"Ini perban, Mid."

"Kamu kenapa nolak dibawa ke rumah sakit sih, Syad," ucap Ayah.

"Aku baik-baik aja, Yah. Nggak usah dicek ke rumah sakit."

"Kamu yakin?"

"Iya."

"Yaudah, kalau ada yang sakit langsung bilang ayah, ya!"

"Iya."

Kami pun masuk ke dalam angkot. Aku memilih duduk di posisi paling belakang. Sehingga bisa menyandarkan tubuh seraya menatap kendaraan dari kaca belakang.

 "Syad," panggil Ayah.

"Ya," sahutku.

"Di rumah ada tamu yang udah nunggu kamu."

Deg!

Tiba-tiba aku teringat mimpi semalam. Jangan-jangan itu bosnya ayah? 

"Siapa, Yah?" tanyaku.

"Nanti kamu liat sendiri."

Sementara itu, mobil sudah tiba di jalan dekat rumah. Kami pun turun, lalu berjalan menuju rumah. Sepanjang perjalanan, kami pun sukses menjadi pusat perhatian orang-orang yang sedang beraktivitas di pagi hari. 

Ada yang melihat kami dengan tatapan tajam. Ada pula yang menghindar saat berpapasan dengan kami. Entah, aku merasa seperti memiliki penyakit menular.

Setibanya di rumah, terlihat pintu depan sudah terbuka lebar. Tandanya, orang yang ayah maksud berada di dalam. Dalam hati berharap itu bukan bos ayah.

Kuhentikan langkah tepat di depan teras. Ada perasaan ragu bercampur takut untuk masuk ke dalam. 

"Kenapa berdiri di sana, Syad? Ayo masuk!" ucap Ayah yang berdiri di dekat pintu. Rasanya dialog ini seperti tak asing. "Kasian tamunya udah nunggu daritadi. Mana datang dari jauh juga," imbuhnya.

"Siapa?" tanyaku.

"Kamu liat aja di dalem." Ayah masuk ke dalam rumah, menyusul Hamid. Kini hanya tinggal aku dan ibu saja.

"Nggak usah takut," ucap Ibu.

"Tapi, Bu. Perasaan aku gak enak."

"Banyak dzikir dalam hati. Biar kamu tenang. Yuk!" 

Aku berjalan perlahan masuk ke dalam rumah. Saat melihat ke arah ruang tengah, ternyata...

**

"Ardi! Bagas!" panggilku seraya menghampiri kedua temanku.

"Syad." Mereka pun bangkit.

"Kok bisa tau rumah gua?"

"Ayah yang kasih tau, Syad," sahut Ayah.

"Ke atas, yuk!" Aku mengajak kedua temanku ke kamar.

"Makan dulu, Syad," ucap Ibu.

"Nanti, Bu," sahutku seraya berjalan ke kamar.

"Kamar mandi lu gelap banget, Syad," ucap Ardi saat kami melewati kamar mandi. 

"Iya, lampunya dari awal pindah, gak nyala," balasku.

"Belum dibenerin?" 

"Belum, gak ada tukang listrik yang mau benerin."

"Kenapa?"

"Ntar gua ceritain." Kubuka pintu kamar. Berdiri sebentar di dekat pintu, seraya menatap lantai dan kolong kasur.

"Ada apa, Syad?" tanya Bagas.

"Nggak." Aku pun masuk ke dalam, lalu duduk di kasur.

"Kepala lu gimana, Syad?" tanya Ardi.

"Bocor," balasku.

"Ada-ada aja sih. Bisa-bisanya kepeleset pas mati lampu."

"Oh, ayah udah cerita, ya?"

"Iya, tadi cerita."

Kutatap tas yang dibawa Ardi. "Lu ke sini ngapain bawa tas segede itu?" tanyaku.

"Oh, ini ada bingkisan dari anak-anak kelas." Ardi mengeluarkan bingkisan buah dan beberapa biskuit. 

"Banyak amat."

"Gua pikir lu dirawat di rumah sakit. Eh ternyata cuman nginep semalem doang."

"Syad, di sini gak bisa internetan?" tanya Bagas sembari menatap layar ponselnya.

"Iya, internetnya susah banget di sini. Kayanya ketutupan energi negatif deh!" Aku sedikit menyindir penghuni tak kasat mata di kamar.

"Energi negatif apaan?"

"Energi negatif dari makam di belakang rumah."

"Hah? Jangan bercanda deh, Syad," sahut Ardi.

"Beneran. Gua gak bercanda. Mau liat?"

"Kagak!"

"Tau gitu kita gak nginep di sini," ucap Bagas.

"Emang lu berdua mau nginep di sini?"

"Iya. Gua sama Ardi dah bawa baju."

Aku pun tersenyum lebar. "Akhirnya ada temennya," ucapku.

"Maksudnya?" Bagas menatapku bingung.

"Nanti lu rasain sendiri pas malem."

"Oh ya, gua jadi inget pas tadi nungguin lu dateng. Terus ada yang ngetok kaca jendela di belakang sofa," ucap Bagas.

"Baru diketok, belum dijedotin," balasku.

"Ada-ada aja lu, Syad. Masa ampe dijedotin."

"Nih. Kepala gua korbannya. Dua kali loh."

"Seriusan?"

"Serius banget."

"Astaghfirullah. Balik, yuk, Di!" Bagas tampak ketakutan. Aku pun tertawa. "Bohong kan, lu?" 

"Dah santai aja," balasku.

Tok! Tok! Tok!

Saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba terdengar tiga ketukan cepat terdengar di pintu. "Siapa tuh, Syad?" tanya Bagas.

"Siapa?" tanyaku.

"Aku," balas Suara Hamid. 

"Masuk aja."

Kriet! 

Pintu terbuka. "Kak, kata ibu suruh ke bawah. Makan."

"Iya bentar."

Kami pun turun ke bawah. Ibu sudah menggelar karpet di ruang tengah. Lalu, menyusun makanan dengan rapih. 

"Lesehan kita," ucapku sembari duduk. Lalu mengedarkan pandangan mencari keberadaan ayah. "Ayah ke mana, Bu?"

"Lagi ke kantor ada urusan mendadak."

"Oh. Langsung makan aja?"

"Iya," balas Ibu.

Setelah makan siang, aku, Ardi dan Bagas duduk di teras. "Rumah lu bagus sih, tapi gak punya tetangga," ucap Bagas.

"Iya sendirian aja, kaya yang punya," sahut Ardi.

"Lagian ngapain berduaan. Nanti yang ketiganya setan," balasku sambil melirik Bagas.

Bagas pun langsung tertawa. "Sialan."

Ardi berjalan mendekati pohon mangga. "Siang-siang gini enak banget kayanya bikin rujak mangga," ucapnya.

"Mending jangan deketin tuh pohon deh. Apalagi ambil buahnya." Aku memperingatinya.

"Kenapa emangnya?"

"Pokoknya jangan."

Ardi tidak mengindahkan peringatanku. Malah berjalan lebih dekat ke pohon mangga. "Gua minta satu ya, Syad?" tanyanya.

"Jangan, Di. Buahnya beracun," sahutku.

"Mana ada mangga beracun." Ardi tak percaya. Ia malah berusaha menaiki pohon itu.

Brug!

Belum juga berhasil naik, ia sudah tersungkur ke tanah. "Gua bilang juga apa!" ucapku.

"Batangnya berlumut sih. Licin," alasannya seraya bangkit. Kemudian mengambil sebuah batu dan melemparnya ke salah satu mangga.

Tiba-tiba aku melihat ada sesosok makhluk bertubuh hitam dan kurus kering. Dengan mata merah menyala. Sosok itu sedang berjalan kayang, menuruni pohon mangga.

"Ardi!" teriakku. Namun, ia tidak memperdulikannya. Sementara, sosok itu terus bergerak mendekatinya. 

"Ardi!" Aku berdiri dan berlari menghampirinya. Kemudian menarik tubuhnya hingga kami terjatuh ke tanah. Sosok itu berhenti bergerak, menatapku, lalu menghilang.

"Kenapa sih, Syad?" tanya Ardi kebingungan.

"Balik kamar aja, Yuk!" ajakku.

"Kan bisa ngomong baik-baik, gak perlu maen smackdown aja. Ntar kalau kepala lu bocor lagi gimana," keluhnya sembari membantu berdiri.

Aku melirik ke atas pohon mangga. Memastikan sosok menyeramkan tadi sudah tidak ada. 

"Gas, lu diem aja!" ucap Ardi.

"Seru nontonin kalian sambil ngemil kacang," sahutnya.

Kami pun kembali ke kamar. 

"Syad, lu daritadi diem aja? Kepala lu gak kenapa-napa, kan?"

"Aman." Sejujurnya, aku masih memikirkan sosok menyeramkan tadi. Baru kali ini aku melihat ada hantu muncul di siang hari.

Sehabis isya, ayah belum juga pulang dari kantornya. Kami pun kembali makan bersama di ruang tengah. Namun, ada yang aneh dengan Ardi. Ia tidak makan sebanyak sebelumnya. "Kenapa lu, Di?" tanyaku.

"Badan gua gak enak," ucapnya.

"Nggak enak gimana?"

"Kaya mual sama pusing gitu."

"Tadi siang gak kenapa-napa lu," sahut Bagas.

"Nggak tau nih."

"Bu, ada obat mual, gak?"

"Wah, ibu gak punya. Emangnya kenapa?"  balas Ibu.

"Ini si Ardi mual sama pusing."

"Ibu bikinin gula jahe ya. Biar perutnya enakan."

"Nah boleh tuh."

Tak lama kemudian, ibu membawakan tiga gelas gula jahe. Bergegas, kami menyeruputnya perlahan. "Gimana?" tanyaku pada Ardi.

"Udah agak enakan," balasku.

"Oke, mending sekarang lu istirahat di atas." Kami pun kembali ke kamar. Aku meminta Ardi untuk berbaring di atas kasur.

"Gas, tolong tutup jendelanya dong," pintaku pada Bagas yang duduk di dekat jendela. 

"Padahal enak banget anginnya dingin."

"Ya dingin karena mau hujan," sahutku.

Suara gemuruh petir mulai terdengar. Tak lama hujan pun turun. "Kita tidur di mana nih, Syad?" tanya Bagas sembari duduk di lantai, menemaniku.

"Kasurnya cuman satu. Dipake pula. Jadi kita tidur di lantai aja," balasku.

Heu! Heu!

Terdengar suara bergumam dari atas kasur. Sontak, aku menoleh ke sana. Telrihat Ardi sedang menggerak-gerakan kepalanya, ke kiri dan kanan. "Di?" panggilku seraya bangkit.

"Kenapa tuh anak?" tanya Bagas yang masih duduk di lantai.

Kulihat keringat mengucur dari kening Ardi. "Di, bangun." Aku coba membangunkannya. "Di!"

Tiba-tiba Ardi melotot dan mencekik leherku. "MATI KAU!" hardiknya.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close