RUMAH DUKUN (Part 6)
JEJAKMISTERI - “Di!" ucapku seraya melepaskan cekikannya. Bagas pun ikut membantu. Namun, tenaga kami seperti tidak ada apa-apanya. Sementara, cekikan Ardi semakin keras.
Ardi melepaskan satu tangannya dari leherku. Kemudian memukul Bagas hingga ia terpental. "KAMU BELUM MATI JUGA!" ucap Ardi.
Aku menatap wajahnya yang terlihat sangat pucat. Kemudian membaca doa sekecang mungkin. "BERISIK!" Ardi mulai melonggarkan cengkeramannya. Sontak aku langsung menepis tangannya dan melangkah mundur. Lalu kembali merapal doa bersama Bagas.
"MID!" teriakku memanggil Hamid. Tak lama ia menyahut dan membuka pintu. Ia langsung ketakutan saat melihat Ardi. "Panggil ibu. Cepetan!" perintahku.
Hamid pun pergi. Sementara aku tak melepaskan sedikitpun pandangan pada Ardi. Entah sosok apa yang merasukinya. Apa si Wanita bermata merah atau makhluk hitam yang tadi siang ada di pohon mangga.
Tak lama kemudian, ibu dan Hamid datang ke kamar. "Astaghfirullah," ucap Ibu saat melihat Ardi.
"Bu, tolong pegangin Ardi," pintaku sembari mengambil segelas air di atas meja.
Ibu mendekati Ardi, sembari merapal doa. Namun, ia berontak, hampir memukul wajah ibu.
Di sisi lain, Bagas juga ikut mendekati Ardi. "JANGAN MENDEKAT!" ancamnya sembari melotot ke arah Bagas. Sementara aku mulai membaca ayat-ayat rukiyah sambil memegang segelas air.
Ibu berhasil memegang tangan kanan Ardi. Begitu pula Bagas yang memegang tangan kirinya. "Cepetan, Syad. Gua gak kuat," ucap Bagas.
Aku berjalan mendekat. Kemudian mengusapkan air yang sudah dibacakan ayat-ayat rukiyah ke wajah Ardi. "PANAS!" teriak Ardi.
"Keluar!" ancamku, lalu kembali mengusapkan air ke wajahnya.
"ARGH! PANAS!"
Aku terus mengusapkan air itu, sembari membaca ayat kursi dengan suara lantang. Dibantu oleh ibu dan Bagas. "Keluar!" pintaku.
"HAHAHAHA!" Ardi malah tertawa kencang. "Kamu pikir itu bisa mengusirku?" ucapnya sembari mengibaskan tangan kirinya. Seketika itu, tubuh Bagas ambruk.
"Gas!" teriakku. Namun ia sudah tak sadarkan diri.
"DIA DATANG!" teriak Ardi.
Tak lama, Ayah datang ke kamar. "Astaghfirullah."
Ardi tertawa sambil menatap ayah. "MAU KAMU PILIH YANG MANA," ucapnya sambil menatap ayah. Ia menatapku, "ANAK INI." Lalu menatap Hamid. "ATAU ANAK INI!"
Ayah merebut segelas air dari genggamanku. Kemudian duduk di kasur dan berhadapan langsung dengan Ardi.
Berkali-kali, ayah mengusapkan air ke kepala Ardi, hingga membuatnya menjerit kesakitan. "AKAN SAYA AMBIL SALAH SATU DARI KALIAN!" ancamnya, lalu kembali menjerit.
Tak lama, ada asap putih yang ke luar dari ujung kepala Ardi. Seketika itu, ia tak sadarkan diri. Ayah masih merapal doa, lalu mengusapkan air ke tangan dan kaki Ardi. "Usapin ke Bagas juga," perintahnya padaku.
Setelah diusapkan air, Bagas kembali tersadar. "Syad," ucap Bagas.
"Lu napa pingsan," balasku.
"Nggak tau, tiba-tiba aja semuanya jadi gelap."
Sementara itu, Ardi masih belum juga sadar. "Bu, ambilin anduk kecil," pinta Ayah.
"Aku ada kayanya," sahutku seraya mengambil handuk kecil di lemari. Lalu menyerahkannya pada ayah.
"Ardi kok belum bangun juga, Yah?" tanyaku.
"Ayah juga gak tau. Tapi, demamnya tinggi banget," balas Ayah seraya menuangkan sisa air ke handuk itu, lalu mengompres kening Ardi. "Kalau sampai sejam belum sadar, harus dibawa ke klinik."
"Ayah kok pulang pas lagi hujan gede gini," ucapku.
"Dari habis magrib tadi, perasaan ayah gak enak. Makanya ayah maksa pulang. Ternyata bener firasat ayah," jelasnya.
"Terus maksud omongan Ardi tadi apa?" tanyaku.
"Jangan peduliin omongan setan. Mereka pandai berbohong dan mengancam."
"Tapi ini ada hubungannya sama Arsyad dan Hamid, Yah," sahut Ibu.
"Ayah juga tau."
"Kalau ayah tau, harus berbuat sesuatu sebelum terjadi apa-apa sama aku atau Hamid."
"Ayah udah panggil Ustad untuk datang ke sini."
"Kapan?"
"Besok."
Ardi membuka mata, "Alhamdulillah," ucap Ayah.
"Bentar, ini Ardi, kan?" tanyaku, ragu.
"Iya," sahutnya, pelan.
"Bu ambilin minum, pasti Ardi lemes banget," pinta Ayah. Ibu pun turun untuk mengambil minum.
"Tadi lu kenapa, Di?" tanyaku.
"Udah, jangan dibahas sekarang, kasian Ardi," sahut Ayah.
Ibu kembali ke kamar dengan membawa segelas air. Sebelum meminra Ardi meminumnya, ayah terlebih dulu merapal doa.
Ardi pun sudah bisa bangkit, duduk di atas kasur. "Sekarang ceritain, kenapa bisa sampe begitu," pinta Ayah.
"Gara-gara pohon mangga," sahutku.
Ayah langsung menoleh padaku. "Pohon mangga?"
"Iya, tadi siang Ardi udah aku larang deketin pohon mangga malah ngeyel."
"Emangnya kenapa sampe dilarang begitu."
"Pohonnya angker, Yah. Buahnya juga beracun."
"Tau dari mana kalau buahnya beracun?" tanya Ayah.
Akhirnya aku menceritakan kejadian yang menimpa Risa saat masih kecil. "Bisa jadi itu cuman kebetulan aja," ucap Ayah saat selesai mendengarkan ceritaku.
"Tapi, Yah. Tadi aku juga liat ada setan item di atas pohon, mau deketin Ardi. Kayanya dia marah."
"Oh pantesan, lu tiba-tiba lari narik si Ardi ampe jatoh," sahut Bagas.
"Iya, Gas," balasku.
Ayah kembali menoleh ke arah Ardi. "Tadi apa yang kamu rasain?" tanyanya.
"Berasa kaya mimpi gitu, Pak," balas Ardi.
Ardi pun mulai bercerita. Saat ia berbaring di atas kasur, ia merasakan badannya mulai demam. Kemudian memaksa untuk tidur. "Baru nutup mata bentar, tiba-tiba ada yang nindihin badan gitu," ucap Ardi.
Saat Ardi membuka mata, terlihat ada sosok.. "Item, kurus, matanya merah, terus rambutnya putih?" Aku memotong ceritanya.
"Iya bener," sahutnya.
"Berarti yang dari pohon mangga."
Sontak Ardi menutup mata saat melihat makhluk menyeramkan itu. Ia juga berusaha memanggilku dan Bagas, tapi tak bisa. Suaranya seperti tertahan di tenggorokan.
"Abis itu badan rasanya kesemutan, terus dingin banget. Pas buka mata udah ada di hutan yang gelap gitu," ucap Ardi.
"Sekarang kamu ngeliat, atau ngerasain sesuatu, gak?" tanya Ayah pada Ardi.
"Nggak, Pak."
"Sekarang kamu istirahat dulu di sini, bareng Arsyad sama Bagas. Jangan lupa baca doa kalau ngerasa ada sesuatu," ucap Ayah seraya bangkit.
"Ayah mau ke mana?" tanyaku.
"Ayah mau ke bawah dulu, ganti baju."
PRANG!
Bunyi kaca jendela yang tiba-tiba pecah. Serpihannya hampir mengenaiku. "Aduh," ucap Bagas seraya memegang kepalanya. Sontak aku menoleh padanya. Di tangannya ada sebuah batu yang berlumuran darah.
"DARAH! DARAH! KAMI INGIN DARAH!"
Ardi berdiri di atas kasur sambil melotot ke arah Bagas.
**
"KAMI INGIN DARAH!" Ardi melotot, sambil menunjuk Bagas.
"Syad, bawa Bagas ke bawah," perintah Ayah. "Ibu juga bawa Hamid ke bawah," imbuhnya.
"Ayah gimana?" tanyaku.
"Ayah nanti nyusul sama Ardi."
Aku dan Bagas pun berdiri, kemudian berlari ke luar kamar. Bagas terus meringis kesakitan, sembari memegang belakang kepalanya.
"Ke kamar ibu aja, Syad," ucap Ibu yang berlari di depan.
Di dalam kamar, ibu bergegas memeriksa luka Bagas. "Lukanya gimana, Bu?" tanyaku.
"Kayanya gak terlalu dalem," sahutnya.
"Aduh," ucap Bagas saat ibu membersihkan lukanya dengan cairan alkohol.
"Tahan ya, Gas," ucapku.
"Iya."
"Maaf banget malah jadi begini."
"Lu gak usah minta maaf, Syad."
"Syad ambil anduk kecil di lemari, sama gunting di laci," perintah Ibu.
Aku bergegas lari ke arah lemari, mengambil handuk. Kemudian berjalan ke arah nakas. Kubuka laci satu persatu. "Guntingnya gak ada, Bu," ucapku.
"Di laci paling atas, Syad. Masa gak ada?" sahut Ibu.
"Nggak ada, Bu."
"Oh, kayanya ada di meja dapur."
"Dapur?"
"Iya."
Duh, jujur dalam situasi seperti ini aku tak ingin pergi ke luar kamar, apalagi dapur. "Buruan, Syad!" ucap Ibu.
Kriet!
Kubuka pintu kamar, lalu mengambil ancang-ancang untuk berlari ke dapur. Satu! Dua! Tiga! Aku berlari sekencang mungkin.
Saat berbelok ke dapur, aku melihat ada sosok wanita berambut panjang, mengenakan gaun berwarna putih. Ia duduk di atas meja.
Sontak aku menghentikan langkah dan berjalan mundur. Ia memiringkan kepalanya. Kemudian melotot ke arahku. Perlahan senyumnya mengembang.
Hihihihihihi...
Ia tertawa cekikikan, membuat bulu kudukku meremang. "IBU!" teriak, seraya berlari kembali ke kamar.
Krek!
Pintu terkunci. "IBU! BUKA!" teriakku sembari menggedor-gedor pintu.
Hihihihihihi...
Terdengar suara tawa, tepat di belakangku. Diikuti aroma melati bercampur bau busuk yang menyengat.
Aku melirik sedikit ke samping. Dari ekor mata, terlihat Wanita tadi sedang duduk di kursi ruang tamu, sambil memainkan rambutnya.
"IBU!" Aku berteriak sekencang mungkin.
Kriet!
Pintu terbuka. Dengan cepat aku masuk ke dalam dan menutup pintu. "Kamu kenapa teriak-teriak?" tanya Ibu.
"Kenapa pintunya dikunci!" balasku marah, sambil mengatur napas.
"Nggak ada yang kunci pintu. Terus mana guntingnya?"
"Di dapur."
"Kenapa gak diambil?"
"Ada perempuan serem Bu, di dapur."
"Ya udah, gak usah pake gunting." Ibu merobek handuk kecil itu, lalu digunakan untuk memerban luka Bagas.
Tuk! Tuk!
Terdengar ketukan di jendela yang mengarah ke halaman. Sontak, kami menoleh ke sana. "Hamid sini!" Aku memanggil Hamid yang berdiri tak jauh dari jendela. Ia pun bergegas menjauhi jendela dan menghampiriku.
Tuk! Tuk!
Ketukan itu terdengar lagi, membuat mata kami tertuju pada jendela.
Whus!
Ada angin kencang yang menyibak gordin, hingga nyaris terangkat ke langit-langit. Dari tempatku berdiri, terlihat ada seseorang berdiri di balik jendela. Beruntung di luar gelap, jadi aku tak bisa melihatnya dengan jelas.
"Bu," ucapku, seraya berdiri di dekatnya.
"Baca doa," balas Ibu yang masih menatap ke arah jendela.
Gordin bergerak tak beraturan. Lambat laun, membentuk seperti tubuh manusia. "Ibu!" Hamid berteriak sambil bersembunyi di balik tubuh ibu. Sementara aku, ibu dan Bagas terus melantunkan ayat-ayat suci Al Quran.
BRAK!
Sontak kami menoleh ke arah pintu. Sumber suara benturan tadi. "Buka pintunya, Syad," panggil Suara dari luar. Suaranya mirip dengan ayah.
"Ayah?" sahutku.
"Iya, ini ayah."
Aku membuka pintu. Ternyata itu memang ayah. Namun aku tak melihat keberadaan Ardi. "Ardi mana, Yah?" tanyaku.
"Masih di atas," balas Ayah seraya masuk ke kamar dan duduk di kasur.
"Kok ditinggal sih, Yah."
"Susah. Terpaksa sementara ayah iket di kasur."
"Ya Allah, kasian si Ardi," ucap Bagas.
"Iya. Kenapa bisa sampe begini sih?" ucapku.
"Itu gara-gara dia ganggu penunggu pohon mangga di depan."
"Tapi Bagas kan gak ganggu. Kenapa kepalanya di lempar batu."
"Efeknya jadi marah ke semua orang di sini."
"Ayah haus? Ibu ambilin minum, ya?" tawar Ibu.
"Nggak usah, Bu," balas Ayah, lalu rebahan di atas kasur. "Ayah capek banget."
"Ya udah ayah istirahat aja dulu," balas Ibu. "Sementara kita tidur di sini dulu. Abis subuh baru liat Ardi di atas."
Tuk! Tuk! Tuk!
"Bu!" panggil Suara dari luar. Suaranya mirip sekali dengan ayah.
"Ayah?" sahutku.
"Iya, buka, Syad."
Loh? Kalau di luar ayah. Terus yang lagi tidur di kasur siapa?
"Jangan dibuka!" ucap Ayah, bangkit dari tidurnya. "Mereka bisa nyamar jadi siapa saja," imbuhnya.
Tuk! Tuk!
"Syad, buka pintunya." Sementara suara ayah yang lain meminta untuk dibukakan pintu. Aku menoleh ke arah ibu, yang sama bingungnya denganku. "Gimana, Bu?" bisikku.
"Yah?" teriak Ibu.
"Ya, Bu. Tolong buka pintunya," sahut Suara dari luar.
"Coba baca ayat kursi!" perintah Ibu.
Terdengar suara lantunan ayat kursi dari luar. Kulirik ayah yang sedang duduk di atas kasur. Ia terlihat sangat gelisah. Aku pun membaca ayat kursi dengan lantang. Diikuti ibu dan Bagas.
BRUG!
"BERISIK!" Ayah menggebrak kasur, lalu berdiri melayang. Sorot matanya berubah menjadi merah. Tubuhnya pun semakin membesar, hingga kepalanya menyentuh langit-langit. Bulu-bulu hitam bermunculan di seluruh tubuhnya. Diikuti taring panjang di mulutnya.
"Astaghfirullah!"
Sontak, kami merapat ke pintu, berusaha untuk membukanya. Namun tak bisa.
"Ayah! Tolong!" teriakku.
HAHAHAHA
Sosok menyeramkan itu tertawa kencang. Kencang sekali, sampai menggetarkan dinding kamar.
Dug! Dug!
Ia berjalan mendekat. "Salah satu dari kalian harus ada yang ikut dengan saya!" ucapnya.
Ibu memintaku, Hamid dan Bagas bersembunyi di balik tubuhnya. "Ayah, tolong!" teriakku.
BRUK! BRUK!
Sementara itu, terdengar suara dobrakan dari pintu. "Baca ayat-ayat ruqyah, Syad!" teriak Ayah.
Kami pun mulai membaca ayat-ayat rukyah, membuat Sosok menyeramkan itu terlihat semakin marah. "DIAM!" hardiknya sembari menghentakan kaki ke lantai.
Dep!
Seketika itu lampu kamar mati. Spontan, kami langsung berpegangan. Bola mata merah yang menyala masih terlihat dalam kegelapan. Semakin lama, ukuran semakin membesar dan...
ARGH!
Aku berteriak kencang saat ada yang menarik tangankuz
**
“Syad!" Ibu memegang tubuhku, begitu pula Bagas.
"Ibu!" Aku menangis kesakitan saat merasakan cakaran di tangan.
"Jangan takut sama mereka! Terus baca doa!" teriak Ayah dari luar.
Aku pun membaca doa. "DIAM!" Suara menakutkan itu terdengar sangat dekat. Hingga membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Kulanjutkan membaca doa, hingga tarikannya melemah. Perlahan, dua bola mata merah itu terlihat menjauh, lalu hilang.
Lampu di kamar pun kembali menyala. Spontan aku melihat ke tangan. Ada bekas cakaran yang masih mengeluarkan darah. Rasanya perih sekali. "Astaghfirullah, Syad. Tangan lu." Bagas pun kaget melihatnya.
Sementara ibu, membuka pintu kamar. Ayah pun masuk ke dalam sembari menggotong Ardi yang tak sadarkan diri.
"Tidurin di atas kasur aja, Yah," ucap Ibu. Kemudian mengambil bekas robekan handuk tadi dan cairan alkohol. Lalu mulai membersihkan lukaku.
"Aw, sakit, Bu," keluhku.
"Tahan," balas Ibu sambil mengusap lukaku perlahan. Setelah bersih, lalu diperban dengan menggunakan handuk.
"Sekarang ibu udah ngertikan, kenapa aku mau pindah dari sini," ucapku, sengaja dengan suara agak keras agar ayah mendengarnya.
"Iya," balas Ibu.
Aku menunggu balasan dari ayah, tapi sepertinya ia berpura-pura tak dengar. "Ayah bilang, setan gak bisa ngelukain kita. Sekarang buktinya? Tangan aku jadi begini," sindirku.
Ayah menoleh padaku, "Itu karena kamu takut sama mereka. Jadi mereka punya kekuatan lebih untuk ngelukain kamu," balasnya.
"Permintaan aku cuman satu, Yah. Bisa pindah dari sini secepetnya. Aku gak apa-apa tinggal di kontrakan yang sempit dan murah. Daripada harus tinggal di sini," ucapku.
"Belum bisa sekarang, Syad."
"Apa ayah nunggu aku meninggal dulu? Biar tujuan ayah tercapai." Jujur aku sudah sangat kesal dengannya.
"Hus! Jangan ngomong gitu!" sahut Ibu.
"Abisnya ayah kaya biasa aja, Bu. Liat anaknya tersiksa gini."
Ayah berjalan menghampiriku, kemudian duduk di depanku. Ia menghela napas, lalu mengusap rambutku. "Ayah sayang banget sama kamu. Ayah juga sayang sama Hamid. Ayah gak bakal ngebiarin kamu kenapa-napa, Syad. Cukup, ini terakhir kalinya.
Ayah menerima tawaran bos untuk tinggal di sini, karena memang ada tujuan. Insya Allah tujuan ayah datang ke sini itu baik, bukan untuk numbalin kamu. Kamu harus percaya sama ayah."
Ibu tampak kaget mendengar ucapan ayah. "Tujuannya apa, Yah? Kok ayah gak ngomong apa-apa sama ibu?" tanyanya.
"Ayah belum bisa ngomong sekarang, Bu. Tunggu waktu yang tepat."
"Kapan? Belum seminggu aja, Arsyad udah begini. Apa ayah tega?"
Ayah terdiam, "Bu, percaya sama ayah. Kalau tujuan ayah datang ke sini itu baik."
"Baik dari mana, Yah? Jangan-jangan ayah udah tau kalau rumah ini emang banyak setannya."
Ayah mengangguk pelan.
Aku tersentak kaget. Jadi selama ini ayah berpura-pura tidak tau? Pantas saja sikapnya begitu santai.
"Astaghfirullah! Itu sama aja kaya ayah mau nyelakain Arsyad sama Hamid!" sentak Ibu. "Dah mending besok pagi kita pergi dari sini!"
Ayah bangkit, kemudian berjalan mendekati lemari. Ia mengambil sesuatu dari dalam lemari. Lalu, kembali menghampiri ibu. "Ini alamat rumah temen ayah. Besok, ibu sama Hamid bisa tinggal di sana sementara," ucap Ayah.
"Arsyad gimana?" tanya Ibu.
"Bagas, Arsyad boleh nginep di rumah kamu, gak? Beberapa hari." tanya Ayah pada Bagas.
"Boleh," balas Bagas.
"Terus ayah tinggal di mana?" tanyaku.
"Ayah bakal tetep di sini."
"Kenapa? Apa ayah gak takut?"
"Ayah sama sekali gak takut sama mereka, karena derajat manusia itu lebih tinggi."
DUG!
Terdengar benturan keras di langit-langit.
Ayah berlari ke arah kasur, kemudian menggotong Ardi. "Jagain Ardi!" Ayah membaringkan Ardi di dekatku.
DUG!
"Kamu pegang tangan Ardi, terus baca ayat-ayat ruqyah! Apapun yang terjadi jangan sampe putus, sampe gangguan ini ilang," perintah Ayah, lalu bangkit dan berjalan ke arah pintu.
"Ayah mau ke mana?" tanya Ibu.
"Ayah mau cari sumber masalah ini!" balas Ayah. "Oh ya, satu lagi. Kunci pintunya," pesannya, lalu pergi ke luar kamar.
DUG!
Benturan keras kembali terdengar di langit-langit kamar. Kini suaranya tepat di atasku. "Baca doa!" perintah Ibu.
Kugenggam tangan Ardi, lalu mulai membaca ayat-ayat rukiyah. Dalam pikiranku, bertanya-tanya kenapa ia belum juga sadar.
Whoos! Brak!
Gording tersibak kencang, diikuti jendela yang terbuka. "Bu," ucapku.
"Tutup mata, lanjut baca doa," balasnya.
Aku lanjut membaca doa.
Ngik! Ngik! Brak!
Entah apa yang sedang terjadi di dalam kamar. Suara-suara itu terus terdengar, menemani lantunan doaku. Sementara aku, sama sekali tidak ingin membuka mata.
"Syad." Aku mendengar suara Ardi. "Syad." Kini kurasakan tangannya bergerak. "Kenapa pada tutup mata," ucapnya.
Aku menjaga kepala tetap tertunduk, tak mau melihat ke arah jendela. Lalu membuka mata perlahan dan melihat wajah Ardi. Ia masih menutup matanya. Lantas, siapa yang memanggilku tadi?
Kurasakan tangan Ardi bergerak-gerak. Sontak, aku menoleh ke arah tangan kiriku yang daritadi menggenggam tangannya.
Deg!
Jantungku seperti berhenti berdetak, saat melihat ada tangan yang begitu kurus dan hitam, sedang memegang tanganku. Dari ekor mata, terlihat ada sesosok makhluk kurus berambut putih, sedang duduk di depan Hamid dan ibu. Sontak, aku memejamkan mata dan kembali membaca doa.
Kurasakan hawa dingin menjalar di tangan. Perlahan bergerak ke arah leher. Bulu kudukku pun meremang. Lalu tercium bau busuk yang menyengat.
"Arsyad," bisik Suara pria, lirih. "Buka matanya." Suara itu seperti menghipnotisku. Hingga perlahan aku membuka mata.
ARGH!
Aku menjerit ketakutan, karena makhluk menyeramkan tadi kini persis di depan wajahku. Wajahnya yang sangat kurus, seperti tulang yang hanya dibalut kulit. Tangannya begerak cepat. Membekap mulutku.
Aku seperti dipaksa melihat ke depan. Banyak makhluk yang sangat menyeramkan sudah memenuhi kamar. Ada yg bergelantungan di langit-langit. Duduk di atas lemari dan kasur. Ada pula yang menggeliat di lantai. Sungguh pemandangan menakutkan.
"Sudah saatnya," bisik Sosok yang membekapku. Ia memaksa membuka mulutku. Lalu makhluk-makhluk yang tadi kulihat itu berterbangan. Masuk ke dalam mulutku. Hingga akhirnya aku tak kuat dan pingsan.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya