Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RUMAH DUKUN (Part 8)


JEJAKMISTERI - Wajahnya memang mirip, tapi tidak ada kerutan. Rambutnya pun hitam, tidak berwarna putih. Sepertinya bos ayah jauh lebih muda daripada orang yang kulihat di mimpiku. "Kenapa ngeliatinnya begitu?" tegurnya.

"Salim, Syad," ucap Ayah.

Kuraih tangannya, lalu mengecup punggung tanggannya. "Ayah, aku ke atas dulu, ya," pamitku.

"Kamu di sini aja dulu. Temenin ayah sama Pak Bos," pinta Ayah.

"Aku ngantuk, Yah."

"Ada yang perlu ayah omongin sebentar."

Ayah memintaku duduk. "Sekarang ayah mau cerita semuanya dari awal, Syad," ucap Ayah.

"Bapak minta maaf kalau bikin kamu hampir celaka," timpal Bos Ayah.

"Nggak apa-apa, Pak Bos," balasku.

"Panggil aja Om Edwin."

"Iya, Om."

"Jadi sebenernya ayah pindah ke sini, atas permintaan Pak Bos," ucap Ayah, lalu mulai bercerita.

Saat Om Edwin tau kalau kondisi keuangan ayah sedang memburuk. Ia langsung menawarkan untuk tinggal di rumah ini. Ia pun sudah memberitahu ayah kalau rumah ini memang sangat angker.  Bahkan, ternyata ayah juga sudah tau kalau rumah ini pernah ditinggali seorang dukun.

"Padahal udah diceritain semua, tapi ayah kamu masih tetep mau tinggal di sini," ucap Om Edwin.

Aku melirik ke arah ayah, tanpa mengucap sepatah kata pun. Padahal di dalam hati ini bertanya-tanya. Kenapa ayah nekat tinggal di rumah ini?

"Niat awalnya ayah mau sekalian bantuin bersihin rumah ini dari jin-jin negatif. Tapi kayanya mereka udah tau rencana ayah, sampe neror kamu," ucap Ayah.

"Aku hampir meninggal, Ayah," balasku, kesal.

"Maafin, Ayah."

"Sebenernya dulu udah beberapa kali rumah ini coba dibersihin, tapi selalu gagal. Malahan keluarga Om dan orang yang coba bantu diteror habis-habisan. Sampe akhirnya Om nyerah. Milih pergi dari rumah ini," ucap Om Edwin.

"Terus apa ayah berhasil?" sindirku.

"Insya Allah. Dua hari kemaren, ayah udah manggil temen ayah dari pesantren. Terus kita ngelakuin rukyah rumah. Sempet ada perlawan dari mereka, tapi bisa diatasi. Sekarang kalau kamu liat ke dalem. Kamar mandi udah terang, bisa pake lampu," balas Ayah.

"Suasana rumah juga jauh lebih nyaman dan sejuk. Udah nggak pengap dan panas," imbuhnya.

Mungkin itu yang ayah rasakan, tapi bagiku rumah ini tetap terlihat tak nyaman dan pengap. "Bagus deh kalau gitu. Tapi aku tetep pengen pindah dari sini, Yah," balasku.

"Nanti Om usahain cari kontrakan di deket kantor. Doain aja secepetnya ya, Syad," sahut Om Edwin.

"Iya, Om."

"Kamu mau ke kamar?" tanya Ayah.

"Aku boleh nanya sesuatu gak, Om?"

"Silahkan."

"Apa Om punya anak laki-laki?" 

"Nggak punya, Syad."

"Apa Om tau pernah ada anak laki-laki yang meninggal di rumah ini. Mungkin beberapa tahun lalu," ucapku.

Om Edwin terdiam seraya menatapku. "Kamu tau dari mana cerita itu?" tanyanya.

"Dari warga desa sini, Om."

"Dari siapa, Syad? Anak perempuan yang kemaren?" tanya Ayah.

"Iya," balasku.

"Anak perempuan siapa?"

"Yang tinggal di deket kebun samping," sahut Ayah.

"Risa?" ucap Om Edwin.

"Om kenal Risa?"

"Kenal banget, Syad. Kamu harus hati-hati sama dia.  Dulu dia pernah bikin salah satu temennya meninggal."

"Itukan bukan salah Risa, Om. Tapi emang buah mangga di rumah ini yang terkutuk."

"Oh, Risa udah cerita itu juga. Emang, pengakuan dia begitu. Tapi banyak warga yang curiga kalau itu emang disengaja."

"Tapi, Risa juga kan hampir mati dan diteror."

"Bisa jadi itu cara ibunya untuk mengelabuhi warga," balas Om Edwin. 

"Gini, Syad. Selama Om tinggal di sini. Om sering denger kalau ibunya Risa itu dulunya pernah deket sama anak dari dukun yang tinggal di sini. Bahkan kabarnya Risa itu cucunya si dukun. 

Makanya kalau kamu liat. Hanya Risa dan ibunya aja yang berani tinggal di deket rumah ini. Terus mereka juga agak dijauhi sama warga yang lain," sambungnya.

"Dukun itu punya anak?" tanya Ayah.

"Ada, tapi dia ngilang entah ke mana. Terakhir kali ketemu pas saya beli rumah ini. Saya lumayan ketipu sih. Emang rumah ini dijual murah banget, tapi pas tau ternyata banyak setannya jadi nyesel juga," balas Om Edwin.

"Emang Om Edwin tinggal di sini berapa lama?" tanyaku.

"Sekitar dua tahunan."

"Risa bilang gak ada yang tinggal selama itu di sini. Paling lama sebulan."

"Kan udah Om bilang, jangan terlalu percaya sama omongannya."

Kini aku kembali bimbang, siapa yang harus dipercaya. Hati kecilku merasa kalau Risa tidak berbohong. Namun, ucapan Om Edwin begitu meyakinkan.

Aku bangkit, "Ayah aku ke atas dulu, ya?" pamitku.

"Oh ya, Syad. Ayah udah siapin kamar di bawah buat kamu sama Hamid."

"Kamar deket gudang?" 

"Iya. Kemaren udah ayah rapihin. Jadi jangan tidur di atas lagi."

"Tapi, Yah. Aku gak mau sekamar sama Hamid. Lagian kamarnya juga sempit." 

"Cukup kok buat berdua."

"Aku udah gede, pengen punya kamar sendiri, Yah!" balasku, marah.

"Iya, sementara di bawah dulu. Soalnya kamar kamu belum diberesin."

"Pokoknya aku gak mau sekamar sama Hamid!"

"Kenapa, Syad? Kan itu adek kamu sendiri."

"Soalnya dia ...." ucapku tertahan. Tak mungkin bilang kalau yang ada di rumah ini bukan Hamid yang sebenarnya.

"Dia apa?"

"Soalnya Hamid berisik!" elakku.

"Nanti ayah bilang ke Hamid."

"Ya udah!" Aku membalikan badan, lalu berjalan ke kamar. Tau begitu, lebih baik menginap di rumahh Bagas saja. Daripada harus se kamar sama anak iblis itu.

Sebelum naik ke tangga, aku sempat melirik ke arah kamar mandi. Benar kata ayah, sekarang sudah tidak gelap lagi.

Kriet!

Kubuka pintu kamar. Terlihat kaca jendela yang belum diperbaiki. Aku pun membaringkan tubuh di atas kasur.

Arsyad....
Arsyad....

Samar terdengar seseorang memanggil namaku. Aku melirik ke jendela, hanya terlihat hembusan angin yang menggerakan gordin.

Arsyad....

Suaranya seperti dari luar jendela. Aku bangkit, lalu berjalan mendekati jendela. Saat melihat ke luar, terlihat Leo sedang berdiri sambil menatap ke arahku.

"Leo?" tanyaku dalam hati.

Ia melambaikan tangan. Kemudian berlari ke arah belakang rumah. "Leo!" teriakku, memanggilnya.

Bergegas, aku turun ke bawah. "Ada apa, Syad?" tanya Ayah saatku berlari melalui ruang tengah. 

"Nggak ada apa-apa," sahutku, berlalu ke luar rumah. Di teras, sempat terdiam sebentar karena ragu untuk pergi ke belakang rumah. Aku pun mengumpulkan keberanian, lalu berjalan cepat ke sana.

Dari kejauhan, terlihat Leo sedang berdiri di samping makam. Ia menatapku dengan tatapan kosong penuh kesedihan. Aku pun berjalan mendekat, melihat ada kendi kecil dan taburan bunga warna-warni di atas maka, yang terlihat masih baru.

Leo menatapku, "Ayah datang," ucapnya.

**

"Ayah?" tanyaku.

Namun, wajah Leo tiba-tiba tampak ketakutan. Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah berlari menuju kebun belakang.

"Arsyad, kamu ngapain di sini?" tanya Ayah yang berjalan mendekat. Disusul Om Edwin yang jalan di belakangnya. 

"Tadi aku liat ada anak kecil lari ke sana," balasku sambil menunjuk ke arah kebun.

"Kamu kenal?" tanya Om Edwin. 

Aku menggelengkan kepala.

"Aneh, biasanya gak ada warga yang berani datang ke sini. Apalagi anak-anak. Lagian kebun belakang itu buntu. Kehalang sungai," jelas Om Edwin.

"Anak lelaki atau perempuan?" imbuhnya.

"Perempuan." Aku terpaksa berbohong.

"Mungkin itu Risa," sahut Ayah.

"Kayanya begitu. Soalnya di atas makam ada kembang tujuh rupa sama kendi yang masih baru. Pasti itu kerjaan dia," ucap Om Edwin sambil menatap makam.

"Dulu waktu Om tinggal di sini, pernah ada yang ngelakuin begitu juga. Cuman pelakunya gak ketauan," sambungnya.

"Emangnya itu untuk apa?" tanyaku, penasaran.

"Katanya itu untuk memanggil Sang Dukun dan anak buahnya. Supaya meneror penghuni rumah."

"Ayah," ucapku sambil menatap ayah.

Ayah memegang pundakku, "Kamu gak usah takut. Ada ayah. Inget, orang yang sudah meninggal gak akan kembali ke dunia."

Aku menggangguk pelan. Kemudian, ayah mengajakku kembali ke dalam. "Kamu udah beresin barang di atas?" tanya Ayah.

"Belum," balasku.

"Beresin dulu."

"Hamid mana?" tanyaku, heran sejak tadi Hamid dan Ibu tak terlihat.

"Lagi tidur di kamar ayah."

"Oh."

Aku kembali ke kamar atas. Kemudian memindahkan tas, buku, laptop dan beberapa helai baju ke kamar bawah. 

Kamarnya memang tidak begitu besar. Hanya ada dua kasur berukuran kecil, yang diletakan membetuk huruf L. Serta ada satu meja belajar dan lemari kecil. Sepertinya itu hanya untukku saja.

Brug!

Terdengar suara benda terjatuh. Spontan, aku mengecek ke luar. Hanya ada ayah dan Om Edwin yang sedang mengobrol di ruang tengah. 

"Ada apa, Syad?" tanya Ayah, heran.

"Tadi aku denger ada suara benda jatoh," balasku.

"Di mana?"

"Nggak tau, Yah. Aku kira di luar."

"Mungkin dari atas."

"Kayanya dari gudang, Yah. Kedengeran deket banget," balasku sembari menatap pintu gudang.

"Gudang itu belum pernah dibuka," ucap Om Edwin.

"Kemarin saya udah coba buka, tapi gak bisa," balas Ayah.

"Memang begitu. Anaknya sendiri yang bilang jangan pernah buka gudang itu."

"Kenapa?" tanyaku.

"Om juga gak tau, Syad."

"Kamu jangan takut," ucap Ayah.

"Iya, Ayah," sahutku, lalu kembali masuk ke kamar. Beruntung sekali kamar ini tidak ada jendela ke luar.  Jadi aku tidak begitu takut, meski berdekatan dengan makam di belakang rumah.

Aku membaringkan badan di atas kasur. Tak lama Hamid masuk ke kamar. "Kakak gak kangen Hamid?" tanyanya.

Aku menoleh padanya, "Kangen kok," balasku, lalu kembali membuang muka ke arah tembok.

"Kakak marah sama Hamid?" tanyanya lagi.

"Nggak," sahutku, masih menghadap tembok.

"YAKIN?" Suaranya berubah.

Seketika itu jantungku berdetak kencang. Lalu, merapat ke tembok. Tak berani menoleh ke belakang.

"KAK ARSYAD TAKUT?" Suaranya semakin menyeramkan.

"AYAH!" teriakku, sambil meringkuk.

"Ada apa, Syad?" tanya Ayah.

Sontak aku membalikan badan, "Hamid!" balasku.

"Kamu apain Kak Arsyad?" Ayah bertanya pada Hamid.

"Aku gak ngapa-ngapain ayah," balas Hamid dengan suara polosnya.

"Bohong! Tadi Hamid..."

"Tadi Hamid kenapa?" 

"Ganggu aku!" Lagi-lagi aku tak bisa bilang pada ayah kalau Hamid yang ada di depannya adalah anak iblis.

"Hamid jangan ganggu Kak Arsyad," ucap Ayah.

"Hamid cuman nanya aja kok ayah," balas Hamid.

"YA itu ganggu!" sahutku, kesal.

"Kamu juga jangan marah-marah gitu, Syad!" omel Ayah.

Aku terdiam. Lalu membuang muka dan memeluk guling. Tak lama terdengar suara pintu ditutup. Aku menoleh cepat, Hamid sudah tak ada. 

Aku bangun tidur dengar kepala agak berat. Kemudian bangkit dan berjalan ke luar. Terlihat ayah sedang duduk di ruang tengah sambil menonton televisi.

"Kamu tuh, dibangunin susah banget," ucap Ayah.

"Kapan dibangunin?" tanyaku.

"Tadi, coba liat sekarang jam berapa!" 

Aku melirik jam dinding, pukul lima sore. "Sekarang mending kamu sholat, sebentar lagi magrib," perintah Ayah.

"Iya, Ayah." Aku melangkah ke kamar mandi. Meskipun lampunya sudah menyala, tapi tetap saja masih membuatku merinding.Setelah mengambil wudu, aku kembali ke kamar. 

Saat sedang melaksanakan salat, aku merasakan hati ini gelisah. Entah apa penyebabnya. Bulu kuduk punt tak henti-hentinya meremang. Serta beberapa bagian tubuh yang kesemutan, hingga mengganggu gerakan salat.

BRUG!
BRUG!

Beberapa kali terdengar suara benda terjatuh dari gudang. Namun, aku tak memperdulikannya. Tetap melanjutkan salat hingga tahiyat akhir.

Setelah salat, aku duduk bersama ayah di ruang tengah. "Hamid mana, Yah?" tanyaku.

"Kamu tuh kenapa sih, Syad?" Ayah malah balik tanya.

"Aku gak kenapa-napa."

"Kamu kenapa bentak-bentak Hamid, sampe dia ketakutan gitu."

"Abisnya ganggu banget. Kan Arsyad capek mau tidur."

"Iya, tapi kan Hamid cuman nanya begitu aja. Ngapain sampe dibentak."

"Ya, kalau gitu. Arsyad minta maaf."

"Kamu minta maaf sama Hamid. Dia ada di kamar ayah."

Aku pun bangkit dan berjalan ke kamar ayah. Terlihat Hamid sedang duduk di atas kasur, di dekatnya ada ibu yang menemani.

"Tuh, Kak Arsyad dateng," ucap Ibu.

Aku berjalan mendekat, "Maafin kakak ya, Mid," ucapku. 

"Kakak gak bentak-bentak Hamid lagi?" tanyanya.

"Nggak. Kakak janji." Kuraih tangannya lalu mengajaknya ke ruang tengah.

Selang satu jam kemudian, adzan magrib berkumandang. Kami pun melakukan salat berjamaah di kamar ayah. Tetap saja, tubuhku terasa sakit, seperti ditusuk-tusuk jarum. 

Setelah salat berjamaah, kami pun makan bersama di ruang tengah. Sembari menunggu adzan isya berkumandang.

"Ayah, aku ke kamar dulu," ucapku sesaat setelah salat Isya. Soalnya tubuh ini rasanya sudah tak karuan. Panas dan pegal-pegal.

Aku membaringkan badan, tak lama langsung tertidur.

Dug! Dug! Dug!

Suara itu terus mengganggu tidurku. Kututup telingaku dengan menggunakan guling. Namun, suara itu masih terdengar.

Argh! Aku kesal, lalu mengambil posisi duduk. Kemudian menempelkan telinga ke tembok. Tak terdengar suara apapun.

Dug! Dug!

Spontan, aku menoleh ke kanan. Suara berasal dari dalam kamar. Sial, kamarnya begitu gelap hingga tak terlihat apa-apa.

Kuraih ponsel di dekat bantal, kemudian menyorot sumber suara itu. terlihat Hamid sedang berdiri di dekat tembok, membelakangiku.

Dug! Dug!

Ia membentur-benturkan kepalanya. Hingga terdapat noda darah di tembok. "Hamid," panggilku. Namun, ia tak menjawab. Terus membenturkan kepalanya hingga darah mengalir di tembok.

Aku beranjak dari kasur, berjalan perlajan mendekatinya. "Hamid?" panggilku lagi, tapi tetap tak ada jawaban.

Kuraih pundaknya, lalu ia langsung membalikkan badan. Sontak aku melangkah mundur, saat melihat wajahnya sudah dipenuhi darah.

"Kak Arsyad, main, yuk!" ucapnya sembari tersenyum.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close