RUMAH DUKUN (Part 7)
JEJAKMISTERI - Entah bagaimana, tiba-tiba aku terbangun di sebuah ruangan gelap. "Kak Arsyad," panggil Suara yang mirip dengan Hamid.
Aku mengedarkan pandangan mencari Hamid. Nihil. Ruangannya terlalu gelap. "Hamid," panggilku.
"Aku di sini, Kak," sahut Hamid.
Aku berjalan perlahan menuju sumber suaranya. "Hamid," panggilku lagi.
"Kakak!" Tiba-tiba ia memelukku. "Kenapa kakak ada di sini juga?" tanyanya.
"Kakak juga nggak tau. Kamu juga kenapa ada di sini?"
"Aku udah lama dikurung di sini, Kak."
"Dari kapan?"
"Dari pas datang ke rumah itu."
"Kok bisa?"
"Ada monster gede yang bawa aku ke sini. Aku takut."
"Jangan takut, sekarang kakak ada di sini." Aku berpura-pura berani di hadapan Hamid.
"Kalau Kak Arsyad di sini, nanti siapa yang bisa nyelamatin aku?" tanyanya.
"Ada ayah. Ayah pasti nyelamatin kita berdua."
"Ayah gak mungkin nyelamatin kita, Kak."
"Kenapa begitu?"
"Soalnya ayah sering datang ke sini, tapi gak nyelamatin aku."
Aku terkejut dengan ucapan Hamid, "Kamu yakin itu ayah."
"Iya."
"Syad! Syad!" Terdengar suara ayah.
"Ayah datang, Kak," ucap Hamid.
"Pegang tangan kakak!"
Perlahan ruangan menjadi terang. Kini terlihat Hamid sedang menatapku. Tak lama kemudian, muncul sebuah lubang hitam di dinding. Lubang itu seperti menarik tubuhku.
"Jangan lepasin tangan kakak, Mid!" ucapku seraya menahan agak tidak terhisap. Namun, daya hisapnya semakin kuat. Hingga akhirnya pegangan kami pun terlepas.
"Kak, yang ada di sana bukan Hamid," teriak Hamid yang entah kenapa tidak ikut terhisap.
"Siapa?" Sahutku sebelum masuk ke dalam lubang.
"Anak Iblis!"
Aku masuk ke dalam lubang yang begitu gelap. Dari kejauhan terlihat cahaya. Saat cahaya itu menerpa wajahku, tiba-tiba aku sudah ada di kamar. Melihat tubuhku yang lain sedang tergeletak di lantai.
Ayah terus mengoyang-goyangkan tubuhku, sembari memanggil namaku. Aku berjalan mendekat. "Ayah, Arsyad ada di sini!" ucapku. Namun, tak ada satupun yang melihat kehadiranku. Apakah aku sudah meninggal?
Kusentuh tubuhku. Seketika itu aku tersedot ke dalam tubuh dan tersadar. "Alhamdulillah," ucap Ayah dan ibu bersamaan.
Aku menatap ayah, ibu, Hamid, Bagas dan Ardi. Posisinya sama persis dengan yang tadi kulihat. Jika tadi hanya mimpi. Kenapa sangat nyata?
"Syad," panggil Ayah.
Spontan, aku menoleh padanya. "Ya," balasku seraya bangkit, tapi tak bisa. Tubuhku terasa lemas sekali.
"Minum dulu, Syad," ucap Ibu. Aku pun langsung meminumnya, tapi tetap saja tubuhku masih lemas.
"Kenapa badan aku lemes banget, Bu?" tanyaku, bingung.
"Nanti ibu ceritain, sekarang kamu istirahat dulu," balasnya. Lalu, ayah mengotongku ke kasur.
Kulihat jendela, langit sudah terlihat agak terang. "Jam berapa ini, Yah?" tanyaku.
"Jam lima pagi."
Berarti aku cukup lama tak sadarkan diri.
Aku menatap Hamid yang sedang salat subuh berjamaah bersama ayah dan yang lainnya. Apa benar yang ada di hadapanku sekarang ini bukan Hamid? Jika memang ia Anak Iblis, lalu kenapa ia bisa salat dengan begitu tenang. Mungkinkah ia hanya berpura-pura saja?
Setelah salat berjamaah, Ardi dan Bagas membawakan buah-buahan dan cemilan yang dibawanya kemarin. Kami pun duduk di atas kasur sambil mengobrol.
"Semalem bener-bener serem banget!" ucap Bagas.
"Iya," sahut Ardi.
"Lu kan pingsan, Di."
"Tapi, kan. Pas Arsyad kesurupan, gua bangun."
"Gua kesurupan?" tanyaku.
"Iya, Syad," balas Ardi dan Bagas kompak.
"Lu kesurupannya aneh banget," imbuh Bagas.
"Aneh gimana?"
"Setannya ganti-ganti gitu. Asli serem," balas Bagas.
"Iya, bener. Baru ke luar satu, eh masuk yang lain. Gitu aja terus ampe adzan subuh," timpal Ardi. Mungkin itulah alasannya tubuhku terasa lemas sekali. "Gua salut sama ayah lu, Syad. Bisa tenang banget ngadepin lu yang ngamuk-ngamuk gak jelas," imbuhnya.
"Iya, kalau gua jadi ayah lu, mending gua tinggal aja. Daripada berjam-jam digebukin anaknya ampe berdarah-darah," ucap Bagas.
"Berdarah gimana?" tanyaku.
"Lu gak liat ada luka di mata bokap lu. Terus ditangannya juga banyak cakaran?"
Aku menggelengkan kepala.
"Ntar kalau dateng liat aja sendiri. Terus minta maaf."
"Iya." Aku merasa bersalah pada ayah.
Ibu masuk ke dalam kamar, membawakan sarapan untuk kami. "Makan dulu," ucapnya lalu kembali pergi ke luar kamar.
Setelah sarapan, tubuhku sudah tidak lemas. Aku pun bisa bangkit dari kasur dan berjalan ke ruang tengah. Kutatap wajah ayah yang sedang duduk di sofa. Ternyata benar, ada luka kecil di pelipis kirinya. "Syad, sini duduk!" pintanya.
Aku pun duduk di samping ayah. "Badan kamu udah enakan?" tanyanya.
"Udah, Ayah. Cuman agak pegel-pegel dikit;" balasku.
"Alhamdulillah kalau begitu."
"Hamid mana, Yah?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan, mencari keberadaanya.
"Di atas, lagi tidur."
"Oh." Aku melirik tangan ayah. Ada luka cakaran memanjang. "Ayah," ucapku pelan.
"Ya?"
"Maafin aku ya. Gara-gara aku badan ayah jadi luka-luka."
Ayah tersenyum, "Nggak usah minta maaf. Lagian itu bukan salah kamu."
"Sekarang mending kamu ke atas, siap-siap buat pergi bareng Ardi sama Bagas," imbuhnya.
"Iya, Yah." Aku pun bangkit dan berjalan ke kamar, ditemani Ardi dan Bagas.
Kamar terlihat masih berantakan, tapi lantai sudah bersih dari pecahan kaca. "Parah si Ardi, bantal gua ampe robek-robek gitu," ucapku sembari memasukan baju dan laptop ke dalam tas.
"Maaf ya, Syad."
"Ya gak usah minta maaf, kan kita sama-sama kesurupan."
"Iya juga." Kami pun terkekeh.
"Ntar gua nginep berapa hari?" tanyaku.
"Kata ayah lu, paling cuman dua atau tiga hari," sahut Bagus.
"Oh, gua bawa baju kebanyakan berarti." Aku mengeluarkan beberapa helai baju dari dalam tas.
"Kalau gua jadi lu sih, Syad. Bakal lama tinggal di rumah Bagas, sampe pindah dari rumah ini," ucap Ardi.
"Lama juga nggak apa-apa sih, biar gua ada temen ngobrol sama bisa nyontek tugas," sahut Bagas.
"Parah!" sahutku.
"Cuman gua heran, kenapa lu sama adek lu tinggalnya dipisah," ucap Bagas. "Kan bisa aja lu ikut ke rumah temennya ayah lu," sambungnya.
"Nggak tau dah, gua ngikut aja perintah ayah."
Kami pun ke luar kamar. Sebelum pergi ke bawah, aku mendatangi kamar Hamid.
Kriet!
Kubuka pintu kamarnya. Terlihat Hamid sedang tertidur pulas. Wajahnya terlihat polos sekali. Rasanya tak mungkin kalau ia ada seorang Anak Iblis.
"Dia memang anak iblis!" Terdengar sebuah bisikan. Sontak, aku celingak-celinguk ketakutan. Saat kembali menoleh ke arah kasur. Kulihat Hamid sedang melotot ke arahku, sambil tersenyum menyeringai.
**
"Astaghfirullah!" ucapku, sembari mengalihkan pandangan.
"Kak Arsyad ngapain di kamar aku," ucap Hamid.
Sontak, aku menoleh padanya. Wajahnya tidak semenyeramkan tadi. "Oh, nggak. Kakak tadinya mau pamit sama kamu. Eh kamunya tidur."
"Kakak mau pergi sekarang?" tanyanya.
"Iya."
Hamid beranjak dari kasur, lari menghampiriku. Lalu memelukku erat. "Hamid pasti kangen Kak Arsyad," ucapnya.
"Kan cuman sebentar aja. Nanti juga ketemu lagi," balasku, agak canggung.
"Kak Arsyad, tadi Hamid mimpiin kakak."
"Mimpi apa?"
"Aku liat kakak tiduran di lantai."
"Oh kirain apa."
"Kakak gak bergerak, terus di lantai banyak darah." Suara Hamid tiba-tiba berubah menjadi agak berat.
Sontak, aku melepas pelukannya dan sedikit mendorongnya ke belakang. Kemudian, berlari ke luar kamar. "Kakak gak bisa lari!" ucapnya masih dengan suara berat, sebelum pintu tertutup rapat.
"Kenapa muka lu ketakutan, Syad?" tanya Bagas.
"Nggak, yuk pergi dari rumah ini!" Aku bergegas turun ke bawah. Setelah itu pamit pada ibu dan ayah.
"Syad, daritadi diem aja. Mikirin apa sih?" tegur Ardi.
"Nggak mikirin apa-apa." Padahal daritadi aku memikirkan ibu. Soalnya ia akan pergi bersama Hamid. Aku takut Hamid melakukan sesuatu yang burruk padanya.
"Syad! Mau ke mana?" tanya Risa seraya berlari ke luar dari rumahnya.
"Pergi ke rumah temen."
"Itu kepala sama tangan kenapa diperban?"
"Nanti aku ceritain, Sa."
"Janji yah."
"Iya."
Sekilas aku melihat ada seseorang mengintip dari balik gordin rumah Risa. "Ibu kamu lagi ada di rumah?" tanyaku.
"Nggak ada. Pagi gini, ibu lagi pergi ke pasar."
Lantas siapa yang ada di dalam rumah Risa. Hmm, mungkin saja ayahnya. "Ya udah, aku pergi dulu, ya," pamitku.
"Hati-hati di jalan," balas Risa seraya mengembangkan senyum.
"Dadah, Risa!" ucap Bagas dan Ardi kompak seraya melambaikan tangan. Lalu tertawa cekikikan.
"Cie, Arsyad. Udah punya gebetan nih," ledek Bagas.
"Iya, ada kemajuan," timpal Ardi.
"Udah jangan dibahas!"
Ardi dan Bagas pun kembali tertawa. Kemudian, kaki lanjut berjalan kaki menuju jalan besar.
"Kampung sini warganya kagak ada yang ramah ya," ucap Bagas.
"Iya, matanya sinis semua. Kayanya cuman pacarnya Arsyad aja yang baik," sahut Ardi.
Aku langsung menoleh pada kedua temanku. "Ghibah terus!" seruku.
"Ghibah itu kalau di belakang orangnya. Sekarangkan lu ada di samping kita," sahut Bagas.
"Tapi bener sih, Syad. Kenapa sih warga sekitar rumah lu begitu amat," ucap Ardi.
"Gua juga gak tau, Di. Emang udah dari sononya kali," balasku.
"Ah, gak mungkin dari sononya. Pasti ada penyebabnya."
"Kalaupun ada, gua tetep gak tau."
"Kenapa gak lu tanyain aja sama cewek lu tadi."
"GAS!" Aku melotot padanya.
"Ampun, Syad. Siapa tau dia tau alesannya."
"Mungkin karena gua tinggal di rumah itu," balasku.
"Hmm, iya juga sih. Rumah horor gitu. Nengokin orang sakit, malah ikutan sakit," sahut Bagas.
"Biar kompak, Gas. Kepalanya sama-sama bocor," ledekku.
"Dahlah, gak lagi-lagi gua maen ke rumah lu."
"Santai, gak lama juga gua pindah dari sana."
"Ngomong-ngomong, daritadi gak ada angkot yang lewat. Sepi bener," ucap Ardi seraya menatap jalan besar.
"Iya," balas Bagas.
Setelah menunggu cukup lama. Akhirnya ada angkot yang lewat juga. Kami pun bergegas naik, menuju kota.
Setelah menempuh perjalan kurang dari 40 menit. Kami pun tiba di rumah Bagas. "Di, lu kagak balik ke rumah?" tanyaku.
"Gua ngegelinding aja sampe, Syad," sahutnya, karena rumah Ardi berada tepat di depan rumah Bagas.
"Maksudnya simpen tasnya dulu gitu."
"Santai, nanti aja." Ardi berbaring di atas kasur. "Si Bagas ambil minum lama amat."
"Nyasar kali."
Kriet!
Bagas masuk ke dalam kamar bersama ibunya, sembari membawa minuman dan cemilan. "Emang yang diceritain bagas bener, Syad?" tanya Ibu Bagas.
Oh, pantas saja lama. Ternyata Bagas bercerita dulu pada ibunya. "Iya, Bu," balasku.
"Kenapa nggak pindah dari sana aja?"
"Arsyad udah minta pindah, tapi ayah masih pengen tetep di sana."
"Ih, serem banget gitu."
"Banget, Bu. Apalagi semalem."
"Iya, semalem Arsyad ampe kayang sambil ketawa," sahut Ardi.
"Stt!" selaku.
"Katanya Ardi juga sempet kesurupan."
"Iya, Bu," balas Ardi.
"Syad, bilang sama ayah. Di sini ada kontrakan murah juga kok. Pindah sini aja," ucap Ibu Bagas.
"Iya, Bu. Nanti Arsyad bilang ke ayah."
Ibunya Bagas ke luar dari kamar. Kami pun lanjut mengobrol sambil bermain plasystation, sampai adzan dzuhur berkumandang.
"Sholat dulu!" ajak Bagas.
"Bentar, Gas. Nanggung," balasku sembari menatap layar televisi.
"Pause dulu aja, Syad," ucap Ardi.
"Kalian duluan aja."
"Ayolah! Jamaah." Bagas merebut stik playstation dari tanganku.
"GW BILANG BENTAR!" hardikku.
"Santai, Syad. Gitu aja marah," ucap Bagas.
"Kan dah gua bilang kalian duluan aja!"
Ardi dan Bagas ke luar kamar. Aku merasa bersalah karena telah membentaknya. Entah kenapa bisa tiba-tiba emosi seperti itu.
Aku membaca Istighfar berkali-kali, lalu bangkit dan menyusul kedua temanku itu. "Gas, gua minta maaf, ya," ucapku.
"Aman, Syad. Gua tau lu lagi butuh banget hiburan," balas Bagas.
"Asli gua juga gak tau kenapa tiba-tiba emosi begitu."
"Yuk buruan ambil wudhu. Terus sholat."
Setelah mengambil wudu, kami kembali ke kamar. "Syad, lu imamnya," ucap Bagas.
Aku berdiri di depan, lalu mulai salat. Pikiranku sepertinya tak tenang, hingga berkali-kali mengulang bacaan salat.
Saat rakaat terakhir, pundakku terasa begitu berat dan panas. Kepala pun mulai pusing. Aku paksakan hingga tahiyat akhir.
"Syad, lu kenapa?" tanya Ardi.
"Emangnya kenapa?" balasku, bingung.
"Muka lu. Pucet gitu. Mana keringatan pula."
"Nggak tau, Di. Gua badan gua tiba-tiba panas sama pusing."
"Mending lu istirahat aja dulu."
Aku naik ke atas kasur, lalu berbaring.
Aku berdiri di pinggir jalan, bersama ibu dan Hamid. Di dekatku ada koper dan tas besar. "Akhirnya kita pindah juga," ucap Ibu.
"Iya, Bu," sahutku.
"Ayah lama banget sih," gerutu Ibu.
"Macet kali, Bu."
"Mana mungkin, Syad."
Tak lama kemudian, terlihat sebuah mobil mendekat dengan kecepatan tinggi. Entah bagaimana aku bisa melihat kalau ayah yang sedang duduk di kursi kemudi. Mobil itu kian mendekat, tanpa mengurangi kecepatannya.
"Awas!" Aku berteriak seraya berlari mundur. Namun, tidak ibu. Hamid memegang kaki ibu agar tidak bisa bergerak.
DUAG!
Mobil yang ayah kendarai menabrak ibu hingga terpental jauh. Anehnya, Hamid bisa selamat. Ia malah berdiri menatapku sambil tersenyum.
"IBU!" teriakku, lalu bangun dari tidur.
"Syad lu mimpi, ya?" tanya Bagas dan Ardi yang kaget mendengar teriakanku.
"Iya." Dengan cepat kuraih ponsel lalu menelpon ibu.
Tut!
"Halo," sapa Hamid.
"Hamid ibu mana?"
"Ibu lagi di kamar mandi."
"Nanti kalau udah selesai, tolong telepon balik, ya!"
"Nggak bisa, Kak. Ibu lagi tidur di lantai kamar mandi. Nggak bangun-bangun," ucap Hamid.
"Maksud kamu apa?"
"Nanti kakak juga tau."
Tut! Telepon ditutup.
"HAMID!" teriakku.
**
"Ada apa, Syad?" tanya Bagas, heran.
Aku tak menjawab pertanyaannya, terus mencoba menelepon ibu. Namun, panggilan teleponku tetap tidak tersambung.
"Syad?" panggil Ardi.
"DIEM DULU! Ini lagi gawat!" balasku, kesal.
Kucoba menghubungi ayah. Sama saja, teleponnya tidak bisa dihubungi. Hatiku mulai gelisah, tak karuan. Takut terjadi sesuatu pada ibu.
Kesal. Kupukul kasur dengan keras, lalu berteriak. "Syad, ada apa sih sebenernya?" tanya Bagas.
"Ibu gak bisa di telepon."
"Bukannya tadi bisa?"
"Iya, tapi Hamid yang ngangkat. Abis itu kayanya teleponnya dimatiin."
"Mungkin lagi sibuk kali," sahut Ardi.
"Kayanya nggak deh. Ini gara-gara si Anak Iblis!"
"Anak Iblis? Siapa?"
"Hamid."
"Astaghfirullah! Nyebut, Syad. Itu adek lu sendiri," sahut Bagas.
"Dia bukan adek gua, Gas!"
"Ya Allah, Syad."
"Adek gua yang asli lagi dikurung di tempat lain."
"Di mana?"
"Gua juga gak tau. Kemaren pas gua kesurupan, gua ketemu dia." Aku pun menceritakan semuanya pada Bagas dan Ardi. Termasuk sikap aneh Hamid dan mimpi tadi.
"Jujur, Syad. Gua antara percaya dan gak percaya. Kalau bukan lu yang cerita mungkin gua gak bakal percaya," ucap Bagas.
"Iya, kalau beneran yang di badan Hamid itu Anak Iblis. Gimana cara lu ngeluarinnya? Terus gimana cara lu balik lagi ke tempat Hamid yang asli dikurung," timpal Ardi.
"Gua juga gak tau, Di," balasku.
"Ayah lu udah tau?"
Aku menggelengkan kepala.
"Coba lu ceritain aja ke ayah lu. Siapa tau punya solusinya."
"Masalahnya, Di. Gua juga gak percaya sama ayah gua."
"Duh rumit amat. Terus lu percayanya sama siapa?" sahut Bagas.
"Sama kalian."
"Ya gak nungkin kita ngerukiyah adek lu, Syad. Kemaren aja kita cuman jadi penonton, pas lu kesurupan."
"Jadi kalian gak bisa bantu?"
"Nggak, Syad. Balik ke rumah lu aja gua udah trauma," balas Ardi.
"Bener." Bagas pun setuju.
"Yaudah kalau gitu." Aku menjatuhkan diri ke kasur, lalu membelakangi mereka.
Kring!
Ponselku berbunyi. Buru-buru aku membalikan badan. Terlihat nama ibu muncul di layar ponsel. Kuangkat teleponnya.
"Bu. Ibu gak apa-apa?" Aku langsung bertanya keadaannya.
"Assalamualaikum," balas Ibu.
"Walaikumsalam. Ibu gak apa-apa?" tanyaku lagi.
"Kamu tadi nelpon?"
"Iya, Bu. Tadi teleponnya diangkat sama Hamid."
"Hamid? Daritadi Hamid tidur, Syad. Ini aja ibu baru ke luar dari kamar mandi, terus pas nyalain HP liat kamu nelpon berkali-kali. Kamu gak kenapa-napa, kan?"
Ibu malah bertanya keadaanku. Padahal aku yang khawatir dengan keadaannya. "Aku gak kenapa-apa, Bu. Kalau ibu?"
"Ya, ibu juga gak kenapa-napa."
"Hamid gak gangguin ibu, kan?"
"Nggak. Pas sampe sini, Hamid cuman maen sebentar terus tidur."
"Oh."
"Udah dulu ya, Syad. Ibu mau bantuin yang punya rumah masak."
"Iya, Bu."
Telepon ditutup.
"Gimana, Syad?" tanya Bagas.
"Ibu sehat-sehat aja."
"Tuhkan! Menurut gua lu cuman terlalu ketakutan aja," timpal Ardi.
"Semoga aja begitu, Di."
Selang beberapa menit kemudian, ayah menelepon. Ia mengajukan pertanyaan yang sama dengan ibu. Namun, aku hanya bilang kalau itu salah pencet.
Adzan magrib berkumandang, tiba-tiba aku merasakan seluruh tubuh ini seperti digigiti semut. Diikuti keringat dingin yang bercucuran.
"Lu masih sakit, Syad?" tanya Bagas.
"Kayanya begitu."
"Besok periksa ke dokter aja."
"Iya."
"Sekarang lu tiduran dulu aja. Gua sama Ardi mau ke masjid dulu."
Bagas ke luar dari kamar. Aku pun kembali tidur.
"Syad, bangun." Bagas membangunkanku. "Makan dulu, Syad."
"Iya, makan dulu sini. Parah lu, seharian tidur doang," timpal Ardi.
Aku pun bangkit dari kasur, lalu duduk bersama Ardi dan Bagas di lantai. "Kebetulan di rumah gua lagi banyak makanan," ucap Ardi.
Aku pun langsung menyantap makanan yang dibawa Ardi. "Beuh! Laper dia, Di. Baca doa dulu kali, Syad," ucap Bagas.
"Udah," sahutku, kemudian lanjut makan.
"Makan lu banyak amat, Syad?" tanya Ardi.
"Nggak tau, gua kaya laper banget," balasku.
"Mungkin efek seharian tidur kali."
"Kayanya."
Setelah makan, aku kembali berbaring di kasur. "Astaga, mau tidur lagi, Lu?" tanya Ardi.
"Ngantuk banget gua."
"Ya Allah, bener-bener dah nih anak. Ke sini cuman numpang tidur. Mandi dulu kali, Syad. Kasur gua ntar bau!" ucap Bagas.
"Besok pagi aja."
Pagi menyapa, kurasakan sebuah sentuhan di tubuhku. "Syad, bangun," ucap Bagas.
"Apa sih, Gas?" balasku, dengan mata masih tertutup.
"Udah jam enam. Sholat Subuh dulu."
"Gua masih ngantuk, Gas!" sahutku, kesal.
"Bangun bentar dulu. Sholat terus bisa tidur lagi."
"DAH GUA BILANG MASIH NGANTUK!" Aku bangkit sambil menatap Bagas. Marah.
"Lu kenapa sih, Syad? Biasanya lu yang ngajak sholat. Sekarang? Malah lu gak mau sholat."
"Bukan gak mau, Gas. Tapi, badan gua masih sakit."
"Yaudah, ntar siangan kita ke dokter aja."
"Iya, tapi sekarang jangan ganggu dulu."
Bagas ke luar dari kamar.
Sekitar satu jam kemudian, Ardi dan Bagas mengajakku sarapan. "Kalau makan langsung sehat dia. Mana banyak pula makannya," ledek Ardi.
"Namanya juga pemulihan," balasku.
"Udah mandi?"
Aku menggelengkan kepala.
"Daritadi tidur doang," sahut Bagas.
Begitulah kehidupanku selama dua hari di rumah Bagas. Hanya tiduran di atas kasur. Entah kenapa aku menjadi malas sekali salat. Setiap kali dipaksa salat, badan langsung panas dan sangat mengantuk. Ibunya Bagas sempat mengajakku ke dokter, tapi obat dari dokter sepertinya tidak berpengaruh.
"Lu jadi pulang hari ini?" tanya Bagas.
"Iya, tadi ayah nelpon suruh tunggu di deket alun-alun," balasku sembari memasukan baju ke dalam tas.
"Gua anter sampe alun-alun aja, ya? Nggak ikut sampe rumah lu."
"Iya, Gas. Nggak apa-apa."
Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Aku pun pamit pulang pada ibu dan ayah Bagas. Ardi dan Bagas pun menemaniku sampai ke alun-alun. Setelah menunggu cukup lama di sana, ayah pun datang dengan menggunakan sebuah mobil.
"Di, Gas, gua pulang dulu, ya," pamitku.
"Iya, Syad. Hati-hati," balas Bagas.
"Makasih ya udah ngizinin Arsyad nginep," ucap Ayah.
"Iya, Pak."
Mobil pun melaju, menuju tempat Ibu dan Hamid. "Ini mobil siapa, Yah?" tanyaku.
"Mobil bos ayah."
"Bos ayah?"
"Iya, kebetulan dia datang ke rumah. Jadi ayah pinjem mobilnya buat jemput kamu."
Deg!
Perasaanku tiba-tiba tak enak. Apa yang bos ayah lakukan di rumah? Apa ia hanya sekadar mampir atau ada maksud lain?
"Kenapa muka kamu begitu?" tanya Ayah.
"Nggak, Yah."
Sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di rumah temannya ayah. Setelah mengobrol sebentar, kami pun pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, berkali-kali aku melirik ke kaca depan, melihat Hamid yang duduk di belakang. Wajahnya terlihat biasa saja, tak ada rasa bersalah padaku atas ucapannya kemarin.
Tiga puluh menit kemudian, kami pun tiba di rumah. Ayah memarkirkan mobil di depan rumah. Ibu dan Hamid ke luar dari mobil.
"Syad? Kamu mau di mobil terus?" tegur Ayah.
Aku pun turun dari mobil, lalu berjalan bersama ayah, masuk ke dalam rumah. Saat melewati pintu depan, bos ayah sudah menyambutku.
Kutatap wajahnya. Kenapa mirip sekali dengan mimpiku. Padahal ini kali pertama bertemu dengannya.
"Ini yang namanya Arsyad." Ayah memperkenalkanku dengan bosnya.
Bos ayah tersenyum padaku. Seketika itu, aku merasakan kengerian di balik senyumnya.
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya
*****
Sebelumnya